Anda di halaman 1dari 16

0

MODUL ORGAN TMK


BALITA DENGAN DEMAM DAN SESAK NAFAS
kelompok 4
03010032 Aninda Rebecca
03010033 Anisa Saraswati
03010034 Anita Damar Riyanti
03010036 Afriliani Zahra
03010039 Arifi
03010040 Ariyanti Putri
03010041 Atikasyahriza Wibawa
03010042 Attika Dini Ardiana
03010044 Ayesha Riandra
03010045 Ayu Andini Putri
03010046 Ayu Nabila KP
03010047 Bagus Dwi Putranto




FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
Jakarta, 6 Mei 2013

1

BAB I
PENDAHULUAN

Abses Retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah
retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam. Pada
umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari infeksi Saluran nafas atas
terutama pada hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenhar
limfe retrofaring. Oleh karena kelanjar ini biasanya atrofi pafa umur 4 -5 tahun, maka
sebagian besar abses retrofaring terjadi pada anak-anak dan relatif pada orang dewasa.
Akhir-akhir ini abses retrofaring sudah semakin jarang. Hal ini disebabkan pengguna
antibiotik yang luas terhadap infeksi saluran nafas atas. Pemeriksaan mikrobiologi berupa
isosiasi bakteri dan uji kepekaan kuman sangat membantu dalam pemiliihan antibiotik yang
tepat. Walaupun demikian, angka mortalitas dari komplikasi yang timbul akibat abses
retrofaring masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat
sangat dibutuhkan.
Penatalaksanaan abses retrofaring dilakukan secara medikamentosa dan operatif.
Sebelum melakukan tatalaksana itu semua jika pasien mengalami gangguan bernafas makan
dilakukan dahulu tatalaksana untuk mempertahankan jalan nafas yang adekuat dengan
pemberian O2 dll.






2

BAB II
LAPORAN KASUS

Seorang bayi umur 2 tahun mengalami demam dan sesak nafas sejak 5 hari yang lalu. Nafsu
makan berkurang, tangisnya melemah suaranya. Tujuh hari yang lalu bayi mengalami pilek
dan batuk serta demam, kemudian diberi obat flu / penurun panas yang dijual bebas. Bayi
pileknya berkurang namun bayi tetap panas dan tak mau makan serta sesak nafs.
Selama ini bayi mendapat ASI serta makanan tambahansesuai dengan yang dianjurkan dari
PUSKESMAS. Riwayat kehamilan dan persalinan baik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
KU : Sakit sedang, menagis lemah, Suhu 38
o
C, Nadi 90/menit RR 24/menit
Tanda tanda vital dalam keadaan baik
Pada pemeriksaan THT didapatkan L
AD/AS : LT lapang tenang, MT intak, mengkilat
Hidung : Rongga hidung lapang, septum lurus, konka eutropis
Tenggorok L Tonsil T2/T2 tenang, Dinding faring belakang tampak agak menonjol
Pada pemeriksaan lab terdapat:
- Hb: 13g%
- Leukosit : 15.000ml
- Hitung Jenis : ada pergeseran kekiri




3

BAB III
PEMBAHASAN

IDENTITAS
Nama :
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin:
Alamat : -
Agama: -

ANALISIS MASALAH
Pasien datang dengan keluhan utama berupa demam dan sesak napas. Demam adalah
suatu keadaan dimana suhu tubuh mengalami peningkatan daripada suhu tubuh yang normal,
dimana suhu tubuh yang normal adalah antara 36,5-37,2 C. Demam adalah salah satu hasil
dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai macam keadaan, umumnya adalah
karena adanya infeksi. Pada infeksi (contohnya infeksi oleh bakteri), bakteri menghasilkan
senyawa pyrogen eksogen. Senyawa pyrogen tersebut dapat mencetuskan demam dengan
cara merangsang pengeluaran mediator inflamasi berupa prostaglandin E2 yang dapat
merangsang hipotalamus. Hipotalamus merupakan pusat termostat tubuh, sehingga apabila
terangsang, maka akan timbul respons tubuh berupa peningkatan suhu tubuh.
Sesak napas atau yang disebut juga dengan dyspnea. Dyspnea didefinisikan sebagai
sesak napas atau napas terasa pendek; sukar bernapas atau napas terasa berat.
(4)
Dyspnea
merupakan konsekuensi dari pergeseran fungsi dari sistem kardiopulmonal.
(5)
Dyspnea terjadi
akibat meningkatnya usaha bernapas yang terjadi akibat kongesti pembuluh darah paru dan
perubahan kemampuan pengembangan paru.
(6)

