Anda di halaman 1dari 23

16

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1.Landasan Teori
Dalam landasan teori, akan dibahas lebih lanjut mengenai Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana
Bantuan Keuangan kepada Daerah Bawahan dan Indeks Pembangunan Manusia.
Bagian ini menjabarkan teori yang melandasi penelitian ini dan beberapa peneliti
terdahulu yang telah diperluas dengan referensi atau keterangan tambahan yang
diperoleh selama penelitian.
2.1.1. Dana Alokasi Umum (DAU)
Berdasarkan Undang-undang nomor 33 tahun 2004 Dana Alokasi Umum
(DAU) merupakan sarana untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dan di
sisi lain juga memberikan sumber pembiayaan daerah. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa DAU lebih diprioritaskan untuk daerah yang mempunyai
kapasitas fiskal yang rendah. Menurut Undang-undang nomor 33 tahun 2004 porsi
DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari
Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. Sementara itu,
proporsi pembagian DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan sesuai
dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. Secara definisi
DAU dapat diartikan sebagai berikut (Sidik, 2003:25) :
1. Salah satu komponen dana perimbangan pada APBN yang pengalokasiannya
didasarkan atas konsep kesenjangan fiskal atau celah fiskal yaitu selisih antara
kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal.
17

2. Instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance yang dialokasikan dengan
tujuan peningkatan kemampuan keuangan antar daerah dan penggunaannya
ditetapkan sepenuhnya oleh daerah.
3. Equalization grant, berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan
keuangan dengan adanya PAD, bagi hasil pajak, dan bagi hasil SDA yang
diperoleh daerah otonomi dan pembangunan daerah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dana Alokasi Umum yang
selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi

2.1.2 Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan salah satu mekanisme transfer
keuangan Pemerintah Pusat ke daerah yang bertujuan antara lain untuk
meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah sesuai prioritas
nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah dan
pelayanan antar bidang (Subekan, 2012:88). DAK memainkan peran penting
dalam dinamika pembangunan sarana dan prasarana pelayanan dasar di daerah
karena sesuai dengan prinsip desentralisasitanggung jawab dan akuntabilitas bagi
penyediaan pelayanan dasar masyarakat telah dialihkan kepada pemerintah
daerah.
Dana alokasi khusus merupakan dana yang dialokasikan dari APBN ke
Daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan khusus yang merupakan urusan daerah
dan juga prioritas nasional antara lain: kebutuhan kawasan transmigrasi,
18

kebutuhan beberapa jenis investasi atau prasarana, pembangunan jalan di kawasan
terpencil, saluran irigasi primer, dan lain-lain.
Menurut UU yang baru (UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004), wilayah
yang menerima DAK harus menyediakan dana pendamping paling tidak 10% dari
DAK yang ditransfer ke wilayah, dan dana pendamping ini harus dianggarkan
dalam anggaran daerah (APBD). Meskipun demikian, wilayah dengan
pengeluaran lebih besar dari penerimaan tidak perlu menyediakan dana
pendamping. Tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua daerah menerima DAK
karena DAK bertujuan untuk pemerataan dan untuk meningkatkan kondisi
infrastruktur fisik yang merupakan prioritas nasional.

2.1.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pengertian pendapatan dapat diartikan sebagai jumlah penerimaan atau
perolehan yang berasal dari penjualan yang akan menambah jumlah harta si
penjual berupa kas ataupun piutang serta harta lainnya. Sering juga pendapatan
diartikan sebagai jumlah perolehan yang telah menjadi hak pihak yang
memperoleh. Akan tetapi pengertian seperti ini tidak dapat memberikan
pengertian yang memuaskan karena tidak menjelaskan sumber atau sehubungan
dengan kegiatan apa maka ada pendapatan tersebut, juga tidak menjelaskan apa-
apa saja yang merupakan bagian dari pendapatan. Pendapatan merupakan arus
masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal perusahaan
selama suatu periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang
tidak berasal dari kontribusi penanam modal.
Pendapatan merupakan keseluruhan penerimaan atau perolehan atau
penyelesaian kewajiban yang tercermin pada peningkatan aktiva atau penurunan
19

