Aku lapar, kataku. Dan memintamu menemaniku. Boleh, deh! Katamu, meski kau sendiri tak bernafsu makan. Lalu kita melangkah menelusuri jalan menuju warung sate madura.
Tak henti-hentinya aku menceramahimu soal pekerjaan tapi kau justru tak memikirkan itu, kejadian malam sebelumnya justru membuatmu was-was sebab, ada surat tak terduga dari orang yang polos dan kekanak-kanakan (paling tidak, kita berdua melihatnya bocah. Hei, jangan tertawa jahil begitu! Haha) Entah dari kejora mana, aku usulkan ide konyol yang membuat sahabat kita merasa begitu geli.
Tapi aku menikmati berjalannya ide konyol itu. (hingga sekarang aku masih bertanya-tanya, bagaimana dengan perasaanmu waktu itu). Ide kita, rasa-rasanya berhasil. Paling tidak, pekerjaan dapat berjalan dengan lancar hingga selesai, (masih ingat juga aku bagaimana si bocah SMA yang lain percaya begitu saja dengan sandiwara kita dan ingatkah kau, kita tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresinya?) sekali lagi aku tegaskan, aku menikmati menit-menit yang kita lalui di waktu dulu itu. bukan lagi karena si ide konyol, melainkan usapan tanganmu di kepalaku, ketika mau tidak mau kita harus bersandiwara meyakinkan semua orang demi meredam efek surat yang kau terima.
Hingga suatu malam, kita semua harus berbaring melepas lelah di satu lantai, di dalam gelap. Lagi, mau tak mau, berdua kita harus tidur sebelah-sebelahan. Ah, kau tidak sadar, kan betapa dengkuranmu waktu itu tak bisa membuatku tidur. Dia masuk angin, mungkin, pikirku. Tiba-tiba saja ada yang mendorong tanganku mengusap-usap punggungmu, Walau dengkuranmu ternyata tak berkurang juga.
Tapi, malam ketika kudengar dekat dengkuranmu, justru malam yang terasa begitu manis (Kurindukan itu sampai sekarang) Hingga beberapa minggu setelah malam itu, wajah lugu dan lelahmu ketika tidur mengganggu pikiranku.
Esok harinya, aku begitu lelah dan berbaring di lantai di dalam ruang penuh komputer Tak tahu karena apa, kau pun turut berbaring melepas lelah di sebelahku Tak tahu kau sadar atau tidak, kau kemudian meniban punggungku yang berbaring menghadap ke kanan Tanganmu merangkul perutku. Sontak teman-teman kita berseru jahil dan menggoda-goda Kalau tak salah, ada yang mengabadikan posisi tidur yang lucu itu. Aku yang terbangun, lalu menggerutu dan mendorongmu menjauh. (Ah, Zikri bodoh! Seruku dalam hati. Aku menikmati itu, tapi rasa malu dicemooh teman lebih menguasai diriku). Sedangkan kau, kulihat, tak bereaksi, dan terus saja tidur. (ingatkah kau itu, atau kau memang benar-benar tidur sehingga tak ingat? Janganlah diingat-ingat itu benar-benar lucu dan ah aku sendiri tertawa karena mengingatnya walau manis sesungguhnya terasa). Lalu kita berdua duduk di depan komputer Menyebar pemberitahuan tentang acara yang akan kita helatkan. Malam telah larut kau masih saja serius melihat komputer Teman-teman yang lain sedang berjalan mencari gambar-gambar yang kurang Aku benar-benar tak kuasa malam itu menahan rasa. Ingin rasanya kupeluk dirimu, tapi aku tak berani Daripada gue ditoyor ama nih anak!? Ucapku dalam hati. Kusibukkan diriku dengan catatan di layar supra, Kulampiaskan gejolak hatiku saat itu Membubuhkan kode-kode yang kuharap dapat kau tangkap maknanya Seraya berdoa kepada Tuhan agar kau menyenangi puisi yang kubuat khusus untukmu malam itu.
***
Ah, tapi malapetaka! Ada orang lain yang marah kepadaku Aku diancam dengan hal yang tak bisa kuhadapi saat itu Aku takut sehingga aku melakukan hal terbodoh. Puisi itu kuhapus, berharap kau belum membacanya, jadi kau tak akan bertanya-tanya.
Aku merasakan langit akan runtuh, ketika di dalam bus yang kita tumpangi menuju Kampung Rambutan, dari tempat duduk yang berbeda, kau mengirimkan sebuah pesan menanyakan puisi itu. Secara tiba-tiba, ada dua perasaan yang memenuhi dadaku. Rasa gembira karena ternyata kau membacanya, dan bahkan menanyakannya. Diiringi oleh rasa tak mengenakkan karena ternyata aku masih saja takut dengan resiko-resiko Baik dirimu dan dirinya, waktu itu, benar-benar membuatku tak bisa tidur nyenyak hingga beberapa hari setelahnya. Sementara kau tak lagi menanyakan Sang Puisi, aku masih terus terlibat pertengkaran dengan dirinya. Itu adalah waktu-waktu yang benar-benar menyebalkan. Tapi apa daya, aku dikuasai oleh ketundukan kepada rasa yang sesungguhnya tak ada (aku sadari ketiadaan rasa itu dengan baik sekali) tapi mataku buta, dan yang ada dalam pikiranku hanyalah jangan sampai ada hubungan yang terpecah antara aku dan dia. Dan itu adalah waktu-waktu terbodoh dalam hidupku.
Di malam ketika kau menanyakan lagi puisi itu, Sekitar setengah tahun yang lalu Aku kembali diserang oleh rasa bersalah! Karena aku tahu, melenyapkan puisi itu berarti pengingkaran atas perasaan yang sesungguhnya kurasakan. Aku tak bisa menebak apa tujuanmu bertanya tentang Sang Puisi, Apakah karena rasa yang sama? Aku tak berani menebak-nebak Lagi-lagi, aku takut pada masalah
Ah, itu kenangan yang belum begitu lama Tapi terasa begitu tua dan klasik Yang sampai sekarang masih meresahkanku
Kau tahu, ketika kita akhirnya bersatu Kebodohanku di masa lalu itu masih membuatku merasa tak sempurna di matamu. Lebih bodoh kurasakan diriku karena tak bisa mengingat lagi Sang Puisi Sungguh menyesal aku, karena ternyata kau begitu peduli pada Sang Puisi Aku bisa apa
Oh, sayang Mungkin sekarang aku tak bisa mengembalikan Sang Puisimu yang tersayang. Hanya seonggok cerita masa lalu Dan curahan kegelisahan ini yang mampu kurangkai jadi Sang Puisi baru. Berharap kau mau menjaga kenangan puisi itu selamanya di hatimu. Sebagai tanda kesetiaan atas persembahan rasa yang kulimpahkan padamu.
Ini lah Sang Puisiku, yang baru Puisi yang tak akan pernah kuhapus lagi Menjadi tapal batas dan manifestasi keabadian rasa cintaku padamu.
Hei, lihat! Nelly tersenyum menggodaku karena membuat ini Ah, tapi aku tak akan pernah malu sekarang.
Dengarlah semesta, dan hai kalian Kejora Kuberi tahu sebuah rahasia Dian, aku cinta kau selamanya.