Anda di halaman 1dari 12

1

Analisis Dampak Penyakit Kusta terhadap Interaksi Sosial Penderita di


Kecamatan Brondong, Lamongan

Nurul Azizah
1
, Brodjol Sutijo SU
2
, Adatul Mukarromah
3

1
MahasiswaJurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember
2,3
Dosen Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember

email :
1
azizah_080688@yahoo.co.id,
2
brodjol_su@statistika.its.ac.id,
3
adatul@statistika.its.ac.id

ABSTRAK

Penyakit kusta merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae. Seseorang berpeluang terkena kusta apabila tinggal di daerah endemis kusta.
Salah satu daerah endemis kusta di JATIM adalah Lamongan dengan tingkat prevalensi
pada tahun 2008 sebesar 4,25/10.000 penduduk. Keberadaan penderita penyakit kusta
pada umumnya masih ditakuti dan dikucilkan masyarakat sekitar. Perlakuan yang tidak
adil tersebut menimbulkan masalah sosial yang akhirnya akan mempengaruhi interaksi
sosial penderita kusta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh secara signifikan terhadap interaksi sosial penyandang penyakit kusta di
Kecamatan Brondong, Lamongan. Untuk memodelkan interaksi sosial yang bersifat
asosiatif dan disasosiatif digunakan analisis multivariat atau lebih tepatnya regresi
multivariat dengan menggunakan kriteria AICc sebagai pemilihan model terbaik. Hasil
analisis memberikan kesimpulan bahwa dari 15 kombinasi model regresi multivariat
diperoleh nilai minimum AICc sebesar 447,429 dengan variabel yang mempengaruhi
interaksi sosial adalah usia penderita kusta, tipe gejala klinis penyakit kusta dan
diagnosa kusta. Melalui model yang diperoleh dapat diketahui bahwa penyakit
kusta dapat memberikan dampak yaitu berkurangnya intensitas interaksi sosial
seseorang, khususnya untuk dimensi kerja sama, asimilasi, konflik dan daya
saing. Sedangkan penderita kusta dengan tipe MB interaksi sosialnya akan
lebih rendah bila dibandingkan dengan tipe PB.

Kata kunci: Analisis Regresi Multivariat, AICc, Interaksi Sosial, Penyakit Kusta

1. Pendahuluan
Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi
menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae
yang secara primer menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ-
organ lain (WHO, 2003). Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal
di daerah endemis. Kabupaten Lamongan adalah salah satu daerah endemis kusta di pantai
utara Jawa Timur dengan prevalensi sebesar 4,25/10.000 penduduk (Dinkes Jatim, 2008).
Prevalensi Kabupaten Lamongan menunujukkan bahwa daerah tersebut telah mewakili
sebagai daerah endemis kusta di Jawa Timur. Wilayah puskesmas Brondong Lamongan, saat
ini prevalensinya sebesar 10,41/10.000 yang artinya dari 10.000 penduduk di Brondong
Lamongan yang menderita kusta sebanyak 10 orang. Prevalensi ini merupakan peringkat
pertama dari seluruh kabupaten Lamongan (Puskesmas Brondong, 2010).
Keberadaan penderita penyakit kusta pada umumnya masih ditakuti dan dikucilkan
oleh masyarakat sekitar. Perlakuan yang tidak adil tersebut menimbulkan masalah sosial
yang akhirnya akan mempengaruhi interaksi sosial khususnya bagi penderita kusta.
Maryawati dan Suryawati (2003) menyatakan bahwa, Interaksi sosial adalah kontak atau
hubungan timbal balik dan respon antar individu, antar kelompok atau antar individu dan
kelompok.
2

Penelitian sosial yang berhubungan dengan penyakit kusta pernah dilakukan
sebelumnya. Kasmadji (2002) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan
penderita kusta terhadap gangguan harga diri dengan menggunakan metode korelasi product
moment. Fajar (2004) meneliti hubungan antara berbagai faktor sosiokultural terhadap
pengobatan dini dan keteraturan berobat pada penderita kusta dengan menggunakan metode
regresi logistik. Hasil penelitian Fajar menunjukkan adanya pengaruh antara tingkat
pengetahuan rendah, tingkat pengetahuan sedang, tingkat kepercayaan jelek dan sikap yang
tidak mendukung terhadap upaya pengobatan dini yang dilakukan oleh penderita kusta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh secara
signifikan terhadap interaksi sosial penyandang penyakit kusta di Kecamatan Brondong,
Lamongan. Untuk memodelkan interaksi sosial yang bersifat asosiatif dan disasosiatif
digunakan analisis multivariat atau lebih tepatnya regresi multivariat.

