Anda di halaman 1dari 55

Presentasi Kasus

REHABILITASI MEDIK
SEORANG PRIA 65 TAHUN DENGAN PPOK EKSASERBASI AKUT,
PNEUMONIA COMMUNITY KR III GR II










Oleh :
Dewi Okta Anggraini
G99122032



Pembimbing :
dr. Yunita Fatmawati, Sp.KFR



KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2014

1
BAB I
STATUS PENDERITA


I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn.S
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Laundry
Alamat : Panularan 2/6 Laweyan Sukoharjo Jawa Tengah
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 1 April 2014
Tanggal Periksa : 2 April 2014
No RM : 01 16 46 40
B. Keluhan Utama :
Sesak napas
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak kurang
lebih 10 tahun sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan makin
lama makin memberat. Sesak dirasakan paling berat sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan terus
menerus. Sesak bertambah dengan aktivitas (dengan banyak bicara
sesak bertambah). Sesak tidak dipengaruhi cuaca. Pasien memakai
ventolin inhaler untuk mengurangi rasa sesaknya. Rata-rata
pemakaian 3-5 kali sehari. Pasien tidur dengan 2-3 bantal. Pasien
juga mengeluhkan sesak berbunyi ngik-ngik.
Selain itu, pasien juga mengeluh batuk. Batuk kurang lebih
timbul bersamaan dengan keluhan sesak yaitu 10 tahun sebelum
masuk rumah sakit. Satu minggu ini batuk bertambah sering. Batuk
berdahak, dahak bertambah banyak, warna kekuningan kental, dan
2
terkadang sulit dikeluarkan dan nyeri dada saat batuk-batuk. Pasien
tidak mengeluhkan adanya batuk darah.
Pasien juga mengeluhkan demam tinggi mulai 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak mengeluhkan adanya
demam sumer-sumer sebelumnya. Pasien mengeluhkan adanya
penurunan nafsu makan sejak 3 hari yang lalu. Pasien tidak
mengeluhkan adanya penurunan berat badan. BAK dan BAB
normal, tidak ada keluhan.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat OAT : disangkal
Riwayat mondok : (+) 1 kali pada bulan Desember
2012 karena sesak napas dan
didiagnosa sakit paru. Pasien rutin
kontrol ke PKM/RS kasih ibu
untuk pengobatan sesaknya,
dikatakan sakit PPOK dan diberi
obat ventolin inhaler
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal

3
F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Penderita makan tiga kali sehari dengan sepiring nasi dan lauk pauk
berupa daging, tahu, tempe, telur, dan sayur.
Riwayat merokok : (+) selama 35 tahun, tiap hari
kurang lebih 12 batang. IB 12 x 35
= 420 sedang
Riwayat mengonsumsi alkohol : disangkal
Riwayat olahraga : pasien jarang berolahraga
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang pekerja laundry bagian sektrika, kurang
lebih 4 tahun sebelumnya bekerja di bagian mencuci. Pasien dirawat di
RSUD Dr. Moewardi sebagai pasien BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum pasien tampak sesak, kesadaran compos mentis, gizi kesan
cukup.
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi : 98 x/ menit, isi cukup, irama teratur, simetris
Respirasi : 24 x/menit, irama teratur, tipe thoracoabdominal
Suhu : 39,4
0
C per aksiler
VAS :
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-)
D. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam
beruban, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).



4
E. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan
tak langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm), oedem palpebra (-/-),
sekret (-/-).
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-),lidah simetris, lidah tremor (-),
stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-).
I. Leher
Simetris, trakea di tengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-)
J. Thoraks
a. retraksi (-)
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
c. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri,
gerakan paradoksal (-)
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler), whezzing (+/+)
K. Trunk
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis(-)
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
5
Perkusi : nyeri ketok kostovertebra (-)
Tanda Patrick/Fabere : (-/-)
Tanda Anti Patrick : (-/-)
Tanda Laseque/SLR : (-/-)
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
M. Ekstremitas
Oedem Akral dingin



N. Status Psikiatri
a. Deskripsi Umum
1. Penampilan : pria, tampak sesuai umur, berpakaian pantas, ,
perawatan diri cukup.
2. Kesadaran : Kuantitatif : compos mentis
Kualitatif : tidak berubah
3. Perilaku dan Aktivitas Motorik : normoaktif
4. Pembicaraan : normal
5. Sikap Terhadap Pemeriksa : kooperatif
b. Afek dan Mood
- Afek : normal
- Mood : normal
c. Gangguan Persepsi
- Halusinasi : (-)
- Ilusi : (-)
d. Proses Pikir
- Bentuk : realistik
- -
- -
- -
- -
6
- Isi : waham (-)
- Arus : koheren
e. Sensorium dan Kognitif
- Daya Konsentrasi : baik
- Orientasi
Orang : baik
Waktu : baik
Tempat : baik
- Daya Ingat
Jangka pendek : baik
Jangka panjang : baik
f. Daya Nilai : daya nilai realitas dan sosial baik
g. Insight : baik
h. Taraf Dapat Dipercaya : baik

O. Status Neurologis
a. Kesadaran : GCS E
4
V
5
M
6

b. Fungsi Luhur : dalam batas normal
c. Fungsi Vegetatif : dalam batas normal
d. Fungsi Sensorik
- Rasa Eksteroseptik Lengan Tungkai
Suhu (+ / +) (+ / +)
Nyeri (+ / +) (+ / +)
Rabaan (+ / +) (+ / +)

- Rasa Propioseptik Lengan Tungkai
Rasa Getar (+ / +) (+ / +)
Rasa Posisi (+ / +) (+ / +)
Rasa Nyeri Tekan (+ / +) (+ / +)
Rasa Nyeri Tusukan (+ / +) (+ / +)

7
- Rasa Kortikal
Stereognosis : dalam batas normal
Barognosis : dalam batas normal
Pengenalan 2 titik : dalam batas normal
e. Fungsi Motorik dan Reflek :
Atas Tengah Bawah
Ka/ki ka/ki ka/ki
1. Lengan
- Kekuatan 5/5 5/5 5/5
- Tonus n/n n/n n/n
- Reflek Fisiologis
Reflek Biseps +2/+2
Reflek Triseps +2/+2
- Reflek Patologis
Reflek Hoffman - / -
Reflek Tromner - / -

