FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI Jakarta, 6 Mei 2013
1
BAB I PENDAHULUAN
Abses Retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam. Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari infeksi Saluran nafas atas terutama pada hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenhar limfe retrofaring. Oleh karena kelanjar ini biasanya atrofi pafa umur 4 -5 tahun, maka sebagian besar abses retrofaring terjadi pada anak-anak dan relatif pada orang dewasa. Akhir-akhir ini abses retrofaring sudah semakin jarang. Hal ini disebabkan pengguna antibiotik yang luas terhadap infeksi saluran nafas atas. Pemeriksaan mikrobiologi berupa isosiasi bakteri dan uji kepekaan kuman sangat membantu dalam pemiliihan antibiotik yang tepat. Walaupun demikian, angka mortalitas dari komplikasi yang timbul akibat abses retrofaring masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan. Penatalaksanaan abses retrofaring dilakukan secara medikamentosa dan operatif. Sebelum melakukan tatalaksana itu semua jika pasien mengalami gangguan bernafas makan dilakukan dahulu tatalaksana untuk mempertahankan jalan nafas yang adekuat dengan pemberian O2 dll.
2
BAB II LAPORAN KASUS
Seorang bayi umur 2 tahun mengalami demam dan sesak nafas sejak 5 hari yang lalu. Nafsu makan berkurang, tangisnya melemah suaranya. Tujuh hari yang lalu bayi mengalami pilek dan batuk serta demam, kemudian diberi obat flu / penurun panas yang dijual bebas. Bayi pileknya berkurang namun bayi tetap panas dan tak mau makan serta sesak nafs. Selama ini bayi mendapat ASI serta makanan tambahansesuai dengan yang dianjurkan dari PUSKESMAS. Riwayat kehamilan dan persalinan baik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: KU : Sakit sedang, menagis lemah, Suhu 38 o C, Nadi 90/menit RR 24/menit Tanda tanda vital dalam keadaan baik Pada pemeriksaan THT didapatkan L AD/AS : LT lapang tenang, MT intak, mengkilat Hidung : Rongga hidung lapang, septum lurus, konka eutropis Tenggorok L Tonsil T2/T2 tenang, Dinding faring belakang tampak agak menonjol Pada pemeriksaan lab terdapat: - Hb: 13g% - Leukosit : 15.000ml - Hitung Jenis : ada pergeseran kekiri
3
BAB III PEMBAHASAN
IDENTITAS Nama : Umur : 2 tahun Jenis Kelamin: Alamat : - Agama: -
ANALISIS MASALAH Pasien datang dengan keluhan utama berupa demam dan sesak napas. Demam adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh mengalami peningkatan daripada suhu tubuh yang normal, dimana suhu tubuh yang normal adalah antara 36,5-37,2 C. Demam adalah salah satu hasil dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai macam keadaan, umumnya adalah karena adanya infeksi. Pada infeksi (contohnya infeksi oleh bakteri), bakteri menghasilkan senyawa pyrogen eksogen. Senyawa pyrogen tersebut dapat mencetuskan demam dengan cara merangsang pengeluaran mediator inflamasi berupa prostaglandin E2 yang dapat merangsang hipotalamus. Hipotalamus merupakan pusat termostat tubuh, sehingga apabila terangsang, maka akan timbul respons tubuh berupa peningkatan suhu tubuh. Sesak napas atau yang disebut juga dengan dyspnea. Dyspnea didefinisikan sebagai sesak napas atau napas terasa pendek; sukar bernapas atau napas terasa berat. (4) Dyspnea merupakan konsekuensi dari pergeseran fungsi dari sistem kardiopulmonal. (5) Dyspnea terjadi akibat meningkatnya usaha bernapas yang terjadi akibat kongesti pembuluh darah paru dan perubahan kemampuan pengembangan paru. (6)
4
Dyspnea akibat kelainan pada sistem respirasi dapat disebabkan karena berbagai macam kondisi, antara lain karena adanya penyakit pada saluran pernapasan (contohnya asma, COPD), kelainan pada dinding dada/thorax (contohnya kifoskoliosis), dan penyakit pada parenkim paru (contohnya pneumonia akibat infeksi, proses autoimun, ataupun akibat paparan zat kimia di tempat kerja). (5) Dyspnea akibat kelainan pada sistem kardiovaskular dapat disebabkan oleh adanya decompensatio cordis sinistra (gagal jantung kiri), penyakit jantung koroner, dan lain-lain. Pada pasien ini, sesak napas disertai dengan demam, sehingga kemungkinan penyebabnya adalah adanya infeksi. Maka kemungkinan penyebab sesak berupa asma, COPD, kelainan pada dinding dada, dan lain-lain dapat disingkirkan.
