Anda di halaman 1dari 38

31

BAB I
PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan kasus yang sering ditemui.
Infeksi virus dengue memiliki beberapa manifestasi dari asimtomatik hingga kasus
yang berat seperti syok yang dapat berakibat fatal (Suhendro, 2009). Indonesia
merupakan salah satu negara endemis DBD dengan angka pelaporan kasus paling
tinggi dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Indonesia dimasukkan
dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO)
2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian
akibat DBD, khususnya pada anak. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai risiko
untuk terjangkit Demam Berdarah Dengue karena virus penyebab dan nyamuk
penyebabnya tersebar luas baik di rumah maupun di tempat-tempat umum. Pada saat
ini seluruh provinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit ini baik di kota maupun di
desa terutama di tempat yang pada penduduknya dan lancar arus transportasi
(Siregar, 2004).
Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa pada tahun 2006
(dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan
kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01%
(2007) (Chen et al, 2009). Berdasarkan laporan dari Departemen Kesehatan
Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa
provinsi, yang terbesar terjadi pada tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita
79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih (Kusriastuti, 2005).
Tercatat bahwa pada tahun 2002, 2003, 2004 dan 2005 terjadi kasus dalam jumlah
masing-masing 40.377, 52.000, 79.462 dan 80.837. Kejadian Luar Biasa (KLB)
terjadi pada tahun 2005, dengan Case Fatality Rate (CFR) mencapai 2%. Tahun
2006, total kasus DBD di Indonesia sudah mencapai 104.656 kasus dengan CFR =
1,03% dan tahun 2007 mencapai angka 140.000 kasus dengan CFR = 1%.
Berdasarkan data Depkes Sumbar, pada tahun 2007 di Kota Padang
ditemukan jumlah kasus DBD per 1000 penduduk adalah 2,13 dengan jumlah
kasus DBD 1.743. Sedangkan menurut Indikator Indonesia Sehat 2010 target
kasus DBD per 100.000 adalah 2. Jadi pada tahun 2007 terjadi peningkatan
32

kasus DBD melebihi angka yang ditetapkan. Pada tahun 2008 terjadi penurunan
jumlah kasus DBD yaitu 0,01 per 1000 penduduk dengan juml ah kasus 11.
Di wilayah kerja Puskesmas Ambacang tahun 2008 diperoleh data penderita
DBD sebanyak 34 kasus, pada tahun 2009 terjadi peningkatan kasus mencapai 60
kasus, sedangkan pada tahun 2010 terjadi penurunan kasus. Pada tahun 2011
didapatkan data adalah 26 kasus dengan 2 kematian. Jumlah ini masih diatas angka
Kesakitan Nasional ( >2/100.000 penduduk). Dari 4 kelurahan di wilayah kerja
puskesmas Ambacang ( Pasar Ambacang, Lubuk Lintah, Anduring dan Ampang ),
kelurahan Pasar Ambacang tercatat memiliki kasus terbanyak yaitu 10 kasus.
Tercatat dalam laporan tahunan puskesmas Ambacang, untuk tahun 2013
terdapat total kejadian DBD sebanyak 38 kasus. Dan pada Januari 2014 sudah
tercatat 2 kasus kematian dikarenakan DBD berdasarkan hasil pencatatan di
lokakarya mini puskesmas Ambacang.
Masih kurangnya kepedulian masyarakat untuk menjaga kebersihan
lingkungannya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya kejadian
DBD. Oleh karena itu, Puskesmas Ambacang sebagai unit pelaksana fungsional
berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta
masyarakat di bidang kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama
memiliki peranan yang penting dalam menurunkan angka kejadian penyakit DBD.
Selain karena peningkatan kasus di wilayah kerja Puskesmas Ambacang dari
tahun sebelumnya, wilayah kerja Puskesmas Ambacang adalah salah satu wilayah
endemic DBD di Sumatra Barat. Maka sangat perlulah ditingkatkan upaya
pemberantasan DBD, khususnya di wilayah kerja Puskesmas Ambacang.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah
bagaimana upaya penurunan kasus demam berdarah di wilayah kerja Puskesmas
Ambacang tahun 2014.




33

1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui masalah-masalah kesehatan di wilayah kerja
Puskesmas Ambacang tahun 2013

1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui angka kejadian Demam Berdarah Dengue di wilayah
kerja Puskesmas Ambacang
2. Mntuk mengetahui faktor-faktor yang meningkatkan kejadian Demam
Berdarah Dengue
3. Mengetahui upaya pencegahan kasus Demam Berdarah Dengue

1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Mahasiswa
1. Meningkatkan kemampuan analisa terhadap masalah kesehatan yang
ada di wilayah kerja puskesmas serta cara mengatasinya
2. Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam penulisan Plan of
Action (POA) di Puskesmas wilayah kerja
1.4.2 Bagi Puskesmas
1. Teridentifikasinya faktor risiko DBD yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Ambacang.
2. Diperolehnya upaya pengendalian faktor risiko DBD yang bertujuan
agar angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Ambacang
menurun.
3. Tersusunnya rencana pelaksanaan kegiatan atau POA untuk kegiatan
pengendalian DBD di wilayah kerja Puskesmas Ambacang.
1.4.3 Bagi Masyarakat
1. Mencegah serta melindungi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Ambacang dari serangan DBD
2. Meningkatkan pengetahuan serta kesadaran masyarakat wilayah kerja
Puskesmas Ambacang akan pentingnya upaya pencegahan DBD

34

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Overview Infeksi Dengue
2.1.1. Virus Dengue
Demam berdarah dengue (DBD) merupakanpenyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue yang sekarang lebih dikenal sebagai genus Flavivirus.
Virus ini memiliki empat jenis serotipe yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
Antibodi yang terbentuk dari infeksi salah satu jenis serotipe tidak memberikan
perlindungan yang memadai untuk serotipe lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe
yang dominan dan paling banyak menimbulkan manifestasi klinis yang berat
(Suhendro, 2009).
Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Nyamuk aedes dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia, yakni dua hari sebelum panas hingga 5
hari setelah demam timbul. Virus yang terdapat pada kelenjar liur kemudian
berkembang biak dalam waktu 8-10 haridan selanjutnya dapat ditularkan kepada
manusia lain melalui gigitan. Sekali virus masuk dan berkembang biak dalam tubuh
nyamuk, nyamuk tersebut dapat menularkan virus (infektif) sepanjang hidupnya
(Suhendro, 2009).

2.1.2. Patogenesis
Patogenesis DBD masih kontroversial. Dua teori yang banyak dianut adalah
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis
immune enhancement. Menurut hipotesis infeksi sekunder, akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu
dan menyebabkan kenaikan titer tinggi IgG antidengue. Replikasi virus
denguemengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya
mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular.
Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit (Ht), penurunan natrium (Na)
dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa. Pada pasien dengan syok berat, volume
35

plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam
dan bila tidak ditangani secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia
yang dapat berakibat fatal (Suhednro, 2009).