Atas Tengah Bawah
Ka/ki ka/ki ka/ki
2. Tungkai
- Kekuatan 5/5 5/5 5/5
Tonus n/n n/n n/n
- Klonus
Lutut - / -
Kaki - / -
- Reflek Fisiologis
Reflek Patella +2/+2
Reflek Achilles +2/+2
- Reflek Patologis
Reflek Babinsky - / -
Reflek Chaddock - / -
8
Reflek Oppenheim - / -
Reflek Schaeffer - / -
Reflek Rosolimo - / -

f. Nervus Cranialis
N. III : pupil isokor diameter 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+)
N. VII : dalam batas normal
N. XII : dalam batas normal

P. Range of Motion (ROM)
NECK

ROM Pasif ROM Aktif
Fleksi 0-70
0
0-70
0

Ekstensi 0-40
0
0-40
0

Lateral bending kanan 0-60
0
0-60
0

Lateral bending kiri 0-60
0
0-60
0

Rotasi kanan 0-90
0
0-90
0

Rotasi kiri 0-90
0
0-90
0


Ekstremitas Superior ROM pasif ROM aktif
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Shoulder Fleksi 0-90
0
0-90
0
0-90
0
0-90
0

Ekstensi 0-50
0
0-50
0
0-50
0
0-50
0

Abduksi 0-180
0
0-180
0
0-180
0
0-180
0

Adduksi 0-75
0
0-75
0
0-75
0
0-75
0

External Rotasi 0-90
0
0-90
0
0-90
0
0-90
0

Internal Rotasi 0-90
0
0-90
0
0-90
0
0-90
0

Elbow Fleksi 0-150
0
0-150
0
0-150
0
0-150
0

Ekstensi 5-0
0
5-0
0
5-0
0
5-0
0

Pronasi 0-90
0
0-90
0
0-90
0
0-90
0

Supinasi 90
0-
0 90
0-
0 90
0-
0 90
0-
0
Wrist Fleksi 0-90
0
0-90
0
0-90
0
0-90
0

Ekstensi 0-70
0
0-70
0
0-70
0
0-70
0

Ulnar deviasi 0-30
0
0-30
0
0-30
0
0-30
0

Radius deviasi 0-20
0
0-20
0
0-20
0
0-20
0

Finger MCP I fleksi 0-50
0
0-50
0
Sde 0-40
0

MCP II-IV fleksi 0-90
0
0-90
0
0-90
0
0-90
0

DIP II-V fleksi 0-90
0
0-90
0
0-90
0
0-90
0

PIP II-V fleksi 0-100
0
0-100
0
0-100
0
0-100
0

9
MCP I ekstensi 0-30
0
0-30
0
0-30
0
0-30
0

Trunk Fleksi 0-90
0
0-90
0
0-90
0
0-90
0

Ekstensi 0-30
0
0-30
0
0-30
0
0-30
0

Right lateral
Bending
0-30
0
0-30
0
0-30
0
0-30
0

Left Lateral
Beding
0-30
0
0-30
0
0-30
0
0-30
0


Ekstremitas Inferior ROM pasif ROM aktif
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Hip Fleksi 0-120
0
0-120
0
0-120
0
0-120
0

Ekstensi 0-30
0
0-30
0
0-30
0
0-30
0

Abduksi 0-45
0
0-45
0
0-45
0
0-45
0

Adduksi 30-0
0
30-0
0
30-0
0
30-0
0

Eksorotasi 0-30
0
0-30
0
0-30
0
0-30
0

Endorotasi 0-30
0
0-30
0
0-30
0
0-30
0

Knee Fleksi 0-120
0
0-120
0
0-120
0
0-120
0

Ekstensi 0
0
0
0
0
0
0
0

Ankle Dorsofleksi 0-30
0
0-30
0
0-30
0
0-30
0

Plantarfleksi 0-30
0
0-30
0
0-30
0
0-30
0

Eversi 0-50
0
0-50
0
0-50
0
0-50
0

Inversi 0-40
0
0-40
0
0-40
0
0-40
0


Q. Manual Muscle Testing (MMT)
N E C K
Fleksor M. Sternocleidomastoideus 5
Ekstensor 5

TRUNK
Fleksor M. Rectus Abdominis 5
Ekstensor Thoracic group 5
Lumbal group 5
Rotator M. Obliquus Externus
Abdominis
5
Pelvic Elevation M. Quadratus Lumbaris 5




10


Ekstremitas Superior
Sinistra Dekstra
Shoulder Fleksor M Deltoideus anterior 5 5
M Biseps 5 5
Ekstensor M Deltoideus anterior 5 5
M Teres mayor 5 5
Abduktor M Deltoideus 5 5
M Biceps 5 5
Adduktor M Lattissimus dorsi 5 5
M Pectoralis mayor 5 5
Internal
Rotasi
M Lattissimus dorsi 5 5
M Pectoralis mayor 5 5
Eksternal
Rotasi
M Teres mayor 5 5
M Infra supinatus 5 5
Elbow

Fleksor M Biceps 5 5
M Brachialis 5 5
Ekstensor M Triceps 5 5
Supinator M Supinator 5 5
Pronator M Pronator teres 5 5
Wrist Fleksor M Fleksor carpi radialis 5 5
Ekstensor M Ekstensor digitorum 5 5
Abduktor M Ekstensor carpi radialis 5 5
Adduktor M ekstensor carpi ulnaris 5 5
Finger Fleksor M Fleksor digitorum 5 5
Ekstensor M Ekstensor digitorum 5 5

Ekstremitas inferior Dextra Sinistra
Hip Fleksor M Psoas mayor 5 5
Ekstensor M Gluteus maksimus 5 5
Abduktor M Gluteus medius 5 5
Adduktor M Adduktor longus 5 5
Knee Fleksor Harmstring muscle 5 5
Ekstensor Quadriceps femoris 5 5
Ankle Fleksor M Tibialis 5 5
Ekstensor M Soleus 5 5

Q. Indeks ADL Barthel
No. Aktivitas Skor
1 Makan 10
11
2 Mandi 5
3 Berhias diri 10
4 Berpakaian 10
5 Kontrol BAB 10
6 Kontrol BAK 10
7 Pergi ke WC 10
8 Transfer 10
9 Berjalan 10
10 Naik turun tangga 5
Total 90