HIPOTESIS Berdasarkan masalah yang terdapat pada pasien yaitu demam yang tidak sembuh dengan obat penurun demam, sesak napas serta riwayat infeksi maka kelompok kami menetapkan beberapa hipotesis yaitu : 1. Pneumonia Pneumonia adalah radang parenkim paru. Pneumonia dapat disebabkan oleh mikroorganisme maupun nonmikroorganisme (aspirasi pneumonia). Gejala pneumonia pada anak berupa dingin menggigil, demam 39 o C atau lebih, batuk kering tidak prodiktif, nyeri dada, pernapasan meningkat, sesak (pelebaran cuping hidung, retraksi daerah supraklavikuler, intercosatal dan subkostal), rewel, nafsu makan berkurang, sianosis dan gelisah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan suara pernapasan yang melemah dan halus, ronki krepitasi pada sisi yang terkena dan mungkin ada perkusi redup setempat. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan sel darah putih yang meningkat dan pada pemeriksaan radiologi biasanya didapatkan gamabaran konsolidasi. (3) 5
2. Bronchitis Bronchitis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas. Khasnya anak datang dengan batuk yang sering, kering, pendek, tidak produktif dan timbulnya relative 3-4 hari setelah rhinitis, nyeri terbakar pada dada depan, dalam beberapa hari batuk menjadi produktif dan sputum berubah dari jernih menjadi purulen. Anak biasanya tidak demam atau demam ringan dan ada tanda-tanda nasofaringitis. Pada auskultasi didapatkan suara pernapasan yang kasar, ronki basah kasar dan halus. 3. Bronkiolitis Bronkiolitis akut merupakan penyakit saluran napas bayi yang lazim akibat obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun pertama. Sebagian bayi yang terkena mempunyai riwayat terpajan pada anak yang lebih tua atau orang dewasa yang menderita penyakit pernapasan ringan pada minggu sebelum mulainya penyakit. Gejala bronkiolitis berupa demam 38,5-39 o C, penurunan nafsu makan dan tidak mau menyusu, batuk mengi proksimal, dispnoe (cuping hidung melebar, penggunaan otot asesoris pernapasan sehingga menimbulkan retraksi interkostal dan subkostal), iritabilitas, frekuensi napas cepat sekitar 60-80kali/menit, sianosis, perabaan limpa dan hati ditepi bawah kosta. Pada pemeriksaan fisik terdapat krepitasi halus, fase ekspirasi pernapasan memanjang, pada kasus berat suara napas hampir tidak terdengar. Pada pemeriksaan radiologi didapatkan gambaran hiperinflasi paru dan konsolidasi paru, pada pemeriksaan laboratorium biasanya sel darah putih dalam batas normal. 4. Abses retrofaring Abses retrofaring dapat merupakan komplikasi faringitis bakteri. Pada infeksi purulen faring, limfonodi dapat terinfeksi dan selanjutnya dapat menjadi pecah sampai terjadi supurasi. Abses retrofaring biasanya dimulai dengan demam tinggi mendadak dengan 6
kesukaran menelan, menolak makan, distress berat dengan nyeri tenggorok, kepala hiperekstensi, sering bernapas berisik dan gemuruh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonjolan pada dinding faring posterior, obstruksi hidung dan tonjolan kedepan palatum lunak. Pada pemeriksaan radiologi posisi lateral nasofaring atau leher akan menunjukkan massa retrofaring, jaringan lunak retrofaring lebih daripada setengah lebar korpus vertebra sebelahnya jika leher penderita diekstensikan, udara dapat ditemukan pada retrofaring dan ada kehilangan lordosis servikal normal. 5. Difteri Difteri adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria. Focus infeksi primer adalah tonsil atau faring, hidung dan laring. Gejala difteri berupa demam yang jarang melebihi 39 o C, nyeri tenggorokan, disfagia, serak, malaise dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisik ditemukan injeksi faring ringan disertai dengan pemebentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral yang meluas secara berbea- beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis yang dapat menyebabkan sesak napas, edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran bull neck.