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai
risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang
telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-
antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama
makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Suhendro, 2009).

2.1.3. Perjalanan Penyakit
Setelah masa inkubasi, penyakit ini diikuti oleh tiga fase, yaitu febris, kritis, dan
recovery (penyembuhan) (Pohan, 2009).

Gambar 2.1 Perjalanan Penyakit DBD
Fase Febris
Pasien akan mengeluh demam yang mendadak tinggi. Kadang-kadang suhu
tubuh sangat tinggi hingga 40
o
C dan tidak membaik dengan obat penurun panas.
Fase ini biasanya akan bertahan selama 2-7 hari dan diikuti dengan muka kemerahan,
36

eritema, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan nyeri kepala. Beberapa pasien
mungkin juga mengeluhkan nyeri tenggorokan ataumata merah (injeksi konjungtiva).
Sulit untuk membedakan dengue dengan penyakit lainnya secara klinis pada fase
awal demam. Hasil uji torniquet positif pada fase ini meningkatkan kemungkinan
adanya infeksi dengue. Demam juga tidak dapat dijadikan parameter untuk
membedakan antara kasus dengue yang gawat dan tidak gawat. Oleh karena itu,
memperhatikan tanda-tanda peringatan (warning signs) dan parameter lain sangat
penting untuk mengenali progresi ke arah fase kritis (Pohan, 2009). Warning signs
meliputi (Pohan, 2009):
Klinis: nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan, perdarahan
mukosa, pembesaran hati >2 cm
Laboratorium: peningkatan Ht dengan penurunan trombosit.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran
mukosa (hidung dan gusi) dapat terjadi. Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama
demam, namun dapat juga dijumpai pada hari ke-3 hingga hari ke-5 demam.
Perdarahan vagina masif pada wanita usia subur dan perdarahan gastrointestinal
(hematemesis, melena) juga dapat terjadi walau lebih jarang. Bentuk perdarahan
yang paling ringan, uji torniquet positif, menandakan adanya peningkatan fragilitas
kapiler (Pohan, 2009). Pada awal perjalanan penyakit 70,2% kasus DBD mempunyai
hasil positif (Suhendro, 2009).
Hati sering ditemukan membesar dan nyeri dalam beberapa hari demam.
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit,
bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah arcus costae.
Pada sebagian kecil dapat ditemukan ikterus. Penemuan laboratorium yang paling
awal ditemui adalah penurunan progresif leukosit, yang dapat meningkatkan
kecurigaan ke arah dengue (Pohan, 2009).

Fase Kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat demam mulai
cenderung turun dan pasien tampak seakan-akan sembuh, maka hal ini harus
diwaspadai sebagai awal kejadian syok. Saat demam mulai turun hingga dibawah
37,5-38
o
C yang biasanya terjadi pada hari ke 3-7, peningkatan permeabilitas kapiler
37

akan terjadi dan keadaan ini berbanding lurus dengan peningkatan hematokrit.
Periode kebocoran plasma yang signifikan secara klinis biasanya terjadi selama 24-
48 jam (Pohan, 2009)
Leukopenia progresif disertai penurunan jumlah platelet yang cepat
merupakan tanda kebocoran plasma. Derajat kebocoran plasma dapat bervariasi.
Temuan efusi pleura dan asites secara klinis bergantung pada derajat kebocoran
plasma dan volume terapi cairan. Derajat peningkatan hematokrit sebanding dengan
tingkat keparahan kebocoran plasma (Pohan, 2009)
Keadaan syok akan timbul saat volume plasma mencapai angka kritis akibat
kebocoran plasma. Syok hampir selalu diikuti warning signs. Terdapat tanda
kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan
kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil
sampai tak teraba.Saat terjadi syok berkepanjangan, organ yang mengalami
hipoperfusi akan mengalami gangguan fungsi (impairment), asidosis metabolik, dan
koagulasi intravaskula diseminata (KID). Hal ini menyebabkan perdarahan hebat
sehingga nilai hematokrit akan sangat menurun pada keadaan syok hebat (Pohan,
2009)
Pasien yang mengalami perbaikan klinis setelah demam turun dapat
dikatakan menderita dengue yang tidak gawat. Beberapa pasien dapat berkembang
menjadi fase kritis kebocoran plasma tanpa penurunan demam sehingga pada pasien
perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya kebocoran
plasma (Pohan, 2009)



Fase Penyembuhan (Recovery)
Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam saat fase kritis, reabsorpsi
gradual cairan ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum pasien
membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal berkurang, status
hemodinamik meningkat, dan diuresis normal. Beberapa pasien akan mengalami
ruam kulit putih yang dikelilingi area kemerahan disekitarnya dan pruritus
generalisata. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi juga sering ditemukan
38

pada fase ini. Hematokrit akan stabil atau lebih rendah karena efek dilusi yang
disebabkan reabsorpsi cairan. Jumlah leukosit biasanya akan meningkat segera
setelah demam turun, namun trombosit akan meningkat kemudian. Pemberian cairan
pada fase ini perlu diperhatikan karena bila berlebihan akan menimbulkan edema
paru atau gagal jantung kongestif (Pohan, 2009)


2.2. Manajemen Kasus DBD
Manajemen kasus DBD meliputi beberapa tahap yakni (Pohan, 2009):
1. Penilaian:
Riwayat penyakit sekarang, riwayat pengobatan lalu, dan riwayat
keluarga
Pemeriksaan fisik, termasuk fisik umum dan mental
Investigasi, termasuk laboratorium rutin dan spesifik-dengue
2. Diagnosis, penilaian fase penyakit, dan keparahan
3. Manajemen: menetapkan tatalaksana berdasarkan manifestasi klinis dan hal-
hal terkait lainnya:
Rawat jalan (kelompok A)
Rawat inap (kelompok B)
Membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi (kelompok C)

2.2.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis harus meliputi (Pohan, 2009): (1) Onset demam/penyakit, (2)
Jumlah intake oral, (3) Warning signs, (4) Diare, (5) Perubahan status
mental/kejang/ketidaksadaran, (6) Urin output (frekuensi, volume, dan waktu
terakhir kencing), (7) Riwayat keluarga atau tetangga yang mengalami DBD, riwayat
bepergian ke daerah endemis, kondisi penyerta (bayi, kehamilan, obesitas, diabetes
mellitus, hipertensi), bepergian ke hutan dan berenang di air terjun (mengarahkan
leptospirosis, tipus, malaria), riwayat penggunaan narkoba dan seks bebas (HIV
serokonversi akut).
Sedangkan pemeriksaan fisik harus meliputi (Pohan, 2009): (1) Status mental,
(2) Status hidrasi, (3) Status hemodinamik, (4) Takipnoe/pernapasan asidosis/efusi
39

pleura, (5) Nyeri abdomen/ hepatomegali/asites, (6) Ruam dan manifestasi
perdarahan, (7) Uji torniquet.