R. Status Ambulasi
dependent

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah (Tanggal 1 April 2014)
1/4/2014
Satuan Rujukan
Hemoglobin
14,4
g/dl 13.5-17.5
Hematokrit
44
33-45
Eritrosit
4.65
10
6
/l 4.5-5.9
Leukosit
10.3
10
3
/l 4,5-11
Trombosit
313
10
3
/l 150-450
GDS
88
mg/dL 60-140
SGOT
14
u/l 0-35
SGPT
10
u/l 0-45
Creatinin
0.9
mg/dl 0.8-1.3
Ureum
20
mg/dl <50
Natrium
135
mmol/L 132-146
Kalium
4.0
mmol/L 3.7-5.4
Chlorida
103 mmol/L
98-106
Analisa Gas Darah
pH 7.435
7.310-7.420
BE -2.5 mmol/L
-2-+3
PCO
2

31.7 mmHg
27.0-41.0
12
PO
2

99.0 mmHg
80.0-100.0
Hematokrit
39 %
37-50
HCO
3

22.3 mmol/L
21.0-28.0
Total CO
2
18.5 mmol/L
19.0-24.0
Saturasi
97.8 %
94.0-98.0
HBsAg
Nonreaktif


B. Rontgen Thorax PA/Lateral (Tanggal 1 April 2014)


Cor : besar dan bentuk normal
Pulmo : tak tampak infiltrate di kedua lapang paru, corakan
bronkovaskular meningkat tampak hyperaerated lung terutama kanan
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Hemidiafragma kanan kiri normal
Trakea di tengah
Sistema tulang baik
13
Kesimpulan : Bronchitis kronis dengan hyperaerated lung

C. EKG (tanggal 1 April 2014)

Kesan : Irama sinus takikardi, HR: 104x/menit
IV. ASSESSMENT
PPOK eksaserbasi akut
Pnemonia community KR III Gr II
V. DAFTAR MASALAH
Masalah Medis :
1. Sesak napas
2. Batuk berdahak sulit keluar
Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi : sesak napas dan dahak sulit keluar
2. Speech Terapi : (-)
3. Ocupasi Terapi : Keterbatasn melakukan kegiatan jika sesak nafas
14
4. Sosiomedik : terganggu dalam bekerja dan bersosialisasi dalam
masyarakat
5. Ortesa-protesa : (-)
6. Psikologi : terganggu karena penyakitnya

VI. PENATALAKSANAAN
Terapi Paru
1. O
2
2lpm (k/p)
2. Nebu ipratropium bromide : fenoterol = 0,25 : 1 mg /8 jam
3. Infus Rl + aminophylin 0,5mg/kgBB/jam 20tpm
4. Injeksi dexamethason 5mg/8jam
5. N-acetyl sustein 3x200mg
6. PCT 3x500mg
Rehabilitasi Medik:
- Edukasi pasien dan keluarganya tentang penyakit pasien
- Fisioterapi :
Positioning
Breathing Exercise
Latihan batuk efektif
Postural Drainage + tapotage
Mobilisasi sesuai kondisi
- Terapi okupasi :
latihan dalam melakukan kegiatan sehari-hari
- Terapi wicara : (-)
- Sosiomedik :
motivasi untuk membantu pasien dalam pekerjaan dan kegiatan
sosial dalam masyarakat
- Orthesa protesa: (-)
- Psikologi : Psikologi suportif
memberikan motivasi kepada keluarga pasien agar selalu
melaksanakan program rehabilitasi.
15
VII. IMPAIRMENT, DISSABILITY DAN HANDICAP
- Impairment : PPOK eksaserbasi akut, Pnemonia community KR
III Gr II
- Disability : sesak nafas, batuk berdahak sulit keluar
- Handicap : ADL dibantu sebagian jika saat sesak nafas
VIII. PLANNING
Planning Diagnostik : Kultur Sputum, Spirometri bila KU stabil
Planning Terapi : Terapi sesuai hasil kultur
Planning Edukasi : - Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa
terjadi
- Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan
yang dilakukan
- Edukasi untuk home exercise dan ketaatan
untuk melakukan terapi
Planning Monitoring : - Evaluasi hasil fisioterapi, terapi okupasi
- Monitoring tekanan darah dan sesak
IX. TUJUAN
1. Perbaikan keadaan umum, sehingga mempersingkat lama perawatan
2. Minimalisasi impairment, disabilitas, dan handicap pada pasien
3. Mencegah komplikasi lebih buruk
4. Mengurangi progesifitas penyakit
5. Mengurangi gejala
6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
7. Meningkatkan kualitas hidup penderita
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
1. Definisi
PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) merupakan penyakit yang
dapat dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang
signifikan, yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada
tiap individual. Penyakit paru kronik ini ditandai dengan keterbatasan aliran
udara di dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat
progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan
oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan
sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama
PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas
berbahaya.
1,6
PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) adalah penyakit paru kronik
ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversible atau irreversible. Hambatan aliran udara ini bersifat
progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang beracun atau berbahaya.
2
2. Epidemiologi
Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang
berbeda dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih
bijaksana jika kita mengambil kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh
iritasi yang berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran
pernapasan. Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat
memberikan kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung
kepada jumlah dari partikel yang terinhalasi oleh individu tersebut.
2
Insidensi
pada pria > wanita. Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita meningkat
dengan semakin bertambahnya jumlah perokok wanita.
3,6
3. Faktor Risiko
17
Faktor resiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan dari
partikel-partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya.
1,5
1. Asap rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami
gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru dan mortalitas yang lebih
tinggi daripada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita PPOK
bergantung pada dosis merokok nya, seperti umur orang tersebut mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang
tersebut merokok.
Enviromental Tobacco Smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat
mengalami gejala-gejala respiratorik dan PPOK dikarenakan oleh partikel-
partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru
terbakar.
Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor
resiko kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-
paru dan perkembangan janin dalam kandungan, bahkan mungkin juga
dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.
2. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)
3. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara,
arang, kayu bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil
energi untuk memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga
lainnya. Ini memungkinkan bahwa wanita di negara berkembang memiliki
angka kejadian yang tinggi terhadap kejadian PPOK. Sehingga IAP
memiliki tanggung jawab besar jika dibandingkan dengan polusi di luar
ruangan seperti gas buang kendaraan bermotor.
4. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu
jalanan.
5. Infeksi saluran nafas berulang
6. Jenis kelamin
18
Dahulu, PPOK lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding
wanita. Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita.
Tapi dewasa ini prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini
dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu sendiri. Namun hal
tersebut masih kontoversial, maskipun beberapa penelitian mengatakan
bahwa perokok wanita lebih rentan untuk terkena PPOK dibandingkan
perokok pria. Di negara berkembang wanita lebih banyak terkena paparan
polusi udara yang berasal dari asap saat mereka
7. Status sosioekonomi dan status nutrisi
Rendahnya intake dari antioksidan seperti vitamin A, C, E, kadang-
kadang berhubungan dengan peningkatan resiko terkena PPOK, meskipun
banyak penelitian terbaru menemukan bahwa vitamin C dan magnesium
memiliki prioritas utama
8. Asma
9. Usia
Onset usia dari PPOK ini adalah pertengahan
10. Faktor Genetik
Faktor kompleks genetik dengan lingkungan menjadi salah satu
penyebab terjadinya PPOK, meskipun penelitian Framingham pada
populasi umum menyebutkan bahwa faktor genetik memberi kontribusi
yang rendah dalam penurunan fungsi paru.
4. Patofisiologi
Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran
napas, parenkim paru sampai struktur vaskukler pulmonal. Diberbagai bagian
paru dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil.
Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti
Leukotrien B
4,
IL
8,
TNF yang mampu merusak struktur paru dan atau
mempertahankan inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain
yang juga penting yaitu imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan
stres oksidatif.
1,6
19
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas
besar (central airway), saluran napas kecil (periperal airway), parenkim paru
dan vaskuler pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel
radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus
membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan
hipersekresi bronkus. Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang
menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran napas.
Proses repair ini akan menghasilkan struktural remodeling dari dinding
saluran napas dengan peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan
jaringan ikat yang menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis
saluran pernapasan. Pada parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi
pada emfisema sentrilobuler. Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada
kasus ringan namun bila lanjut bisa terjadi diseluruh lapangan paru dan juga
terjadi destruksi pulmonary capilary bed.
6
Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding
pembuluh darah yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan
struktur yang pertama kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan
otot polos dan infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika
penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen
bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal.
Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran
napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan
sesak. Pada bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (<
2mm) menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi
karena metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena
hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan
saluran napas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.
Konsep Patogenesis PPOK
3
20


