Anda di halaman 1dari 38

Topik

: Acute Myocard Infark

Presenter

: dr. Hans Jaya Sunarto

Pendamping

: dr. Eko Nugroho

Tanggal Kasus

: 20 April 2016

Tanggal Presentasi

Deskripsi Kasus

: Pasien usia 60 tahun datang ke IGD karena dirasa lemas sejak pagi.

2016

Lemas dirasakan di seluruh badan. Tidak didapatkan mual dan muntah.


Didapatkan demam sejak 1 hari yang lalu. Didapatkan rasa nyeri di ulu
hati yang hilang timbul sejak 1 hari yang lalu. Tidak didapatkan nyeri dada
ataupun rasa tertindih. Tidak didapatkan sesak nafas. Riwayat BAB dan
BAK dalam batas normal. Tidak didapatkan riwayat hipertensi, Diabetes
Melitus, penyakit jantung, maupun serangan stroke sebelumnya. Pasien
sudah meminum obat Parasetamol 1x500 mg 7 jam sebelum masuk ke
IGD.
Tujuan

: Penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan pencegahan komplikasi.

Bahan bahasan

: Kasus

Cara membahas

: Presentasi dan Diskusi

Data Pasien

1.
2.
3.
4.
5.

Nama
: Tn Sudi Prihatin
Umur
: 61 tahun
Alamat
: Jl. Dewa Ujung RT 11, Ciracas
Jam masuk: 21.45
No. CM : 2016 693304

Data utama untuk bahan diskusi


1. Gambaran Klinis

:
: Pasien usia 60 tahun datang ke IGD karena dirasa lemas
sejak pagi. Lemas dirasakan di seluruh badan. Tidak
didapatkan mual dan muntah. Didapatkan demam sejak 1
hari yang lalu. Didapatkan rasa nyeri di ulu hati yang
hilang timbul sejak 1 hari yang lalu. Tidak didapatkan
nyeri dada ataupun rasa tertindih. Tidak didapatkan sesak

2. Riwayat pengobatan
3. Riwayat penyakit

4. Riwayat Keluarga
5. Riwayat kebiasaan

Hasil Pembelajaran

nafas. Riwayat BAB dan BAK dalam batas normal.


: Parasetamol 1x500 mg
: Hipertensi ( - )
Diabetes Melitus ( - )
Penyakit jantung ( - )
Serangan stroke ( - )
: Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa
: Merokok sudah 21 tahun, tetapi sudah berhenti

1. Penegakan diagnosis dyspepsia dan chest pain


2. Pengobatan chest pain
3. Pencegahan komplikasi chest pain berulang

Rangkuman hasil pembelajaran Portofolio


Data diambil dari autoanamnesa tanggal 20 april 2016

1. Keluhan Utama
2. Keluhan tambahan

: Lemas seluruh badan sejak pagi 15 jam SMRS


: Demam sejak 1 hari SMRS
Rasa nyeri di ulu hati sejak 1 hari SMRS
3. Riwayat penyakit sekarang
:
Pasien datang ke IGD karena dirasa lemas sejak pagi. Lemas dirasakan di seluruh badan.
Awalnya dirasakan setelah bangun tidur, pasien merasa susah untuk bangun dan merasa
pusing. Tidak ada jantung berdebar ataupun keringat dingin.. Didapatkan demam sejak 1 hari
yang lalu. Demam dirasakan naik turun. Turun saat setelah minum obat pk 13.00, tetapi
menjelang malam, pasien merasakan demam lagi.Pasien meminum cukup cairan 2-3 liter
air setiap hari. Tidak didapatkan batuk atau pilek. Nafsu makan pasien menurun sejak
mengalami demam. Didapatkan rasa nyeri di ulu hati yang hilang timbul sejak 1 hari yang
lalu. Tidak didapatkan mual dan muntah. Tidak didapatkan nyeri dada ataupun rasa tertindih.
Tidak didapatkan sesak nafas. Riwayat BAB dan BAK dalam batas normal.
4. Riwayat pengobatan
5. Riwayat penyakit dahulu

