Anda di halaman 1dari 8

EFEK RADIASI DAN PROTEKSI RADIASI

RINGKASAN
Radiasi yang berasal dari alam dan bukan dari hasil aktivitas manusia disebut
radiasi alam. Berdasarkan sumbernya, radiasi alam dikelompokkan ke dalam dua
jenis, yaitu radiasi kosmik dan radiasi yang berasal dari bahan radioaktif yang
berada dalam kerak bumi. Radiasi kosmik terdiri dari radiasi kosmik primer yang
berasal dari luar angkasa dan masuk ke atmosfir bumi, dan radiasi kosmik
sekunder yang terjadi akibat interaksi antara radiasi kosmik primer dengan
unsur-unsur di angkasa.
URAIAN
Radiasi alam adalah radiasi yang ada di alam berupa radiasi kosmik dan radiasi
yang berasal dari bahan radioaktif yang ada dalam kerak bumi (radionuklida
terestrial). Radiasi yang terpancar dari inti atom akibat interaksi antara radiasi
kosmik dengan inti atom yang ada di atmosfir bumi (radionuklida kosmogenik)
adalah radiasi yang paling umum. Di sini akan dibahas radiasi yang berasal dari
radiasi kosmik dan dari radionuklida terestriall.(Gambar 1).
1. Radiasi Kosmik
Radiasi kosmik terdiri dari radiasi berenergi tinggi yang berasal dari luar angkasa
yang masuk ke atmosfir bumi (radiasi kosmik primer), partikel sekunder dan
gelombang elektromagnetik yang terjadi akibat interaksi radiasi kosmik primer
dengan inti atom yang ada di atmosfir.
1.1. Radiasi Kosmik Primer
Bagian terbesar dari radiasi kosmik primer adalah radiasi Bima Sakti primer yang
berasal dari sistem tata surya, terutama partikel yang berasal dari flare matahari
seperti partikel proton (90 %) dan partikel alfa (10%). Selain itu, dalam jumlah
yang kecil terdapat inti atom berat, elektron, foton, dan neutrino.
Besarnya fluks radiasi kosmik yang masuk ke bumi dipengaruhi oleh medan
magnet bumi dan aktivitas matahari. Di daerah pada garis lintang rendah,
partikel berenergi rendah dibelokkan kembali ke angkasa, sehingga fluks radiasi
kosmik pada daerah tersebut lebih rendah dari pada fluks di daerah pada garis
lintang tinggi (efek posisi lintang). Partikel proton berenergi rendah dari radiasi
Bima Sakti primer menunjukkan fluktuasi dengan periode 11 tahun sesuai dengan
aktivitas matahari (modulasi). Fluks partikel tersebut akan menjadi sangat kecil
pada saat aktivitas matahari sangat tinggi, sebaliknya pada saat aktivitas
matahari paling kecil fluksnya menjadi paling besar.
1.2 Radiasi Kosmik Sekunder
Setelah memasuki atmosfir, radiasi kosmik primer akan mengalami berbagai
reaksi dengan inti atom yang ada di atmosfir dan menghasilkan partikel dan inti
atom yang baru. Partikel radiasi kosmik berenergi tinggi mengalami reaksi inti
yang disebut reaksi tumbukan dengan inti atom udara dan menghasilkan materi
hasil reaksi partikel sekunder seperti neutron, proton, p meson, K meson dan
lain-lain, serta inti He-3 (helium), Be-7 (berilium), Na-22 (natrium). Selanjutnya
partikel proton, neutron, p meson berenergi tinggi bereaksi dengan inti atom
yang ada di udara, dan menghasilkan partikel sekunder lebih banyak (cascade).
Kemudian p meson meluruh dan berubah menjadi muon atau foton dan
menghasilkan penggandaan jenis yang lain. Partikel yang terjadi disebut radiasi
kosmik sekunder. Selain itu, H-3, Be-7, Na-22 adalah materi yang memancarkan
radiasi. Materi ini disebut radionuklida kosmogenik dan dianggap berbeda dengan
radiasi kosmik sekunder.
Radiasi kosmik dapat sampai ke permukaan bumi dan mengionisasi udara.
Besarnya ionisasi udara di sekitar permukaan laut sekitar 75% disebabkan oleh
elektron yang lepas karena tumbukan muon, dan 15% disebabkan oleh elektron
yang terjadi akibat peluruhan muon. Selain itu, neutron yang merupakan bagian