2.2.2. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin (Hb), kadar hematokrit
(Ht), jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3).
Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel
neutrofil. Pada akhir demam, jumlah leukosit, dan sel neutrofil bersama-sama
menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat.
Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/l. Pada umumnya trombosit
terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah
trombosit <100.000/l biasanya ditemukan antara hari sakit 3-7. Pemeriksaan
trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal
atau menurun (Suhendro, 2009).
Peningkatan kadar hematokrit (>20%) yang menggambarkan
hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan
terjadinya perembesan plasma sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit
secara berkala. Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh penggantian cairan dan
perdarahan (Suhendro, 2009).
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin (Pohan, 2009).

2.2.3. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto toraks (DBD derajat III/IV dan sebagian besar derajat II)
didapatkan efusi pleura, terutama di hemitoraks sebelah kanan. Pemeriksaan foto
toraks sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.


40

2.2.4. Pemeriksaan Antigen dan Antibodi Virus
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus.
Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama
(lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Pemeriksaan yang saat ini
banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan
IgG-anti dengue (WHO, 2005).
Pada infeksi primer, antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari kelima seelah
onset penyakit, yakni setelah jumlah virus dalam darah berkurang. Kadar IgM
meningkat dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam 2 minggu dan menurun
hingga tak terdeteksi lagi setelah 2-3 bulan. Antibodi IgG muncul beberapa hari
setelah IgM dan pada infeksi primer, produksi IgG lebih rendah dibandingkan IgM,
namun dapat bertahan beberapa tahun dalam sirkulasi, bahkan seumur hidup.
11

Sedangkan pada infeksi sekunder, kadar IgG meningkat lebih banyak dibandingkan
IgM dan muncul sebelum atau bersamaan dengan IgM. IgG merupakan antibodi
predominan pada infeksi sekunder (WHO, 2005)
Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen spesifik
virus dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan metode ELISA,
antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12
demam pada infeksi primer dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder
dengue. Pemeriksaan ini juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena itu, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi
antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.


2.2.5. Diagnosis
Diagnosis DBD dapat ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Berdasarkan
kriteria WHO 1997, diagnosis DBD secara klinis dapat ditegakkan bila semua hal di
bawah ini terpenuhi(Harrison, 2008):
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
41

2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis, dan
melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
dan hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu (Harrison, 2008):
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdarahan lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.
Sedangkan menurut WHO 2009, berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik dan/atau darah lengkap dan hematokrit, diagnosis DBD ditegakkan dengan
melihat fase penyakit (febris, kritis, atau penyembuhan), menentukan adanya
warning signs, hidrasi, dan status hemodinamik pasien, serta apakah pasien
memerlukan rawat (Pohan, 2009).
Kriteria sugestif untuk mengetahui kasus tersangka DBD adalah pasien
tinggal atau baru bepergian dari daerah endemis dengue, adanya riwayat demam
lebih dari tiga hari, jumlah leukosit rendah atau menurun, dan/atau trombositopenia
uji torniquet positif.

2.2.6. Penatalaksanaan
42

Tidak ada terapi yang spesifik untuk DBD. Prinsip terapi utama adalah terapi
suportif. Pemeliharaan cairan sirkulasi merupakan hal terpenting dalam penanganan
kasus DBD. Asupan cairan, terutama melalui oral, harus dipertahankan. Jika tidak
bisa, maka diperlukan suplemen cairan melalui jalur intravena (SEA Region, 2007).
Menurut WHO 2009, berdasarkan manifestasi klinis dan kondisi lainnya, pasien
dapat dibagi tiga kategori: rawat jalan (kelompok A), membutuhkan penanganan di
rumah sakit/rawat inap (kelompok B), dan membutuhkan penanganan emergensi atau
urgensi (kelompok C).

Kelompok-A
Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang dapat dimotivasi
untuk minum secara adekuat, masih dapat berkemih setidaknya sekali tiap enam jam,
dan tidak mempunyai warning signs, khususnya saat demam mereda.
Pasien rawat jalan harus diobservasi setiap hari untuk mencegah progresi
hingga melewati periode kritis. Pasien dengan Ht stabil dapat dipulangkan setelah
dirawat dan diberikan edukasi untuk segera kembali ke rumah sakit apabila warning
signs muncul. Apabila warning signs muncul maka tindakan selanjutnya adalah:
Memotivasi minum oral rehydration solution (ORS), jus buah, dan cairan
lain yang mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti cairan yang
hilang akibat demam.
Memberikan parasetamol bila pasien merasa tidak nyaman akibat demam.
Interval pemberian parasetamol sebaiknya tidak kurang dari enam jam.
Petugas kesehatan harus setiap hari memantau temperatur, asupan dan
keluaran cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning signs, tanda
perembesan plasma atau perdarahan, hematokrit, jumlah leukosit, dan
trombosit (kelompok-B).

Kelompok-B
Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada fase kritis.
Kriteria rawat pasien DBD adalah (Pohan, 2009):

1. Adanya warning signs
43

2. Terdapat tanda dan gejala hipotensi: dehidrasi, tidak dapat minum, hipotensi
postural, berkeringat sedikit, pingsan, ekstremitas dingin.
3. Perdarahan
4. Gangguan organ: ginjal, hepar (hati membesar dan nyeri walaupun tidak
syok), neurologis, kardiak (nyeri dada, gangguan napas, sianosis).
5. Adanya peningkatan Ht, efusi pleura, atau asites
6. Kondisi penyerta: hamil, DM, hipertensi, ulus peptikum, anemia hemolitik,
overweight/ obese, bayi, dan usia tua
7. Kondisi sosial: tinggal sendiri, jauh dari pelayanan kesehatan tanpa transpor
memadai.
Apabila pasien memiliki warning signs maka hal yang harus dilakukan adalah:
Periksa Ht sebelum pemberian cairan. Berikan larutan isotonik seperti
normosalin 0,9%, RL. Mulai dari 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu kurangi
menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kurangi lagi menjadi 2-3
ml/kg/jam atau kurang sesuai respon klinis.
Nilai kembali status klinis, ulangi Ht. Bila Ht sama atau meningkat sedikit,
lanjutkan dengan jumlah sama (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam. Bila tanda
vital memburuk dan Ht meningkat drastis, tingkatkan pemberian cairan 510
ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai kembali status klinis, ulang Ht, dan periksa
kecepatan cairan infus berkala.
Berikan volume intravena minimum untuk menjaga perfusi dan urin output
0,5 ml/kg/jam selama 24-48 jam. Kurangi jumlah cairan infus berkala saat
kebocoran plasma berkurang, yakni saat akhir fase kritis. Hal ini bisa
diketahui dari urin output dan/atau asupan minum cukup dan Ht menurun.
Pasien dengan warning signs harus diobservasi hingga fase kritis lewat.
Parameter yang harus dimonitor adalah tanda vital dan perfusi perifer (tiap 1-
4 jam hingga lewat fase kritis), urin output (tiap 4-6 jam), Ht (sebelum dan
setelah pemberian cairan, selanjutnya tiap 6-12 jam), glukosa darah, dan
fungsi organ sesuai indikasi.
Pada pasien tanpa warning signs, hal berikut harus dilakukan:
Motivasi minum. Jika tidak bisa, mulai infus intravena dengan NS 0,9% atau
RL dengan atau tanpa dekstrosa dengan dosis pemeliharaan. Untuk pasien
44