kewajiban suatu badan usaha dalam satu periode tertentu. Peningkatan harta
ataupun penurunan kewajiban tersebut berasal dari kegiatan utama perusahaan
ditambah dengan penerimaan atau perolehan yang timbul diluar operasi normal
perusahaan seperti halnya pendapatan dari deviden, bunga, sewa dan lain-lain.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai revisi dari UU Nomor 22 tahun 1999, pendapatan
daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Hak dan wewenang
pemerintah daerah dalam pengelolaan/penggalian sumber-sumber keuangan
daerah diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah sebagai revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, dinyatakan bahwa
kepada suatu pemerintah daerah diwajibkan untuk menggali sumber-sumber
keuangan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal
ini dapat memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah setempat untuk
menciptakan sumber pendapatan dari pajak/retribusi daerah yang baru demi
tercapainya kemajuan suatu daerah. Tentu saja dengan cara yang tidak eksploitatif
agar dimensi-dimensi yang disebutkan diatas menjadi dasar dalam menggali
sumber-sumber pendapatan daerah.
Menurut Mardiasmo (2002:132), pendapatan asli daerah adalah
penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil
perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Mangkosubroto (1997) menyatakan
bahwa pada umumnya penerimaan pemerintah diperlukan untuk membiayai
pengeluaran pemerintah. Pada umumnya penerimaan pemerintah dapat dibedakan
20

antara penerimaan pajak dan bukan pajak. Penerimaan bukan pajak, misalnya
adalah penerimaan pemerintah yang berasal dari pinjaman pemerintah, baik
pinjaman yang berasal dari dalam negeri maupun pinjaman pemerintah yang
berasal dari luar negeri.
Dari uraian tersebut dapat dimpulakan bahwa pendapatan asli daerah
merupakan penerimaan yang diperoleh oleh pemerintah daerah dari sumber-
sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan pertaruran daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.1.4. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil adalah bagian daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan, Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari
sumber daya alam. Dana bagi hasil merupakan alokasi yang pada dasarnya
memperhatikan potensi daerah penghasil (Nurcholis, 2005).
Pasal 11 UU No. 33 tahun 2004 Dana Bagi Hasil dibagi menjadi dua yaitu
dana bagi hasil pajak (DBHP) dan dana bagi hasil yang bersumber dari sumber
daya alam (DBHSDA). Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berasal dari : kehutanan; pertambangan umum; perikanan;
pertambangan minyak bumi; Pertambangan gas bumi; dan pertambangan panas
bumi. Namun perlu diketahui juga bahwa sejak diterbitkannya undang-undang
nomor 28 Tahun 2009, Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan
21

(PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sudah
diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah kabupaten dan kota dan
pengelolaannya efektif dilaksanakan mulai tahun 2011.
Dalam pasal 94 UU No 28 Tahun 2009, menyatakan bahwa hasil
penerimaan pajak provinsi sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota. Bagi
hasil pajak provinsi terdiri dari hasil penerimaan pajak kendaraan bermotor dan
bea balik nama kendaraan bermotor, hasil penerimaan pajak bahan bakar
kendaraan bermotor, hasil penerimaan pajak rokok, dan hasil penerimaan pajak air
permukaan.

2.1.5. Dana Bantuan Keuangan kepada Daerah Bawahan
Menurut Ardios dalam bukunya Kamus Besar Akuntansi mendefinisikan
sebagai berikut: Pada umumnya dana berarti uang, surat berharga serta harta
lainnya yang sengaja disisihkan bagi suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Dana bantuan daerah bawahan adalah suatu dana yang diberikan pemerintah
provinsi sebagai subsidi kepada pemerintah kabupaten/kota dalam meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat.
Dana bantuan keuangan kepada daerah bawahan merupakan sumber
pendapatan daerah bagi pemerintah kabupaten/kota yang berasal dari APBD
provinsi untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Menurut Elmi
(2002), secara umum tujuan pemerintah pusat melakukan transfer dana kepada
pemerintah daerah adalah:
22

1. Sebagai tindakan nyata untuk mengurangi ketimpangan pembagian
pendapatan nasional, baik vertikal maupun horisontal.
2. Suatu upaya untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah dengan
menyerahkan sebagian kewenangan dibidang pengelolaan keuangan
negara dan agar manfaat yang dihasilkan dapat dinikmati oleh rakyat di daerah
yang bersangkutan. Demikian juga pemerintah provinsi, sebagai penghubung
kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, juga mengalokasikan
dana transfer ke pemerintah kabupaten/kota untuk mengurangi ketimpangan
dan meningkatkan efisiensi pengeluaran.
Pemerintah provinsi mengalokasikan belanja bantuan keuangan kepada
pemerintah kabupaten/kota yang akan menjadi sumber pendapatan bagi
pemerintah kabupaten/kota yang dianggarkan dalam kelompok lain-lain
pendapatan daerah yang sah berupa bantuan keuangan dari provinsi atau yang
lebih dikenal dengan istilah Bantuan Keuangan kepada Daerah Bawahan (BDB).
Belanja bantuan keuangan provinsi adalah belanja yang digunakan untuk
menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi
kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah lainnya
dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, bantuan
keuangan digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat
umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan
kepada pemerintah daerah lainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada
pemerintah desa dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan
dan/atau peningkatan kemampuan keuangan.
23