ANAMNESIS 1. Bagaimana pola demamnya? 2. Apakah batuknya berdahak atau tidak? 3. Jika iya, apaawrna dahak tersebut?apakah berbau? 4. Apakah ada sakit atau sukar menelan? 5. Apakah ada gejala lain? (sakit telinga, sakit dada) 6. Apakah merasa ada perubahan suara menjadi sengau? 7. Bagaimana riwayat pengobatannya? 7
8. bagaimana riwayat imunisasinya? 9. Apakahada keluarga atau orang sekitar yang memiliki gejala yang sama? 10. Bagaimana lingkungan tempat tinggalnya?
HASIL PEMERIKSAAN Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan THT
Hasil Nilai normal Interpretasi Keadaan umum Sakit Sedang Suhu tubuh 38 o C 36,5-37,2 o C Febris Frekuensi nadi 90x/menit 60x-100x/menit Normal Frekuensi napas 24x/menit 16-20xmenit Takipnea Keterangan Pembahasan AD/AS LT lapang tenang MT intak, mengkilat Normal Hidung Rongga hidung lapang Septum lurus Konka eutropis Normal Tenggorok Tonsil T2/T2 tenang
Dinding faring belakang tampak agak menonjol Menunjukkan ada nya radang pada tonsil Terdapat nya abses retrofaring 8
Pemeriksaan Lab Hasil Nilai normal Interpretasi Hb 13 g% 12 15 g% Normal Leukosit 15.000/ml 5000 10.000/ml Leukositosis Menandakan terjadi infeksi oleh bakteri Hitung Jenis Ada, pergeseran ke kiri Menghasilkan neutrofil neutrofil muda untuk melawan bakteri yang menandakan bahwa penyakit pasien masih akut
DIAGNOSIS Diagnosis pasien ini adalah Abses Retrofaring, yang diperoleh dari hasil pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini, Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang dengan febris dan menangis lemah, hal ini disebabkan karena adanya penyempitan saluran nafas yang disebabkan oleh adanya pembengkakan kelenjar retrofaring yang menyebabkan udara masuk sedikit sehingga pasien menangis lemah. Adanya pembengkakan retrofaring ini diperjelas dengan adanya hasil dari pemeriksaan THT dan pemeriksaan radiologi yang memperlihatkan adanya dinding faring belakang yang agak menonjol.
PATOFISIOLOGI Abses retrofaring lebih sering terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. Infeksi yang berasal pada saluran nafas atas biasanya disebabkan oleh Kuman golongan kuman aerob : Streptococcus beta hemolyticus group A ( paling sering ), Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non hemolyticus, Staphylococcus aureus , Haemophilus sp. atau Kuman 9
anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteriaseperti. Infeksi ini menyerang bagian tonsil yang kemudian meluas ke kelenjar limfe retrofaring sehingga menyebabkan peradangan pada saluran limfa (limfadenitis) yang kemudian akan terjadi supurasi dan bermanifestasi menjadi abses retrofaring, abses retrofaring menyebabkan sumbatan jalan napas sehingga timbul sesak napas, rasa nyeri dan gangguan menelan yang menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. (1)
PENATALAKSANAAN a. Mempertahankan jalan nafas yang adekuat : Posisi pasien supine dengan leher ekstensi pemberian O2 Intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik trakeostomi / krikotirotomi b. Medikamentosa Antibiotik (parental) Pemberian antibiotik diberikan mencakup terhadap kuman aerob dan anaeorb, gram positif dan gram negatif. pilihan antibotik utama adalah clindamycin tersendiri atau dikombinasi dengan sefalosporin generasi kedua simtomatis bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan cairan elektrolit c. Operatif Tindakan operatif dilakukan oleh dokter spesialis THT yaitu dengan cara: aspirasi pus insisi dan drainase o pendekatan intra oral ( transoral ) : untuk abses yang kecil dan terlokalisir. 10
o Pasien diletakkan pada posisi Trendelenburg, dimana leher dalam keadaan hiperekstensi dan kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap untuk menghindari aspirasi pus. Lalu insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri untuk memudahkan evakuasi pus. o Pendekatan eksterna ( external approach ) baik secara anterior atau posterior : untuk abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring o Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara horizontal mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara tulang hioid dan klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai terlihat m.sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi pada batas anterior m.sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem erteri bengkok, m. sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah lateral. Setelah abses terpapar dengan cunam tumpul abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila diperlukan insisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain ( Penrose drain). o Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas posterior m. sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke arah yang berlawanan dari abses. Selanjutnya fasia dibelakang m. sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan. Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis. KOMPLIKASI Komplikasi abses retrofaring dapat terjadi akibat: 1. Massa itu sendiri : obstruksi jalan nafas 2. Ruptur abses : asfiksia, aspirasi pneumoni, abses paru 3. Penyebaran infeksi ke daerah sekitarnya: inferior : edema laring, mediastinitis, pleuritis, empiema, abses mediastinum 11