6. Riwayat penyakit keluarga


7. Riwayat kebiasaan

: Pasien minum obat Parasetamol 1x500 mg


: Hipertensi ( - )
Diabetes Melitus ( - )
Penyakit jantung ( - )
Serangan stroke ( - )
: Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa
: Merokok sudah 21 tahun, tetapi sudah berhenti

Data Pemeriksaan Fisik


Tanda-tanda Vital

Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah

: 70/palpasi

Frekuensi nadi

: 113x / menit, teratur, dalam

Suhu

: 36,5 0C

Pernafasan

: 20 x/menit

Status Regional
Kepala :

Bentuk normal, ukuran normal, tidak teraba

benjolan, rambut hitam beruban terdistribusi merata, kulit kepala


tidak ada kelainan.
Mata :

Palpebra superior et inferior dextra et sinistra tidak

cekung, tidak edema, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-,


pupil bulat, isokor, diameter 3 mm, reflex cahaya +/+.
Tenggorok

Mulut

Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang.

: Bibir kering -, lidah kotor -.


Leher : Trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba membesar,
kelenjar getah bening submandibula, supra-infra clavicula, dan
cervikal tidak teraba membesar.

Paru-paru
Inspeksi

: Pernapasan simetris kanan dan kiri

Palpasi

: Fremitus kanan dan kiri sama kuat

Perkusi

: Sonor pada seluruh lapang paru kanan dan kiri

Auskultasi

: Suara napas vesikuler kanan dan kiri, ronkhi -/,wheezing -/-

Jantung

Inspeksi

: Tidak tampak pulsasi iktus kordis.

Palpasi

: Tidak teraba pulsasi iktus kordis.

Perkusi

: Dalam batas normal


4

Auskultasi

: BJ I II murni,reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen

Inspeksi

: Datar, Simetris

Palpasi

: Didapatkan nyeri tekan di epigastrium (+)

Hati
Limpa

: Tidak teraba
: Tidak teraba

Ekstremitas

Perkusi

: Timpani, ascites (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal.

: Superior et inferior dekstra et sinistra oedem -,


deformitas

Akral

: kedua tangan dingin, kedua kaki hangat

Pemeriksaan Gula darah sewaktu

: 130 mg/dl

Pemeriksaan saturasi O2

: 94%

Data Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi

Hasil

Nilai normal

Lekosit

28,1

5,0 10,0

Eritosit

4,80

4,2 5,4

Hemogloblin

11,1

13,2 17,2

Hematokrit

33

35 47

Trombosit

200.000

150.000 440.000

Kimia Klinik

Hasil

Nilai Normal

Ureum

83

15 48

Creatinin

4,58

0,50 1,10

CK-MB

<24

SGOT

16

<54

SGPT

14

<48

Troponin I

0,05

0,00- 0,02

Elektrolit

Hasil

Nilai Normal

Natrium

135

135-147

Kalium

3,4

3,5-5,0

Klorida

101

98-108

Data Pemeriksaan EKG

Interpretasi

Sinus
: Rhythm
Irama
: Reguler
Heart rate
: 114x/menit
Kalibrasi
: normal
Axis
: normal
P wave
: normal
PR Interval : normal < 0,2 detik
QRS Complex : Q patologis di lead III
ST Segmen : ST Elevasi di leav V1,V2,V3
T wave
: normal

Kesimpulan

: STEMI Anterior

Assesment
Myocard Infark
Definisi
8

Infark miokardium adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah ke otot jantung.
Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumnya pada
pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan. Infark miokard biasanya disebabkan oleh
trombus arteri koroner, prosesnya mula-mula berawal dari rupturnya plak yang kemudian
diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya infark miokard
tergantung pada jenis arteri yang oklusi dan aliran darah kolateral.1