Bantuan keuangan yang bersifat umum, peruntukan dan penggunaannya
diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten/kota/pemerintah desa
penerima bantuan. Bantuan keuangan yang bersifat khusus, peruntukan dan
pengelolaannya diarahkan/ditetapkan oleh pemerintah daerah pemberi bantuan
(pemerintah provinsi). Pemberi bantuan bersifat khusus dapat mensyaratkan
penyediaan dana pendamping dalam APBD atau anggaran pendapatan dan belanja
desa penerima bantuan yang akan digunakan untuk membiayai pelaksanaan
program dan kegiatan bagi penerima bantuan.
Dari uraian tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa bantuan keuangan
kepada daerah bawahan merupakan bantuan yang bersifat umum yang
peruntukan dan penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah
kabupaten/kota/pemerintah desa penerima bantuan, maupun bersifat khusus yang
peruntukan dan pengelolaannya diarahkan/ditetapkan oleh pemerintah daerah
pemberi bantuan guna membiayai program dan kegiatan di pemerintah daerah
penerima bantuan untuk pencapaian target kinerja yang telah ditetapkan.
2.1.6. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Pembangunan merupakan suatu kegiatan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di berbagai aspek kehidupan yang dilakukan secara
terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan memperhitungkan
kemampuan sumber daya, informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta memperhatikan perkembangan sosial (Bappenas dalam Melliana
dan Zain, 2013:237). Pembangunan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera.
24

Dengan adanya perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang dulu
sentralisasi menjadi desentralisasi sejak tahun 1999, maka pemerintah daerah
harus berupaya untuk menetapkan kebijakan pengganggaran dengan menyediakan
sumber-sumber pendapatan dan mengarahkan penggunaanya untuk pengeluaran
dalam rangka pencapaian kesejahteraan masyarakat. Hoffman dan Gibson (2005)
telah melakukan penelitian terkait sumber pendapatan dan pengaruhnya terhadap
pengeluaran pemerintah daerah yang diterbitkan oleh University of California,
San Diego yang berjudul Fiscal Governance and Public Services: Evidence from
Tanzania and Zambia. Hoffman dan Gibson menyatakan bahwa:
using data from local government budgets in Tanzania and Zambia, we
find that local government in both countries produce more public services
as their budgets share of local taxes increases.
Pernyataan tersebut berarti pemerintah daerah di negara Tanzania dan
Zambia akan meningkatkan pelayanan publik seiring dengan peningkatan
pendapatan pajak daerah meningkat. Selanjutnya masih menurut Hoffman dan
Gibson, sumber dana dari eksternal (pemerintah pusat maupun lainnya) akan
mendorong pemerintah kabupaten untuk menggunakan pendapatan asli daerah
untuk konsumsi.
Penelitian lain oleh Rully Prassetya (2013), dalam penelitiannya yang
berjudul Fiscal Decentralization, Governnance, and Development: The Case of
Indonesia, menyatakan bahwa desentralisasi fiskal dimaksudkan untuk
meningkatkan pembangunan secara langsung. Penelitian yang dilakukan terhadap
33 provinsi di Indonesia selama lima tahun (2007-2011) tersebut menghasilkan
kesimpulan bahwa fiscal transfer (dana perimbangan) dari pemerintah pusat
25

kepada pemerintah daerah telah tumbuh terus sejak 2005, dan rata-rata meningkat
17%. Hal ini berarti bahwa desentralisasi fiskal telah dikembangkan dan tumbuh
di Indonesia. Secara teori, desentralisasi fiskal akan meningkatkan
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan, karena akan mendorong
pemerintah untuk lebih akuntabel dan menerima partisipasi yang lebih besar dari
publik. Akhirnya hal tersebut akan memberikan pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi kepada daerah baik provinsi maupun kabupaten. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal mempunyai pengaruh yang positif untuk
pembangunan di pemerintah daerah yang diukur dari tingkat kemiskinan, Human
Development Index (HDI), rata-rata lulusan sekolah tinggi, angka kematian per
100-kelahiran dan Regional Gross Domestic Product (RGDP).
Dari uraian tersebut di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa salah satu
indikator penting yang dapat digunakan untuk mengukur hasil pembangunan
adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Melliana dani Zain, 2013:237). Indeks
Pembangunan Manusia merupakan indeks komposit yang digunakan untuk
mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga hal mendasar
pembangunan manusia, yaitu: (1) lamanya hidup yang diukur dengan harapan
hidup pada saat lahir; (2) tingkat pendidikan, yang diukur dengan kombinasi
antara angka melek huruf pada penduduk dewasa (dengan bobot dua per tiga) dan
rata-rata lama sekolah (dengan bobot sepertiga); dan (3) tingkat kehidupan yang
layak, diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan (PPP Rupiah)
(Mirza, 2012:4).
Indeks pembangunan manusia merupakan salah satu alat ukur yang dapat
digunakan untuk menilai kualitas pembangunan manusia, baik dari sisi
26

