a) Perikanan ikan Cod, ikan Tembang, Herring, Pilchard, Mackerel dan kemungkinan semua sumberdaya perikanan besar lainnya adalah tetap (sustain) dan tidak dapat habis sifatnya (inexhaustible). b) Tidak ada hal serius yang manusia dapat lakukan dan dapat berakibat kepada jumlah ikan dan sumber-sumber perikanan lainnya. Dengan demikian apapun usaha yang ditempuh manusia untuk mengatur (manage) sumber-sumber perikanan yang ada adalah merupakan hal yang sia-sia saja (useless)
Berdasarkan kedua aksioma di atas, penulis berpendapat, bahwa perlu menilik kembali konteks pada saat dimana aksioma ini disampaikan. Penulis mencoba untuk menelusuri beberapa pustaka dan disebutkan bahwa hal ini bermula ketika pada tahun 1884, T.H. Huxley, yang kala itu jabatannya sebagai The President of the Royal Society, berbicara pada suatu konferensi Internasional yang berlangsung di London dengan mengatakan bahwa saya percaya bahwa sumberdaya perikanan tidak pernah akan habis. Menurut beliau, sesuai dengan karakteristik perairan di laut utara pada saat itu, maka sumberdaya perikanan yang paling menonjol adalah ikan Cod, ikan Tembang, Herring, Pilchard, Mackerel, tidak akan habis walaupun ditangkap atau dieksploitasi. Keyakinan beliau ini sangat kuat pada saat itu sehingga beliau juga berpendapat bahwa kemungkinan semua sumberdaya perikanan besar lainya adalah tetap (sustain) dan tidak dapat habis sifatnya (inexhaustible). Atas dasar keyakinan tersebut, maka beliau berpendapat bahwa apapun yang akan dilakukan oleh manusia terhadap sumberdaya perikanan (termasuk jumlahnya) tersebut merupakan usaha yang sia-sia saja (useless). Dalam konteks waktu pada saat itu dengan karakteristik perairan dengan sumberdaya yang melimpah saat itu, apa yang dikatakan memang belum bisa disalahkan ataupun dibantah. Pada sisi lain, saya berpendapat ini masalah kegembiraan, semangat dan keyakinan yang berdasar, apalagi dalam forum yang bergengsi di jaman dimana jumlah penduduk yang belum sebanyak sekarang serta ilmu dan teknologi perikanan yang belum terlalu berkembang seperti saat ini. Dalam kondisi terkini dan yang akan datang saya berpikir bahwa aksioma ini bertolak belakang dengan kenyataan sebenarnya yang terjadi di alam. Pikiran ini tentu punya dasar dan bukti yang dapat dikemukakan bahwa banyak laporan yang sekaligus merupakan bukti adanya semakin menurunnya hasil tangkapan per unit usaha pada kegiatan perikanan baik perikanan dunia. Adanya bukti lain bahwa ukuran rata-rata ikan yang tertangkap juga semakin TUGAS FALSAFAH SAINS 2
menurun. Hal ini mengisyaratkan tentang akibat-akibat besar pada sumber daya hayati laut yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan eksploitasi (FAO, 2012). Sumberdaya hayati laut kita di Indonesia termasuk di perairan Maluku juga sedang dan akan mengalami tekanan eksploitasi yang semakin besar dan intensif. Menurut Naamin (1984), di laut Arafura saja, kondisi sumberdaya perikanan udangnya sudah melampaui Maximum Sustainable Yield (MSY). Lebih khusus lagi saat ini tercatat bahwa telah terjadi over-exploited terhadap udang dan pelagic kecil di laut Arafura. Hal lain, dulu, teluk Ambon bagian dalam merupakan lokasi yang ideal untuk beberapa species ikan umpan dari genus Stolephorus, tembang (make, Ambon) dari genus Sardinella dan Herclothsychties maka kini kondisi tersebut hanya dapat dicatat sebagai satu bukti sejarah perikanan pelagis kecil di Maluku. Dengan banyaknya bukti menurunnya sumberdaya perikanan seperti dikemukan di atas, timbul pertanyaan masihkah kita yang tetap yakin bahwa aksioma Russel masih berlaku?. Terhadap pertanyaan tersebut, saya memiliki sikapyakni terhadap aksioma (a) saya masih yakin, sedangkan aksioma (b) dengan sangat jelas saya tidak yakin bahkan menolak pendapat tersebut. Alasan yang dapat dikemukakan adalah sumberdaya perikanan adalah sumberdaya alam yang dapat pulih atau re-newable, karena memiliki siklus hidup yang tetap sepanjang waktu untuk meregenerasi dirinya dalam proses reproduksi, Status dan kondisi ini hanya dapat dicapai apabila evaluasi dan pengelolaan yang tepat terus dilakukan secara berkesinambungan (continue). Pengelolaaan dan evaluasi yang dimaksud adalah sebagai intervensi atau usaha-usaha manusia. Agar usaha-usaha tidak menjadi sia-sia (useless) dan untuk menjamin evaluasi dan pengelolaan yang baik, maka pengetahuan yang cukup dan lengkap mutlak diperlukan terutama menyangkut aspek biologi yang di dalamnya mencakup aspek reproduksi, pertumbuhan, makanan dan cara makan serta distribusi dari tiap jenis. Pengelolaan (management) termasuk usaha budidaya sumberdaya hayati yang ada baik di laut maupun di darat merupakan tindakan rasional yang patut dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat (stakeholder) di dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan ini baik langsung maupun tidak langsung. Ada tiga konsep yang menurut saya dapat dijadikan sebagai solusi terhadap keyakinan saya di atas yakni: Pertama, menejemen perikanan berbasis ekosistem (EBFM). Konsep ini merupakan suatu pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan yang menghindari pemanfaatan yang bersifat selektif seperti dalam praktek selama ini (selective fishing). Konsep EBFM ini sebenarnya tidak terlalu baru juga, karena memang sudah cukup lama diperkenalkan, namun karena konsep ini belum diadopsi secara umum dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada maka tidaklah heran jika konsep ini masih dapat dianggap baru dan perlu terus diperkenalkan. Dengan demikian pemahamannya masih perlu diperluas sehingga secara perlahan-lahan dapat dipraktekan terutama pada perikanan yang bersakala industri. Oleh Para ahli Perikanan dikatakan bahwa konsep ini cenderung mengusulkan agar pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada bersifat proporsional terhadap fungsional ekologi dari setiap komponen yang 3
ada dalam sistem di laut. Karena dengan melakukan pemanfaatan yang selektif maka secara teori akan mengganggu keseimbangan dalam ekosisitem karena hilangnya satu komponen yang sangat penting peranannya dalam sistem. Namun masih ada pertanyaan tersisa bahwa kalau praktek-praktek pemanfaatan secara tradisonal dimaksud seperti disebutkan di atas, mengapa hilangnya sumberdaya perikanan tertentu di suatu wilayah masih sering dijumpai. Itulah sebabnya konsep ini sebenarnya baik dan dapat diadopsi untuk menjaga keseimbangan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada namun pemahaman akan karakterisitk biologi dari setiap sumberdaya yang ada tetap menjadi sangat penting dan mutlak dilakukan. Kedua, pengelolaan berbasis konsep ekonomi biru atau blue economy. Konsep ini mengingatkan kita bahwa semua hasil produksi bernilai ekonomis, tidak ada yang dibuang, bahkan limbahnya pun dapat didaur ulang sehingga bernilai tambah dan tidak merusak lingkungan. Konsep ekonomi biru (blue economy) sejatinya merupakan paradigma yang berkembang dari konsep ekonomi hijau (green economy). Konsep Ekonomi Biru merupakan haluan baru untuk pembangunan di Indonesia yang berakselerasi terhadap pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan kesehatan lingkungan. Ekonomi biru merupakan sebuah konsep yang bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan, sekaligus menjamin kelestarian sumber daya serta lingkungan pesisir dan lautan. Prinsipnya ekonomi biru adalah memanfaatkan modal alam dan teknologi berorientasi pelestarian alam untuk mengurangi biaya produksi dan konsumsi, memperbaiki mutu hidup manusia dan mahluk alam, pengurangan resiko lingkungan hidup demi keharmonisan kehidupan alam dan manusia. Ketiga, pengelolaan berbasis genetika. Menurut Allendorf et al. (1987), genetika dan manajemen perikanan dapat berinteraksi dalam beberapa cara. Misalnya, bila struktur populasi secara genetis suatu spesies diketahui, maka distribusi dari subpopulasi-subpopulasi dalam perikanan campuran dapat diestimasi. Peraturan eksploitasi untuk melindungi populasi-populasi yang lebih lemah dapat dibuat berdasarkan distribusi-distribusi tadi. Perubahan-perubahan genetis di dalam satu populasi yang disebabkan oleh perbedaan eksploitasi, sulit diukur. Perubahan-perubahan dimaksud penting dikenal dan diberlakukan, sebab efek drastis dan berjangka panjang yang mungkin dapat diakibatkan oleh perubahan-perubahan tersebut terhadap suatu populasi. Populasi-populasi balai penetasan (hatchery) pada khususnya, sangat peka terhadap perubahan- perubahan karena lingkungan yang dimodifikasi serta reproduksi yang dikontrol. Perhatian yang cukup harus dicurahkan kepada prinsip-prinsip genetika dalam pengadaan dan pemeliharaan populasi-populasi balai penetasan. Perhatian terhadap interaksi genetis dari populasi-populasi balai penetasan dan populasi- populasi alam juga penting, untuk meminimalkan terurainya gene pool (breakdown of adapted gene pool) dan untuk menghindari kehilangan cadangan variasi genetis yang tidak tergantikan (irreplaceable reserves of genetic variation). Demikianlah pokok pikiran, sikap dan solusi yang dapat disampaikan berkaitan dengan aksioma Russel, semoga bermanfaat.