Epidemiologi

Insiden dari IMA tidak diketahui, namun sekitar 150.000 kematian akibat PJK terjadi di
Inggris tahun 1995. Insiden dan mortalitas infark miokard akut (IMA) membaik seiring
waktu sebagai hasil dari usaha-usaha yang ditargetkan pada pencegahan primer dan
pengurangan factor risiko, kesadaran pasien, tenaga paramedik ambulans, unit perawatan
koroner, terapi obat, trombolisis, rehabiltasi, stratifikasi pasca infark dan revaskularisasi.2
Penyakit Infark Miokard Akut adalah penyebab utama kematian pada orang dewasa.
Infark Miokard Akut adalah penyebab kematian nomor dua pada negara berpenghasilan
rendah, dengan Proportional Mortality Rate (PMR) sebesar 9,4%. Di Indonesia pada
tahun 2002, penyakit Infark Miokard Akut merupakan penyebab kematian pertama,
dengan Proportional Mortality Rate (PMR) sebesar 14%.9
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2005 dilaporkan Proportional
Mortality Rate (PMR) penyakit kardiovaskular sebesar 29,3%, penyakit jantung reumatik
sebesar 0,6%, penyakit jantung hipertensi sebesar 1,5%, penyakit jantung iskemik sebesar
12,7%, penyakit cerebrovaskular sebesar 9,6% dan radang jantung sebesar 0,7%.
Berdasarkan laporan WHO tahun 2005, dari 58 juta kematian di dunia, 17,5 juta (30%)
diantaranya disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah, terutama oleh Infark
Miokard Akut (43,43%), stroke (32,57%) dan penyakit jantung lainnya (24%). Pada
tahun 2015 diperkirakan kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah di dunia
meningkat sebesar 14,28%.9

Berdasarkan data dari Ditjen Yanmedik Indonesia tahun 2005 Infark Miokard Akut
memiliki CFR sebesar 13,31% yakni di urutan kedua setelah Aritmia Jantung (13,95%)
dan pada tahun 2007 Infark Miokard Akut berada di urutan pertama dengan CFR sebesar
13,49% dan kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya
(13,37%).9

Patofisiologi

Pembuluh arteri mengikuti proses penuaan yang karakterisktik seperti penebalan tunika
intima, berkurangnya elastisitas, penumpukan kalsium terutama di arteri-arteri besar
menyebabkan fibrosis merata menyebabkan aliran darah lambat laun berkurang. Iskemi
yang relatif ringan tetapi berlangsung lama dapat pula menyebabkan kelainan katup
jantung. Manifestasi penyakit jantung koroner disebabkan

ketidakseimbangan antara

kebutuhan oksigen miokardium dengan masuknya. Masuknya oksigen untuk miokardium


sebetulnya tergantung dari oksigen dalam darah dan arteri koronaria. Oksigen dalam
darah tergantung oksigen yang dapat diambil oleh darah, jadi dipengaruhi oleh Hb, paruparu, dan oksigen dalam udara pernapasan. Dikenal dua keadaan ketidakseimbangan
masukan terhadap kebutuhan oksigen yaitu : 3
-

Hipoksemia (iskemi) yang ditimbulkan oleh kelainan vaskular


Hipoksia (anoksi) yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah
Perbedaannya ialah pada iskemi terdapat kelainan vaskuler sehingga perfusi ke jaringan
berkurang dan eliminasi metabolit yang ditimbulkannya menurun juga, sehingga
gejalanya akan lebih cepat muncul. Ada beberapa hipotesis mengenai apa yang pertama
kali menyebabkan kerusakan sel endotel dan mencetuskan rangkaian proses
arteriosklerotik yaitu :

Kolestrol serum yang tinggi


Kadar kolestrol serum dan trigliserida yang tinggi dapat menyebabkan pembentukan
arteriosklerosis. Pada pengidap arteriosklerosis, pengedapan lemak ditemukan di seluruh
kedalaman tunika intima, meluas ke tunika media. Kolestrol dan trigliserid dalam darah
terbungkus dalam protein pengangkut lemak yang disebut lipoprotein. Lipoprotein yang
berdensitas tinggi (HDL) membawa lemak ke luar sel untuk diuraikan dan diketahui
10

bersifat protektif melawan arteriosklerosis. Namun lipoprotein berdensitas rendah (LDL)


dan berdensitas sangat rendah (VLDL) membawa lemak ke sel tubuh, termasuk sel
endotel arteri, oksidasi kolestrol dan trigliserid menyebabkan pembentukan radikal bebas
yang diketahui merusak sel-sel endotel.