dampaknya terhadap kondisi fisik manusia (kesehatan dan kesejahteraan) maupun
yang bersifat non-fisik (pendidikan). Pembangunan yang berdampak pada kondisi
fisik masyarakat misalnya tercermin dalam angka harapan hidup serta kemampuan
daya beli masyarakat, sedangkan dampak non-fisik dapat dilihat dari kualitas
pendidikan masyarakat.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development Index (HDI)
adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan
standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk
mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara
berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari
kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Indeks Pembangunan Manusia ini
ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel India Amartya Sen dan
Mahbub ul Haq seorang ekonom Pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale
University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics dan sejak
itu dipakai oleh Program Pembangunan PBB pada laporan HDI tahunannya.
Digambarkan sebagai "pengukuran vulgar" oleh Amartya Sen karena batasannya,
indeks ini lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya
sekedar pendapatan perkapita yang selama ini digunakan, dan indeks ini juga
berguna sebagai jembatan bagi peneliti yang serius untuk mengetahui hal-hal yang
lebih terinci dalam membuat laporan pembangunan manusianya.
HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar
pembangunan manusia:
a. Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat
kelahiran.
27

b. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa
(bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas
gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
c. Standard kehidupan yang layak diukur dengan GDP per kapita gross domestic
product/produk domestik bruto dalam paritas kekuatan beli purchasing power
parity dalam Dollar AS.

Secara umum metode penghitungan IPM yang digunakan di Indonesia sama
dengan metode penghitungan yang digunakan oleh UNDP. IPM di Indonesia
disusun berdasarkan tiga komponen indeks yaitu: 1) Indeks angka harapan hidup;
2) Indeks pendidikan, yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah (rata-rata
jumlah tahun yang telah dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di
seluruh jenjang pendidikan formal yang dijalani) dan angka melek huruf latin atau
lainnya terhadap jumlah penduduk usia 15 tahun atau lebih); 3) Indeks standar
hidup layak, yang diukur dengan pengeluaran per kapita (PPP/Purchasing Power
Parity/Paritas daya beli dalam rupiah). IPM merupakan rata-rata dari ketiga
komponen tersebut, dengan rumus :
IPM=(X1+X2+X3)/3
Dimana :
X1= angka harapan hidup
X2= tingkat pendidikan
X3= tingkat kehidupan layak
Masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan perbandingan
antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai
28

maksimum dari nilai indikator yang bersangkutan. Rumusannya dapat disajikan
sebagai berikut:
1. Indeks harapan hidup :
X1 =[(eo-25)/(85-25)] x 100
Dimana :
X1 = indeks harapan hidup
eo = angka harapan hidup
25 = angka minimum harapan hidup (UNDP)
85 = angka maksimum harapan hidup (UNDP)
2. Indeks pendidikan :
X2 = [2/3[(Lit-0)/(100-0)] + 1/3[(MYS-0)/(15-0)]]x100
Dimana :
X2 = indeks pendidikan
Lit = angka melek huruf
MYS = lama sekolah
0 = angka minimum baik untuk lit maupun MYS
100 = angka maksimum lit (melek huruf)
15 = angka maksimum untuk MYS (lama sekolah)
3. Indeks standar hidup layak :
X3 = [(PPP-300,00)/(732,7-300,00)]x100
PPP = nilai konsumsi riil per kapita yang disesuaikan
300,00 = nilai standar minimal (standar UNDP)
732,00 = nilai standar maksimum (standar UNDP)
Tabel 2.1 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM
29