2. Tinjauan Pustaka
Dalam makalah ini akan dijelaskan teori tentang analisis regresi multivariat dan
Akaikes Information Criterion Corrected (AICc). Berikut merupakan penjelasan dari
masing-masing teori.
2.1 Analisis Regresi Multivariat
Regresi linier multivariat adalah model regresi dengan variabel respon lebih dari satu
yang saling berkorelasi dan satu atau lebih variabel prediktor (Johnson dan Wichern, 2007).
Misalkan terdapat variabel respon berjumlah p yaitu, Y
1
, Y
2
,..., Y
p
dan q variabel prediktornya
X
1
, X
2
,..., X
q
, maka model linear multivariat adalah:


2 2 1 12 02 2
... c | | | + + + + =
q q
x x Y

p q qp p p p
x x Y c | | | + + + + = ...
1 1 0

dimana :
Y
j
: variabel respon/ tak bebas ke-j, j = 1, 2,..., p
X
l
: variabel prediktor/ bebas ke-l, l = 1, 2,..., q
1 q
| ,
2 q
| ,,
qp
| : parameter regresi yang nilainya belum diketahui

j
c : eror
dengan syarat 0 ) (
) (
=
i
E c , I
ik k i
o c c = ) , ( Cov
) ( ) (
i, k = 1, 2, , p

2.2 Akaikes Information Criterion Corrected (AICc)
Akaikes Information Criterion Corrected (AICc) merupakan pengembangan dari
Akaikes Information Criterion (AIC). Kriteria AICc memilih model terbaik dengan
mempertimbangkan banyakanya parameter di dalam model. Dengan menggunakan matriks
varian kovarian dari residual yang diperoleh dari meregresikan dengan variabel prediktor
kombinasi. Hafidi dan Mkhadri (2006) menyatakan besarnya AICc adalah sebagai berikut:
AICc
)) 1 ( (
2
)

(ln
+ +
+ + E =
p q n
d n
p n , (1)
dengan:

= matriks varian kovarian dari residual


n = jumlah pengamatan
p =jumlah variabel Y
q =jumlah variabel X
d = ) 1 ( 5 , 0 + + p p q p
1 1 1 11 01 1
... c | | | + + + + =
q q
x x Y
3

Kriteria pemilihan model terbaik yang didapatkan dari nilai AICc, semakin kecil nilai
AICc berarti semakin baik model yang digunakan.

2.3 Penyakit Kusta
Mycobacterium leprae merupakan agen penyebab penyakit kusta. Bakteri ini
ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen di Norwegia pada tahun 1873, merupakan bakteri
pertama yang diidentifikasi sebagai penyebab penyakit pada manusia (WHO, 2003). Kusta
memiliki dua tipe gejala klinis yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB). Pausibasilar
(PB) termasuk tipe kusta kering dan tidak menular. Tanda-tanda tipe PB adalah adanya
bercak seperti panu dan bila disentuh dengan kapas masih terasa. Sedangkan tipe gejala
klinis Multibasilar (MB) termasuk tipe kusta basah dan mudah menular. Tanda-tanda tipe
MB adalah adanya bercak putih atau kemerahan tersebar merata di seluruh badan, dan
kurang terasa bila disentuh dengan menggunakan kapas.

2.4 Interaksi Sosial
Murdiyatmoko dan Handayani (2004) menyatakan bahwa, Interaksi sosial adalah
hubungan antar manusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh yang menghasilkan
hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan struktur sosial.
Menurut Tim Sosiologi (2002), interaksi sosial dikategorikan ke dalam dua bentuk,
yaitu interaksi sosial yang bersifat asosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk - bentuk
asosiasi (hubungan atau gabungan) seperti kerja sama, akomodasi, dan asimilasi. Sedangkan
interaksi sosial yang bersifat disosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk - bentuk
pertentangan atau konflik seperti persaingan, kontravensi, dan konflik.
Karp dan Yoels (2007) menjelaskan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
interaksi sosial seperti jenis kelamin, usia, bentuk tubuh seseorang, pendidikan, pekerjaan,
dan penghasilan.

3. Metodologi
3.1 Sumber Data dan Variabel
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan menggunakan kuisioner dan data sekunder dari puskesmas Kecamatan
Brondong yang berupa data pasien kusta baru yang berobat tahun 2011. Variabel respon
yang digunakan dalam penelitian ini Y
1
(kerja sama), Y
2
(akomodasi), Y
3
(asimilasi), Y
4

(konflik yang timbul), Y
5
(daya saing) dan Y
6
(kontravensi). Sedangkan untuk variabel
prediktor yang digunakan adalah X
1
(jenis kelamin), X
2
(usia), X
3
(tipe gejala klinis PB atau
MB), X
4
(pendidikan terakhir), X
5
(pekerjaan), X
6
(penghasilan perbulan), X
7
(sebelum dan
setelah didiagnosa menderita kusta).