5. Gejala klinis PPOK
Pasien biasanya mengeluhkan 2 keluhan utama yaitu sesak napas dan
batuk. Adapun gejala yang terlihat seperti :
1,2
a. Sesak Napas
Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan
lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas bertambah
berat mendadak menandakan adanya eksaserbasi.
b. Batuk Kronis
Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu
pagi hari. Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila
eksaserbasi.
c. Sesak napas (wheezing)
Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini menunjukan
komponen reversibel penyakitnya. Bronkospasme bukan satun-satunya
penyebab wheezing. Wheezing pada PPOK terjadi saat pengerahan tenaga
(exertion) mungkin karena udara lewat saluran napas yang sempit oleh
radang atau sikatrik.
d. Batuk Darah
Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran
napas yang radang dan khasnya blood streaked purulen sputum.
e. Anoreksia dan berat badan menurun
21
Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek.

6. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan :
2,6
a. Gambaran klinis :
1) Anamnesis:
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2) Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i
leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
22
Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Keterangan :
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan pursed lips breathing.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer.
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda:
- pasien biasanya tampak kurus dengan Barrel shaped chest
- fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada
- perkusi dada hipersonor, batas peru hati lebih rendah
- suara napas berkurang, ekspirasi memanjang, suara tambahan (ronkhi
atau wheezing)
3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin:
a) Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
23
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -
20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
b). Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c). Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
24
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular
shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus
menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi
dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan
pembuluh darah pulmonal, dan penambahan cortakan ke distal.



Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
a). Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b). Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c). Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
d). Uji coba kortikosteroid
N No or rm ma al l H Hy yp pe er ri in nf fl la at ti io on n
25
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 %
dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
e). Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f). Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
g). Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
h). Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
i). Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
j). Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia. riwayat penyakit yang ditandai dengan gejala-gejala diatas.

26
PPOK harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan batuk
dengan dahak atau sesak napas dan atau riwayat terpapar faktor resiko.
Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan obyektif adanya hambatan aliran
udara (dengan spirometri).
7. Diagnosis Banding
Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculosis) adalah penyakit obstruksi
saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberculosis dengan
lesi paru yang minimal.
Pneumotoraks
Gagal jantung kronik
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis,
destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering
ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan
karena terapi dan prognosisnya berbeda.
2,7

8. Klasifikasi
Klasifikasi
Penyakit
Gejala Spirometri
Ringan - Tidak ada gejala waktu istirahat atau
bila exercise
- Tidak ada gejala waktu istirahat
tetapi gejala ringan pada latihan
sedang (misal : berjalan cepat, naik
tangga)
VEP > 80%
prediksi
VEP/KVP < 75%

Sedang - Tidak ada gejala waktu istirahat
tetapi mulai terasa pada latihan /
kerja ringan (misal : berpakaian)
- Gejala ringan pada istirahat
VEP 30 - 80%
prediksi
VEP/KVP <
75%

Berat - Gejala sedang pada waktu istirahat
- Gejala berat pada saat istirahat
- Tanda-tanda korpulmonal
VEP1<30%
prediksi
VEP1/KVP <
75%

27
B. Pneumonia
1. Definisi
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru dimana asinus terisi
oleh cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke
dalam interstitium. Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu
peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur,
parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk, sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh penyebab non
infeksi (bahan kimia, radiasi, obat-obatan) lazimnya disebut pneumonitis.
1,11
2. Faktor Resiko

