Anda di halaman 1dari 18

1

PENERAPAN MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE


TERKAIT PEMECAHAN PROBLEM PLURALITAS BANGSA
INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
Diajukan untuk memenuhi salah satu penilaian mata kuliah Teori Hukum
Pembangunan
Oleh:
Mega Meirina
110110100270
Dosen:
Maret Priyanta, S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara yang becorak multi etnik, agama, ras dan
golongan. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan
kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang sampai
Merauke selain memiliki sumber daya alam (natural recsources) juga
mempunyai sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam
coraknya (I Nyoman Nurjaya, 2007).
1
Keragaman etnik yang ada di Indonesia sudah tentu mengandung dimensi
multibudaya (multikultural). Masyarakat multikultural adalah masyarakat
yang memiliki kelompok-kelompok etnik yang berbeda dalam kebudayaan,
bahasa, nilai, adat istiadat dan tata kelakuan yang diakui sebagai jalan positif
untuk menciptakan toleransi dalam sebuah komunitas. Masyarakat yang terdiri
dari berbagai suku bangsa atau masyarakat yang berbhineka juga didefinisikan
sebagai masyarakat majemuk, masyarakat plural atau pluralistik.
2
Paradigma pluralisme pada awalnya digunakan untuk melakukan counter
terhadap teori-teori tradisional mengenai kedaulatan negara. Hal ini karena
teori-teori tradisional tersebut tidak atau kurang memertimbangkan adanya
bermacam-macam hak, kepentingan dan perkembangan dari aneka warna
kelompok atau golongan di dalam negara (Soerjono Soekanto, 2010).
3
Pembangunan hukum, sebagaimana aspek pembangunan di bidang
lainnya, sudah seharusnya mempertimbangkan aspek multikultural yang ada
dalam suatu komunitas negara. Pembangunan hukum yang mengabaikan fakta
kemajemukan masyarakat (political of legal plurality ignorance) dapat
menjadi pemicu terjadinya konflik nilai dan norma dalam masyarakat. Studi

1
Hendra Wahanu Prabandani, Pembangunan Hukum Berbasis Kearifan Lokal, J urnal
Biro Hukum Bappenas, Edisi 01/ Tahun XVII/2011, hlm. 29.
2
Ibid,
3
ibid
3
yang dilakukan oleh Benard L. Tanya (2010) membuktikan bahwa hukum
positif/hukum nasional bahkan menjadi beban bagi sebagian masyarakat lokal.
Hal ini terjadi karena meskipun fakta kehidupan yang menunjukkan
keragaman hukum (legal plurality), namun pembangunan hukum di Indonesia
masih dominan pada sistem hukum nasional dan kurang memberi perhatian
pada sistem hukum adat, hukum agama dan juga mekanisme-mekanisme
regulasi sendiri (self regulation) yang ada dalam komunitas masyarakat di
daerah (I Nyoman Nurjaya, 2007).
4
Negara Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tentunya
sangat membutuhkan pembinaan dan pengembangan sistem hukum nasional
dalam rangka mendorong dan mendukung pembangunan di segala bidang.
Meminjam istilah Roscoe Pound bahwa as tool as social engineering, maka
sesungguhnya pembinaan dan pengembangan hukum nasional sudah
semestinya dapat memberikan arah dan jalan bagi hukum, masyarakat dan
negara untuk saling terkait satu dengan yang lainnya. Tentunya hal itu dapat
terwujud jika semangat dalam pembinaan dan pengembangan hukum nasional
itu dilandasi dengan semangat dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat
dengan tidak mengenyampingkan juga nilai-nilai yang berkembang lainnya
yang sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia.
5
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, penulis
mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimanakah penerapan dan pengaruh Mazhab Sociological
Jurisprudence dalam mengakomodasi pemecahan problem pluralitas bangsa
Indonesia dalam pembangunan hukum nasional?