Indikator IPM Nilai
Minimum
Nilai
Maksimum
Keterangan
Angka Harapan Hidup 25 85 Berdasarkan standar
global (UNDP)
Angka Melek Huruf 0 100 Berdasarkan standar
global (UNDP)
Rata-rata lama sekolah 0 15 Berdasarkan standar
global (UNDP)
Konsumsi per kapita yang
disesuaikan
300.000 732.720 PDB per kapita riil yang
disesuaikan
Sumber : Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Tahun 2001
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Sumatera Utara secara umum
selalu meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2012 berada pada posisi 75,13 atau
meningkat sebesar 0,64% dari tahun 2011 sebesar 74,65. Posisi tahun 2011
tersebut meningkat sebesar 0,62% dari tahun 2010 yang berada pada posisi 74,19.
Demikian juga tahun 2010 meningkat 0,53% dari posisi tahun 2009 73,8.
Sedangkan berdasarkan kategori, seluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara
termasuk berada pada IPM kategori sedang (50-80). Perkembangan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Sumatera Utara tahun 2009-2012 dapat dilihat pada
tabel 2.2.
Untuk kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara, peringkat IPM
tahun 2012 terbaik diraih oleh Kota Pematang Siantar dengan IPM sebesar 78,27
dan terendah berada pada kabupaten pemekaran yaitu Nias Barat dengan nilai
67,59. Kondisi ini sama dengan keadaan IPM kabupaten dan kota di Sumatera
Utara untuk tahun 2011, dimana Kota Pematang Siantar dan Kabupaten Nias
Barat menduduki peringkat pertama dan terakhir.


30

Tabel 2.2
Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Sumatera Utara 2009-2012
Provinsi/Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012
Sumatera Utara 73,8 74,19 74,65 75,13
01. N i a s 68,26 68,66 69,09 69,55
02. Mandailing Natal 70,27 70,6 71,04 71,44
03. Tapanuli Selatan 73,64 74,02 74,45 74,78
04. Tapanuli Tengah 70,91 71,21 71,63 72,04
05. Tapanuli Utara 73,85 74,31 74,86 75,33
06. Toba Samosir 76,22 76,55 76,93 77,21
07. Labuhanbatu 73,61 74,03 74,65 75,29
08. A s a h a n 72,16 72,54 73,25 73,8
09. Simalungun 73,13 73,5 73,94 74,35
10. D a i r i 72,38 72,86 73,49 73,86
11. K a r o 74,84 75,34 75,79 76,22
12. Deli Serdang 74,67 75,28 75,78 76,17
13. L a n g k a t 72,82 73,18 73,62 73,98
14. Nias Selatan 66,27 67,15 67,72 68,23
15. Humbang Hasundutan 71,64 71,94 72,43 72,96
16. Pakpak Bharat 70,36 70,8 71,2 72
17. Samosir 73,42 73,7 74,27 74,72
18. Serdang Bedagai 72,94 73,25 73,64 74,07
19. Batu Bara 71,25 71,62 72,08 72,8
20. Padang Lawas Utara 72,11 72,52 73,25 73,59
21. Padang Lawas 71,68 71,98 72,55 72,96
22. Labuhanbatu Selatan 73,52 73,84 74,38 74,9
23. Labuhanbatu Utara 73,1 73,45 74,14 74,92
24. Nias Utara 67,36 67,75 68,18 68,71
25. Nias Barat 65,96 66,46 67,1 67,59
26. S i b o l g a 74,82 75,08 75,5 75,73
27. Tanjungbalai 73,64 74,14 74,72 75,06
28. Pematangsiantar 77,18 77,51 77,93 78,27
29. Tebing Tinggi 76,1 76,49 76,91 77,34
30. M e d a n 76,99 77,36 77,81 78,25
31. B i n j a i 76,09 76,41 76,88 77,36
32. Padangsidimpuan 74,77 75,21 75,58 76,04
33. Gunungsitoli 71,33 71,67 72,21 72,71
Sumber : BPS Sumatera Utara (diolah)



31

2.2.Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pengaruh
pertumbuhan ekonomi, DAU, DAK, PAD, DBH terhadap Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) dengan Bantuan Keuangan kepada Daerah Bawahan (DBDB)
sebagai variabel moderating (Studi Empiris pada Pemerintah Kabupaten/Kota se
Sumatera Utara adalah : Setyowati dan Suparwati (2012) yang melakukan studi
mengenai Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi
Khusus, Pendapatan Asli Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia dengan
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal sebagai variabel intervening (Studi
Empiris Pemerintah Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum, Dana
Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia
dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal sebagai variabel intervening
pemerintah kabupaten/kota se-Jawa Tengah. Metode penelitian menggunakan
analisis jalur dengan dua tahap, yaitu tahap pertama menganalisis pengaruh
Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan
Asli Daerah terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (variabel
intervening) dengan alat analisis regresi berganda dan tahap kedua menganalisis
pengaruh Pengalokasian Anggaran Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan
Manusia dengan alat analisis regresi sederhana. Hasil penelitian menemukan
bahwa Pertumbuhan Ekonomi (PE) terbukti tidak berpengaruh positif terhadap
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja
Modal (PABM), Dana Alokasi Umum (DAU) terbukti berpengaruh posititf
terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran
32