obese atau overweight digunakan dosis sesuai berat ideal. Berikan volume
minimum untuk memelihara perfusi dan urine output selama 24-48 jam.
Pasien harus dimonitor: temperatur, asupan dan keluaran cairan, urin output
(volume dan frekuensi), warning signs, hematokrit, leukosit, dan trombosit.
Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan sesuai indikasi.
Kelompok-C
Pasien membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi apabila mengalami
DBD berat untuk memudahkan akses intensif dan transfusi darah. Resusitasi cairan
dengan kristaloid isotonik secepatnya sangat penting untuk menjaga volume
ekstravaskular saat periode kebocoran plasma atau larutan koloid pada keadaan syok
hipotensi. Pantau nilai Ht sebelum dan sesudah resusitasi. Tujuan akhir resusitasi
cairan adalah meningkatkan sirkulasi sentral dan perifer (takikardia berkurang,
tekanan darah dan nadi meningkat, ekstremitas tidak pucat dan hangat, dan CRT <2
detik) dan meningkatkan perfusi organ (level kesadaran membaik, urin output >0,5
ml/kg/jam, asidosis metabolik menurun).

Terapi pada Pasien Syok Terkompensasi

2.2.7. Indikasi Pulang Pasien DBD
Pasien dapat pulang apabila memenuhi semua kriteria berikut (WHO, 2009):
Klinis:
o Bebas demam selama minimal 48 jam
o Terdapat perbaikan ststus klinis (keadaan umum baik, nafsu makan
makan membaik, status hemodinamik stabil, urine output normal, tidak
ada gangguan pernapasan)
Laboratoris:
o Peningkatan jumlah trombosit
o Hematokrit stabil tanpa cairan intravena



45

BAB III
ANALISIS SITUASI

3.1 Sejarah Puskesmas
Puskesmas Ambacang terletak di salah satu Kelurahan pada Kecamatan
Kuranji kota Padang yaitu kelurahan Pasar Ambacang. Karena terletaknya
Puskesmas di kelurahan tersebut maka diberi nama Puskesmas Ambacang
Kuranji sesuai dengan masukan dari berbagai pihak antara lain Kepala Dinas
Kesehatan Kota Padang dengan sebutan Puskesmas Ambacang Kuranji
Awalnya pelaksanaan program puskesmas ini masih bekerja sama dengan
Puskesmas Kuranji, karena 4 kelurahan sebagai wilayah kerja Puskesmas
Kuranji. Pada tahun 2006 telah berdiri sendiri dapat dilaksanakan secara mandiri
dan berkesinambungan. Puskesmas Ambacang Kuranji diresmikan pada 5 Juli
2006 dengan 15 orang staf, dipimpin oleh Dr. Dewi Susanti Febri. Pada Maret
2009, beliau digantikan dengan Dr. Hj. May Happy, kemudian pada September
2012 digantikan lagi oleh Trice Erwiza, SKM dengan 46 orang staf.
Awalnya, pelaksanaan program puskesmas ini masih bekerja sama dengan
Puskesmas Kuranji, karena empat kelurahan sebagai wilayah kerjanya
sebelumnya merupakan wilayah kerja Puskesmas Kuranji. Akan tetapi, sekarang
program kerja Puskesmas Ambacang Kuranji telah dilaksanakan secara mandiri
dan berkesinambungan. Misi dari puskesmas ini sendiri yaitu menggerakkan
pembangunan berwawasan kesehatan. Sedangkan strateginya adalah mendorong
kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat, menyelenggarakan
pelayanan kesehatan bermutu dan terjangkau, meningkatkan kesehatan
perorangan, keluarga, dan masyarakat.
3.2 Gambaran Umum
Puskesmas Ambacang terletak di salah satu Kelurahan di Kecamatan Kuranji
Kota Padang yaitu Kelurahan Pasar Ambacang, Karena terletak di Kelurahan
46

tersebutlah maka nama Puskesmaspun diberikan dengan nama yang sama yaitu
Puskesmas Ambacang Kuranji yang untuk selanjutnya sesuai dengan masukan dari
berbagai pihak antara lain dari Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang disebut dengan
Puskesmas Ambacang saja, Puskesmas ini pada awalnya merupakan bagian dari
Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat terbatas dalam bentuk Puskesmas
Pembantu yang berinduk ke Puskesmas Kuranji, dan sejak tahun 2006
dikembangkan menjadi Pusat Kesehatan Masyarakat dengan pelayanan penuh dan
terlepas dari Puskesmas Kuranji sendiri.
3.2.1 Geografi
Secara geografis wilayah kerja Puskesmas Ambacang berbatasan kecamatan
dan kelurahan yang menjadi tanggung jawab wilayah Puskesmas Ambacang. Batas -
batas wilayah kerja Puskesmas Ambacang yaitu :
Utara : Kelurahan Korong Gadang Kec. Kuranji.
Timur : Kecamatan Pauh,
Selatan : Kecamatan Pauh dan Lubuk Begalung.
Barat : Kecamatan Padang Timur dan Kecamatan Nanggalo.
Puskesmas Ambacang terletak pada 0 55' 25.15", Lintang Selatan dan +100
23' 50.14" Lintang Utara dengan Luas wilayah kerja Puskesmas Ambacang sekitar
12 Km2, mewilayahi 4 Kelurahan yaitu : Pasar Ambacang, Kelurahan Anduring,
Kelurahan Ampang dan Kelurahan Lubuk Lintah yang umumnya masayarakat
pengguna jasa pelayanan kesehatan mempunyai aksesibilitas yang mudah dari dan ke
Kelurahan
Bila dilihat dengan menggunakan Google Map maka Wilayah kerja
Puskesmas Ambacang terlihat sebagaimana dalam gambar berikut:

47


Gambar 3.1. Foto dari Google Map wilayah Kerja Puskesmas Ambacang

Sedangkan bila dilihat dengan menggunakan Google Satelit adalah sbb :

