dzuhur terlebih dahulu. Dengan penuh suka cita kami berangkat bersama-sama, tak lupa sembako, makan siang dan makanan ringan kami bawa. Sembako yang kami beli diantaranya beras, minyak goreng, susu. Sementara untuk makan siang kami memilih nasi putih dengan ayam bakar. Kami berharap keluarga bapak Bakrie senang dengan apa yang kami bawa ini. Tak terasa 15 menit perjalanan sudah kami tempuh, akhirnya kami pun sampai dirumah keluarga bapak Bakrie. Hati kami sedih sekali ketikamelihat pemandangan didepan mata. Sebuah rumah mungkin sebutan rumah belum pantas diberikan kepada tempat tinggal keluarga bapak Bakrie. Sebuah gubuk tua yang usang dengan tempelan tempelan kayu yang tidak senada warnanya bertujuan untuk menutupi lubang-lubang yang terdapat disekeliling rumah. Gubuk yang berdiri ditanah perusahaan milik negara, PT krakatau Steal. Peringatan jangan mendirikan bangunan pun tidak dipedulikan oleh pak Bakrie. Semua itu terpaksa. Karena itu terpaksa, karena pak Bakrie dan ibu Nahyem, istri pak Bakrie, membutuhkan tempat untuk peristirahatan melepas lelah setelah seharian berkerja banting tulang. Apalagi mereka mempunyai dua anak perempuan yang masih duduk di SMP, yaitu Siti Qomariyah yang duduk di kelas 2 SMP dan Sri wahyuningsi yang duduk di kelas 1 SMP. Kami pun dipersilahkan masuk. Mungkin idealnya di sebuah rumah pada umumnya kami dipersilahkan dudk dikursi diruang tamu. Namun ketika kami masuk, ruangan itu hanyalah sebuah ruangan berlantaikan tanah yang dipinggirannya terdapat sebuah balai-balai lusuh untuk tempat duduk. Yang lebih memprihatinkan lagi ternyata ruangan itu juga berfungsi sebagai dapur dan yang menyayat hati kami, ruangan itu juga sebagai tempat untuk kandang hewan peliharaan seperti ayam, bebek, kambing. Subhanalllah, ingin rasanya kami menangis melihat semua itu. Rumah itu sangat jauh dari kata sehat, bau kotoran hewan tercium dimana- mana. Meski dengan keadaan yang sangat tidak nyaman, obrolan tetap mengalir. Diselingi tawa seolah keadaan tersebut tidak dihiraukan. Bapak Bakrie menceritakan semua tentang kehidupannya, termasuk istrinya, ibu Nahyem. Bapak Bakrie berasal dari Klaten, Jawa Timur, beliau sebelas bersaudara. Berada dibanten karena pada awalnya beliau bermaksud mencari sang ayah yang kabarnya berada di Banten. Namun ternyata kabar itu hanyalah kabar burung, ayah beliau tak tahu ada dimana, menghilang begitu saja. Ternyata Allah Maha Besar, Dialah Yang Maha Penentu jalan hidup bagi hamba-hambaNya. Pak Bakrie tidak kembali ke klaten, beliau menetukan jodoh dibanten dan dikaruniai seorang anak perempuan. Kehidupan begitu keras, pada saat pak Bakrie berusia sekitar 25 tahun beliau mengadu nasib menjadi seorang TKI di negara tetanggga Singapura, disana beliau bekerja sebagai buruh bangunan. 24 tahun sudah bekerja tapi tidak menampakkkan hasil apapun. Akhirnya beliau harus menerima kenyataan pahit, istrinya dinikahi orang dan ankanya pun dibawa istrinya. Kehidupan sangatlah kejam dan tidak adil bukanlah suatu jalan yang benar. Dengan segala tekad akhirnya pak Bkarie bangkit dan kembali dan kembali menjalani hari-harinya seperti biasa. Allah Maha Pengasih dan Penyayang, dipertemukanlah pak Bakrie dengan ibu Nahyem yang sekarang menjadi istrinya dan dikarunia 2 anak perempuan, siti dan sri. Meskipun keadaanya seperti itu bapak Bakrie percaya bahwa dengan berbuat baik maka. Akan memperpanjang usia. Pekerjaannya sekarang hanyalah seorangpetani dengan penghasilan tidak tentu. Ibu Nahyem, istri bapak Bakrie sering sakit-sakitan dan penglihatnnya pun terganggu, dalam jarak 5 meter dia tidak bisa mengenali orang. Ketika sehat beliau akan pergi kekebun untuk menanam sayuran atau sekedar membersihkan kebunnya dari rumput liar. Sedangkan ketika penyakitnya kambuh, beliau hanya bisa memberi pakan hewan ternak mereka. Siti dan Sri setiap pagi pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu. Sekolah mereka terletak didaerah Merak, sehingga mereka memerlukan ongkos setiap harinya untuk menuju sekolah mereka. Selalu mendapat bantuan dari para tetangga begitupun dari ketua RT tempat mereka tinggal. Tidak terasa sudah satu jam kami berbincang-bincang. Ibu Nahyem seperti biasa pergi kekebun untuk bercocok tanam, kami pun ikut untuk membent. Sepetak tanah yang kurang subur terlihat dari warnanya cokelat ke putih-putihan ditambah sistem pengairan yang buruk. Namun ibu Nahyem tetap bersemangat menggarap kebuminya itu. Ada sawi, kacang tanah, ubi jalar dan ketela pohon ditanm disana. Dalam 45 hari sawi dan kankung sudah bisa dipanen. Hasilnya akan ibu Nahyem jual ke pedagang sayuran yang sudah biasa ibu Nahyem jual kepada pedagang tersebut. Satu kali panen ibu Nahyem hanya mendapatkan uang 10 ribu, sungguh miris membayangkan lelahnya berkebun dan hanya