3.2 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien kusta yang berobat pada tahun 2011
di Puskesmas Kecamatan Brondong, Lamongan Jawa Timur, yaitu sebanyak 75 pasien.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria yaitu pasien
yang usianya > 14 tahun. Karena Usia > 14 tahun usia yang sudah mampu untuk mengenal
diri dan memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya (Kartono, 1990). Pasien
kusta yang tercatat di Puskesmas Kecamatan Brondong dan berusia > 14 tahun sebanyak 50
pasien.

3.3 Langkah Analisis
Langkah awal yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan pertama adalah
melakukan analisis deskriptif untuk mendapatkan karakteristik penderita kusta Kecamatan
Brondong, Lamongan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial.
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah uji validitas dan reliabilitas.
4

Untuk mencapai tujuan kedua adalah menentukan faktor-faktor yang berpengaruh
secara signifikan terhadap interaksi sosial dengan mengunakan analisis regresi multivariat,
langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai berikut:
a. Dalam analisis regresi multivariat pengujian yang pertama dilakukan adalah menguji
apakah antar variabel respon berkorelasi atau tidak dengan menggunakan uji Barletts.
b. Melakukan regresi secara parsial pada variabel. Dimana variabel prediktor yang tidak
signifikan tidak digunakan dalam menghitung AICc.
c. Melakukan pemilihan model terbaik dengan kriteria AICc.
d. Melakukan estimasi parameter model regresi multivariat.
e. Melakukan pengujian signifikansi parameter terhadap model dengan menggunakan
Wilks Lambda.
f. Melakukan pengujian asumsi residual IIDN.
g. Menginterpretasikan model yang telah diperoleh.
h. Membuat suatu kesimpulan.

4. Analisis dan Pembahasan
Analisis deskriptif yang pertama dilakukan pada variabel respon. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing variabel respon. Hasil analisis statistik
deskriptif setiap variabel respon dapat dilihat pada Tabel 4.1
Tabel 1. Deskriptif Variabel Respon
Variabel Respon (Y)
Sebelum didiagnosa kusta Setelah didiagnosa kusta
Mean Mean
Y
1
= Kerja sama
3,4 2,6
Y
2
= Akomodasi
3,5 4
Y3 = Asimilasi
4 3,1
Y4 = Konflik
1,7 1,3
Y5 = Daya Saing
3,9 2,8
Y6 = Kontravensi
2,1 2,8

Berdasarkan Tabel 1. dapat diketahui bahwa rata-rata interaksi sosial seseorang untuk
dimensi kerja sama sebelum didiagnosa menderita kusta sebesar 3,4 dan setelah didiagnosa
menderita kusta kerja samanya akan berkurang secara rata-rata menjadi 2,6. Hal ini dapat
diartikan bahwa sebelum didiagnosa menderita kusta rentang intensitas mengikuti kerja sama
berada pada rentang cukup sering sampai sering mengikuti kerja sama, namun setelah
didiagnosa menderita kusta intensitas seseorang mengikuti kerja sama berada pada rentang
jarang mengikuti kerja sama sampai cukup sering. Interaksi sosial seseorang untuk dimensi
akomodasi sebelum didiagnosa menderita kusta rata-rata sebesar 3,5 dan setelah didiagnosa
menderita kusta akomodasinya akan naik secara rata-rata menjadi 4. Hal ini dapat diartikan
bahwa sebelum didiagnosa menderita kusta akomodasi (dukungan atau perhatian) yang
diperoleh dari orang-orang terdekat berada pada rentang cukup baik sampai baik, namun
setelah didiagnosa menderita kusta akomodasi yang diterima penderita kusta dari orang-
orang terdekat meningkat menjadi baik. Begitu juga untuk dimensi asimilasi sebelum
didiagnosa menderita kusta rata-rata sebesar 4 dan setelah didiagnosa menderita kusta
asimilasinya turun secara rata-rata menjadi 3,1.
Interaksi sosial seseorang yang mengarah ke bentuk pertentangan untuk dimensi
konflik sebelum didiagnosa menderita kusta rata-rata sebesar 1,7 dan setelah didiagnosa
menderita kusta, konflik seseorang turun secara rata-rata menjadi 1,3. Sedangkan untuk
interaksi sosial seseorang yang mengarah ke bentuk pertentangan untuk dimensi daya saing
sebelum didiagnosa menderita kusta rata-rata sebesar 3,9 dan setelah didiagnosa menderita
kusta daya saing seseorang turun secara rata-rata menjadi 2,8. Dan untuk interaksi sosial
5

seseorang yang mengarah ke bentuk pertentangan untuk dimensi kontravensi sebelum
didiagnosa menderita kusta rata-rata sebesar 2,1 dan setelah didiagnosa menderita kusta,
kontravensi yang dialami penderita kusta akan naik secara rata-rata menjadi 2,8.