Gambar 3.2. Foto dari Google Satelit wilayah Kerja Puskesmas Ambacang

48




Gambar 3.3. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang

3.2.2 Kondisi Demografis
Jumlah penduduk wilayah Puskesmas Ambacangadalah 48.518 jiwa, dengan
perincian sebagai berikut :
KelurahanPasarAmbacang : 17.399 jiwa
KelurahanAnduring : 13.875 jiwa
KelurahanLubukLintah : 10.075 jiwa
KelurahanAmpang : 7.172 jiwa

3.3 Sarana danPrasarana
Puskesmas Ambacang pada saat ini telah memiliki prasarana dan sarana yang
relatif lebih baik bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Prasarana gedung
dengan 2 lantai mampu dimanfaatkan untuk pelayanan dan kegiatan
administrasi/manajemen. Begitu pula prasaranakendaraan roda 4 dan roda 2 telah
mampu menjangkau pelayanan terutama luar gedung seperti posyandu, UKS dan
UKGS serta pembinaan desa siaga.
49


Tabel 3.1 Data fasilitas kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Ambacang
menurut kelurahan
KELU-
RAHAN
PUSKES-
MAS
PUSTU POSKESKEL RODA 2
KLINIK
BERSALIN
B.
P
Pasar
Ambacang
1 - 4 4 1 1
Anduring - - 1 - - -
Ampang - - 1 - - -
Lubuk
Lintah
- 1 1 - 1 -
Jumlah 1 1 4 4 2 1

Tabel 3.2 Data Upaya Kesehatan Bersumber daya masyarakat wilayah kerja
Puskesmas Ambacang
KELURAHAN
POSYANDU
BALITA
POSYANDU
LANSIA
KELURAHAN
SIAGA
Pasar Ambacang 9 2 1
Anduring 7 1 1
Ampang 5 2 1
Lubuk Lintah 7 1 1
Jumlah 29 6 4




50

Tabel 3.3 Data fasilitas pendidikan di wilayah kerja Puskesmas Ambacang
menurut Kelurahan
KELURAHAN TK SD SMP SMU/K PT KET
Pasar
Ambacang
3 10 3 2 -

Anduring 2 6 1 - -
Ampang 1 3 - - -
Lubuk Lintah 2 3 1 1 1
Jumlah 8 22 5 3 1

Data Sasaran Puskesmas
a. Jumlahpenduduk : 48.518 jiwa
b. Ibuhamil : 1.110 orang
c. Ibubersalin : 1.060 orang
d. Bayi : 1.009 orang
e. Balita : 4.803 orang
f. TK : 8 buah
g. SD : 22 buah
h. SMP/MTsN : 5 buah
i. SMA/SMK : 3 buah
j. PT : 1 buah
k. Rumahibadah : 65 buah
l. Pantiasuhan : 2 buah
m. Restoran/rumahmakan : 19 buah
n. Sarana air bersih : 6.726 buah




51

3.4 Ketenagaan
Tabel 3.4 Data ketenagakerjaan di Puskesmas Ambacang
NO JenisPetugas
Status Pegawai PendidikanTerakhir
Jumlah Ket
PNS PTT
Suka
Rela/
Honor
S 2 S1 D IV D III D I
Sederajat
SLTA
1 DokterUmum 3 - - - 3 - - - - 3
2 Dokter Gigi 2 - - - 2 - - - - 2
3 SarjanaKesmas 2 - - 2 - - - - - 2
4 Bidan 12 6 1 - 1 2 14 2 - 19
5 Perawat 5 - - - - 4 - 1 5
6 Perawat Gigi 1 - - - - - - - 1 1
7 Kesling 3 - - - - 1 2 - - 3
8 Analis 2 - - - - - - - 2 2
9 AsistenApoteker 2 - - - - - - - 2 2
10 Nutrition/SKM 2 - - - - - 2 - - 2
11 RR 1 - 1 - - 1 - 2 2
Survelans/SKM 1 - 1 1
12 Sopir - - 1 - - - - - 1 1
13 Volunteer - - 3 3 3
Jumlah 36 6 6 2 7 3 19 5 9 48

3.5 Kondisi Sosial, Budaya dan Ekonomi Penduduk
3.5.1. Kondisi Sosial dan Budaya
Suku terbesar yang ada di KecamatanKuranjiadalahSukuMinang, juga
ada beberapa sukulainny ayaitu Jawa dan Batak. Mayoritas agama yang
dianut masyarakatnya adalah Islam.

52

3.5.2. Kondisi Ekonomi
Mata Pencaharian Penduduk:
a. Tani : 45%
b. Pegawai Negeri : 20%
c. Buruh : 5%
d. Swasta : 2%
e. Lain-lain : 18%
3.6 Visi, Misi, Strategi Dan Tujuan
3.6.1 Visi dan Misi
Dalam fungsinya sebagai penyelenggara pembangunan kesehatan di wilayah
kecamatan kuranji, Puskesmas Ambacang mempunyai VISI: Kecamatan Kuranji
Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan tercapainya visi ini dinilai dari 4 indikator
utama yaitu: Lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang
bermutu, adil dan merata serta derajat kesehatan penduduk kecamatan Kuranji yang
setinggi-tingginya.
Untuk mewujudkan visi ini Puskesmas Ambacang mengusung misi
pembangunan kesehatan diwilayah kecamatan Kuranji yang akan memberi dukungan
agar tercapainya visi pembangunan nasional yaitu:
Puskesmas Ambacang menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan
di wilayah
Mendorong kemandirian untuk hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di
wilayah kerja Puskesmas Ambacang
Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan
Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan
masyarakat serta lingkungannya




53

3.6.2 Strategi
Visi dan misi Puskesmas Ambacang akan dicapai dengan beberapa strategi
yang diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan yang terencana, terarah dan
berkesinambungan. Beberapa strategi tersebut antara lain:
Meningkatkan Upaya Promosi Kesehatan
Meningkatkan koordinasi dan kerjasama yang lebih baik dengan Lintas sektor
Meningkatkan kwalitas SDM Puskesmas

Fungsi
Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan, yaitu Puskesmas
selalu memantau pelaksanaan pembangunan di wilayah kerjanya agar
senantiasa memperhatikan segi aspek / dampak kesehatan.
Pusat Pemberdayaan Masyarakat, yaitu membina masyarakat di wilayah
kerja untuk berperan serta aktif dan diharapkan mampu menolong diri
sendiri dibidang kesehatan.
Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama, yaitu memberikan pelayanan
kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh yang bermutu, merata,
berkesinambungan dan terjangkau oleh masyarakat.
Sejak awal berdirinya Puskesmas Ambacang tahun 2006 , sesuai dengan salah
satu fungsinya yaitu sebagai Pusat Pemberi Pelayanan kesehatan maka Puskesmas
Ambacang telah memberikan pelayanan secara optimal meliputi upaya :
Peningkatan / Promotif.
Pencegahan / Preventif
Pengobatan / Kuratif.
Pemulihan / Rehabilitatif.
Bertolak dari keempat pelayanan tersebut diatas maka usaha pokok Puskesmas
Ambacang bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan
upaya kesehatan masyarakat, yang jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional
54

merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Upaya kesehatan tersebut
dikelompokkan menjadi dua yakni:
1. Upaya Kesehatan Wajib
Upaya Kesehatan Wajib meliputi:
* . Upaya Promosi Kesehatan
Upaya Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana.
Upaya Perbaikan Gizi.
Upaya Kesehatan Lingkungan.
Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
Upaya Pengobatan
2.Upaya Kesehatan Pengembangan.
Upaya Kesehatan Pengembangan meliputi:
Upaya Kesehatan Sekolah
Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat
Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
Upaya Kesehatan Jiwa
Upaya Kesehatan Mata
Upaya Kesehatan Usia Lanjut

Pelayanan UGD.
Upaya pelayanan penunjang dari kedua upaya tersebut di atas antara lain
upaya laboratorium medis sederhana dan upaya laboratorium kesehatan masyarakat
serta upaya pencatatan pelaporan.

