TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Trombosit
Darah manusia terdiri atas unsur-unsur padat berupa eritrosit, leukosit dan
trombosit, yang tersuspensi dalam media cair yang disebut plasma. Plasma itu
sendiri terdiri dari air, elektrolit, metabolit, nutrien, protein, dan hormon. Plasma
manusia mempunyai kadar total protein sekitar 7,0 7,5 g/dL, yang membentuk
bagian utama unsur padat dalam plasma (Rand dan Murray, 2003).
Trombosit dihasilkan dari sumsum tulang melalui fragmentasi sitoplasma
megakariosit. Megakariosit berasal dari megakarioblas yang merupakan hasil
diferensiasi dari sel induk hemopoietik. Megakariosit mengalami pematangan
dengan replikasi inti endomitotik, memperbesar volume sitoplasma sejalan dengan
penambahan lobus inti menjadi dua kali lipat. Pada berbagai stadium dalam
perkembangannya, sitoplasma menjadi granular dan trombosit dilepaskan. Tiap
megakariosit dapat menghasilkan kurang-lebih 4000 trombosit. Rentang waktu
sejak diferensiasi sel induk hemopoietik sampai produksi trombosit berkisar
selama 10 hari.
Pengatur utama produksi trombosit adalah trombopoietin, yang dihasilkan
oleh hati dan ginjal. Trombopoietin meningkatkan jumlah dan kecepatan maturasi
dari megakariosit.
Jumlah trombosit normal adalah sekitar 250.000/mm
3
(atau sekitar
250x10
9
/L) dengan kisaran antara 150.000 hingga 400.000/mm
3
. Lama hidup
trombosit yang normal adalah sekitar 7 10 hari.
Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama respon
hemostasis normal jika terjadi cedera pada vaskular. Jika tidak ada trombosit,
dapat terjadi kebocoran darah spontan dari pembuluh darah kecil. Reaksi
trombosit berupa adhesi, sekresi, agregasi, dan fusi serta aktivitas prokoagulannya
sangat penting untuk fungsi trombosit tersebut (Hoffbrand dkk., 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.2. Perubahan Fisiologis dari Aspek Kadar Trombosit pada Kehamilan
Kehamilan adalah suatu rangkaian kejadian yang baru terjadi jika ovum dibuahi
oleh sperma, dan ovum tersebut kemudian berkembang hingga menjadi janin yang
aterm. Masa kehamilan dimulai sejak konsepsi hingga kelahiran. Hamil normal
berlangsung selama kurang-lebih 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari), yang
dihitung dari hari pertama haid terakhir (Guyton, 2007).
Normalnya pada kehamilan, kerja dari sumsum tulang meningkat (Guyton,
2006), sehingga jumlah sel-sel yang dihasilkan oleh sumsum tulang meningkat,
seperti sel darah merah dan trombosit (Anwar, 2004). Namun selain itu juga
terjadi peningkatan volume darah, hingga dapat mencapai 30% di atas normal
(Guyton, 2006). Hal ini mengakibatkan pengenceran darah, sehingga terlihat
kadar dari komponen-komponen darah, termasuk trombosit, menurun dalam
pemeriksaan.
2.3. Pre-eklamsia dan Eklamsia
2.3.1. Definisi
Menurut Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (1993) dalam
Tanjung (2004), pre-eklamsia adalah suatu sindrom yang terdiri dari
proteinuria dan hipertensi dengan atau tanpa edema, yang dijumpai pada
ibu hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu. Ibu hamil tersebut
belum pernah menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskular atau hipertensi
sebelumnya (Mochtar, 1998). Sedangkan eklamsia adalah pre-eklamsia
ditambah dengan adanya kejang tonik-klonik umum yang menyerang ibu
hamil tersebut (Leveno et al., 2003)
2.3.2. Etiologi
Etiologi dari pre-eklamsia dan eklamsia masih belum jelas hingga sekarang.