4
Ibid, hlm. 30
5
Oksep Adhayanto, J urnal : Rekonstruksi Nilai-Nilai Masyarakat Lokal dalam Semangat
Otonomi Daerah Menuju Penguatan Sistem Hukum Nasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji,2014. hlm. 268
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN MENGENAI MAZHAB SOCIOLOGICAL
JURISPRUDENCE
Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen
Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain. Inti
pemikiran mazhab ini yang berkembang di Amerika :
6
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
di dalam masyarakat.
Sesuai disini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang
hidup di dalam masyarakat.
7
Mazhab ini hendaknya dibedakan dengan apa yang kita kenal dengan
sosiologi hukum. Yang terakhir sebagaimana telah diuraikan secara singkat
pada bagian terdahulu merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum
sebagai gejala sosial. Sosiologi hukum tumbuh dan berkembang di Eropa
Kontinental. Sebagaimana dijelaskan oleh Roscoe Pound dalam kata
pengantar pada buku Gurvitch yang berjudul Sosiologi Hukum (sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) perbedaan di antara keduanya ialah
bahwa kalau sociological jurispudence itu merupakan suatu mazhab dalam
filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan
masyarakat dan sebaliknya sedang sosiologi hukum adalah cabang sosiologi
yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana
gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum
tersebut disamping juga diselidiki sebaliknya pengaruh hukum terhadap
masyarakat. Yang terpenting adalah bahwa kalau sociological jurisprudence

6
Lili Rasjidi, Dasar-dasar filsafat dan teori hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004. Hlm. 66
7
Ibid
5
cara pendekatannya bermula dari hukum ke masyarakat, sedang sosiologi
hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum.
8
Mazhab ini mengetengahkan tentang pentingnya Living Law-hukum yang
hidup di dalam masyarakat. Dan kelahirannya menurut beberapa anggapan
merupakan suatu sinthese dari thesenya, yaitu Positivisme hukum dan
antithesenya Mazhab sejarah. Dengan demikian, sociological jurisprudence
berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupun pengalaman.
Pandangan ini berasal dari Roscoe Pound yang intisarinya antara lain : Kedua
konsepsi masing-masing aliran (maksudnya positivisme hukum dan mazhab
sejarah) ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian
akal dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu
hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang berdiri di atas pengalaman dan
diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji
oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam
sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan
oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat
undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh
kekuasaan masyarakat itu.
9
J adi, dengan kata lain janganlah diulangi lagi kesalahan yang dianut para
ahli filsafat hukum abad ke-18 yang hanya memahamkan hukum sebagai
perumusan akal semata-mata dan sarjana-sarjana hukum mazhab sejarah
beranggapan bahwa hukum hanyalah merupakan perumusan pengalaman.
10
Selain itu menurut Sulistyowati Irianto, Sociological jurisprudence adalah
salah satu aliran dalam teori hukum yang digagas oleh Roscoe Pound, dan
berkembang di Amerika mulai tahun 1930-an. Mengutip Soetandyo
Wignjosoebroto (2002: 8-16), istilah sociological mengacu kepada pemikiran
realisme dalam ilmu hukum (Holmes), yang meyakini bahwa meskipun

8
ibid
9
Ibid, hlm. 67
10
ibid
6
hukum adalah sesuatu yang dihasilkan melalui proses yang dapat
dipertangungjawabkan secara logika imperatif, namun the life of law has not
been logic, it is (socio-psychological) experience. Hakim yang bekerja
haruslah proaktif membuat putusan untuk menyelesaikan perkara dengan
memperhatikan kenyataan-kenyataan sosial. Dengan demikian putusan hakim
selalu dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dari pemikiran inilah lahir
doktrin baru dalam sociological jurisprudence tentang law is a tool of social
engineering.
11
B. ETNISITAS DAN PLURALITAS BANGSA
Pluralisme kultural merupakan ciri khas masyarakat kontemporer dimana
etnisitas tidak akan berakhir meskipun modernisasi telah menggema dimana-
mana. Identifikasi etnik seharusnya tetap dipertimbangkan sebagai respon
yang normal dan sehat atas tekanan-tekanan ruang pasar yang mengglobal.
12

Membangun masyarakat yang demokratis bagi Indonesia merupakan suatu
tugas yang tidak ringan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis dan
multikultural. Indonesia terkenal dengan pluralitas suku bangsa yang mendiami
kepulauan nusantara. Di dalam penelitian etnologis misalnya, diketahui bahwa
Indonesia terdiri atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya
masing-masing serta kebudayaannya yang berbeda-beda. Selain dari kehidupan
suku-suku tersebut yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, terjadi
pula konsentrasi suku-suku di tempat lain karena migrasi atau karena
mobilisasi penduduk yang cepat. Melalui sensus 2000 tercatat 101 suku bangsa
di Indonesia dengan jumlah total penduduk 201.092.238 jiwa sebagai warga
Negara (Suryadinata cs, 2003: 102). Kepulauan nusantara merupakan ajang
pertemuan dari agama-agama besar di dunia. Penyebaran agama-agama besar
tersebut tidak terlepas dari letak geografis kepulauan nusantara di dalam
perdagangan dunia sejak abad permulaan. Tidak mengherankan apabila