3.6.3 Tujuan
Sebagai tujuan akhir yang dicapai dari penjabaran visi, misi dan strategi
Puskesmas Ambacang adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di
wilayah kerja puskesmas Ambacang sehingga tercapai derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya.

55

BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan data surveilans penyakit menular di Puskesmas Ambacang,
jumlah kasus DBD dari tahun 2011 sampai 2013 tidak konstan, dan cenderung
mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 terdapat 58 kasus demam berdarah. Tahun
2012 terjadi peningkatan kasus menjadi 61 kasus, meningkat 3 kasus dari tahun
sebelumnya. Pada tahun 2013 terjadi 38 kasus, menurun 23 kasus dari tahun
sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2014, pada bulan januari sudah terdapat 2 orang
meninggal akibat DBD. Berikut adalah rekapitulasi angka kejadian DBD di wilayah
kerja Puskesmas Ambacang dari tahun 2011 sampai tahun 2013 serta januari 2014.

Tabel 4.3. Data kasus DBD 3 tahun terakhir
No. Kelurahan 2011 2012 2013 Januari
2014
Total Ket
1 Pasar Ambacang 20 24 12 - 56 Endemis
2 Lubuk Lintah 22 13 10 2 47 Endemis
3 Anduring 7 17 5 - 29 Endemis
4 Ampang 9 7 10 - 26 Endemis
Total 58 61 38 2 159


56


Berdasarkan data di atas, kejadian DBD di Kecamatan Kuranji terjadi di
setiap tempat di setiap tahunnya. Jumlah kasus tertinggi terjadi paling banyak di
keluarahan pasar ambacang 56 kasus kemudian lubuk lintah 47 kasus.Anduring dan
ampang berada di posisi ke 3 dan ke 4 dengan masing masing terjadi 29 kasus pada
kelurahan Anduring dan 26 kasus pada kelurahan Ampang. Dari data terbaru tahun
2014, sudah terjadi Kejadian Luar biasa kasus DBD, karena 2 orang tersebut
meninggal dunia. Dari ke 4 kelurahan di Puskesmas Ambacang dapat dikategorikan
bahwa seluruh daerah tersebut termasuk daerah endemis kasus DBD karena terjadi
kasus DBD di setiap tahunnya.









57

Grafik 4.1 Data perbulan Peningkatan Kasus Demam Berdarah Dengue di Puskemas
Ambacang 2013

Berdasarkan data di atas, kejadian DBD di Kecamatan Kuranji hingga pada
2013 adalah sebanyak 38 kasus. Jumlah kasus tertinggi terjadi pada bulan Januari
dan pada bulan oktober tidak tercatat adanya kejadian kasus DBD pada kecamatan
Kuranji

Tabel 4.4. Pencapaian fogging focus di Puskesmas Ambacng
No. Tahun
Jumlah kasus DBD
positif
Sasaran fogging
focus
Fogging focus yang
dilakukan per tahun
1 2011 58 kasus 100% 80%
2 2012 61 kasus 100% 80%
3 2013 38 kasus 100% 80%
Tabel diatas menjelaskan tentang target fogging focus per tahun dibandingkan
fogging focus yang dilakukan. Berdasarkan data, fogging focus yang dilakukan dari
tahun 2011 hingga tahun 2013 tidak mencapai target.


0
20
J
A
N
F
E
B
M
A
R
A
P
R
M
E
I
J
U
N
J
U
L
A
G
U
S
S
E
P
T
O
K
T
N
O
V
D
E
S
11
8
1
1
2
3
3
3
3
0
3
1
JUMLAH :
38 kasus
58

Wilayah kerja Puskesmas Ambacang memiliki kasus DBD yang tinggi. Dari
bulan januar sampai bulan desember 2013 sudah mencapai 38 kasus, dan pada bulan
januari tahun 2014 terjadi KLB DBD karena ditemukan 2 orang korban meninggal di
kelurahan Lb Lintah. Keterlambatan penanganan kasus dapat menyebabkan
penderita jatuh pada keadaan syok yang dapat berujung pada kematian. Demam
berdarah adalah penyakit yang disebabkan oleh vektor nyamuk, sehingga
penyebarannya sangat cepat. Jika tidak segera dilakukakan tindakan, angka kejadian
DBD akan semakin tinggi.. Banyak upaya pencegahan dini yang dapat dilakukan
masyarakat guna mencegah terjangkit penyakit DBD, seperti perilaku dan kesadaran
masyarakat tentang kebersihan lingkungan, dan perilaku 3M+. Pemerintah juga telah
mencanangkan program yang bertujuan untuk menurunkan angka kejadian DBD,
seperti pembagian bubuk abate, fogging, dan publikasi program 3M+ melalui media
cetak dan elektronik.. Pencegahan DBD cukup dengan membersihkan lingkungan.
Intervensi perilaku dapat dilakukan dengan penyuluhan. Program pemerintah, seperti
program abate dan fogging, mempunyai alokasi dana yang tersendiri dari pemerintah.
Dengan berkurangnya kausa DBD, angka kesakitan dan kematian akibat DBD akan
berkurang, sehingga derajat kesehatan masyarakat akan meningkat. Dengan menjaga
kebersihan lingkungan, angka kejadian penyakit lainnya juga akan berkurang.

4.3 Analisis Akar Penyebab Masalah
Berdasarkan penilaian prioritas, yang menjadi masalah utama di Puskesmas
Ambacang adalah masih tingginya angka kejadian DBD di Kecamatan Ambacang.
Untuk itu, analisis akar penyebab dan upaya pemecahan masalah tingginya angka
kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Ambacang dinilai penting untuk
dilakukan.