4

Dyspnea akibat kelainan pada sistem respirasi dapat disebabkan karena berbagai
macam kondisi, antara lain karena adanya penyakit pada saluran pernapasan (contohnya
asma, COPD), kelainan pada dinding dada/thorax (contohnya kifoskoliosis), dan penyakit
pada parenkim paru (contohnya pneumonia akibat infeksi, proses autoimun, ataupun akibat
paparan zat kimia di tempat kerja).
(5)
Dyspnea akibat kelainan pada sistem kardiovaskular
dapat disebabkan oleh adanya decompensatio cordis sinistra (gagal jantung kiri), penyakit
jantung koroner, dan lain-lain.
Pada pasien ini, sesak napas disertai dengan demam, sehingga kemungkinan
penyebabnya adalah adanya infeksi. Maka kemungkinan penyebab sesak berupa asma,
COPD, kelainan pada dinding dada, dan lain-lain dapat disingkirkan.

HIPOTESIS
Berdasarkan masalah yang terdapat pada pasien yaitu demam yang tidak sembuh dengan obat
penurun demam, sesak napas serta riwayat infeksi maka kelompok kami menetapkan
beberapa hipotesis yaitu :
1. Pneumonia
Pneumonia adalah radang parenkim paru. Pneumonia dapat disebabkan oleh
mikroorganisme maupun nonmikroorganisme (aspirasi pneumonia). Gejala
pneumonia pada anak berupa dingin menggigil, demam 39
o
C atau lebih, batuk kering
tidak prodiktif, nyeri dada, pernapasan meningkat, sesak (pelebaran cuping hidung,
retraksi daerah supraklavikuler, intercosatal dan subkostal), rewel, nafsu makan
berkurang, sianosis dan gelisah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan suara pernapasan
yang melemah dan halus, ronki krepitasi pada sisi yang terkena dan mungkin ada
perkusi redup setempat. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan sel
darah putih yang meningkat dan pada pemeriksaan radiologi biasanya didapatkan
gamabaran konsolidasi.
(3)
5

2. Bronchitis
Bronchitis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas. Khasnya anak
datang dengan batuk yang sering, kering, pendek, tidak produktif dan timbulnya
relative 3-4 hari setelah rhinitis, nyeri terbakar pada dada depan, dalam beberapa hari
batuk menjadi produktif dan sputum berubah dari jernih menjadi purulen. Anak
biasanya tidak demam atau demam ringan dan ada tanda-tanda nasofaringitis. Pada
auskultasi didapatkan suara pernapasan yang kasar, ronki basah kasar dan halus.
3. Bronkiolitis
Bronkiolitis akut merupakan penyakit saluran napas bayi yang lazim akibat obstruksi
radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun pertama.
Sebagian bayi yang terkena mempunyai riwayat terpajan pada anak yang lebih tua
atau orang dewasa yang menderita penyakit pernapasan ringan pada minggu sebelum
mulainya penyakit. Gejala bronkiolitis berupa demam 38,5-39
o
C, penurunan nafsu
makan dan tidak mau menyusu, batuk mengi proksimal, dispnoe (cuping hidung
melebar, penggunaan otot asesoris pernapasan sehingga menimbulkan retraksi
interkostal dan subkostal), iritabilitas, frekuensi napas cepat sekitar 60-80kali/menit,
sianosis, perabaan limpa dan hati ditepi bawah kosta. Pada pemeriksaan fisik terdapat
krepitasi halus, fase ekspirasi pernapasan memanjang, pada kasus berat suara napas
hampir tidak terdengar. Pada pemeriksaan radiologi didapatkan gambaran hiperinflasi
paru dan konsolidasi paru, pada pemeriksaan laboratorium biasanya sel darah putih
dalam batas normal.
4. Abses retrofaring
Abses retrofaring dapat merupakan komplikasi faringitis bakteri. Pada infeksi purulen
faring, limfonodi dapat terinfeksi dan selanjutnya dapat menjadi pecah sampai terjadi
supurasi. Abses retrofaring biasanya dimulai dengan demam tinggi mendadak dengan
6

kesukaran menelan, menolak makan, distress berat dengan nyeri tenggorok, kepala
hiperekstensi, sering bernapas berisik dan gemuruh. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tonjolan pada dinding faring posterior, obstruksi hidung dan tonjolan
kedepan palatum lunak. Pada pemeriksaan radiologi posisi lateral nasofaring atau
leher akan menunjukkan massa retrofaring, jaringan lunak retrofaring lebih daripada
setengah lebar korpus vertebra sebelahnya jika leher penderita diekstensikan, udara
dapat ditemukan pada retrofaring dan ada kehilangan lordosis servikal normal.
5. Difteri
Difteri adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria.
Focus infeksi primer adalah tonsil atau faring, hidung dan laring. Gejala difteri berupa
demam yang jarang melebihi 39
o
C, nyeri tenggorokan, disfagia, serak, malaise dan
nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisik ditemukan injeksi faring ringan disertai dengan
pemebentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral yang meluas secara berbea-
beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah
glottis yang dapat menyebabkan sesak napas, edema jaringan lunak dibawahnya dan
pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran bull neck.