11
Sulistyowati Irianto, MemperkenalkanStudi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya,
http://bphn.go.id, hlm. 4-5, diunduh tanggal 21 Mei 2014 pukul 08.48 WIB.
12
Anom Surya Putra. Teori Hukum Kritis, Struktur Ilmu dan Riset Teks. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti. 2003. Hlm.123
7
pengaruh-pengaruh penyebaran agama Hindu, Budha, Islam, Katolik, Kristen,
serta agama-agama lainnya terdapat di Kepulauan Nusantara. Setiap sub etnis
di Indonesia mempunyai kebudayaan sendiri. Kebudayaan berjenis-jenis etnis
tersebut bukan hanya diperlihara dan berkembang di dalam teritori di mana
terjadi konsentrasi etnis tersebut tetapi juga telah menyebar di seluruh
Nusantara.
13
Perubahan sosial di era reformasi telah melahirkan politik hukum yang
mempertegas diri bahwa ada kemauan politik menuju ke arah negara maju
yang bercirikan otonomi. Dengan diberlakukannya otonomi daerah segera
memunculkan serangkaian kebangkitan daerah, etnik, politik dan hukum.
Menguatnya kesadaran akan peran nilai-nilai lokal dalam menopang
pembangunan yang berkelanjutan membawa dampak dalam proses
pembangunan hukum nasional. Hukum adat dan kearifan lokal sudah
semestinya dijadikan komponen dan sendi dari pembangunan hukum
nasional.
14
C. PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
Upaya menampakkan jati diri bangsa Indonesia dalam bidang hukum
belum berhasil sesuai dengan harapan dan cita-cita pembangunan hukum
nasional Indonesia. Yaitu mempunyai hukum nasional yang sesuai dengan
cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia sebagaimana terekam dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Meskipun demikian, sudah ada usaha yang dilakukan oleh bangsa Indonesia
dalam rangka menuju cita-cita tersebut, yaitu adanya program Pembinaan
Hukum Nasional. Menurut Qodri Azizy, tidak adanya hukum nasional
merupakan salah satu problematika pembangunan hukum di Indonesia, dan

13
. Farida Hanum, J urnal: Pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa,
http://eprints.uny.ac.id, hlm. 2, diunduh tanggal 21 Mei 2014 jam 09.48 WIB.
14
Hendra Wahanu Prabandani, op. cit, hlm. 32-33
8
pada hakekatnya problematika itu telah mulai ada sejak awal-awal
kemerdekaan Republik Indonesia.
15
Unifikasi hukum dan pembentukan hukum melalui perundang-undangan
dalam proses pembangunan memerlukan skala prioritas. Dalam rangka
memperhatikan skala prioritas yang demikian, maka bidang-bidang hukum
yang berhubungan dengan kepentingan publik dan sosial dan bidang-bidang
hukum yang langsung menunjangkemajuan ekonomi dan pembangunan, perlu
diprioritaskan dalam pembentukannya. Sedangkan bidang-bidang hukum yang
erat hubungannya dengan kehidupan pribadi, kehidupan spiritual, dan
kehidupan budaya bangsa memerlukan penggarapan yang saksama dan tidak
tergesa-gesa .
16
Menyadari pentingnya kodifikasi dalam rangka pembinaan hukum
nasional khususnya dan pembangunan nasional umumnya, dengan mengingat
kebutuhan yangmendesak, maka usaha ke arah kodifikasi dilaksanakan untuk
seluruh atau sebagian lapangan hukum tertentu secara bertahap, baik dengan
undang-undang maupun dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (Perpu). Pengambilan/pengoperan hukum asing yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dapat diterima, asalkan hal tersebut dapat
memperkembangkan dan memperkaya hukum nasional.
17
Pembangunan di bidang hukum harus berdasar atas landasan cita-cita yang
terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang luhur
yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang
ditemukan dalam Pancasila dan UUD 1945. Menurut Satjipto Rahardjo,
hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti bahwa kehadirannya
adalah untuk melindungi danmemajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
masyarakatnya. Dengan demikian, hukum tidak merupakan institusi tekhnik
yang kosong moral dan steril terhadap moral.
18