4.1 Deskriptif Penderita Kusta Kecamatan Brondong, Lamongan
Berdasarkan hasil pengelompokkan usia dapat diketahui bahwa mayoritas penderita
kusta berusia 30-60 tahun yaitu sebanyak 23 orang dan jumlah penderita paling sedikit pada
kelompok usia > 60 tahun dengan mayoritas berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 54%
atau sebanyak 27 orang. Pada umumnya tingkat pendidikan penderita kusta paling banyak
adalah SLTP, dan paling sedikit adalah perguruan tinggi. Jika dijumlahkan penderita kusta
yang tidak sekolah dan SD sebanyak 19 orang atau sekitar 38%. Hal ini menunjukkan bahwa
rata-rata tingkat pendidikan penderita kusta adalah rendah. Untuk tingkat pekerjaan dapat
diketahui bahwa, sebanyak 14 penderita kusta masih sekolah, 10 penderita adalah bekerja
sebagai petani, 5 penderita sebagai wiraswasta, 8 penderita bekerja di swasta, dan 10 sisanya
adalah lain-lain (ibu rumah tangga dan tidak bekerja). Dengan mayoritas berpenghasilan
kecil yaitu < Rp 500.000. Sebanyak 38 orang atau sekitar 76% penderita kusta di Kecamatan
Brondong memiliki tipe gejala klinis MB (tipe kusta basah dan mudah menular) dan sisanya
24% adalah tipe PB (tipe kusta kering dan tidak menular). Karena tingkat pengetahuan
penderita tentang penyakit kusta rendah, mengakibatkan penderita tidak tahu cara mengobati
dan mengidentifikasi penyakit tersebut. Akibatnya, ketika didiagnosa menderita kusta
mayoritas penyakitnya sudah bertipe MB. Sehingga pemerintah atau lembaga-lembaga yang
terkait sebaiknya memberikan sosialisasi tentang penyakit kusta.

4.2 Analisis Regresi Multivariat
Langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah melakukan uji validitas dan
reliabilitas terhadap kuisioner yang digunakan. Berikut merupakan uji validitas dan uji
reliabilitas:
4.2.1 Uji Validitas dan Reliabitias
Uji validitas merupakan suatu uji yang digunakan untuk mengukur sejauh mana
suatu alat ukur mampu mengukur apa yang ingin diukur, alat ukur tersebut berupa kuisioner.
Hipotesis:
H
0
: atribut tidak mengukur variabel yang sama (tidak valid)
H
1
: atribut mengukur variabel yang sama (valid)
Taraf signifikansi : o = 0,05
Daerah kritis :
Tolak H
0
jika r
hit
> 0,197

Tabel 2. Uji Validitas
Faktor Nilai Korelasi (r) Nilai r
0,05(98)
Keputusan
Kerja sama 0,734 0,197 Valid
Akomodasi 0,295 0,197 Valid
Asimilasi 0,736 0,197 Valid
Konflik 0,343 0,197 Valid
Daya Saing 0,744 0,197 Valid
Kontravensi 0,611 0,197 Valid
Tabel 2. menunjukkan bahwa berdasarkan dari 50 responden, diperoleh nilai korelasi
(r
hitung
) yang lebih besar dari r
0,05(98)
pada item pertanyaan 1 sampai 6. Sehingga sesuai dengan
6

hipotesis, maka keputusannya adalah tolak H
0
, yang berarti seluruh item pertanyaan pada
interaksi sosial sudah valid.

Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas merupakan suatu uji yang digunakan untuk mengukur sejauh mana
suatu hasil pengukuran relatif konsisten dan dapat dipercaya apabila pengukuran diulang dua
kali atau lebih.
Hipotesis :
H
0
: Hasil pengukuran tidak konsisten
H
1
: Hasil pengukuran konsisten
Taraf signifikansi : o = 0,05
Daerah kritis :
Tolak Ho jika Alpha Cronbach
hitung
0,6

Tabel 3. Nilai Reliabilitas
Variabel
Alpha
Cronbach
hitung

Keputusan
Interaksi Sosial 0,616 Reliabel
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa diperoleh nilai Alpha Cronbachs
hitung
sebesar
0,616. Karena nilai alpha cronbach tersebut lebih besar atau sama dengan dari 0,6 maka nilai
reliabilitas cukup besar, sehingga dapat disimpulkan hasil pengukuran telah konsisten.
Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, langkah selanjutnya untuk analisis
regresi multivariat adalah melakukan pengujian pada semua variabel respon yang digunakan
dalam penelitian apakah antar variabel respon tersebut berkorelasi atau tidak dengan uji
Barlett. Berikut merupakan hasil pengujian dengan menggunakan Barlett Sphericity:
Hipotesis :
H
0
: R=I
H
1
: RI
Statistik Uji :
R
p
n
hitung
ln
6
5 2
1
2
|
.
|

\
| +
= _ (2)

Daerah Penolakan :
Tolak H
0
jika nilai
2
15 ; 05 , 0
2
_ _ >
hitung

Tabel 3. Uji Barlett Sphericity
Barletts Test of Sphericity Approx. Chi- Square 126,961
Df 15
P-value 0,000
2
15 ; 05 , 0
_
24,996

Hasil uji Barletts di atas dapat diketahui, bahwa nilai
2
hitung
_ sebesar 126,961 lebih
besar dari nilai
2
15 ; 05 , 0
_ . Berdasarkan hipotesis di atas dapat diambil keputusan untuk menolak
H
0
, sehingga dapat disimpulkan bahwa matriks korelasi tidak membentuk matriks identitas
atau dapat diartikan antar variabel respon dalam penelitian ini saling berkorelasi. Sehingga
analisis multivariat dapat digunakan pada penelitian ini.