1. Manusia
a. Masyarakat
Belum optimalnya kinerja kader yang berperan sebagai jumantik (juru
pemantau jentik). Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat,
peran kader dalam program jumantik kurang optimal karena sanagat jarang
masyarakat mendapat kunjungan dari kader program jumantik.
59

b. Tokoh Masyarakat
Belum optimalnya peran ketua RT dan RW dalam mengggerakkan
masyarakat untuk melaksanakan gotong royong bersama secara teratur.
Tenaga Kesehatan
Kurang optimalnya peran petugas puskesmas dalam pengawasan upaya
pemberantasan DBD, khususnya pemberantasan jentik nyamuk di rumah
warga di kelurahan Lubuk Lintah. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan langsung ke masyarakat, masyarakat kurang merasakan
keikutsertaan petugas Puskesmas dalam memberantas DBD secara
langsung

2. Material
Kurangnya media informasi, seperti papan informasi, poster, pamflet, dan
leaflet di tempat-tempat umum untuk sosialisasi mengenai penyakit, cara
penularan, pencegahan, dan pengobatan DBD.
3. Metode
Belum optimalnya penyuluhan kesehatan mengenai penyakit, cara penularan,
pencegahan, dan pengobatan DBD, khususnya penyuluhan di luar gedung
yang hanya dilakukan di posyandu dan sekolah saja. Berdasarkan data dari
bagian promkes Puskesmas Ambacang mengenai penyuluhan luar gedung
pada tahun 3013 telah dilakukan penyuluhan DBD sebanyak 23 kali dengan
jumlah total peserta 407 orang, namun hanya terbatas pada posyandu dan
sekolah saja, sedangkan pada tempat-tempat umum lainnya, seperti pasar,
mesjid, atau perkantoran, belum dilakukan.
Kurang berjalannya kerjasama lintas sektoral dalam pencegahan dan
penganggulangan penyakit DBD. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pimpinan puskesmas dan pemegang program P2P, penanggulangan kasus
DBD telah dilakukan oleh program-program terkait, namun belum
terintegrasi. Hal ini dikarenakan kurangnya kerja sama dari lintas sektoral.
Hal ini sangat dirasakan ketika saat ingin memberikan penyuluhan mengenai
DBD, perizinan sangat sulit didapat untuk melakukan penyuluhan.
60

Belum optimalnya pelaksanaan pemeriksaan jentik berkala di tiap kelurahan
di wilayah kerja Puskesmas Ambacang.
Belum optimalnya pelaksanaan program fogging focus untuk pencegahan
penyakit DBD.
Belum optimalnya pelaksanaan gotong royong bersama untuk membersihkan
lingkungan sekitar rumah warga di wilayah kerja Puskesmas Ambacang
4. Lingkungan
Lingkungan kurang bersih dan tidak sehat. Berdasarkan hasil observasi
lapangan, ditemukan masih banyak barang bekas yang menumpuk di rumah
warga, dan berpotensi menjadi tempat penampungan air yang menjadi media
yang baik untuk tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.

43

4.4 Alternatif Pemecahan Masalah
4.4.1 Manusia
Penyuluhan kepada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Ambacang tentang
penyakit, cara penularan, dan pencegahan DBD.

Pelaksana : Pemegang program promkes dan dokter muda IKM
Sasaran : Masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Ambacang
Waktu : Januari dan Juli 2014

Target : Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit DBD,
cara penularan, dan pencegahan DBD dengan gerakan 3M+, yaitu:
mengubur barang-barang bekas, menutup tempat penampungan air
dan menguras bak mandi secara teratur, disertai dengan memakai
lotion anti nyamuk,
Pelaksanaan : Penyuluhan interaktif dengan masyarakat

Pengaktifan tim kader jumantik Puskesmas Ambacang.
Pelaksana : Kepala puskesmas dan pemegang program P2P DBD
Sasaran : Kader Jumantik
Waktu : 3 Februari 2014
Tempat : Puskesmas Ambacang
Target : Kader jumantik kembali aktif dalam pemeriksaan jentik berkala
Pelaksanaan : Pertemuan kepala puskesmas, pemegang program P2P DBD, dan
kader jumantik

Pelatihan kader jumantik.
Pelaksana : Pemegang program P2P DBD
Sasaran : Kader Jumantik
Waktu : 3 Februari 2014
Tempat : Puskesmas Ambacang


44

Target : Pengetahuan kader jumantik mengenai DBD meningkat,
khususnya mengenai jentik nyamuk

4.4.2 Material
Penyebaran leaflet dan penempelan poster mengenai penyakit DBD, cara
penularan dan cara pencegahan DBD di wilayah kerja Puskesmas Ambacang.

Pelaksana : Petugas promosi kesehatan dan pemegang program P2P DBD
Sasaran : Masyarakat di wilayah kerja puskesmas Ambacang
Waktu : 23 Janauri- 5 Februari 2014
Tempat : Puskesmas, posyandu, kantor lurah, sekolah, masjid, rumah
makan
Target : Tertempel poster di tempat-tempat strategis pada setiap kelurahan,
misalnya : posyandu, kantor lurah, sekolah, masjid, rumah makan.
Tersebar leaflet tiap penyuluhan.
Pelaksanaan : Penyebaran leaflet sewaktu penyuluhan di mesjid dan penyebaran
leaflet pada pengunjung puskesmas. Penempelan poster di
puskesmas dan tempat-tempat umum lainnya.

4.4.3 Metode
Penyusunan jadwal bersama antara pemegang program promkes, kesling, dan
P2P dalam upaya untuk meningkatkan kerjasama lintas program.

Pelaksana : Pimpinan puskesmas
Waktu : 1 x 3 bulan
Sasaran : Pemegang program promkes, kesling, dan P2P
Target : Meningkatnya kerjasama lintas program, terutama promkes,
kesling, P2P, dan pembina wilayah, sehingga dapat turun bersama
ketika ditemukannya kasus DBD yang baru.
Pelaksanaan : Rapat pertama tanggal 25 Januari 2014
Pengaturan jadwal (time schedule)

45

Pertemuan dengan tokoh masyarakat (lurah, ketua RT, ketua RW) di wilayah
kerja Puskesmas Ambacang untuk menggerakkan warganya agar melaksanakan
program 3M+.

Pelaksana : Kepala puskesmas, pemegang program promkes, kesling, P2P
DBD, pembina wilayah
Sasaran : Camat, lurah, ketua RT, dan ketua RW di wilayah kerja
Puskesmas Ambacang
Waktu : 1 Februari
Tempat : Puskesmas Ambacang
Target : Tokoh masyarakat paham tentang pentingnya pelaksanaan
program 3M untuk pencegahan penyakit DBD
Tokoh masyarakat berperan aktif dalam menggerakkan warganya
untuk melaksanakan program 3M
Pelaksanaan : Membahas peran tokoh masyarakat dalam menggerakkan
warganya untuk pelaksanaan program 3M

Pemeriksaan jentik berkala di wilayah kerja Puskesmas Ambacang diikuti dengan
pemberian bubuk abate.