ANAMNESIS
1. Bagaimana pola demamnya?
2. Apakah batuknya berdahak atau tidak?
3. Jika iya, apaawrna dahak tersebut?apakah berbau?
4. Apakah ada sakit atau sukar menelan?
5. Apakah ada gejala lain? (sakit telinga, sakit dada)
6. Apakah merasa ada perubahan suara menjadi sengau?
7. Bagaimana riwayat pengobatannya?
7

8. bagaimana riwayat imunisasinya?
9. Apakahada keluarga atau orang sekitar yang memiliki gejala yang sama?
10. Bagaimana lingkungan tempat tinggalnya?

HASIL PEMERIKSAAN
Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan THT



Hasil Nilai normal Interpretasi
Keadaan umum Sakit Sedang
Suhu tubuh 38
o
C 36,5-37,2
o
C Febris
Frekuensi nadi 90x/menit 60x-100x/menit Normal
Frekuensi napas 24x/menit 16-20xmenit Takipnea
Keterangan Pembahasan
AD/AS LT lapang tenang
MT intak, mengkilat
Normal
Hidung Rongga hidung lapang
Septum lurus
Konka eutropis
Normal
Tenggorok Tonsil T2/T2 tenang

Dinding faring belakang tampak agak menonjol
Menunjukkan ada nya radang
pada tonsil
Terdapat nya abses
retrofaring
8

Pemeriksaan Lab
Hasil Nilai normal Interpretasi
Hb 13 g% 12 15 g% Normal
Leukosit 15.000/ml 5000 10.000/ml Leukositosis
Menandakan terjadi
infeksi oleh bakteri
Hitung Jenis Ada, pergeseran ke kiri Menghasilkan neutrofil
neutrofil muda untuk
melawan bakteri yang
menandakan bahwa
penyakit pasien masih akut

DIAGNOSIS
Diagnosis pasien ini adalah Abses Retrofaring, yang diperoleh dari hasil pemeriksaan
yang dilakukan pada pasien ini, Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit
sedang dengan febris dan menangis lemah, hal ini disebabkan karena adanya penyempitan
saluran nafas yang disebabkan oleh adanya pembengkakan kelenjar retrofaring yang
menyebabkan udara masuk sedikit sehingga pasien menangis lemah. Adanya pembengkakan
retrofaring ini diperjelas dengan adanya hasil dari pemeriksaan THT dan pemeriksaan
radiologi yang memperlihatkan adanya dinding faring belakang yang agak menonjol.

PATOFISIOLOGI
Abses retrofaring lebih sering terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun. Hal ini terjadi
karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. Infeksi yang berasal
pada saluran nafas atas biasanya disebabkan oleh Kuman golongan kuman aerob :
Streptococcus beta hemolyticus group A ( paling sering ), Streptococcus pneumoniae,
Streptococcus non hemolyticus, Staphylococcus aureus , Haemophilus sp. atau Kuman
9

anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteriaseperti. Infeksi ini
menyerang bagian tonsil yang kemudian meluas ke kelenjar limfe retrofaring sehingga
menyebabkan peradangan pada saluran limfa (limfadenitis) yang kemudian akan terjadi
supurasi dan bermanifestasi menjadi abses retrofaring, abses retrofaring menyebabkan
sumbatan jalan napas sehingga timbul sesak napas, rasa nyeri dan gangguan menelan yang
menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum.
(1)


PENATALAKSANAAN
a. Mempertahankan jalan nafas yang adekuat :
Posisi pasien supine dengan leher ekstensi
pemberian O2
Intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik
trakeostomi / krikotirotomi
b. Medikamentosa
Antibiotik (parental)
Pemberian antibiotik diberikan mencakup terhadap kuman aerob dan anaeorb, gram
positif dan gram negatif. pilihan antibotik utama adalah clindamycin tersendiri atau
dikombinasi dengan sefalosporin generasi kedua
simtomatis
bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan cairan
elektrolit
c. Operatif
Tindakan operatif dilakukan oleh dokter spesialis THT yaitu dengan cara:
aspirasi pus
insisi dan drainase
o pendekatan intra oral ( transoral ) : untuk abses yang kecil dan terlokalisir.
10