Pneumonia semakin sering dijumpai pada golongan lanjut usia,
pasien dengan panyakit menahun serta pada penderita penyakit paru obstruksi
kronik. Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes
melitus, payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal,
penyakit saraf kronik, dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain berupa
kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, keadaan imunodefisiensi, kelemahan
atau kelainan struktur organ dada dan penurunan kesadaran. Juga adanya
tindakan infasif seperti infus, intubasi, trakeostomi atau pemasangan
ventilator.
11
3. Etiologi
Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme :
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Data dari kepustakaan, pneumoni yang
didapat dari masyarakat (community-acquired pneumonia / pneumonia
komuniti) banyak disebabkan oleh bakteri gram positif, sebaliknya pneumonia
yang didapat di rumah sakit (hospital-aquired pneumonia / pneumonia
nosokomial) banyak disebabkan oleh bakteri gram negatif, sedang pneumonia
aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Meskipun demikian, di
Indonesia akhir-akhir ini sering dilaporkan dari beberapa rumah sakit
menunjukkan bahwa kuman yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
pneumonia komuniti adalah bakteri gram negatif.
1
28
Tabel 1. Penyebab tersering Pneumonia yang didapat di masyarakat
dan nosokomial.
3

LOKASI SUMBER PENYEBAB
Masyarakat
Strepcoccus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Haemophilus influenza
Legionella pneumophila
Chlamydia pneumoniae
Anaerob oral (aspirasi)
Adenovirus
Rumah Sakit
Escherichia coli
Klebsiella pneumoniae
Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus aureus

4. Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk,
berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Risiko terjadinya infeksi pada
paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk mencapai
dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme untuk mencapai dan merusak permukaan saluran nafas
:Inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan
aerosol, kolonisasi pada permukaan mukosa. Terbanyak adalah kolonisasi.
Predisposisi: influenza, alkoholisme, gizi kurang. Komorbid: diabetes
melitus, gagal ginjal , gangguan imunitas, PPOK.
11,12


5. Patologi Anatomi
Terdapat 4 stadium anatomi dari pneumonia lobaris, yaitu:
12
a. Stadium kongesti, terdiri dari proliferasi cepat dari bakteri dengan
peningkatan vaskularisasi dan eksudasi yang serius, sehingga lobus
yang terkena akan berat, merah penuh dengan cairan. Rongga alveolar
29
mengandung cairan edema yang berprotein, neutrofil yang menyebar
dan banyak bakteri. Susunan alveolar masih tampak.
b. Stadium hepatisasi merah terjadi oleh karena rongga udara dipenuhi
dengan eksudat fibrinosupuratif yang berakibat konsolidasi kongestif
yang menyerupai hepar pada jaringan paru. Benang-benang fibrin dapat
mengalir dari suatu alveolus melalui pori-pori yang berdekatan.
c. Stadium hepatisasi kelabu (konsulidasi) melibatkan desintegrasi
progresif dari leukosit dan eritrosit bersamaan dengan penumpukan
terus-menerus dari fibrin diantara alveoli.
d. Stadium akhir yaitu resolusi, mengikuti kasus-kasus tanpa komplikasi.
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna
secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk.
Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah sampai
pulih mencapai keadaan normal.

6. Klasifikasi
Pneumonia diklasifikasikan ke beberapa kelompok, diantaranya:
11
a. Menurut penyakit bawaan
1) Pneumonia primer : radang paru yang terserang pada orang yang
tidak mempunyai faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama
yaitu S. pneumoniae, Hemophilus influenzae, juga virus penyebab
infeksi pernapasan (Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain itu juga
bakteri pneumonia yang tidak khas (atypical) yaitu mikoplasma,
chlamydia, dan legionella.
2) Pneumonia sekunder : terjadi pada orang dengan faktor
predisposisi, selain penderita penyakit paru lainnnya seperti
COPD, terutama juga bagi mereka yang mempunyai penyakit
menahun seperti diabetes melitus, HIV, kanker, dll.
b. Menurut tempat asal terjadinya infeksi
1) Community acquired pneumonia (CAP; pneumonia yang terjadi di
lingkungan rumah), juga termasuk Pneumonia yang terjadi di
30
rumah sakit dengan masa inap <48 jam. Kuman penyebab sama
seperti pada pneumonia primer.
2) Nosokomial pneumonia atau hospital acquired pneumonia (HAP,
pneumonia yang terjadi di rumah sakit), infeksi terjadi setelah 48
jam berada di rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang
sering Staphylococcus aureus atau bakteri dengan gram negatif
lainnya seperti E.coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas
aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi obat tergolong tinggi
untuk bakteri penyebab HAP.
c. Menurut gambaran klinis
1) Typical pneumonia, infeksi radang paru dengan gejala yang khas.
Gejala yang khas (typical) dari pneumonia yaitu munculnya secara
tiba-tiba diikuti dengan batuk berdahak, demam dalam waktu
singkat dan menggigil, dan sesak napas. Sekitar 30% hanya
merasakan sakit dada yang hebat (pleura) sebagai gejala utama
tanpa di ikuti simptom khas pneumonia. Selain itu penderita cepat
lelah, tidak nafsu makan, berkeringat dan rasa mual.
2) Atypical pneumonia sebagai kebalikannya
d. Menurut predileksi infeksi
1) Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bacterial, jarang pada
bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau
segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi
bronkus seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses
keganasan.
2) Bronkopneumonia. Ditandai dengan adanya bercak-bercak
infiltrate pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri
maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan
dnegan obstruksi bronkus.
3) Pneumonia interstitial.
7. Manifestasi Klinis
Secara umum manifestasi klinis pneumonia dapat dibagi menjadi:
11,13
31
a. Manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam, sakit
kepala, gelisah, malaise, nafsu makan kurang, keluhan gastrointestinal.
b. Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipnu,
akspektorasi sputum, napas cuping hidung, sesak napas, merintih, dan
sianosis. Penderita pneumonia akan lebih suka berbaring pada sisi
yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri.
c. Tanda pneumonia berupa retraksi, perkusi pekak, fremitus melemah,
suara napas melemah, dan ronki.
d. Tanda efusi pleura atau empiema berupa gerak ekskursi dada tertinggal
di daerah efusi, perkusi pekak, fremitus melemah, suara napas
melemah, suara napas tubuler tepat diatas batas cairan, friction rub,
nyeri dada karena iritasi pleura (nyeri berkurang bila efusi bertambah
dan berubah menjadi nyeri tumpul), kaku kuduk/meningismus (iritasi
meningen tanpa inflamasi) bila terdapat iritasi pleura lobus atas, nyeri
abdomen (kadang terjadi bila iritasi mengenai diafragma pada
pneumonia lobus kanan bawah).
8. Penegakan Diagnosis
Diagnosis klinis pneumonia bergantung kepada penemuan kelainan
fisis atau bukti radiologis yang menunjukkan konsuidasi. Klasifikasi
diagnosis klinis pada masa kini dilengkapi faktor patogenesis yang berperan
(lingkungan, pejamu). Diagnosis dan terapi pneumonia dapat ditegakkan
berdasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang
diteliti dan pemeriksaan penunjang. Gejala-gejala pneumonia serupa untuk
semua jenis pneumonia. Gejala-gejala meliputi:
13,14
Gejala Mayor: - batuk
- sputum produktif
- demam (suhu>37,8
0
c)
Gejala Minor: - sesak napas
- nyeri dada
- konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
- jumlah leukosit >12.000/L
32
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40 C, sakit tenggorokan,
nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau purulen,
kadang-kadang berdarah. Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang
sakit tertinggal waktu bernafas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada
perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai
bronchial yang kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang
kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi. Pneumonia pada
usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk dan
demam pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan kesadaran
(delirium), tidak mau makan, jatuh, dan inkontinensia akut