dari radiasi kosmik memberikan dosis efektif tahunan sekitar 8% dari partikel
yang dihasilkan karena ionisasi.
Intensitas radiasi kosmik juga bervariasi bergantung pada ketinggian. Pada
ketinggian 2.000 m jumlah ionisai yang terjadi sekitar 2 kali jumlah ionisasi di
permukaan laut, pada ketinggian 5.000 m sekitar 10 kali, dan pada ketinggian
10.000 m sekitar 100 kali.
2. Radiasi dari Radionuklida alam
Dari seluruh radionuklida yang ada di bumi, sebagian besar merupakan inti atom
yang ada di kerak bumi sejak bumi terbentuk (radiasi primordial). Selain itu
terdapat inti yang terjadi dari interaksi antara radiasi kosmik dengan inti atom
yang ada di udara, bahan radioaktif akibat peluruhan spontan atau akibat
interaksi dengan neutron dari radiasi kosmik, dan radionuklida yang pernah ada
tetapi saat ini sudah musnah karena umur paronya pendek. Jumlah inti yang
musnah ini tidak begitu banyak. Di bawah ini akan dijelaskan radiasi yang
dipancarkan oleh radionuklida terestrial yang ada sejak terbentuknya bumi.
2.1 Radiasi dari radionuklida primordial
Terdapat tiga jenis radionuklida primordial utama yaitu kalium-40 (K-40 umur
paro 1,25 milyar tahun), Th-232 (umur paro 14 milyar tahun) yang merupakan
inti awal deret thorium, dan U-238 (umur paro 4,5 milyar tahun) yang
merupakan inti awal deret uranium. Radionuklida dalam deret uranium maupun
thorium mengalami peluruhan a, b maupun g. K-40 mengalami peluruhan b
berubah menjadi Ca-40 dan Ar-40 dengan memancarkan radiasi b dan g.
Radionuklida ini ada dalam hampir semua materi seperti kerak bumi, bebatuan,
lapisan tanah, air laut, bahan bangunan dan tubuh manusia dengan kadar yang
berbeda-beda. Secara umum batuan dari gunung berapi memiliki kadar
radionuklida yang lebih tinggi dari pada batuan endapan. Jadi, kerapatan
radionuklida berbeda-beda bergantung kepada jenis tanah dan unsur
pembentuknya, dan ini adalah penyebab utama adanya perbedaan dosis radiasi
dari suatu tempat dengan lainnya.
Di dalam deret uranium dan thorium terdapat gas mulia Rn-222 dan Rn-220
(radon). Sebagian dari gas yang muncul/terjadi dalam deret peluruhan ini akan
keluar dari lapisan tanah atau bahan bangunan. Partikel inti hasil peluruhan dapat
menempel pada aerosol di udara dan mengubah aerosol itu menjadi aerosol
radioaktif alam. Paparan radiasi (dosis efektif) akibat menghirup aerosol
radioaktif merupakan komponen terbesar di antara radiasi alam. Di dalam
bangunan yang terbuat dari batuan yang kerapatan materi radioaktifnya tinggi,
kerapatan aerosol radioaktif di udara juga tinggi; dan karenanya dosis radiasi
pada sistem pernafasan juga meningkat maka kerapatan dan dinamika Rn dan
hasil peluruhannya di udara dalam ruangan menjadi suatu masalah.
Paparan radiasi dari radionuklida di luar ruangan ditentukan oleh kerapatan
radionuklida di dalam lapisan tanah di tempat itu, sedangkan di dalam ruangan,
faktor penentunya adalah kerapatan radionuklida di dalam bahan bangunan dan
efek kungkungan. Di luar ruangan, laju dosis rata-rata akibat menghirup udara (1
m di atas tanah) di Jepang adalah 49 nGy/jam (terkecil 5, terbesar 100), hampir
sama dengan nilai rata-rata dunia (55 nGy/jam). Data pengukuran di 23 negara
termasuk Austria dan Denmark menunjukkan nilai rata-rata 24 ~ 85 nGy/jam,
dan nilai rata-rata di satu negara sangat berbeda dengan di negara lain. Dari
daerah-daerah tersebut ada sebagian wilayah yang laju dosisnya sangat tinggi,
misalnya di wilayah Kerala (India) yang banyak mengandung monasit (150 ~
1000 nGy/jam), dan wilayah Karabari di Brazil (130 ~ 1200 nGy/jam).