Belanja Modal (PABM), Dana Alokasi Khusus (DAK) terbukti berpengaruh
positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal (PABM), Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbukti
berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM), dan Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal (PABM) yang diproksikan dengan Belanja Modal (BM) terbukti
berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Sari (2011) melakukan studi dengan judul Analisis Pengaruh Tingkat
Kemandirian Fiskal, Pendapatan Asli Daerah terhadap Indeks Pembangunan
Manusia melalui Belanja Modal di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Tingkat Kemandirian
Fiskal, dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap IPM melalui belanja
modal sebagai variabei intervening di kabupaten/kota se-Provinsi Sumatera Utara.
Metode penelitian ini menggunakan alat analisis regresi linier berganda, dari
variabel TKF dan PAD dan regresi jalur terhadap variabel intervening Belanja
Modal, dengan populasi penelitian adalah pemerintah daerah kabupaten/kota di
Sumatera Utara periode pengamatan tahun 2005-2009. Dari 25 kabupaten/kota di
Sumatera Utara, 22 kabupaten/kota yang diamati. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara simultan Tingkat Kemandirian Fiskal, Pendapatan Asli Daerah
berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di pemerintah
kabupaten/kota di Sumatera Utara. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
Tingkat Kemandirian Fiskal melalui belanja modal sebagai variabel intervening
berpengaruh secara tidak langsung terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
Tingkat Kemandirian Daerah diukur dari persentase penerimaan PAD dibagi
33

dengan Total Penerimaan Daerah. Hal ini menandakan bahwa dalam manajemen
perencanaan pemerintah daerah, semakin aktif suatu pemeritah daerah untuk
meningkatkan Tingkat Kemandirian Fiskal dan PAD, maka berpengaruh terhadap
kenaikan IPM. Secara parsial menunjukkan bahwa TKF tidak berpengaruh
terhadap IPM kabupaten/kota di Sumatera Utara. Hal ini menunjukkan bahwa
secara parsial pola manajemen perencanaan pemerintah daerah kabupaten/kota di
Sumatera Utara, dalam jangka pendek tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap IPM, dimana penerimaan daerah yang menunjang TKF sangat kecil.
Berbeda dengan TKF, hasil penelitian menunjukkan PAD secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap IPM. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka
waktu yang pendek maupun jangka panjang PAD berpengaruh terhadap
peningkatan IPM karena sebagian PAD digunakan untuk membiayai kebutuhan
sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat untuk mendorong percepatan
pembangunan daerah.
Lugastoro dan Ananda (2013) melakukan studi mengenai Analisis
Pengaruh PAD dan Dana Perimbangan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia
Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh realisasi pendapatan asli daerah (PAD), realisasi dana perimbangan
(dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil) dan pertumbuhan
ekonomi terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) kabupaten/kota di Jawa
Timur. PAD dan dana perimbangan sebagai variabel utama dirasiokan dengan
belanja modal. Hal ini berarti menunjukkan seberapa besar kemampuan PAD dan
dana perimbangan dalam membiayai belanja modal daerah, sedangkan
pertumbuhan ekonomi merupakan variabel kontrol berdasar kajian teori dari
34

Human Development Report UNDP tahun 1996. Analisis penelitian menggunakan
analisis data panel dengan pendekatan random effect model (REM). Hasil
penelitian menemukan bahwa rasio PAD dan DAK terhadap belanja modal dan
pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif signifikan terhadap IPM sedangkan
variabel DAU berpengaruh negatif signifikan. Sementara itu rasio DBH terhadap
belanja modal menjadi satu-satunya variabel yang tidak signifikan mempengaruhi
IPM. Pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dengan pengaruh paling dominan
terhadap IPM.
Rosiana (2010) melakukan studi dengan judul Analisis Pengaruh
Determinan Indeks Pembangunan Manusia Dikaitkan dengan Pembangunan
Wilayah pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui dan menganalisa apakah terdapat pengaruh Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Pertumbuhan Ekonomi
terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada Kabupaten/Kota di Sumatera
Utara. Populasi dalam penelitian ini adalah Pemerintah Kabupeten/Kota se-
Sumatera Utara yang terdiri dari 23 Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera
Utara. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa Laporan Realisasi
APBD Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara tahun 2003-2007. Metode
penelitian menggunakan metode kuantitatif, pengujian metode Generalized Linier
Regression dengan analisis regresi berganda random effect. Hasil penelitian
menemukan bahwa secara simultan terdapat pengaruh Dana Alokasi Umum
(DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.
Secara parsial Pertumbuhan Ekonomi yang diproksikan dengan PDRB harga
35