Pelaksana : Juru pemantau jentik (jumantik), dan petugas puskesmas
Sasaran : Tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk ditemukan di rumah
warga, seperti bak mandi, pot, lubang-lubang pohon, pagar
bambu, dan lain-lain
Waktu : 1 x 3 bulan


Target : Angka bebas jentik meningkat dan bubuk abate terdistribusi ke
masyarakat.
Petugas dapat mengidentifikasi lingkungan yang berpotensi
terjangkit penyakit menular dengan vektor nyamuk, terutama
DBD, sehingga dapat dilakukakan tindak lanjut penanganan
segera untuk mengurangi angka kejadian.
46

Pelaksanaan : Pemeriksaan jentik berkala tiap 3 bulan.
Pemeriksaan pertama dilakukan tanggal 1 Maret 3014 di wilayah
kerja Puskesmas Ambacang, diikuti dengan pembagian bubuk
abate.

4.4.4 Lingkungan

Gotong royong rutin di lingkungan Kecamatan Kuranji.
Pelaksana : Pembina wilayah dan tokoh masyarakat setempat
Sasaran : Masyarakat Kecamatan Kuranji
Waktu : 1 x 1 bulan
Tempat : Lingkungan Kecamatan Kuranji
Target : Lingkungan Kecamatan Kuranji bersih dan sehat
Pelaksanaan : Gotong royong rutin dan penanaman TOGA. Gotong royong
pertama dilakukan tanggal 2 Februari 2013.

Lomba kelurahan bebas jentik.
Pelaksana : Puskesmas Ambacang
Sasaran : Masyarakat Kecamatan Kuranji
Waktu : 1 x setahun
Tempat : Kecamatan Kuranji
Target : Seluruh kelurahan berpartisipasi dalam lomba kelurahan bebas
jentik
Pelaksanaan : Lomba dilakukan rutin setiap tahun, dengan kerjasama dengan
dinas kesehatan kota dan tokoh masyarakat di Kecamatan Kuranji.
Kelurahan terbersih akan mendapatkan piala bergilir.





47

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Angka kejadian DBD di wilayahkerjaPuskesmasAmbacangnaik turun dari
setiap tahun. Beberapa daerah di wilayah kerja Puskesmas Ambacang memiliki
jumlah kasus DBD yang tinggi, dan januari 2014 telah terjadi KLB DBD .Tejadinya
kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Ambacang dapat disebabkan oleh:
a. Masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit, cara penularan,
pengobatan,dan pencegahan DBD.
b. Kurang optimalnya penyuluhan mengenai penyakit DBD, cara penularan,dan
pencegahannya.
c. Kurang nyamedia informasi,seperti papan informasi, poster, pamflet, dan leaflet
tentang penyakit DBD dan upaya pencegahannya, di tempat-tempat umum.
d. Belum optimalnya pemeriksaan jentik berkala.
e. Kurang optimalnya peran kader jumantik.
f. Lingkungan kurang bersih dan tidak sehat.
g. Belum optimalnya pelaksanaan gotong royong rutin untuk membersihkan
lingkungan.
h. Belum optimalnya peran tokoh masyarakat dalam menggerakkan masyarakat
untuk berperilaku hidup bersih dan seha tmelalui program 3M+.

Pencegahan dan penanggulangan masalah tingginya angka kejadian DBD di
Kecamatan Ambacang adalah:
Penyusunan jadwal bersama antara pemegang program promkes, kesling, dan
P2P dalam upaya untuk meningkatkan kerjasama lintas program.
Penyuluhan kepada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Ambacang tentang
penyakit,cara penularan, dan pencegahan DBD.
Penyebaran leaflet dan penempelan poster mengenai penyakit DBD,cara
penularan dan cara pencegahan DBD di wilayah kerja Puskesmas Ambacang.
Pengaktifan tim kader jumantik Puskesmas Ambacang.
Pelatihan kader jumantik.
48

Pemeriksaan jentik berkala di wilayah kerja Puskesmas Ambacang diikuti dengan
pemberian bubuk abate.
Lomba kelurahan bebas jentik.
Pertemuan dengan tokoh masyarakat (lurah, ketua RT, ketua RW) di wilayah
kerja Puskesmas Ambacan guntuk menggerakkan warganya agar melaksanakan
program 3M+.
Gotong royong rutin di lingkungan KecamatanKuranji.

5.2 Saran
Analisis penyebab masalah dan inovasi dalam pemecahan masalah tingginya
angka kejadian DBD di wilayahkerja Puskesmas Ambacang perlu ditingkatkan,
sehinggaangka kejadian DBD di wilayah Kecamatan Kuranji dapat diturunkan,
dantarget indikator Indonesia Sehat 2015 dapat tercapai.
Bagi Mahasiswa
3. Agar dapat meningkatkan kemampuan menganalisa terhadap masalah
kesehatan yang ada di wilayah kerja puskesmas serta cara
mengatasinya
Bagi Puskesmas
4. Agar dapat mengidentifikasifaktorrisikoDBD yang ada di
wilayahkerjaPuskesmas Ambacang dengan lebih baik.
5. Agar dapat lebih berupayamengendalikan faktorrisikoDBDyang
bertujuan agar angkakejadianDBD di
wilayahkerjaPuskesmasAmbacang menurun.
6. Agar dapat menyususunrencanapelaksanaankegiatanatau POA
untukkegiatanpengendalian DBD di wilayahkerjaPuskesmas
Ambacang dengan lebih baik.
Bagi Masyarakat
3. Agar dapat meningkatkan program pencegahan serta pelindungandiri
sendiri dan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Ambacang dari
serangan DBD.
4. Agar dapat meningkatkan pengetahuan serta kesadaran akan
pentingnya upaya pencegahan DBD.
49

DAFTAR PUSTAKA

Malavinge G, Fernando S, Senevirante S.Dengue Viral Infection. Postgraduate
Medical Journal. 2004;Vol 80:p. 588-601.

Kusriastuti R. Kebijaksanaan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue Di
Indonesia. Jakarta: Depkes R.I; 2005.

Siregar FA, 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di
Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara

Departemen Kesehatan RI. Perkembangan Kasus Demam Berdarah di
Indonesia. http://www.depkes.go.id. Diakses tanggal 18 Januari 2014.

Chen K, Pohan HT, Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
Dengue. Medicines 2009:22;1.

Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:
Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta:
Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2009.p.2773-9.

WHO.2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever

50

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah
Dengue. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Departemen Kesehatan Sumatera Barat. 2007. Profil kesehatan Kota Padang tahun

Laporan Tahunan Puskesmas Ambacang. 2013. Puskesmas Ambacang, Padang,
Sumatera Barat

Lokakarya Mini Puskesmas Ambacang. 2014. Puskesmas Ambacang, Padang,
Sumatera Barat

WHO. 2011. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and
Control.World Health Organization

Fact Sheet on Dengue and Dengue haemorrhagic fever.World Health Organization
Sudan, 2005. Diunduh dari www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/

Anda mungkin juga menyukai