Tekanan

darah

tinggi
Tekanan

darah

yang tinggi

secara

kronis

menimbulkan daya regang atau potong yang merobek lapisan endotel arteri dan arteriol.
Gaya regang terutama timbul di tempat-tempat arteri bercabang atau membelok khas
untuk arteri koroner, aorta, dan arteri-arteri serebrum. Dengan robeknya lapisan endotel,
timbul kerusakan berulang sehingga terjadi siklus peradangan, penimbunan sel darah
putih dan trombosit, serta pembentukan bekuan.Setiap trombus yang terbentuk dapat
terlepas dari arteri sehingga menjadi embolus di bagian hilir.

11

Tipe Miokard Infark8

12

Diagnosis

13

Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 0,2 mv pada laki-laki usia 40 tahun ,
elevasi ST 0,25 mv pada laki-laki usia 40 tahun atau elevasi ST 0,15 mv pada
perempuan. Minimal pada 2 sandapan yang berdampingan. Pemeriksaan enzim jantung,
terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan
memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim,
mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is
muscle.

Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat
apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada
yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau
bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta
faktor-faktor resiko lain antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok,
stres serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa
terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam
beberapa jam setelah bangun tidur. 4

Nyeri dada
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat
apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah, dalam
jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Seorang dokter harus
mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya,
karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri
dada angina sebagai berikut :4,5

Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial


14

Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk,

rasa diperas, dan rasa dipelintir


Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,

punggung/interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan


Nyeri membaik/menghilang dengan istirehat, atau obat nitrat
Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan
Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas

Diagnosa Banding
15

Pemeriksaan fisik
16

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirehat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal 30 menit dan banyak
keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior
mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan
hampir setengah pasien infark anterior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis
(bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
murmur midsistolik atau late sistolik dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu
sampai 38C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.

Elektrokardiogram8
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan nyeri ulu hati. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam
menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen
ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik
dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST.

17

Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac spesific
troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skelet, karena pada
keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada
pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).

CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan
kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.

18

cTn : ada 2 jenis yaitu cTn dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah
5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu :

mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
Creatinin kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai

puncak 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.


Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari. 6

Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian anti trombotik
dan terapi anti platelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.
Tatalaksana awal (pra rumah sakit)
19

Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu
komplikasi elektrik (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian
di luar rumah sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian
besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih separuhnya terjadi dalam jam
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI
antara lain :

Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis


Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
Transportasi pasien ke RS yang ada ICU/ICCU serta staf medis dokter dan perawat yang

terlatih
Melakukan terapi reperfusi

Tatalaksana di ruang emergensi

Tujuan

tatalaksana

di

IGD

pada

pasien

yang

dicurigai

STEMI

mencakup

mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat


terapi reperfusi segera, triase pasien berisiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

20

Tatalaksana Umum 4

Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6

jam pertama.
Nitrogliserin (NTG) : dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, dapat
menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan
suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena.
NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru. Terapi
nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien
yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
21

meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafir dalam 24 jam sebelumnya karena

dapat memicu efek hipotensi nitrat


Mengurangkan/menghilangkan nyeri dada : berkaitan dengan aktivasi simpatis yang

menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.


Morfin : efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung
dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat
menyebabkan vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat
tertinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan

pemberian atropin 0,5mg IV.


Aspirin : tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum
sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi
kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di

ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162mg.


Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol
5mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit,
tekanan darah sistolik >100mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari

10cm dari diafragma.


Terapi reperfusi : reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikuler yang maligna.