15
Ali Imron, Kontribusi Hukum Islam terhadap Pembangunan Nasional, Disertasi,
Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, Semarang, 2008. hlm. 106
16
ibid
17
Ibid, hlm. 107
18
ibid
9
Pembangunan materi hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum
nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional dengan penyusunan
awal materi hukum secara menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, khususnya penyusunan produk hukum baru
yang sangat dibutuhkan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan
pembangunan nasional. Oleh karena itu, perlu disusun program legislasi
nasional yang terpadu sesuai dengan prioritas, termasuk upaya penggantian
peraturan perundang-undangan warisan kolonial denganperaturan perundang-
undangan yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses secara terpadu dan
demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta
menghasilkan produk hukum hingga tingkat peraturan pelaksanaannya. Dalam
pembentukan hukum perlu diindahkan ketentuan yang memenuhi nilai
filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang
sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, dan nilai yuridis
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Produk hukum kolonial harus diganti dengan produk hukum yang dijiwai dan
bersumber pada Pancasila dan Undang-undangDasar 1945.
19
Pembangunan aparatur hukum diarahkan pada terciptanya aparatur yang
memiliki kemampuan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung
pembangunan nasional serta ditujukan kepada pemantapan kemampuan
profesional aparatnya. Pembangunan aparatur hukum dilaksanakan melalui
pembinaan profesi hukum serta pemantapan semua organisasi dan lembaga
hukum agar aparatur hukummampu melaksanakan tugas kewajibannya yang
mencakup penyuluhan, penerapan, dan penegakan serta pelayanan hukum
secara profesional dalam rangka pemantapan fungsi dan peranan hukum
sebagai sarana pengatur dan pengayom masyarakat. Kualitas dankemampuan
aparat hukum harus dikembangkan melalui peningkatan kualitas manusianya,

19
ibid
10
baik tingkat kemampuan profesionalnya maupun kesejahteraannya, serta
didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.
20
Penerapan hukum dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan
lugastetapi manusiawi berdasarkan asas keadilan dan kebenaran dalam rangka
mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum, meningkatkan tertib sosial dan
disiplin nasional, mendukung pembangunan serta memantapkan stabilitas
nasional yang mantap dandamai.
21
Menurut Satjipto Rahardjo, usaha untuk membangun hukum Indonesia,
maka pikiran, gagasan dan visi keilmuan dari para akademisi adalah penting.
Melakukan pembangunan hukum bukan hanya melakukan pekerjaan-
pekerjaan seperti legislasi, yudikasi dan penegakan hukum, melainkan juga
berfikir tentang hukum itu sendiri. Kontribusi pikiran ini adalah dalam
memberikan visi dan pencerahan terhadap aksi-aksi yang dilakukan secara
konkrit.
22
Dengan adanya arah pembangunan hukum nasional pada kodifikasi dan
unifikasi hukum, berarti akan mengarah pada pembentukan undang-undang.
Idealnyatentu mampu mengubah segala jenis undang-undang produk Kolonial
Belanda untuk diganti dengan undang-undang produk bangsa kita sendiri.
Namun, kenyataannya hanya baru mampu membuat undang-undang yang
sifatnya ad hoc, sebagai upaya tambal sulam. Sudah barang tentu, dengan
selalu tidak pernah dilepaskan rumusanbahwa pembangunan hukum nasional
akan tetap menghargai hukum tidak tertulis dan nilai-nilai yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat, akan memberi arti meskipunpembangunan hukum
kita mengarah pada kodifikasi dan unifikasi, namun peran hakimtetap besar,
penting dan menentukan.
23
Arah pembangunan jangka panjang di bidang hukum sebagaimana yang
tertuang dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan J angka Panjang Nasional (RPJ PN) 2005-2025