lateral : trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses parafaring Posterior : osteomielitis dan erosi kolumna spinalis 4. Infeksi itu sendiri : necritizing fasciitis, sepsis dan kematian. PROGNOSIS Ad Vitam : Ad bonam Ad SAnationam: Dubia Ad Bonam Ad Fungtionam : Ad Bonam
12
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA
ABSES RETROFARING Definisi Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi. Etiologi Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring adalah infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan limfa-adenitis retrofaring, trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, dan tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin). Manifestasi Klinis Gejala utama adalah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, rasa nyeri ini menyebabkan anak menangis terus-menerus dan tidak mau makan dan minum. Selain itu, juga dapat ditemukan demam, leher kaku dan nyeri, serta sesak nafas apabila abses telah menimbulkan obstruksi jalan nafas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat menimbulkan stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara.
13
Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran nafas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik, serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7mm pada anak dan dewasa serta pelebaran ruang retrotrakeal lebih dari 14mm pada anak dan lebih dari 22mm pada orang dewasa. Selain itu, juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal. Terapi Terapi abses retrofaring adalah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai terapi medikamentosa, diberikan antibiotika dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob diberikan secara parentral. Selain itu, dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera dihisap agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesik lokal atau anestesi umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda. Komplikasi Komplikasi yang dapat timbul antara lain penjalaran ke ruang parafaring dan ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi saluran nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru.
14
BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan kasus di atas, Didapatkan pasien seorang bayi umur 2 tahun dengan sesak nafas dan demam dan terdapat riwayat pilek dan batuk serta demam tujuh hari yang lalu yang mengindikasikan adanya infeksi saluran nafas atas. Infeksi saluran nafas pasien menyerang bagian tonsil yang kemudian meluas ke kelenjar limfe retrofaring sehingga menyebabkan peradangan pada saluran limfa (limfadenitis) yang kemudian akan terjadi supurasi dan bermanifestasi menjadi abses retrofaring. Hal ini yang menyebabkan sesak nafas dan demam pada bayi ini. Penatalaksanaan yang dilakukan adalah mempertahankan jalan nafas yang adekuat dan diberikan antibiotik dan jika dirujuk ke dokter spesialis THT untuk dilakukan insisi. Jika pasien tidak ditatalaksana segera maka akan menyebabkan obstruksi jalan nafas yang lebih parah dan menyebabkan asfiksia dan dapat pula terjadi kematian.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke 3. Jakarta : FK UI , 1997.h. 185-6. 2. Adams GL. Penyakit penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies LR, Adams GL, Higler PA, Ed. Buku ajar penyakit THT, Edisi ke 6, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997, h. 347 8. 3. Prober CG, Long SS, Stern RC, Orenstein DM. Pneumonia, Diftero, Abses Retrofaring, Bronkhiolitis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, volume 2 Edisi ke 15. Jakarta: , h 883-5, 956, 1460-1, 1484-5. 4. Dorland WAN. Kamus Kedokteran Dorland. 31st ed. Jakarta: EGC; 2010. 5. Schwartzstein RM. Dyspnea. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, Editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 278-9. 6. Dimattia ST. Prosedur Diagnostik Penyakit Kardiovaskular. In: Price SA, Wilson LM, Editors. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006. p.549.