22

Seleksi Strategi Reperfusi

Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain :
Waktu onset gejala
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark dan
outcome. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat penting
tergantung waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam
jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan
angka kematian.
Resiko perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi
reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, resiko tinggi perdarahan dengan
fibrinolisis berbanding dengan PCI. Jika PCI tak tersedia, manfaat terapi reperfusi
farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan resiko.
Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan atau stenting tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI
23

jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif
dari fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan
outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan
trombolisis, PCI primer lebih dipilh jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75
tahun), resiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam
jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun
demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana hanya di beberapa rumah sakit.

Reperfusi Farmakologis

Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door to needle time <30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat
patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik yang bekerja dengan cara
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin.
Terdapat 2 kelompok yaitu : i) golongan spesifik fibrin (seperti tPA), ii) non spesifik fibrin
(seperti streptokinase). Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang
terlibat (culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in
myocardial infarction (TIMI) grading system :

Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark
Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi

tanpa perfusi vaskular distal


Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi

dengan aliran darah yang melambat dibandingkan aliran arteri normal


Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran
normal

Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri koroner
yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark,
mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan
jangka panjang.

24

Obat fibrinolitik

Streptokinase (SK) : Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya
antibodi. Manfaat mencakup harganya yang murah, dan insidens perdarahan

intrakranial yang rendah.


Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase) : Penurunan mortalitas 30 hari sebesar
15% pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih

mahal daripada SK dan resiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.


Reteplase (Retavase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding
SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah karena

waktu paruh yang lebih panjang.


Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifitas fibrin
dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-I)

Indikasi terapi fibrinolitik

Klas I : i) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien
STEMI dengan onset gejala <12jam dan elevasi ST>0,1mV pada sekurang-kurangnya 2
sandapan prekordial atau sekurang-kurangya 2 sandapan ekstremitas.
ii) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan pada pasien

STEMI dengan onset gejala <12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.
Klas II a : i) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik
pada pasien dengan gejala STEMI mulai dari <12 jam sampai 24 jam yang mengalami
gejala iskemia yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,1mV pada sekurang-kurangnya 2
sandapan prekordial yang berdampingan atau sekurang-kurangnya 2 sandapan
ekstremitas.

Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi
ST>50% dalam 90 menit pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkkan hasil pada
graft vena, sehingga jika pasien pasca CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih
disukai adalah PCI.
Tatalaksana di rumah sakit
Aktivitas : Pasien harus istirehat dalam 12 jam pertama
25

Diet : Karena resiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa
atau minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak <30% kalori
total dan kandungan kolestrol <300mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang
kaya serat, kalium, magnesium, dan rendah natrium.
Bowels : Istirehat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan nyeri
sering mengakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat
tidur, diet tinggi serat dan penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium
sulfosuksinat (200mg/hari).
Sedasi : Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode
inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg, oksazepam 15-30 menit, atau lorazepam 0,52mg, diberikan kali sehari biasanya efektif.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik pada STEMI4
1

Kontraindikasi absolut
Setiap riwayat perdarahan intraserebral
Terdapat lesi vaskuler serebral struktural (malformasi AV)
Terdapat neoplasma intrakranial ganas (primer atau metastasis)
Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali stroke iskemik akut dalam 3 jam
Dicurigai diseksi aorta
Perdarahan aktif atau diatesis berdarah (kecuali mens)
Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan
Kontraindikasi relatif
Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
Hipertensi berat tak terkendali saat masuk (TDS>180 mmHg atau TDD>110 mmHg)
Riwayat stroke iskemik sebelumnya >3 bulan, demensia, atau diketahui patologi

intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi


Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10 menit) atau operasi besar (<3 minggu)
Perdarahan internal baru (dalam 2-4 minggu)
Pungsi vaskular yang tak terkompresi
Untuk streptase/anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya atau reaksi allergi

sebelumnya terhadap obat ini


Kehamilan
Ulkus peptikum aktif
Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi resiko perdarahan
TDS : tekanan darah sistolik TDD : tekanan darah diastolik
26

Terapi farmakologis7

Antitrombotik

Penggunaan terapi anti platelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti
klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan
primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner
yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis.
Aspirin merupakan anti platelet standar pada STEMI.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis pada
pasien STEMI yang menjalani PCI. Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek
klinis adalah unfractionated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi
regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK) membantu
trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis
yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial
12U/kg perjam (maksimum 1000U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi
pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali. Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah

27

low molecular weight heparin (LMWH).

Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat
emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2dimensi atau fibrilasi atrial merupakan resiko tinggi
tromboemboli paru sistemik. Pada keadaan ini harus mendapat terapi anti trombin kadar
terapeutik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin sekurangkurangnya 3 bulan.

Penyekat Beta

Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi yang terjadi segera jika obat
diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark dan menurunkan
28

resiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat
untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali dengan
pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma).

Inhibitor ACE

Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah
dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan
resiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan/atau fungsi
ventrikel kiri menurun global) namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika
inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada pasien STEMI
dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling
ventrikel pasca infark dengan penurunan resiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga
lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Komplikasi

Syok kardiogenik

Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk, sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai
penyakit arteri koroner multivesel.
Tatalaksana syok kardiogenik

Terapi O2
Jika tekanan darah sistolik < 70 mmHg dan terdapat tanda syok diberikan norepinefrin
Jika tekanan darah sistolik < 90 mmHg namun tidak terdapat tanda syok diberikan

dobutamin dosis 2-20ug/kgBB/menit


Jika tekanan darah sistolik < 90 mmHg dan terdapat tanda syok diberikan dopamin dosis

5-15 ug/kgBB/menit.
Revaskularisasi arteri koroner segera, baik PCI atau CABG, direkomendasikan pada
pasien <75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam
IMA dan ideal untuk revaskularisasi yang dapat dikerjakan dalam 18 jam syok, kecuali
jika terdapat kontraindikasi atau tidak ideal dengan tindakan invasif.
29

Terapi trombolitik diberikan pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tak ideal

untuk terapi invasif dan tidak mempunyai kontraindikasi trombolisis.


Intra aortic ballon pump (IABP) direkomendasikan pada pasien STEMI dengan syok
kardiogenik yang tidak membaik dengan segera dengan terapi farmakologis, bila sarana

tersedia.
Aritmia pasca STEMI

Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan
elektrolit, iskemia, dan perlambatan konduksi di zona iskemia miokard.4
Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis yang jarang, dapat terjadi pada hampir semua
pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah
aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan
harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesimia
merupakan faktor fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum
diupayakan mencapai 4,5 mmol/l dan magnesium 2,0 mmol/l.
Takikardia Ventrikel (Ventricular tachycardia =VT)4
Takikardia ventrikel (VT) polimorfik yang menetap (lebih dari 30 detik atau
menyebabkan kolaps hemodinamik)harus diterapi dengan DC shock unsynchoronized
menggunakan energi awal 200 J. Jika gagal harus diberikan shock kedua 200-300 J, dan

jika perlu shock ketiga 360 J.


Takikardia ventrikel (VT) monomorfik yang menetap yang diikuti dengan angina, edema
paru atau hipotensi (tekanan darah < 90 mmHg) harus diterapi dengan DC shock

synchoronized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis awal gagal.
Takikardia ventrikel (VT) monomorfik yang tidak disertai angina, edema paru atau
hipotensi (tekanan darah <90 mmHg) diterapi dengan salah satu regimen berikut.
1 Lidokain : bolus 1-1,5 mg/kg. Bolus tambahan 0,5-0,75 mg/kg tiap 5-10 menit sampai
dosis loading total maksimal 3mg/kg. Kemudian loading dilanjutkan dengan infus 22

4mg/menit (30-50 ug/kg/menit).


Disopiramid : bolus 1-2mg/kg dalam 5-10 menit, dilanjutkan dosis pemeliharaan
1mg/kg/jam.