Efek Radiasi pada Tubuh Manusia
Kerusakan sel akan mempengaruhi fungsi jaringan atau organ bila jumlah sel yang
mati/rusak dalam jaringan/organ tersebut cukup banyak. Semakin banyak sel yang
rusak/mati, semakin parah gangguan fungsi organ yang dapat berakhir dengan
hilangnya kemampuan untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Perubahan
fungsi sel atau kematian dari sejumlah sel menghasilkan suatu efek biologi dari
radiasi yang bergantung antara lain pada jenis radiasi (LET), dosis, jenis sel dan
lainnya.
Pada tubuh manusia, secara umum terdapat dua jenis sel yaitu sel genetik dan sel
somatik. Sel genetik adalah sel ogonium (calon sel telur) pada perempuan dan
sel spermatogonium (calon sel sperma) pada laki-laki. Sedangkan sel somatik
adalah sel-sel lainnya yang ada dalam tubuh. Bila dilihat dari jenis sel, maka
efek radiasi dapat dibedakan atas efek genetik dan efek somatik.

Waktu yang dibutuhkan sampai terlihatnya gejala efek somatik sangat bervariasi
sehingga dapat dibedakan atas efek segera dan efek tertunda. Efek segera adalah
kerusakan yang secara klinik sudah dapat teramati pada individu terpapar dalam
waktu singkat (harian sampai mingguan) setelah pemaparan, seperti epilasi
(rontoknya rambut), eritema (memerahnya kulit), luka bakar dan penurunan jumlah
sel darah. Sedangkan efek tertunda merupakan efek radiasi yang baru timbul
setelah waktu yang lama (bulanan-tahunan) setelah terkena paparan radiasi, seperti
katarak dan kanker. Bila ditinjau dari dosis radiasi (untuk kepentingan proteksi
radiasi), efek radiasi dibedakan atas efek deterministik dan efek stokastik.

Bila sel yang mengalami perubahan ini adalah sel genetik maka sifat-sifat sel
yang baru tersebut akan diwariskan kepada turunannya sehingga timbul efek
genetik atau efek pewarisan. Apabila sel terubah ini adalah sel somatik maka
sel-sel tersebut dalam jangka waktu yang relatif lama, ditambah dengan
pengaruh dari bahan-bahan yang bersifat toksik lainnya, akan tumbuh dan
berkembang menjadi jaringan ganas atau kanker.


1. Efek : Efek radiasi yang dapat dirasakan langsung oleh orang yang
menerima radiasi (contoh: kanker, leukimia, luka bakar, katarak,
kemandulan, kelainan kongenital)
2. Efek Genetik : Efek radiasi yang diterima oleh individu akan
diwariskan kepada keturunannya (contoh: penyakit keturunan, kanker
pada masa kanak-kanak)
3. Efek Teragonik: Efek pada embrio (contoh: kemunduran mental)
4. Efek Stokastik: Efek yang kebolehjadian timbulnya merupakan
fungsi dosis radiasi dan diperkirakan tidak mengenal dosis ambang
(contoh: leukimia, kanker, efek genetik)
5. Efek Deterministik: Efek yang kualitas keparahannya bervariasi
menurut dosis dan hanya timbul bila dosis ambang dilampaui
(contoh: katarak, anemia, penurunan IQ janin, pneunomitis,
kemandulan, sindrom radiasi akut)










Mo tanya lagi nich, kalo di rontgen apa ada efek sampingnya?

kalo sering gimana effectnya?
Rontgen itu sebenarnya menggunakan sinar X yang panjang gelombangnya range 10 sampai
0.01 nanometer. Dari panjang gelombangnya, kita bisa kategorikan bahwa panjang gelombang
sinar X ini sangat pendek.