1) Anamnesis
Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang
berhubungan dengan faktor infeksi :
1) Evaluasi faktor presdiposisi: PPOK (H. influenzae), penurunan imunitas
(Pneumocystic carinil, CMV, Legionella, jamur, Mycobacterium),
kecanduan obat bius (Staphylococcus)
2) Usia pasien: bayi (virus), muda (M. pneumoniae), dewasa
(S.pneumoniae)
3) Awitan; cepat, akut dengan rusty coloured sputum (S. pneumoniae);
perlahan dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumoniae).
2) Pemeriksaan fisis
Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis. Perhatikan
gejala klinis yang mengarah tipe kuman penyebab/patogenitas kuman dan
tingkat berat penyakit:
1) Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. pneumoniae,
Streptococcus spp. Staphyloccus. Pneumonia virus ditandai dengan
mialgia, malaise, batuk kering dan nonproduktif. Awitan lebih insidious
dan ringan pada orang tua/imunitas menurun misalnya: Klebsiella,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anerob, jamur.
33
2) Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berua
demam, sesak napas, tanda-tanda konsulidasi paru (perkusi paru yang
pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronchial). Bentuk klasik pada
PK primer berupa bronkopneumonia, pneumonia lobaris atau
pleuropneumonia. Gejala atau bentuk yang tidak khas dijumpai pada
PK sekunder ataupun PN. Dapat diperoleh bentuk manifestasi lain
infeksi paru seperti efusi pleura, pneumotoraks/hidropneumotoraks.
3) Warna, konsistensi, dan jumlah spuum penting untuk diperhatikan.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit
normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi yang berat sehingga tidak
terjadi respons leukosi. Leukopenia menunjukkan depresi imunitas,
misalnya neutropenia pada infeksi kuman Gram negatif atau S. aereus
pada pasien dengan keganasan dan gangguan kekebalan. Faal hati
mungkin terganggu.
2) Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,
aspirasi, jarum transtokoral, torakkosentesis, bronkoskopi, atau biopsy.
Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri Gin,
Quellung test dan Z. Nielsen. Kuman yang predominan pada sputum yang
disertai PMN yang kemungkinan merupakan penyebab infeksi. Kultur
kuman merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk
evaluasi terapi selanjutnya.
3) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara
lain:

Perselubungan homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau
segment paru secara anatomis. Batasnya tegas, walaupun pada mulanya
kurang jelas.
34
- Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru
mengecil. Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada
atelektasis.
- Silhouette sign (+) : untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi
dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan
jantung atau di lobus medius kanan.
- Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
- Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang
paling akhir terkena.
- Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
- Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign.
9. DIAGNOSIS BANDING
Differential Diagnosis dari penyakit pneumonia adalah sebagai berikut:

Tuberculosis Paru (TB)
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M.
tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis
TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu),
nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam,
menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan
berat badan.


Atelektasis
Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang
tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru
yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps. Memberikan
gambaran yang mirip dengan pneumonia tanpa air bronchogram. Namun
terdapat penarikan jantung, trakea, dan mediastinum ke arah yang sakit
karena adanya pengurangan volume interkostal space menjadi lebih sempit
dan pengecilan dari seluruh atau sebagian paru-paru yang sakit. Sehingga
akan tampak thorax asimetris.


Efusi Pleura
35
Memberi gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air
bronchogram. Terdapat penambahan volume sehingga terjadi pendorongan
jantung, trakea, dan mediastinum kearah yang sehat. Rongga thorax
membesar. Pada edusi pleura sebagian akan tampak meniscus sign, tanda
khas pada efusi pleura.


Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini foto thorax konvensional dan
CT Scan menjadi pemeriksaan yang sangat penting pada pneumonia.
Terutama apabila dari pemeriksaan fisik memang menunjukan kelainan di
paru dan membutuhkan pemeriksaan peunjang berupa foto thorax.
Koordinasi antara pemeriksaan klinis, laboratorium dan radiologi akan
dapat menunjang penegakan diagnosis yang tepat.


Gambaran khas pada pneumonia adalah adanya perselubungan
dengan adanya gambaran air bronchogram. Namun tidak semua
pneumonia memberikan gambaran khas tersebut. Untuk menentukan
etiologi pneumonia tidak dapat hanya semata-mata menggunakan foto
thorax, melainkan harus dilihat dari riwayat penyakit, dan juga
pemeriksaan laboratorium.


Untuk membedakan antara pneumonia, atelektasis, dan efusi pleura
dilihat dari adanya penarikan atau pendorongan jantung, trakea dan
mediastinum ke arah yang sakit atau sehat. Sementara untuk membedakan
pneumonia dengan TB adalah dilihat dari ada atau tidaknya kavitas yang
umumnya terdapat pada lobus paru bagian atas. Jadi dalam menegakkan
pneumonia, sangat diperlukan gambaran radiologis untuk penegakan
diagnosis disamping pemeriksaan laboratorium.
13,14