30

Amiodaron : 150 mg infus selama 10-20 menit atau 5 ml/kgBB 20-60 menit,
dilanjutkan infus tetap 1 mg/menit selama 6 jam dan kemudian infus pemeliharaan

0,5 mg/menit.
4 Kardioversi elektrik synchoronized dimulai dosis 50 J (anestesi sebelumnya).
Fibrilasi ventrikel
Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless diberikan terapi DC shock
unsynchoronized dengan energi awal 200 J jika tak berhasil harus diberikan shock kedua

200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J (klas I).


Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless yang refrakter terhadap syok elektrik
diberikan terapi amiodaron 300mg atau 5 mg/kg iv bolus dilanjutkan pengulangan shock
unsynchoronized klas II a.

Fibrilasi atrium
Fibrilasi atrial sustained dan fluter atrial pada pasien dengan gangguan hemodinamik atau
ongoing iskemik harus diterapi dengan 1 atau lebih cara berikut :

Kardioversi synchoronized dengan shock 200 J untuk fibrilasi atrial dan 50 J untuk flutter

atrial, didahului dengan anestesi umum singkat atau sedasi jika memungkinkan.
Fibrilasi atrial yang tak respons terhadap kardioversi elektrik atau berulang setelah
periode ritme sinus, dianjurkan penggunaan terapi anti aritmia yang ditujukan untuk
menurunkan respons ventrikel. Satu atau lebih obat farmakologi berikut dapat dipakai
1 Amiodaron iv
2 Digoksin iv untuk pengendalian laju respons ventrikel (rate control) terutama untuk
3

pasien dengan disfungsi ventrikel kiri berat dan gagal jantung.


Fibrilasi atrial sustained dan fluter atrial pada pasien ongoing iskemia tetapi tanpa
gangguan hemodinamik diberikan terapi dengan satu atau lebih obat berikut:
- Penyekat beta lebih disukai, kecuali ada kontraindikasi
- diltiazem atau verapamil iv
- kardioversi synchoronized dengan shock 200 J untuk fibrilasi atrial dan 50 J untuk

flutter, didahului anestesi umum singkat atau sedasi jika memungkinkan.


Fibrilasi atrial atau fluter sustained tanpa gangguan hemodinamik atau iskemia,
diindikasikan rate control. Pasien dengan fibrilasi atrial atau fluter sustained harus
diberikan antikoagulan.

Aritmia supraventrikel
31

Takikardia supraventikuler reentrant diberikan terapi menurut urutan berikut :


1 Massage sinus karotis.
2 Adenosin iv 6 mg dalam 1-2 detik, jika tak respons setelah 1-2 menit dapat diberikan 12
3

mg iv, diulang 12 mg jika diperlukan.


Penyekat beta iv dengan metoprolol 2,5-5 mg tiap 2-5 menit sampai dosis total 15 mg
lebih dari 10-15 menit atau atenolol 2,5-5 mg lebih dari menit sampai dosis total 10 mg

4
5

dalam 10-15 menit


Diltiazem iv 20 mg (0,25mg/kg) lebih dari menit dilanjutkan infus 10 mg/jam.
Digoksin iv, mungkin ada perlambatan sekurang-kurangnya 1 jam sebelum efek
farmakologis muncul (8-15mcg/kg (0,6-1 mg pada pasien dengan berat badan 70 kg).

Asistol ventrikel
Resusitasi segera mencakup kompresi dada, atropin, vasopressin, epinefrin, dan pacu jantung
sementara harus diberikan pada asistol ventrikel.
Bradiaritmia dan blok
Bradikardia sinus simtomatik, sinus pauses lebih 3 detik atau bradikardia dengan frekuensi
jantung <40 kali/menit disertai hipotensi dan tanda gangguan hemodinamik sistemik
diberikan terapi atropin 0,5-1 mg. Jika bradikardia menetap dan dosis atropin sudah mencapai
2 mg, harus diberikan pacu jantung transkutaneus atau transvenous.
Komplikasi mekanik

Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.


Penatalaksanaan : operasi.

Perikarditis

Aspirin 160-325 mg/hari.