berlaku berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di
Kabupaten Kota di Sumatera Utara, sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
besarnya Indeks Pembangunan Manusia.
Ubar (2010) melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil Terhadap Indeks
Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisa apakah terdapat pengaruh
Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil
(DBH) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara. Populasi dalam penelitian ini adalah Pemerintah Kabupeten/Kota
se-Sumatera Utara yang terdiri dari 25 Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera
Utara. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa Laporan Realisasi
APBD Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara tahun 2005-2007. Metode
penelitian menggunakan metode regresi berganda dengan lag setahun. Hasil
penelitian menemukan bahwa secara simultan terdapat pengaruh Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH)
terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada Kabupaten/Kota di Sumatera
Utara. Secara parsial DAU, DAK dan DBH tidak berpengaruh terhadap Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara.
Wandira (2013) melakukan studi mengenai Pengaruh PAD, DAU, DAK,
dan DBH terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil
36

(DBH) terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada pemerintah provinsi se
Indonesia baik secara simultan maupun parsial. Populasi dalam penelitian ini
adalah Pemerintah Provinsi se-Indonesia yang terdiri dari 33 Provinsi Tahun
2012. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa Laporan Realisasi
APBD Pemerintah Provinsi se-Indonesia tahun 2012. Metode penelitian
menggunakan alat analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian menemukan
bahwa DAU dengan arah negatif, DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap
belanja modal. Sedangkan PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja
modal. Secara simultan variabel PAD, DAU, DAK, dan DBH berpengaruh
signifikan terhadap belanja modal.
Oktora dan Pontoh (2013) melakukan studi mengenai Analisis Hubungan
Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus dengan
Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi
Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memperoleh bukti
empiris tentang hubungan antara pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan
dana alokasi khusus dengan belanja modal pada Pemerintah Daerah Kabupaten
Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah. Metode penelitian menggunakan alat analisis
korelasi. Hasil penelitian menemukan bahwa hubungan PAD dengan Belanja
Modal menunjukkan terdapat hubungan yang kurang erat akibat rendahnya
proporsi PAD dalam komposisi Pendapatan Daerah. Hubungan antara DAU
dengan Belanja Modal adalah sangat erat. Hubungan DAK dengan Belanja Modal
menunjukkan hubungan yang erat.
Hasil reviu dan penelaahan atas kesimpulan penelitian dari peneliti
terdahulu tersebut dapat disajikan pada tabel 2.3. sebagai berikut :
37

Tabel 2.3. Review Penelitian Terdahulu
Nama/Tahun
Peneliti
Judul Penelitian Variabel yang
Digunakan
Hasil yang Diperoleh

Setyowati
dan
Suparwati
(2012)
Pengaruh Pertumbuhan
Ekonomi, Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi
Khusus, Pendapatan
Asli Daerah terhadap
Indeks Pembangunan
Manusia dengan
Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal sebagai
variabel intervening
(Studi Empiris
Pemerintah Kabupaten/
Kota se-Jawa Tengah)
Pertumbuhan
Ekonomi (X1),
DAU (X2),
DAK (X3),
PAD (X4) IPM
(Y)
Pengalokasian
Anggaran
Belanja Modal
(X5) sebagai
variabel
intervening
Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa Pertumbuhan Ekonomi (PE)
terbukti tidak berpengaruh posititf
terhadap Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) melalui
Pengalokasian Anggaran Belanja
Modal (PABM) sedangkan Dana
Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi
Khusus (DAK) dan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) terbukti berpengaruh
posititf terhadap Indeks
Pembangunan Manusia (IPM)
melalui Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal (PABM), dan
Pengalokasian Anggaran Belanja
Modal (PABM) yang diproksikan
dengan Belanja Modal (BM) terbukti
berpengaruh positif terhadap Indeks
Pembangunan Manusia (IPM).