20
Ibid, hlm. 108.
21
ibid
22
Ibid, hlm. 109.
23
ibid
11
dinyatakan bahwa pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan
materi hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum
yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan
kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi
manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukumyang berintikan
keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka
penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing
global.
24
Bentuk hukum yang perlu disusun dan diperbarui tidak saja berupa
Undang- Undang tetapi juga Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Menteri, Peraturan di lingkungan lembaga-lembaga tinggi negara
dan badan-badan khusus dan independen lainnya seperti Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Bank Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan
sebagainya. Demikian pula di daerah-daerah, pembaruan dan pembentukan
hukum juga dilakukan dalam bentuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati
dan Peraturan Walikota. Untuk menampung kebutuhan di tingkat lokal,
termasuk mengakomodasikan perkembangan norma-norma hukum adat yang
hidup dalam masyarakat pedesaan, dapat pula dibentuk Peraturan Desa. Di
samping itu, nomenklatur dan bentuk sistem hukumnya juga perlu dibenahi,
misalnya, perlu dibedakan dengan jelas antara peraturan (regels) yang dapat
dijadikan objek judicial review dengan penetapan administratif berupa
keputusan (beschikking) yang dapat dijadikan objek peradilan tata usaha
negara, dan putusan hakim (vonis) dan fatwa (legal opinion).
25

24
ibid
25
Ibid, hlm. 114-115.
12
BAB III
KASUS
A. KASUS I
26
Contoh kasus terjadi pada masyarakat Desa Bejijong Kabupaten Mojokerto
yang melakukan integrasi nilai lokal ke dalam hukum nasional dalam bentuk
peraturan desa. Masyarakat Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, J awa Timur yang merupakan komunitas perajin tradisional cor
kuningan yang telah menjalankan aktivitas karya sejak puluhan lalu. Selama ini
mereka hanya menggunakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self
regulation) untuk menjaga keteraturan sosial dalam praktek berkerajinan sehari-
hari. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perajin Desa Bejijong
kemudian merasa khawatir atas hasil karya-karyanya yang dijual ke pasaran tanpa
perlindungan hukum.
Kekhawatiran tersebut kemudian mendorong masyarakat Desa Bejijong
melakukan proses sosial berupa integrasi antara nilai-nilai lokal yang telah mereka
praktikkan dengan formalisme hukum nasional yang sedang berjalan. Dengan
inisiatif beberapa elemen pemerintah desa, mereka menerbitkanUndang-Undang
Perlindungan Hak Cipta Pengrajin Patung Desa Bejijong Nomor 6 Tahun 2004
yang substansinya berasal dari konsensus bersama komunitas perajin Desa
Bejijong. Peraturan tersebut dibuat antara lain untuk menjamin danmenumbuhkan
kreativitas para perajin di Desa Bejijong. Perajinyang kedapatan menjiplak karya
perajin lain akan didendasebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Masyarakat Desa Bejijong mendapat inspirasi dari asas dannorma hukum
Hak Cipta yang ada pada Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak
Cipta; Undang-Undang Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri atau
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Merek, yang merupakan rezim
HKI yang dapat digunakan untuk melindungi karya-karya mereka. Aturan tersebut
dibuat secara otodidak, bersama-sama seluruh elemen masyarakat desa dan

26
Oksep Adhayanto, op.cit, hlm. 269
13
kemudian hasilnya ditetapkan menjadi Peraturan Desa Bejijong. Sampai saat ini
aturan tersebut masih ada dan berhasil difungsionalisasikan secara efektif oleh
masyarakat setempat.
B. KASUS II
27
Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang berisi pencabutan Inpres Nomor 14
Tahun 1967 tentang (pelarangan) agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina,
dirayakan oleh masyarakat Tionghoa dan Konghucu dengan gaya berbeda, tetapi
tetap dalam satu rasa euphoria.
Poin ketiga dari Keppres itu memang menarik bahasanya Dengan ini
penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Cina tanpa
memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini Tidak heran bila
masyarakat Konghucu bangga karena tanggal 31 Maret 2000 muncul Surat
Mendagri (Surjadi Soedirdja) Nomor 477/805/Sj yang ditujukan ke Gubernur dan
Bupati/Walikota seluruh Indonesia, untuk mencabut Inpres. Ditambah
menyatakan SE Mendagri No. 477/74054 tanggal 18 November 1978 (petunjuk
pengisian kolom agama) pada lampiran SK Mendagri Nomor 221a/1975, tidak
berlaku lagi. Kolom agama pada lampiran itu (pencatatan perkawinan dan
perceraian pada KCS) agar berpedoman padaInstruksi Menag Nomor 4/1978.
Pembelaan muncul dari Anly Cenggana bahwa barongsay konghucu itu
ritus dan bukan seni tari biasa. Terkait tidak jelasnya tradisi dan agama ini
bertambah runyam karena etnis Cina di Indonesia mengalami keterputusan alih
generasi penguasaan bahasa China-kitab, sementara banyak orang cina tempo
dulu yang sudah meninggal tanpa sempat mewariskan ilmunya lagi.
Terbitnya keppres ini ternyata membawa perseteruan baru yang terjadi
secara lintas agama, tetapi satu etnis.