Indometasin, ibuprofen
Kortikosteroid

Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA
Tabel 1 : Klasifikasi Killip pada Infark miokard akut
32

Klas
I

Definisi
Tak ada tanda gagal jantung 6

II
III
IV

kongestif
+S3 dan/atau ronki basah
Edema paru
Syok kardiogenik

Mortalitas (%)

17
30-40
60-80

Tabel 2 : Klasifikasi Forrester untuk Infark miokard akut


Klas

Indeks Kardiak

(L/min/m2)
I
2,2
II
2,2
III
< 2,2
IV
< 2,2
PCWP : pulmonary capillary wedge pressure

PCWP (mmHg)
< 18
18
< 18
18

Mortalitas (%)
3
9
23
51

Tabel 3 : TIMI Risk score untuk infark miokard dengan elevasi ST


Faktor Resiko (bobot)

Skor
risiko/Mortalitas 30

Usia 65-74 tahun (2 poin)


Usia lebih 75 tahun (3 poin)
Diabetes mellitus/ hipertensi atau angina (1 poin)
Tekanan darah sistolik <100 mmHg (3 poin)
Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
Berat < 67 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
Skor resiko = total point (0-14)

hari (%)
0 (0,8)
1 (1,6)
2 (2,2)
3 (4,4)
4 (7,3)
5 (12,4)
6 (16,1)
7 (23,4)
8 (26,8)
>8 (35,9)

Klasifikasi Killip : berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana: S 3 gallop, kongesti paru
dan syok kardiogenik.
Klasifikasi Forrester : berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan PCWP.
TIMI risk score : Sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.
33

Infark miokard akut tanpa elevasi ST


Angina pektoris tak stabil (unstable angina=UA) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST (non
ST elevation myocardial infarction=NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan
dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan
keduanya tidak berbeda.2

Diagnosis Kerja
STEMI Anterior dengan Syok kardiogenik
CKD

Terapi di IGD

Stabilisasi Hemodinamik

Loading RA 1 kolf TD ulang : 70/palpasi Norepinefrin 0,5 mg titrasi naik.


Loading Gelofusin 100cc dilanjutkan NaCl 0,9% / 12 jam

Farmakologi
34

Aspilet 2 tab + Clopidogrel 4 tab EKG ulang 1 jam


Heparin bolus 4000 unit Cek Pt-APTT setelah bolus

Hasil EKG post Aspilet+clopidogrel

35

Perbedaan EKG : terdapat penurunan ST elevasi di lead V1 sebesar 0,05mv dan lead V2
sebesar 0,1 mv

Perawatan lanjut di CVCU

Atorvastatin 1x40 mg
Aspilet 1x80 mg
Clopidogrel 1x75 mg
Heparin 400 unit/ jam

Prognosis
Ad vitam

: dubia ad malam

Ad functionam

: dubia ad malam

Ad sanationam

: dubia ad malam

36

Daftar Pustaka

1.Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran No 47, 2005
2.Christopher P. Cannon, Eugene Braunwald. Unstable Angina and NSTEMI Myocardial
Infarction.
Harrisonss Principles and Internal Medicine 16 ed: Mc Graw Hill 2005. P :1444-8
3.Elliott M. Antman, Eugene Braunwald. STEMI Myocardial Infarction.
Harrisonss Principles and Internal Medicine 16 ed: Mc Graw Hill 2005. P :1448-1459
4.Mardi Santoso, Standar Pelayanan Medis RSUD Koja. Jakarta : RSUD Koja 1992, hal. 252-6
5.Kapita Selekta FKUI 2001, hal. 437-41
6,Hanafi, Muin Rahman, Harun. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: FKUI 2006, hal 1082-108
7.Harun Alwi, Rasyidi. Infark Mioard Akut. Dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam Jakarta: FKUI, 2001 hal 165-72

37

8. Thygesen K, Alpert J.S. , Jaffe S.A. , et al. Third universal definition of myocardial infarction.
European Heart Journal (2012) 33 p 2551-67
9. World Health Organization. 2016. Cited in 29 April 2016 in Cardiovascular disease mortality.
http://gamapserver.who.int/gho/interactive_charts/ncd/mortality/cvd/atlas.html

38

Anda mungkin juga menyukai