Banyak teori yang telah dikemukakan oleh para ahli, namun masih belum
bisa memberikan jawaban yang memuaskan.
Teori yang dapat diterima seharusnya dapat menjelaskan tentang:
Universitas Sumatera Utara
a. penyebab kejadian pre-eklamsia meningkat pada primigravida,
kehamilan ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa;
b. penyebab kejadian pre-eklamsia bertambah sesuai dengan
bertambahnya usia kehamilan, yang umumnya terjadi pada triwulan III;
c. penyebab terjadinya perbaikan dari gejala-gejala penyakit jika terjadi
kematian janin dalam kandungan;
d. penyebab kejadian pre-eklamsia menjadi lebih rendah pada kehamilan
selanjutnya; dan
e. penyebab munculnya hipertensi, proteinuria, edema, dan konvulsi
sampai koma pada keadaan eklamsia.
Dari hal-hal tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya pre-eklamsia (Mochtar, 1998).
Leeman dan Fontaine (2008) menyebutkan beberapa teori tentang
patogenesis pre-eklamsia, yaitu
a. implantasi plasenta yang abnormal (defek pada trofoblas dan arteriol
spiralis);
b. faktor angiogenik (meningkatnya sFlt-1 atau soluble fms-like tyrosine
kinase 1, menurunnya kadar placental growth factor);
c. maladaptasi kardiovaskular dan vasokonstriksi;
d. predisposisi genetik (maternal, paternal, trombofilia);
e. intoleransi imunologis antara fetoplasental dan jaringan maternal;
f. aktivasi trombosit; dan
g. kerusakan atau disfungsi endotel vaskular.
Meskipun penyebabnya masih belum jelas, namun terdapat predisposisi
pada beberapa kelompok, yaitu:
a. pasien primigravida,
b. pasien dengan risiko yang meningkat sesuai usia,
c. terdapat riwayat keluarga dengan pre-eklamsia atau hipertensi,
d. pasien dengan riwayat hipertensi sebelumnya, khususnya pada penyakit
ginjal atau kelainan jaringan ikat,
e. kehamilan ganda,
Universitas Sumatera Utara
f. kehamilan dengan diabetes,
g. mola hidatidiformis, dan
h. sensitisasi rhesus yang berat.
(Hanretty, 2003)
2.3.3. Gejala Klinis dan Klasifikasi
Sesuai dengan definisinya, maka gejala utama dari pre-eklamsia adalah
hipertensi, proteinuria, dan edema yang muncul pada kehamilan trimester II
atau pada usia kehamilan di atas 20 minggu. Namun terdapat tanda dan
gejala lain, yang sesuai dengan kelainan-kelainan organ yang terjadi karena
pre-eklamsia, seperti oliguria atau anuria, trombositopenia, kejang (pada
eklamsia), peningkatan kadar asam urat, dan gangguan visus (Tanjung,
2004).
Gejala-gejala utama dari pre-eklamsia, yang juga merupakan kriteria
dari klasifikasi pre-eklamsia ringan adalah sebagai berikut.
a. Hipertensi adalah tekanan darah yang meningkat di atas tekanan darah
normal. Hipertensi dapat ditegakkan jika terdapat kenaikan sistolik 30
mmHg atau lebih di atas tekanan yang biasa ditemukan atau mencapai
140 mmHg atau lebih, atau terdapat kenaikan diastolik 15 mmHg atau
lebih di atas tekanan yang biasa ditemukan atau mencapai 90 mmHg
atau lebih. Pengukuran tekanan darah tersebut minimal dilakukan
sebanyak dua kali dengan selang waktu enam jam dalam keadaan
istirahat.
b. Edema adalah terdapatnya sejumlah besar cairan yang abnormal pada
ruang interstisial pada tubuh. Edema biasanya dapat dinilai dari
kenaikan berat badan, yaitu bila terjadi kenaikan berat badan sebanyak
satu kilogram per minggu, serta adanya pembengkakan pada daerah
kaki, jari tangan, dan wajah.