7

4.2.2 Pemilihan Model dengan Kriteria AICc
Model regresi yang dibentuk adalah model regresi dengan melibatkan kombinasi dari
variabel variabel prediktor. Mulai dengan penggunaan satu variabel prediktor sampai tiga
belas variabel prediktor. Untuk mendapatkan model regresi multivariat terbaik digunakan
kriteria AICc. Sebelum menghitung nilai AICc, dilakukan regresi secara parsial beberapa
variabel. Dimana variabel prediktor yang tidak signifikan tidak digunakan dalam menghitung
AICc. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan kombinasi model yang lebih sedikit.
Berdasarkan variabel prediktor yang signifikan terbentuk 15 macam kombinasi model
dengan variabel prediktor yang digunakan adalah usia (X
2
), tipe gejala klinis penyakit kusta
(X
3
), penghasilan (X
6
) dan sebelum serta setelah didiagnosa kusta (X
7
) dan
menghubungkannya dengan variabel respon yaitu kerja sama (Y
1
), akomodasi (Y
2
), asimilasi
(Y
3
), konflik (Y
4
), daya saing (Y
5
) dan Kontravensi (Y
6
). Melalui perhitungan AICc,
diperoleh nilai AICc minimum sebesar 447,429 dengan variabel prediktor yang berpengaruh
adalah variabel X
2
, X
3
dan X
7
.

4.2.3 Penaksiran Parameter
Untuk mendapatkan model regresi multivariat yang menggambarkan hubungan antara
variabel prediktor dan respon perlu dilakukan estimasi parameter. Hasil estimasi parameter
model regresi multivariat disajikan dalam Tabel 4 yaitu sebagai berikut:
Tabel 4. Estimasi Parameter Model
Parameter 1

Y
2

Y
3

Y
4

Y
5

Y
6

Y
0

| 3,094 3,979 4,072 2,062 3,785 3,408


2

|
,002 -,014 -,001 -,011 ,005 ,009
3

| 1,010 ,040 ,005 ,078 -,075 ,530


7

| -,860 ,510 -,930 -,346 -1,190 -,680



Berdasarkan Tabel 4. diperoleh model regresi multivariat untuk masing-masing
variabel respon. Model yang terbentuk yaitu sebagai berikut :
diagnosa 86 , 0 tipe 01 , 1 usia 002 , 0 094 , 3

1
+ + = Y
diagnosa 51 , 0 tipe 04 , 0 usia 014 , 0 979 , 3

2
+ + = Y
diagnosa 93 , 0 tipe 005 , 0 usia 001 , 0 072 , 4

3
+ = Y
diagnosa 346 , 0 tipe 078 , 0 usia 011 , 0 062 , 2

4
+ = Y
diagnosa 19 , 1 tipe 075 , 0 usia 005 , 0 785 , 3

5
+ = Y
diagnosa 68 , 0 tipe 53 , 0 usia 009 , 0 408 , 3

6
+ + = Y
Model di atas, dapat disimpulkan bahwa yang mempengaruhi interaksi sosial (kerja sama,
akomodasi, asimilasi, konflik, daya saing, dan kontravensi) pada penderita kusta di
Kecamatan Brondong Lamongan adalah usia, tipe gejala klinis penyakit kusta (PB atau MB)
dan diagnosa (sebelum dan sesudah didiagnosa menderita kusta). Sedangkan faktor faktor
lain seperti jenis kelamin, pendidikan, dan penghasilan tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap interaksi sosial.
Model pertama dapat diinterpretasikan bahwa penyakit kusta dapat memberikan
pengaruh negatif pada keikutsertaan organisasi maupun kegiatan yang melibatkan banyak
orang. Seseorang yang telah didiagnosa menderita kusta (dummy bernilai 1), interaksi
sosialnya (kerja sama) akan turun sebesar 0,86 jika faktor lain seperti usia dan tipe gejala
klinis penyakit kusta tidak mengalami perubahan. Sedangkan interaksi sosial (kerja sama)
untuk penderita kusta dengan tipe MB (dummy bernilai 0) jika usia sebesar 1 tahun, maka
interaksi sosial (kerja sama) akan bernilai sebesar 2,236. Nilai 2,236 diperoleh dari
8

) 1 ( 86 , 0 ) 0 ( 01 , 1 ) 1 ( 002 , 0 094 , 3

1
+ + = Y . Sedangkan untuk tipe PB (dummy bernilai 1), kerja
samanya akan bernilai 3,246. Yang artinya seseorang dengan menderita kusta tipe PB akan
lebih banyak berinteraksi bila dibandingkan dengan seseorang yang terkena kusta tipe MB.
Untuk model lainnya dapat diinterpretasikan dengan cara yang sama seperti model
sebelumnya.