C. REHABILITASI MEDIK PARU
1. Tujuan Rehabilitasi Paru
Rehabilitasi didefinisikan sebagai sarana untuk memulihkan individu
ke arah potensi fisik, medik, mental, emosional, ekonomi sosial dan
vokasional sepenuhnya menurut kemampuannya. Maka jelaslah bahwa tingkat
pemenuhan tujuan program rehabilitasi paru tergantung pada derajat
insufisiensi pernapasan, dan tindakan yang ditempuh tergantung pula pada
36
faktor-faktor yang berpengaruh pada penderita. Meskipun demikian, tiap
usaha harus dilakukan untuk membawa penderita ke arah perbaikan fisik yang
maksimal dan pemakaian energi yang optimal tetapi efisien, sehingga
penderita dapat melakukan pekerjaannya sehari-hari. Jika hal ini tidak
mungkin, harus diusahakan latihan kerja yang lebih ringan. Harus ditekankan
agar penderita mempunyai percaya diri dan mengurangi ketergantungan pada
keluarga dan masyarakat.
4,5,8,9,10
Tujuan Penatalaksanaan PPOK meliputi:
1. Mencegah progresivitas penyakit,
2. Mengurangi gejala
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Mencegah dan mengobati komplikasi
5. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
6. Mencegah atau meminimalkan efek samping obat
7. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
8. Meningkatkan kualitas hidup penderita
9. Menurunkan angka kematian
Penatalaksanaan PPOK meliputi 4 program tatalaksana:
1. Evaluasi dan monitor penyakit
2. Menurunkan faktor risiko
3. Tatalaksana PPOK stabil
4. Tatalaksana PPOK eksaserbasi
Penatalaksanaan menurut derajat PPOK di antaranya adalah :
1. Berhenti merokok/mencegah pajanan gas/partikel berbahaya
2. Menghindari faktor pencetus
3. Vaksinasi Influenza
4. Rehabilitasi paru
5. Pengobatan/medikamentosa di antaranya penggunaan bronkodilator
kerja singkat antikolinergik kerja singkat), penggunaan bronkodilator
kerja lama (antikolinergik kerja lama), dan obat simtomatik. Pemberian
kortikosteroid dapat digunakan berdasarkan derajat PPOK.
37
6. Pada PPOK derajat sangat berat diberikan terapi oksigen
7. Reduksi volume paru secara pembedahan atau endoskopi
(transbronkial).
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat-obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi

1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan
edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan
pengobatan dari asma. Secara umum bahan edukasi yang harus
diberikan adalah :
- Pengetahuan dasar tentang PPOK
- Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
- Cara pencegahan perburukan penyakit
- Menghindari pencetus (merokok)
- Penyesuaian aktifitas

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah
diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu
itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan
edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi
38
merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang
ireversibel.
Edukasi berdasarkan derajat penyakit:
Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antara lain berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala

Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan

Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah

2. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi berat derajat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi (dihisap
melalui saluran nafas), nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas
lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator adalah : golongan antikolinergik,
golongan agonis beta-2, kombinasi antikolinergik dan beta-2 dan
golongan xantin.
39
b. Anti inflamasi
Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk
oral (diminum) atau injeksi intravena (ke dalam pembuluh darah).
Ini berfungsi untuk menekan inflamasi yang terjadi. Dipilih
golongan metilpradnisolon atau prednison.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang
digunakan untuk lini pertama adalah amoksisilin dan makrolid. Dan
untuk lini kedua diberikan amoksisilin dikombinasikan dengan
asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon dan makrolid baru.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas
hidup. Digunakan N-asetilsistein, dan dapat diberikan pada PPOK
dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian
yang rutin.
e. Mukolitik (pengencer dahak)
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut, karena
akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis
kronik dengan sputum yang kental. Tetapi obat ini tidak dianjurkan
untuk pemakaian jangka panjang.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati-hati

3. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan
yang mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi
oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan
oksigenasi dalam sel dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
organ-organ lainnya.

4. Ventilasi mekanik
40
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi
dengan gagal napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat
dengan gagal napas kronik. Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu dengan intubasi atau tanpa intubasi.

5. Nutrisi
Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi, disebabkan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperaapni menyebabkan
terjadinya hipermetabolisme.

6. Rehabilitasi
Rehabilitasi PPOK bertujuan untuk meningkatkan toleransi
latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK.
Program ini dapat dilaksanakan baik di luar maupun di dalam Rumah
Sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi,
respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitasi ini terdiri dari
latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan.

2. Rehabilitasi Paru Pada PPOK
Dalam mengelola penderita PPOK, rehabilitasi medis pada paru
(rehabilitasi pulmonal) mempunyai 2 aspek yakni:
1. Rehabilitasi fisik, terdiri dari:
- Latihan relaksasi
- Terapi fisik dada
- Latihan pernapasan
- Latihan meningkatkan kemampuan fisik
2. Rehabilitasi psikososial dan vokasional, terdiri dari
- Pendidikan perseorangan dan keluarga
- Latihan pekerjaan
- Penempatan tugas
41
- Latihan merawat diri sendiri

Kedua aspek rehabilitasi medis tersebut diterapkan dalam mengelola
semua penderita PPOK tanpa memandang etiologi dan derajat penyakitnya.
a. Rehabilitasi Fisik
Rehabilitasi fisik dapat dilakukan pada stadium dini atau stadiun
lanjut dari penyakitnya. Penderita dilatih untuk memakai cadangan
napasnya seefektif mungkin dengan mengubah pola bernapas untuk
memperoleh potensi yang optimal bagi kegiatan fisiknya.Rehabilitasi
psikososial dan vokasional dipertimbangkan bila penderita tidak dapat
mencapai keinginan fisik-psikologis untuk melakukan kegiatan seperti
biasanya. Bila pendidikan pada tingkat tersebut tidak mungkin, rehabilitasi
ditujukan untuk memberi kesempatan pada penderita untuk dapat
melakukan kegiatan minimal termasuk mengurus diri sendiri.