c. Proteinuria adalah terdapatnya protein di dalam urin, yang dalam
keadaan normal seharusnya tidak ditemukan. Proteinuria dapat
ditegakkan jika ditemukan protein dengan konsentrasi lebih dari 0,3
Universitas Sumatera Utara
g/liter dalam urin 24 jam, ataupun didapatkan hasil 1+ atau 2+ pada
pemeriksaan kualitatif terhadap urin kateter atau midstream yang
diambil minimal dua kali dengan selang waktu enam jam.
Sedangkan kriteria untuk klasifikasi pre-eklamsia berat adalah sebagai
berikut.
a. Ditemukan tekanan sistolik yang mencapai 160 mmHg atau lebih, atau
tekanan diastolik yang mencapai 100 mmHg atau lebih.
b. Ditemukan proteinuria 5 g atau lebih dalam urin 24 jam, ataupun
dengan pemeriksaan kualitatif didapatkan hasil 3+ atau 4+.
c. Oliguria, produksi urin sekitar 400 mL atau kurang dalam 24 jam.
d. Mengalami keluhan serebral, gangguan penglihatan, atau nyeri di
daerah epigastrium.
e. Edema paru atau sianosis.
Untuk gejala klinis eklamsia, sama dengan pre-eklamsia, kemudian
diikuti dengan serangan kejang.
2.3.4. Diagnosis
Diagnosis pre-eklamsia secara dini seharusnya diutamakan agar angka
morbiditas dan mortalitas ibu dan anaknya diharapkan menurun. Meskipun
kejadian pre-eklamsia sulit dicegah, namun keadaan pre-eklamsia berat dan
eklamsia biasanya dapat dicegah dengan diagnosis dini pada penyakit dan
penanganan yang tepat.
Secara umum, diagnosis pre-eklamsia didasarkan pada ditemukannya
dua dari tiga tanda utama pre-eklamsia, yaitu hipertensi, edema, dan
proteinuria, namun jika terdapat satu tanda yang muncul, seharusnya dapat
menimbulkan kewaspadaan, karena tiap tanda dapat merupakan bahaya,
meskipun ditemukan tersendiri.
Untuk mendiagnosis eklamsia umumnya tidak terlalu sulit. Dengan
adanya gejala dan tanda dari pre-eklamsia, yang diikuti dengan serangan
kejang, maka sudah bisa ditegakkan diagnosis eklamsia. Namun kejang
Universitas Sumatera Utara
pada eklamsia harus dibedakan dengan kejang akibat lain, seperti epilepsi
(Wibowo dan Rachimhadhi, 2006).
2.3.5. Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit pre-
eklamsia adalah sebagai berikut (Leveno, 2003).
a. Terminasi kehamilan dengan kemungkinan trauma yang terkecil untuk
ibu dan janin yang dikandungnya.
b. Lahirnya bayi yang nantinya dapat berkembang dengan baik.
c. Pemulihan kesehatan ibu yang sempurna.
Pada beberapa kasus tertentu, khususnya untuk wanita dengan usia
kehamilan yang cukup, ketiga tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik
dengan melakukan induksi kelahiran.
Penatalaksanaan untuk pre-eklamsia dibagi berdasarkan berat ringannya
pre-eklamsia (Mochtar, 1998). Untuk pre-eklamsia ringan, penanganan
yang diberikan hanya bersifat simtomatis, dan penderita dapat dirawat inap
atau rawat jalan dengan frekuensi pemeriksaan yang lebih sering.