Ayu Kurnia
Sari (2011)
Analisis Pengaruh
Tingkat Kemandirian
Fiskal, Pendapatan Asli
Daerah terhadap Indeks
Pembangunan Manusia
dengan Melalui Belanja
Modal di Kabupaten/
Kota Provinsi Sumatera
Utara
Kemandirian
Fiskal
(X1),PAD (X2),
IPM (Y).
Belanja Modal
(Z) sebagai
variabel
intervening
Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa secara simultan Tingkat
Kemandirian Fiskal (TKF) dan PAD
terbukti berpengaruh posititf
terhadap Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Pendapatan Asli
Daerah (PAD) berpengaruh langsung
terhadap IPM tanpa melalui Belanja
Modal. Tingkat Kemandirian Fiskal
(TKF) berpengaruh tidak secara
langsung terhadap IPM melalui
Belanja Modal. Secara parsial
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
berpengaruh signifikan terhadap
Indeks Pembangunan Manusia.
Secara parsial Tingkat Kemandirian
Fiskal (TKF) tidak berpengaruh
signifikan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia.
Lugastoro
dan Ananda
(2013)
Analisis Pengaruh PAD
dan Dana Perimbangan
Terhadap Indeks
Pembangunan Manusia
Kabupaten/Kota di
Jawa Timur.
PAD (X1),
Dana
Perimbangan
(X2) dan IPM
(Y)
Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa rasio PAD dan DAK terhadap
belanja modal dan pertumbuhan
ekonomi berpengaruh positif
signifikan terhadap IPM sedangkan
variabel DAU berpengaruh negatif
signifikan. Rasio DBH terhadap
belanja modal menjadi satu-satunya
variabel yang tidak signifikan
mempengaruhi IPM. Pertumbuhan
ekonomi menjadi variabel dengan
pengaruh paling dominan terhadap
IPM.
Dina Rosiana
Sihombing
(2010)
Analisis Pengaruh
Determinan Indeks
Pembangunan Manusia
Dikaitkan dengan
Pembangunan Wilayah
pada Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara
DAU (X1),
DAK (X2),
Pertumbuhan
Ekonomi (X3)
dan IPM (Y)
Hasil penelitian menemukan bahwa
secara simultan terdapat pengaruh
Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK, dan
Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) pada Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara. Secara parsial
Pertumbuhan Ekonomi yang
38

Nama/Tahun
Peneliti
Judul Penelitian Variabel yang
Digunakan
Hasil yang Diperoleh

diproksikan dengan PDRB harga
berlaku yang berpengaruh signifikan
terhadap Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) di Kabupaten Kota
di Sumatera Utara, sedangkan Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) tidak
berpengaruh secara signifikan
terhadap besarnya Indeks
Pembangunan Manusia.
Riva Ubar
Harahap
(2010)
Pengaruh Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK),
dan Dana Bagi Hasil
(DBH) Terhadap Indeks
Pembangunan Manusia
pada Kabupaten/Kota di
Provinsi Sumatera
Utara
DAU (X1),
DAK (X2),
DBH (X3) dan
IPM (Y)
Hasil penelitian menemukan bahwa
pengujian secara simultan DAU,
DAK dan DBH berpengaruh
terhadap IPM. Secara parsial DAU,
DAK dan DBH tidak berpengaruh
terhadap IPM.
Wandira
(2013)
Pengaruh PAD, DAU,
DAK, dan DBH
terhadap Pengalokasian
Belanja Modal.
PAD (X
1
),
DAU (X
2
),
DAK (X
3
),
DBH (X4) dan
Pengalokasian
Belanja Modal
(Y)
Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa DAU dengan arah negatif,
DAK dan DBH berpengaruh
signifikan terhadap belanja modal.
Sedangkan PAD tidak berpengaruh
signifikan terhadap belanja modal.
Secara simultan variabel PAD, DAU,
DAK, dan DBH berpengaruh
signifikan terhadap belanja modal.

Oktora dan
Pontoh
(2013)
Analisis Hubungan
Pendapatan Asli Daerah,
Dana Alokasi Umum,
dan Dana Alokasi
Khusus dengan Belanja
Modal pada Pemerintah
Daerah Kabupaten
Tolitoli Provinsi
Sulawesi Tengah.
PAD (X1),
DAU (X2),
DAK (X3) dan
Belanja Modal
(Y)
Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa hubungan PAD dengan
Belanja Modal terdapat hubungan
yang kurang erat akibat rendahnya
proporsi PAD dalam komposisi
Pendapatan Daerah. Hubungan
antara DAU dengan Belanja Modal
adalah sangat erat. Hubungan DAK
dengan Belanja Modal menunjukkan
hubungan yang erat.

Anda mungkin juga menyukai