27
Anom Surya Putra. Op.cit, Hlm. 127.
14
BAB IV
PEMBAHASAN
A. PEMBAHASAN MENGENAI PENERAPAN MAZHAB
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE TERKAIT PEMECAHAN
PROBLEM PLURALITAS BANGSA INDONESIA DALAM
PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
Dilihat dari teori/ Mazhab Sociological Jurisprudence , maka untuk kasus
yang telah di bahas sebelumnya dapat dijelaskan secara singkat sebagai
berikut:
Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa
undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Di Indonesia
sendiri yang paling menonjol adalah perundang-undangan.
28
Agar dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk
pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-
undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran
aliran Sociological Jurisprudence, yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai
dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat . jadi, mencerminkan nilai-
nilai yang hidup di masyarakat. Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan
tersebut akan tidak dapat dilaksanakan (bekerja) dan akan mendapat
tantangan-tantangan.
29
Beberapa contoh perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana
pembaharuan dalam arti mengubah sikap mental masyarakat tradisional ke
arah modern, misalnya yang terjadi dalam kasus pertama dan kedua tadi.
Dalam kasus pertama, disini dengan terbitnya Undang-Undang mengenai hak
cipta telah mengubah pola pikir dalam masyarakat Desa Bejijong Kabupaten
Mojokerto terkait perlindungan hukum hak cipta kerajinan patung yang
mereka buat. Mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self regulation) yang

28
Lili Rasjidi, op. cit, hlm. 79
29
ibid
15
diterapkan masyarakat Desa Bejijong Kabupaten Mojokerto untuk menjaga
keteraturan sosial dalam praktek berkerajinan sehari-hari merupakan suatu
integrasi nilai lokal ke dalam hukum nasional tersebut telah tepat. Namun
seiring dengan perkembangan zaman, perajin Desa Bejijong kemudian merasa
khawatir atas hasil karya-karyanya yang dijual ke pasaran tanpa perlindungan
hukum. Oleh karena itu penerapan Mazhab Sociological Jurisprudence terkait
pembuatan peraturan perundang-undangan telah berhasil dalam kasus ini,
karena kesadaran hukum masyarakat ini timbul setelah adanya sosialisasi
Undang-Undang HKI tentang Hak Cipta. Yaitu untuk mengubah sikap
tradisional ke modern yang sadar akan hukum.
Untuk kasus kedua, disini peranan Mazhab Sociological Jurisprudence
yaitu dalam menerapkan hukum yang baik disesuaikan dengan kondisi yang
ada didalam masyarakatnya. Di Indonesia yang terkenal sebagai negara yang
plural/ memiliki kemajemukan budayanya, salah satunya budaya/ kepercayaan
Konghucu maka disini dengan hadirnya Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang
membolehkan adanya kepercayaan konghucu maka peraturan tersebut harus
mengakomodasi keinginan dari pemeluk kepercayaan konghucu tersebut.
Namun, permasalahan yang muncul aturan tersebut belum memenuhi
seluruhnya keinginan dari penganut kepercayaan konghucu. Oleh karena itu
peranan dari mazhab ini perlu diterapkan karena jika tidak mencerminkan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat penganut kepercayaan konghucu,
maka akibatnya ketentuan aturan tersebut tidak akan berjalan dengan efektif
dan akan mendapat tantangan-tantangan.
Keppres Nomor 6 Tahun 2000 dan SE Mendagri yang mengikutinya masih
dianggap kurang oleh beberapa masyarakat Konghucu, yaitu tidak
dicantumkannya nama agama mereka pada kolom agama di beberapa daerah
(kasus Anly Cenggana di Surabaya) padahal di J akarta bisa dilakukan (kasus
Chandra Setiawan). Kolom agama dalam KTP itu sebaiknya dihilangkan saja,
16
seperti penghilangan kolom perkawinan dalam KTP Surabaya (yang bisa
disalahgunakan untuk over-poligami).
30
Agar peranan dan fungsi dari Mazhab Sociological Jurisprudence dapat
terealisasi dalam kasus ini, Keppres Nomor 6 Tahun 2000 harus dilengkapi
dengan kritik atas rasisme dengan mendorong terciptanya Undang-Undang
Anti Diskriminasi. Tanpa undang-undang ini maka basis massa Konghucu
tidak akan bisa keluar dari keluh kesah.
31