Bila kita kembali ke pelajaran Fisika waktu SMU, maka kita akan diingatkan kembali mengenai
spektrum cahaya dari warna merah - ungu. Di mana panjang gelombang yang paling panjang
adalah merah dan panjang gelombang yang paling pendek adalah ungu. Dari sini juga kita
belajar bahwa panjang gelombang berbanding terbalik dengan energi. Bila panjang gelombang
pendek, maka energinya besar. dan sebaliknya. Jadi sinar merah memiliki energi kecil dan sinar
ungu memiliki energi yang besar. Dan energi yang lebih besar adalah sinar Ultra Violet(panjang
gelombang = 400 nm - 280 nm). Dan seperti yang kita tahu sinar UV pun tidak baik untuk
kesehatan bila dipaparkan dalam jangka waktu lama karena dapat menyebabkan gangguan kulit
dan kanker.

Kembali ke sinar X yang panjang gelombangnya pendek(bahkan lebih pendek dari sinar UV,
maka kita bisa katakan energinya lebih besar dari sinar UV). Energi sinar UV saja berbahaya
bagi tubuh. Apalagi energi sinar X yang jauh lebih besar.

Efek yang dapat ditimbulkan adalah kematian sel2 tubuh. Pemakaian dalam jangka waktu lama
dan terus menerus dapat mengakibatkan terjadi mutasi pada sel yang memicu kanker. Makanya
biasanya ditetapkan rontgen ideal maksimal 3 bulan sekali. Diharapkan dalam tempo 3 bulan,
sel2 tubuh yang rusak akibat sinar X terdahulu sudah regenerasi dan menjadi normal seperti
sedia kala.



Karena itu, sinar X yang ditembakkan untuk memotret bagian dalam organ tubuh seharusnya benar-
benar dalam komposisi tepat. Jika tidak, teknologi ini justru bisa memicu kanker, sebab fungsi dari
Sinar X adalah mematikan pertumbuhan atau malah memicu pertumbuhan sel. Nah, jika
pertumbuhan sel tersebut liar, itulah yang disebut dengan kanker, ujar Hengky.