mendapatkan 10 ribu dalam satu kali panen. Tapi hidup tetap harus disyukuri. Setelah lelah berkebun, kami memutuskan untuk bersitirahatkan sambil menyatap makan siang yang sudah kami beli tadi. Layaknya piknik, tikarnyapun digelar dikebun itu. Kami membantu pak Bakrie mengembala kambing- kambingnya, kambing pak Bakrie cukup banyak tetapi masih kecil-kecil, mungkin inilah harta berharganya yang dimiliki olehnya. Waktu ashar pun telah tiba, kami bergegas untuk melaksananakn ibadah shalat ashar. Berhubungan tidak memungkinkan untuk melaksanakn sholat dirumah pak Bakrie, kami mencari masjid terdekat dan melaksanakan shlalat ashar dimasjid tersebut. Sekitar pukul 15.15 WIB kami sudah sampai lagi dirumah pak bakrie. Sesuai kegiatan acara yang sudah kami rencanakan yaitu bermaksud untuk berjualan makanan ringan. Maksud kami itu pun diutarakan kepada bu Nahyem, pa Bakrie, Siti dan Sri. Ternyata Siti dan Sri ketika duduk disekolah dasar (SD) sudah pernah berjualan kue sambil sekolah. Namun itu tidak bertahan lama karena modal untuk berjualan tidak kembali alias rugi, kerugiannya akibat dikarenakan Siti dan Sri kasihan melihat temannya yang ingin memilikinys barang jualan nya namun tidak memiliki uang utnuk membelinya sehigga mereka memberikan barang dagangnya tersebut secara Cuma-Cuma. Kami membujuk orang tua Siti dan Sri untuk kembali membolehkan berjualannya, karena apa salahnya jika kita mencoba kembali. Dan akhirnya beliau-beliau membolehkan. Makanan ringan yang asal beratnya kg, kami kemas ke dalam plastik- plastik kecil dan akan kami jual kembali dengan harga 500, proses pengemasanpun telah selesai, sekarangtinggal menjajakan barang jualan tersebut ke orang-orang. Tidak terasa sudah satu jam kami berkeliling kampung untuk menjajakan barang dagangan kami. Rasa lelah terbesar sudah dengan terjual habis semua barang dagangan kami. Hari makin gelap,kamipun kembali kerumah pak Bakrie. Siti dan Sri tampak bahagia sekali, tak henti-hentinya mereka berdua tersenyum. Waktu menunjukan pukul 17.00, suasan gelap mulai menyelimuti rumah pak Bakrie. Baru kamisadari ternyata dirumah pak Bakrie ini tidak ada listrik. Sungguh memilukan hati membayangkan mereka setiap malam hanya ditemani lampu tempel saya menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Kami dan keluarga bapak Bakrie pun memilih untuk melanjutkan perbincangan diluar rumah yang masih terang. Beberapa menit kami sudah berbincang-bincang, suasana makin gelap dan hujan kecil mulai turun. Kami pun berpamitan untuk pulang. Ada kesedihan terasa disana ketika harus berpisah, namun apa daya waktu telah memisahkan kami. Sembako dan sedikit uang kami berikan dengan penuh keikhlasan kepada keluarganya pak Bkarie, berharap itu bisa membantu walaupun jumlahnya hanya sedikit. Kegiatan silahturahmi ini begitu bermakna untuk kami. Menyadarkan kami bagaimana menghargai kehidupan. Kami sering lupa bersyukur atas apa yang Allah anugrah kepa kami, malah mungkin kami lebih banyak mengeluh dan menuntut. Kami dilahirkan dari keluarga pak Bakrie diselimuti rasa khawatir, takut sewaktu-waktu rumah mereka digusur karena berdiri ditanah milik orang. Belum lagi ketika hujan deras turun, atap bocor dimana-mana. Keadaan rumah yang jauh dari kata sehat, kamar mandi yang tak layak pakai. Berbeda jauh dengan keadaan rumah kami masing-masing. Dirumah kami bisa memilih hiburan apa yang diinginkan. Menonton Tv, internetan, main game atau mendengarkan musik. Namun tidak dengan Siti dan Sri , mereka tidak bisa memilih,listrik pun tidak ada , hanya untuk membaca buku pada malam hari pun mereka tidak bisa. Begitu tidak tahu dirinya kami masih saja kami sering mengeluh dan orang lain, karena hp dia lebih canggih dari pada punyaku, kalimat itu sering terlontar dari mulut-mulut kami. Astagfirullah... ya Allah Ampuni kami karena kami sering tidak menyukuri nikmat yang begitu besar yang telah kau Anugrahkan kepada kami. Sempat kami bertanya kepada pak Bakrie dan ibu Nahyem, siti dan Sri tentang keinginan mereka kedepan dan cita-cita mereka. Pak bakrie ingin menjadi orang yang berkecukupan namun mengingat usiannya sudah tua sekarang dia hanya ingin membahagiakan juga menjaga istri dan anaknya. Ibu Nahyem ingin merawatnya anaknya dengan baik dan mengantarkan mereka sampai ke gerbang pernikahan dan mengabdi kepada suami tentunya. Siti Qomariyah ingin bersekolah setinggi-tingginya, menjadi orang sukses dan dapat membahagiakan orang tua. Sedangkan Sri Wahyuningsih ingin menjadi seorang dokter agar dapat menyembuhkan penyakit ibudannya tercinta juga mengobati para tetangganya yang sakit. Sebeum berpamitan kami menyampaikan beberapa pesan kepada keluarga pak Bakrie agar tetap semangat dalam menjalani hidup. Aslakan ada niat pasti Allah selalu memberikan jalan.