o Pasien diletakkan pada posisi Trendelenburg, dimana leher dalam keadaan
hiperekstensi dan kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada
daerah yang paling berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar harus segera
diisap dengan alat penghisap untuk menghindari aspirasi pus. Lalu insisi diperlebar
dengan forsep atau klem arteri untuk memudahkan evakuasi pus.
o Pendekatan eksterna ( external approach ) baik secara anterior atau posterior :
untuk abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring
o Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara horizontal mengikuti
garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara tulang hioid dan klavikula.
Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai terlihat
m.sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi pada batas anterior
m.sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem erteri bengkok, m.
sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah lateral. Setelah
abses terpapar dengan cunam tumpul abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila
diperlukan insisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain ( Penrose drain).
o Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas posterior m.
sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke arah yang berlawanan dari abses.
Selanjutnya fasia dibelakang m. sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan.
Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis.
KOMPLIKASI
Komplikasi abses retrofaring dapat terjadi akibat:
1. Massa itu sendiri : obstruksi jalan nafas
2. Ruptur abses : asfiksia, aspirasi pneumoni, abses paru
3. Penyebaran infeksi ke daerah sekitarnya:
inferior : edema laring, mediastinitis, pleuritis, empiema, abses mediastinum
11

lateral : trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses parafaring
Posterior : osteomielitis dan erosi kolumna spinalis
4. Infeksi itu sendiri : necritizing fasciitis, sepsis dan kematian.
PROGNOSIS
Ad Vitam : Ad bonam
Ad SAnationam: Dubia Ad Bonam
Ad Fungtionam : Ad Bonam
















12

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

ABSES RETROFARING
Definisi
Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi
karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5
buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun
kelenjar limfa akan mengalami atrofi.
Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring adalah infeksi
saluran nafas atas yang menyebabkan limfa-adenitis retrofaring, trauma dinding belakang
faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, dan tuberkulosis vertebra
servikalis bagian atas (abses dingin).
Manifestasi Klinis
Gejala utama adalah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, rasa nyeri ini
menyebabkan anak menangis terus-menerus dan tidak mau makan dan minum. Selain itu,
juga dapat ditemukan demam, leher kaku dan nyeri, serta sesak nafas apabila abses telah
menimbulkan obstruksi jalan nafas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut
sampai mengenai laring dapat menimbulkan stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat
mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara.

13

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran nafas bagian atas
atau trauma, gejala dan tanda klinik, serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen jaringan
lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari
7mm pada anak dan dewasa serta pelebaran ruang retrotrakeal lebih dari 14mm pada anak
dan lebih dari 22mm pada orang dewasa. Selain itu, juga dapat terlihat berkurangnya lordosis
vertebra servikal.
Terapi
Terapi abses retrofaring adalah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai
terapi medikamentosa, diberikan antibiotika dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob
diberikan secara parentral. Selain itu, dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi
langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera dihisap agar
tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesik lokal atau anestesi umum.
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul antara lain penjalaran ke ruang parafaring dan ruang
vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi saluran nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan
dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru.




14

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan kasus di atas, Didapatkan pasien seorang bayi umur 2 tahun dengan
sesak nafas dan demam dan terdapat riwayat pilek dan batuk serta demam tujuh hari yang
lalu yang mengindikasikan adanya infeksi saluran nafas atas. Infeksi saluran nafas pasien
menyerang bagian tonsil yang kemudian meluas ke kelenjar limfe retrofaring sehingga
menyebabkan peradangan pada saluran limfa (limfadenitis) yang kemudian akan terjadi
supurasi dan bermanifestasi menjadi abses retrofaring. Hal ini yang menyebabkan sesak nafas
dan demam pada bayi ini.
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah mempertahankan jalan nafas yang adekuat
dan diberikan antibiotik dan jika dirujuk ke dokter spesialis THT untuk dilakukan insisi. Jika
pasien tidak ditatalaksana segera maka akan menyebabkan obstruksi jalan nafas yang lebih
parah dan menyebabkan asfiksia dan dapat pula terjadi kematian.










15

DAFTAR PUSTAKA

1. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed.
Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke 3. Jakarta : FK UI , 1997.h. 185-6.
2. Adams GL. Penyakit penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies LR,
Adams GL, Higler PA, Ed. Buku ajar penyakit THT, Edisi ke 6, Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997, h. 347 8.
3. Prober CG, Long SS, Stern RC, Orenstein DM. Pneumonia, Diftero, Abses
Retrofaring, Bronkhiolitis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, volume 2 Edisi ke 15.
Jakarta: , h 883-5, 956, 1460-1, 1484-5.
4. Dorland WAN. Kamus Kedokteran Dorland. 31st ed. Jakarta: EGC; 2010.
5. Schwartzstein RM. Dyspnea. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J, Editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th ed.
New York: McGraw-Hill; 278-9.
6. Dimattia ST. Prosedur Diagnostik Penyakit Kardiovaskular. In: Price SA, Wilson LM,
Editors. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed. Jakarta: EGC;
2006. p.549.

Anda mungkin juga menyukai