4.2.4 Uji Signifikansi Parameter
Langkah selanjutnya adalah melakukan uji signifikansi parameter yang bertujuan
untuk mengetahui apakah parameter berpengaruh secara signifikan dalam model. Uji
signifikansi parameter dimulai dari uji secara serentak, kemudian dilanjutkan dengan uji
parsial. Pengujian secara serentak dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah secara
keseluruhan parameter signifikan dalam model.
Hipotesis:
H
0
:
76 36 26 72 32 22 71 31 21
... | | | | | | | | | = = = = = = = = = = 0
H
1
:

Minimal ada satu 0 =
qp
|
Statistik Uji:
'

y y n
hitung

=
+
= A
Y Y'
Y X' ' Y Y'
H E
E
(3)
Daerah penolakan :
Tolak H
0
jika
1 , , ,
A s A
q n q p hitung o
.


Pada pengujian hipotesis diperoleh nilai Wilks Lambda sebesar 0,365 yang lebih
kecil dari nilai
96 , 3 , 6 , 05 , 0
A yaitu 0,734 maka keputusannya adalah menolak H
0
yang berarti
minimal ada satu parameter yang signifikan berpengaruh terhadap model. Besarnya
hubungan antara variabel respon dan variabel prediktor diperoleh dari nilai
635 , 0 365 , 0 1
2
= =
A
q . Nilai
2
A
q

sebesar 0,635 berada pada interval 0 dan 1. Nilai
2
A
q
Semakin mendekati 1 berarti hubungan antara variabel respon dan variabel prediktor
semakin erat.
Untuk mengetahui apakah model regresi multivariat yang diperoleh layak digunakan
atau tidak, untuk itu dilakukan pengujian terhadap parameter model secara parsial. Pengujian
ini bertujuan untuk melihat pengaruh setiap variabel prediktor terhadap variabel-variabel
respon secara parsial.
Hipotesis yang digunakan sebagai berikut:
- Variabel usia penderita kusta (X
2
)
H
0
: 0
26 25 24 23 22 21
= = = = = = | | | | | |
H
1
: Minimal ada satu 0 =
qp
|
: 0,05
- Variabel dummy untuk tipe gejala klinis penyakit kusta MB atau PB (X
3
)
H
0
: 0
36 35 34 33 32 31
= = = = = = | | | | | |
H
1
: Minimal ada satu 0 =
qp
|
: 0,05
- Variabel dummy sebelum atau setelah didiagnosa menderita kusta (X
7
)
H
0
: 0
76 75 74 73 72 71
= = = = = = | | | | | |
H
1
: Minimal ada satu 0 =
qp
|
: 0,05


9

Tabel 4. Hasil Perhitungan Wilks Lambda
Wilks Lambda
98 , 1 , 6 , 05 , 0
A
P-Value

X
2
0,828 0,8751 0,007

X
3
0,815 0,8751 0,004

X
7
0,542 0,8751 0,000


Tabel 4 merupakan hasil pengujian parameter secara parsial dengan menggunakan
statistik uji Wilks Lambda, dimana nilai Wilks Lambda dari masing-masing variabel kurang
dari nilai
98 , 1 , 6 , 05 , 0
A . Sesuai dengan hipotesis yang ada, maka diambil keputusan untuk
menolak H
0
. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel berpengaruh secara
signifikan terhadap interaksi sosial (kerja sama, akomodasi, asimilasi, konflik, daya saing,
dan kontravensi) dan ketiga variabel tersebut adalah variabel usia penderita kusta, variabel
dummy untuk tipe gejala klinis penyakit kusta, dan variabel dummy sebelum atau setelah
didiagnosa menderita kusta.

4.2.5 Uji Asumsi Residual
Setelah dilakukan estimasi parameter model langkah selanjutnya yaitu pengujian
asumsi residual. Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi adalah normal multivariate, identik,
dan independen.
Normal Multivariat
Salah satu asumsi model regresi multivariat adalah matriks residual berdistribusi
normal multivariat dengan pengujian sebagai berikut :
Hipotesis:
H
0
: Residual data berdistribusi normal multivariat
H
1
: Residual data tidak berdistribusi normal multivariat

Setelah dilakukan pengujian distribusi normal multivariat dengan membuat q-q plot
dari nilai
2
i
d , diperoleh nilai
2
i
d yang kurang dari
2
5 , 0 ; p
_

sebanyak 51% maka keputusan
yang diambil adalah gagal menolak H
0
. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada residual
memenuhi asumsi distribusi normal multivariat.