Penanganan pada penderita pre-eklamsia ringan adalah dengan istirahat di
tempat tidur, pemberian makanan dengan kadar garam yang rendah, dan
dapat dilakukan pemberian obat-obatan seperti valium dan fenobarbital,
agar penderita menjadi tenang. Namun bila gejala masih menetap, penderita
tetap dirawat inap, dan dilakukan pemantauan pada keadaan janin, kadar
estriol urin, ultrasonografi dan sebagainya. Jika keadaan telah
memungkinkan, maka dapat dilakukan induksi kelahiran pada usia
kehamilan di atas 37 minggu.
Untuk penanganan pada pre-eklamsia berat, dapat dibagi sebagai
berikut.
a. Usia kehamilan kurang dari 37 minggu
1. Jika janin belum menunjukkan tanda-tanda kematangan paru-paru,
maka yang dilakukan adalah menyuntikkan sulfas magnesikus
dengan dosis 8 g intramuskuler, diikuti dengan injeksi tambahan 4 g
Universitas Sumatera Utara
intramuskuler tiap empat jam (jika tidak ada kontraindikasi). Jika
terdapat perbaikan, maka pemberian sulfas magnesikus dapat
dilanjutkan selama 24 jam sampai dicapai kriteria pre-eklamsia
ringan. Kemudian ibu dirawat, dan keadaannya terus dipantau.
Namun jika tidak ada perbaikan, maka dapat dilakukan terminasi
kehamilan tergantung keadaan.
2. Jika pada pemeriksaan sudah terdapat tanda-tanda kematangan
paru-paru janin, maka penanganan sama ddengan pada kasus
kehamilan di atas 37 minggu.
b. Usia kehamilan di atas 37 minggu
1. Penderita disuruh rawat inap, istirahat mutlak, diberikan makanan
dengan kadar garam rendah dan tinggi protein, diberikan injeksi
intramuskuler sulfas magnesikus 8 g yang dapat diulang dengan
dosis 4 g tiap 4 jam, infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
2. Lakukan pemberian obat anti hipertensi.
3. Diuretika hanya diberikan jika ada edema umum, edema paru, dan
gagal jantung kongestif.
4. Setelah pemberian sulfas magnesikus yang kedua, segera lakukan
induksi kelahiran. Pada saat kelahiran, ibu dilarang mengedan,
sehingga kala II dipersingkat dengan ekstraksi vakum dan forsep.
5. Pemberian sulfas magnesikus dilanjutkan dengan dosis 4 g tiap 4
jam dalam 24 jam postpartum, jika tidak ada kontraindikasi.
6. Jika ada indikasi obstetrik, lakukan seksio sesarea.
Tujuan utama pengobatan eklamsia adalah menghentikan berulangnya
serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang
aman setelah keadaan ibu sudah stabil dan memungkinkan untuk
melakukan persalinan.
2.3.6. Komplikasi
Komplikasi untuk pre-eklamsia adalah jatuh pada keadaan eklamsia, yang
kemudian dapat menyebabkan komplikasi terberat, yaitu kematian ibu dan
Universitas Sumatera Utara
janin. Komplikasi yang biasa terjadi pada pre-eklamsia berat dan eklamsia
adalah
a. solusio plasenta;
b. hipofibrinogenemia, biasanya ditemukan pada pre-eklamsia berat
sehingga pemeriksaan kadar fibrinogen berkala sangat dianjurkan;
c. hemolisis, dengan gejala klinik ikterus;
d. perdarahan otak, yang menjadi penyebab utama kematian maternal pada
kasus eklamsia;
e. kelainan pada mata;
f. edema paru-paru;
g. nekrosis hati akibat vasospasmus arteriol umum;
h. sindroma HELLP, yang terdiri dari haemolysis, elevated liver enzymes,
dan low platelet;
i. kelainan ginjal berupa endoteliosis glomerulus, dapat terjadi anuria
sampai gagal ginjal;
j. komplikasi lain seperti lidah tergigit, trauma, dan fraktur akibat jatuh
karena kejang, serta disseminated intravascular coagulation; dan
k. prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intra-uterin.
Universitas Sumatera Utara