Dengan menguatnya peran dan kapasitas kearifan lokal dalam masyarakat
serta kebiasaan-kebiasaan yang timbul, sistem hukum nasional juga harus
bersiap memberikan ruang untuk menghadapi situasi yang disebut oleh
Holleman sebagai hybrid law atau unnamed law. Hybrid law atau unnamed law
adalah situasi dimana tumbuh bentuk hukum-hukum baru yang tidak dapat
diberi label sebagai hukum negara, hukum adat atau hukum agama. Pada
perkembangannya saat ini dapat dilihat di beberapa daerah di Indonesia telah
banyak upaya melembagakan hukum adat baru dengan format hukum
negara, yaitu menjadi peraturan daerah atau peraturan desa mengikuti struktur
formal dan logika hukum negara.
32
Menurut Otje Salman, sistem hukum agar dapat berfungsi lebih baik,
maka ada empat hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu masalah
legitimasi, interpretasi, sanksi, dan yuridiksi. Salah satunya mengenai
permasalahan legitimasi yang menjadi landasan bagi pentaatan kepada aturan-
aturan.
33
Oleh karenanya kedua kasus tersebut dapat menjadi pelajaran
pembuat aturan agar aturan tersebut dapat diterima oleh masyarakatnya.

30
Anom Surya Putra, op.cit, hlm.137
31
ibid
32
Hendra Wahanu Prabandani, op.cit, hlm. 32
33
Otje Salman. Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali.
Bandung: PT Refika Aditama. 2005. hlm. 155.
17
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Terkait dengan permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa peranan
Mazhab Sociological Jurisprudence Dilihat dari contoh kasus diatas, maka
penting nya penerapan Mazhab Sociological J urisprudence dalam hal
pembuatan peraturan perundang-undangan karena undang-undang atau aturan
yang dibuat harus berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakatnya.
Karenajika tidak dibuat berdasarkan hal tersebut aturan yang dibuat itu akan
mendapat tantangan-tantangan seperti yang terdapat dalam kasus II.
Pemerintah masih belum serius mengangkat tema kebijakan yang berfokus
pada problem dan konflik etnik yang sampai saat ini belum mampu
memberikan kontibusi bagi pengakomodasian masyarakat yang berbeda beda
latarbelakang etnisnya.
Selain itu, peranan Mazhab Sociological Jurisprudence dalam
pembangunan hukum nasional. Dalam artian peraturan perundang-undangan
dibuat sebagai sarana pembaharuan masyarakat seperti yang terdapat dalam
contoh kasus I, disini aturan dapat mengubah sikap mental masyarakat
tradisional ke masyarakat modern yang sadar akan pentingnya hukum
sehingga hal itu dapat memecahkan problem masyarakat plural yang ada di
Indonesia.
B. SARAN
Pemerintah harus dapat mengakomodasi kehendak masyarakat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang selanjutnya sehingga
pemikiran dari Mazhab Sociological Jurisprudence yang tercermin dalam
aturan perundang-undangan dapat terealisasi sepenuhnya.
18
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
Anom Surya Putra. Teori Hukum Kritis, Struktur Ilmu dan Riset Teks. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti. 2003
Lili Rasjidi. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. 2004.
Otje Salman. Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali.
Bandung: PT Refika Aditama. 2005
B. LAIN-LAIN (Jurnal, Disertasi, website, dll)
Ali Imron, Kontribusi Hukum Islam terhadap Pembangunan Nasional, Disertasi,
Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, Semarang, 2008.
Farida Hanum, J urnal: Pendidikan Multikultural Dalam Pluralisme Bangsa,
http://eprints.uny.ac.id
Hendra Wahanu Prabandani, PEMBANGUNAN HUKUM BERBASIS
KEARIFAN LOKAL, J urnal Biro Hukum Bappenas, E D I S I 0 1 / TA H
U N X V I I / 2 0 1 1
Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi
Metodologisnya, http://bphn.go.id, 2014.
Oksep Adhayanto, J urnal : Rekonstruksi Nilai-Nilai Masyarakat Lokal dalam
Semangat Otonomi Daerah Menuju Penguatan Sistem Hukum Nasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji,
2014.

Anda mungkin juga menyukai