Identik
Setelah melakukan pengujian asumsi ditribusi normal multivariat, asumsi lain yang
harus dipenuhi adalah matrik varian kovarian residual yang homogen. Untuk pengujian
matriks varian kovarian residual dilakukan pengujian dengan menggunakan statistik uji
Boxs M (Morrison, 2005).
Hipotesis:
H
0
: = = = = = =
6 5 4 3 2 1

H
1
: minimal ada satu
l k
E = E untuk l k =
Hasil pengujian kehomogenan matrik varian kovarian dengan menggunakan Boxs
M didapatkan nilai u sebesar 120,681, karena nilai u <
) 1 6 ( 6 ) 1 6 (
2
1
, + o
_ maka diambil keputusan
gagal menolak H
0
. Sehingga dapat disimpulkan matriks varians-kovarian residual data
homogen.
Independen
Pengujian asumsi residual selanjutnya, selain asumsi residual berdistribusi normal
multivariat, matrik varian kovarian residual data homogen dan asumsi residual data bersifat
10

independent (saling bebas) juga harus dipenuhi. Pengujian asumsi residual data bersifat
independent ini dilakukan menggunakan uji Bartlett Spericity (Morrison, 2005)
Hipotesis :
H
0
: R=I
H
1
: RI
Hasil pengujian independen pada matriks varians dengan menggunakan Bartlett
Spericity diperoleh nilai
2
hitung
_ sebesar 87,165, karena nilai
( )
2
2 / 1 6 6 , 05 . 0
2

> _ _
hitung
maka diambil
keputusan untuk tolak H
0
. Sehingga dapat disimpulkan matriks varians-kovarian residual
dependen. Hal ini berarti ada kecenderungan kesamaan jawaban antara responden satu
dengan yang lain dalam hal interaksi sosial.

4.2.6 Uji Berpasangan 2 Sampel t
Uji berpasangan ini dilakukan untuk mengetahui apakah antara sebelum dan sesudah
didiagnosa kusta untuk interaksi sosial penyandang kusta berbeda atau tidak. Uji
berpasangan dilakukan pada masing-masing dimensi interaksi sosial. Hipotesis yang
digunakan sebagai berikut :
H
0
:
2 1
=
H
1
:
2 1
=
: 0,05
Statistik Uji :
( ) ( )
( ) ( )
2 1
2 1 2 1
/ 1 / 1 n n S
X X
t
p
hitung
+

=


Daerah Penolakan : tolak H
0
jika
hitung
t >
) 98 ( 025 , 0
t atau
hitung
t <
) 2 ( ,
2
2 1
+

n n
t
o
yaitu
hitung
t > 1,98 atau
hitung
t < -1,98

Tabel 5. Hasil Perhitungan Uji t
Dimensi Keterangan Mean
p
S
hitung
t
Kerja sama
Sebelum 3,42
1,29 3,32
Setelah 2,56
Akomodasi
Sebelum 3,48
0,96 -2,64
Setelah 3,99
Asimilasi
Sebelum 4,03
0,79 5,88
Setelah 3,10
Konflik
Sebelum 1,69
0,74 2,33
Setelah 1,34
Daya saing
Sebelum 3,94
0,94 6,34
Setelah 2,75
Kontravensi
Sebelum 3,86
0,80 4,24
Setelah 3,18

Tabel 5. merupakan hasil pengujian berpasangan 2 sampel t, dimana nilai
hitung
t dari
masing-masing dimensi kurang dari -1,98 atau lebih besar dari 1,98. Sesuai dengan hipotesis
yang ada, maka diambil keputusan untuk menolak H
0
. Yang dapat diartikan bahwa masing-
masing dimensi interaksi sosial sebelum didiagnosa kusta berbeda dengan setelah didiagnosa
kusta. Hal ini dapat disimpulkan bahwa penyakit kusta dapat mempengaruhi interaksi sosial
11

seseorang. Intensitas kerja sama, kemampuan berbaur, dan daya saing seseoarang akan
berkurang jika orang tersebut terdiagnosa menderita kusta.