MANFAAT DAN RISIKO KECELAKAAN RADIASI
DALAM BIDANG RADIOTERAPI

Pemanfaatan Radiasi dalam Bidang Radioterapi
Radiasi yang digunakan dalam pemeriksaan kesehatan
(radiodiagnosis) dan pengobatan (radioterapi) pertama
kali ditemukan oleh Prof. WC. Roentgen pada bulan
Nopember 1895. Radiasi ini berasal dari sinar X, yang
karena sifat-sifatnya mampu menembus jaringan tubuh
manusia untuk mendeteksi kelainan dan menimbulkan efek
biologi menghentikan pertumbuhan sel hingga mematikan
sel. Oleh karena itu dapat dimanfaatkan untuk
mematikan sel-sel kanker, dan sudah barang tentu dalam
dosis yang sesuai dengan keperluan. Dengan
perkembangan ilmu dan teknologi bidang fisika radiasi
memungkinkan pengukuran jumlah (dosis) radiasi yang
diserap tubuh dan arah radiasi dengan tepat sasaran,
bidang biologi radiasi (radiobiologi) yang
memungkinkan tatacara pemberian dan jumlah dosis yang
efektif, bidang onkologi (ilmu tentang kanker) yang
memungkinkan penentuan jenis dan stadium kanker serta
pemilihan jenis pengobatan yang sesuai (operasi,
radioterapi, khemoterapi/obat-obatan, atau
kombinasinya). Penentuan radioterapi didasarkan pada
hispatologi dan asal tumor, stadium/tingkat
penyebarannya, kondisi kesehatan pasien, ketersediaan
sarana dan prasarana. Agar radioterapi dapat
memberikan hasil yang baik dan aman maka diperlukan
perencanaan yang cermat yaitu: penentuan jenis,
stadium dan asal tumor; penentuan tujuan radiasi;
pemilihan jenis dan teknik radiasi; penentuan luas
cakupan radiasi dengan alat simulator; evaluasi
distribusi dosis radiasi (tinggi di sel tumor dan
rendah di sel sehat dengan menggunakan alat
perencanaan radiasi berbasis komputer).
Pegelolaan Limbah Radioterapi
Pemanfaatan iptek nuklir (bahan radioaktif) dalam
bidang kedokteran digunakan untuk diagnosa dan terapi,
disamping radiasi dari sinar X yang bersumber dari
berkas elektron, linear accelerator (linac), dan
brachyterapi konvensional. Bahan radioaktif tersebut
antara lain Am-241, Gd-153, I-125 (untuk "Bone
Densitometry"); Cs-137, Ra-226, Co-60, Sr-90, Pd-103,
I-125, Ir-192, Cf-252 (untuk "Brachytherapy").
Pemanfaatan bahan-bahan radioaktif ini akan
menimbulkan limbah radioaktif sehingga perlu dikelola
sesuai dengan standard keselamatan, mulai dari sumber
limbah sampai dengan penyimpanan lestari (yang
dikelola P2PLR-BATAN termasuk kategori aktivitas
rendah dan sedang dalam bentuk cair, pasta dan padat
yang berasal dari kegiatan riset, industri dan rumah
sakit). Strategi pengelolaan adalah dilakukan
treatment (umur pendek), conditioning, penyimpanan
sementara, penyimpanan lestari (dekat permukaan untuk
umur menengah dan jauh kedalam untuk umur panjang).
Pengelolaan limbah ini diatur oleh UU No.10 tahun
1997. BATAN mempunyai Instalasi Pengelolaan Limbah
Radioaktif (IPLR) beserta fasilitas penunjangnya, yang
dalam tahun 2001 diusulkan fasilitas penyimpanan
sementara yang baru untuk limbah industri dan rumah
sakit (RS Cikini, RS Persahabatan, RSCM, RS Karyadi,
RS Baptis Kediri, dan RS DR. Sutomo Surabaya). Limbah
diterima P2PLR dan disimpan di Penyimpanan Sementara
Limbah Aktivitas Tinggi (PSLAT). Setelah aktivitasnya
luruh di-imobilisasi/kondisioning dalam sel beton,
kemudian disimpan di PSLR aktivitas rendah&sedang.
Kegiatan lain adalah kalibrasi alat dan bahan
radioaktif, perawatan dan perbaikan berbagai alat
radioterapi.
Pengawasan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Dalam Bidang
Radioterapi
Mengingat resikonya sangat tinggi, diperlukan
pengawasan yang ketat secara teknis dan legalitas
sehingga tercapai manfaat maksimal dan resiko minimal.
Pengawasan meliputi pengadaan, instalasi,
pengoperasian, pengelolaan limbah, pengaturan,
perizinan, dan inspeksi. Pihak yang terkait adalah
Depkes (pelayanan medis), Batan (pelaksana diklat SDM,
kalibrasi alat ukur, pengelolaan limbah), PDSRI
(organisasi profesi DSR), PARI (organisasi profesi
Apro), dan Bapeten (badan pengawas). Pelaksanaan
pengawasan berdasarkan UU no.10/1997, PP no.63, 64 &
134 tahun 2000, Kep. Kepala Bapeten, Batan, Permenkes,
dll. Kendala yang dihadapi antara lain: jumlah SDM
yang memenuhi standard kualifikasi, ketersediaan
instalasi yang memadai. Upaya pemecahan yang mudah dan
cepat dilaksanakan antara lain: penyuluhan dan
sosialisasi UU atau PP tenaga nuklir, pelatihan PPR,
inspeksi dan monitoring peralatan radioterapi yang
digunakan, dan berkoordinasi dengan institusi terkait

Anda mungkin juga menyukai