5. Kesimpulan
Hasil analisis yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Interaksi sosial seseorang setelah didiagnosa menderita kusta untuk dimensi kerja sama,
asimilasi, konflik dan daya saing secara rata-rata turun yang masing-masing menjadi 2,6
satuan, 3,1 satuan, 1,3 satuan dan 2,8 satuan. Sedangkan interaksi sosial setelah
didiagnosa menderita kusta untuk dimensi akomodasi dan kontravensi secara rata-rata
naik yang masing-masing sebesar 4 dan 2,8 satuan. Selain itu dari karakteristik
responden dapat disimpulkan bahwa usia penderita kusta di Kecamatan Brondong
Lamongan berkisar 30-60 tahun dengan mayoritas berjenis kelamin laki-laki.
Sedangkan tipe gejala klinis penyakit kusta di Kecamatan Brondonng Lamongan adalah
tipe multibasilar (MB). Tipe ini adalah tipe kusta basah dan mudah menular. Penderita
kusta di Brondong pada umumnya berpenghasilan rendah yaitu <Rp 500.000/bulan
dengan tingkat pendidikan terakhir paling dominan adalah SLTP.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial seperti kerja sama, akomodasi,
asimilasi, konflik, daya saing dan kontravensi adalah usia, tipe gejala klinis (PB atau
MB), dan diagnosa kusta (sebelum dan setelah didiagnosa kusta) dengan model sebagai
berikut:
diagnosa 86 , 0 tipe 01 , 1 usia 002 , 0 094 , 3

1
+ + = Y
diagnosa 51 , 0 tipe 04 , 0 usia 014 , 0 979 , 3

2
+ + = Y
diagnosa 93 , 0 tipe 005 , 0 usia 001 , 0 072 , 4

3
+ = Y
diagnosa 346 , 0 tipe 078 , 0 usia 011 , 0 062 , 2

4
+ = Y
diagnosa 19 , 1 tipe 075 , 0 usia 005 , 0 785 , 3

5
+ = Y
diagnosa 68 , 0 tipe 53 , 0 usia 009 , 0 408 , 3

6
+ + = Y
Melalui model yang diperoleh dapat diketahui bahwa penyakit kusta dapat memberikan
dampak yaitu berkurangnya intensitas interaksi sosial seseorang, khususnya untuk
dimensi kerja sama, asimilasi, konflik dan daya saing. Sedangkan penderita kusta
dengan tipe MB interaksi sosialnya akan lebih rendah bila dibandingkan dengan tipe
PB.

6. Daftar Pustaka
Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2008. Laporan kusta tahun 2008. Dinkes Jatim. Surabaya.

Fajar, N. A. 2004. Pengaruh Faktor Sosial Budaya dalam Keluarga terhadap
Pengobatan Dini dan Keteraturan Berobat pada Penderita Kusta. FK UNAIR.
Surabaya.

Hafidi, B. dan Mkhadri, A. 2006. A Corrected Akaike Criterion Baed on Kull backs
Symmetric Divergence : Application in Time Series, Multiple and Multivariate
Regression, Computational Statistics and Data Analysis 50, hal 1524-1550.

Johnson, R. A., & Wichern, D. 2007. Applied Multivariate Statistical Analysis. New
Jersey: Prentice Hall.

Karp dan Yoels. 2007. Tiga Jenis Aturan dalam Interaksi Sosial, <URL:
http://alfinnitihardjo.ohlog.com/interaksi-sosial.oh112676.html> [diunduh 7 Februari
2011].
12


Kartono. 1990. Batasan Usia Remaja, <URL: http://belajarpsikologi.com/batasan-usia-
remaja/> [diunduh 7 Februari 2011].

Kasmadji. 2002. Studi tentang Hubungan antara Pengetahuan dan Gangguan Harga
Diri pada Pasien Morbus Hansen di Poli Kulit dan Kelamin. Program Studi Ilmu
Keperawatan FK UNAIR. Surabaya.

Maryawati dan Suryawati. 2003. Pengertian Interaksi Sosial, <URL: http://jurnal-
sdm.blogspot.com/2009/05/interaksi-sosial-definisi-bentuk-ciri.html> [diunduh 7
Februari 2011].

Morrison, D. F. 2005. Multivariate Statistical Methods Fourth Edition. The Wharton
School University of Pennsylvania.

Murdiyatmoko dan Handayani. 2004. Pengertian Interaksi Sosial, <URL: http://jurnal-
sdm.blogspot.com/2009/05/interaksi-sosial-definisi-bentuk-ciri.html> [diunduh 7
Februari 2011].

Puskesmas Brondong. 2010. Laporan kusta tahun 2010. UPT Puskesmas Brondong,
kecamatan Brondong kabupaten Lamongan.

Rencher, A. R. 2002. Methods of Multivariate Analysis Second Edition. John Wiley &
Sons, Inc. New York.

Tim Sosiologi. 2002. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial, <URL: http://jurnal-
sdm.blogspot.com/2009/05/interaksi-sosial-definisi-bentuk-ciri.html> [diunduh 7
Februari 2011].

Walpole, E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama :
Jakarta.

World Health Organization (WHO). 1998. WHO Expert Committee on Leprosy. 7
th
ed.
WHO Technical Report Series. No. 874. Geneva.

World Health Organization (WHO)-Leprosy Group. 2003. Leprosy. In: Cook GC.,
Zumla A. (Eds). Mansons Tropical Diseases. 21
st
ed. Saunders. London. p.1065-1084.

World Health Organization (WHO). 2008. Weekly epidemiological report. 83(33): 293-
300.

Anda mungkin juga menyukai