1) Latihan relaksasi
Tujuan latihan relaksasi adalah:
- Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu
pernapasan.
- Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.
- Memberikan sense of well being.
Penderita PPOK yang mengalami insufisiensi pernapasan
selalu merasa tegang, cemas dan takut mati tersumbat. Untuk
mengatasi keadaan ini penderita berusaha membuat posisi yang
menguntungkan terutama bagi gerakan diafragmanya. Sikap ini dicapai
dengan memutar bahu ke depan dan membungkukkan badan ke depan
pula. Sikap ini selalu diambil setiap akan memulai rehabilitasi fisik
(drainase postural, latihan pernapasan). Agar penderita memahami,
latihan ini harus diperagakan. Latihan relaksasi hendaknya dilakukan
di ruangan yang tenang, posisi yang nyaman yaitu telentag dengan
bantal menyangga kepala dan guling di bawah lutut atau sambil duduk.
42

2) Terapi fisik dada
Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan
akan menyumbat saluran napas dan merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan kuman. Infeksi mengakibatkan radang yang menambah
obstruksi saluran napas. Bila berlangsung terus sehingga mengganggu
mekanisme batuk dan gerakan mukosilier, maka timbunan sekret
merupakan penyulit yang cukup serius
Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan
dan membantu menggerakkan sekret dan saluran napas kecil ke
trakea, dapat dilakukan dengan cara :
a) Drainase Postural
Menggunakan prinsip hukum gravitasi
Pasien diletakkan dalam posisi sedemikian rupa, untuk suatu
waktu tertentu, sehingga oleh karena gaya berat sekret dalam
saluran nafas mengalir & berkumpul di bronkus
dibatukkan keluar
Jadi, di dalam posisi tersebut, lobus yg akan di drain
ditempatkan pd posisi yg lebih tinggi dari bronkus utama
sehingga posisi perlu disesuaikan dengan arah-arah bronchial
tree
Tujuan :
- Cegah penumpukan lendir pada pasien dengan risiko
komplikasi pulmonal (contoh pasien tirah baring lama, pakai
ventilator,dan sebagainya)
- Mengeluarkan sekret yang terkumpul di paru
Kontra indikasi :
- Hemoptisis berat
- Edem pulmo berat
- CHF
- Efusi pleura masif
43
- Cardiovascular instability (aritmia, hipertensi/hipotensi
berat, AMI)
- Recent neurosurgery jika posisi kepala dibawah TIK
meningkat
Segmen Apikal
Tidur dengan beberapa bantal, kepala letak tinggi.




Lobus Atas Kanan Segmen Anterior
Tidur dengan satu bantal bawah kepala dan satu bantal
bawah lutut.


Lobus Atas Kiri Segmen Anterior
Tidur dengan satu bantal bawah kepala dan dan beberapa
bantal tanpa bantal bawah lutut.
44

Lobus Atas Segmen Posterior
Tidur menelungkup pada bantal.





b) Perkusi dinding dada
Tujuan :
- Melepaskan sekret di paru secara mekanis mudah keluar
- Dengan cupped hand diatas paru yang di drain
- Cara: mengetuk dinding dada berulang dengan ujung jari
pada tiap segmen paru 1-2 menit
Kontra Indikasi :
- Tulang yang osteoporotik
- Perdarahan (contoh trombositopeni)
- Unstable angina, nyeri dada (contoh operasi rongga dada)
- Batuk darah (contoh TB, abses paru, ca paru,dan lain-lain)
45
- Peradangan paru akut dimana infeksi dapat menyebar ke
daerah lain paru-paru.


c) Vibrasi Dada
Gerakan cepat yang dilakukan pada dinding dada
Dapat dilakukan manual / dengan alat vibrator
Diberikan saat exhalasi / ekspirasi
Tujuannya sama dengan perkusi
Teknik :
- Nafas dalam, tahan beberapa detik, vibrasi diberikan saat
ekspirasi
- Satu session latihan, hendaknya diberikan setelah 5 6 nafas
dalam.
- Setelah tindakan vibrasi dapat dilakukan postural drainage.
46



Perkusi dengan vibrasi cepat, ketukan dengan telapak
tangan (clapping), atau memakai rompi perkusi listrik serta latihan
batuk akan memperbaiki mobilisasi dan klirens sekret bronkus dan
fungsi paru terutama pada penderita PPOK dengan produksi
sputum yang meningkat (>30 ml/ hari), bronkluektasis, fibrosis
kistik, dan atelektasis. Pada penderita dengan serangan asma akut,
pneumonia akut, gagal napas, penderita yang memakai ventilator,
dan penderita PPOK dengan produksi sputum yang minimal (<30
ml/hari), fisioterapi dada tidak berefek dan bahkan membahayakan.
Dalam melakukan drainase postural harus diperhatikan
posisi penderita yang disesuaikan dengan anatomi percabangan
bronkus. Tindakan ini dilakukan 2 kali sehani selama 5 menit.
Sebelum dilakukan drainase postural sebaiknya penderita minum
banyak atau diberikan mukolitik, bronkodilator perinhalasi untuk
memudahkan pengaliran secret.

3) Latihan pernapasan
Latihan pernapasan dilakukan setelah latihan relaksasi dikuasai
penderita. Tujuan latihan pernapasan adalah untuk :
47
- Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi air
trapping
- Memperbaiki fungsi diafragma
- Memperbaiki mobilitas sangkar toraks
- Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas
tanpa meningkatkan kerja pernapasan
- Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga
bernapas lebih efektif dan mengurangi kerja pernapasan.

Diafragma dan otot interkostal merupakan otot-otot pernapasan
yang paling penting. Pada orang normal dalam keadaan istirahat,
pengaruh gerakan diafragma sebesar 65% dan volume tidal. Bila
ventilasi meningkat barulah digunakan otot-otot bantu pernapasan
(seperti skalenus, sternokleidomastoideus, otot penyangga tulang
belakang); ini terjadi bila ventilasi melampaui 50 l/menit.
Pada penderita PPOM sering kali terdapat pernapasan yang
tidak sinkron gerakannya (panadoksal), yaitu pada waktu akhir
inspinasi tiba-tiba dinding perut bergerak ke dalam dan kemudian
bergerak keluar waktu ekspirasi. Penderita dengan keadaan demikian
mempunyai prognosis yang kurang baik. Selain itu pada penderita
PPOM tendapat hambatan aliran udara terutama pada waktu ekspirasi.
Pada umumnya letak diafragma rendah dan posisi sangkar toraks
sangat tinggi sehingga secara mekanis otot-otot pernapasan bekerja
kurang efektif. Pada umumnya fungsi diafragma penderita PPOM
kurang dan 35% volume tidal, akibatnya penderita selalu
menggunakan otot-otot bantu pernapasan.
Latihan otot-otot pernapasan akan meningkatkan kekuatan otot
pernapasan, meningkatkan tekanan ekspirasi (PEmax) sekitar 37%.
Latihan pernapasan meliputi:
a) Latihan pernapasan diafragma
48
Tujuan latihan pernapasan diafragma adalah menggunakan
diafragma sebagai usaha pernapasan, sementara otot-otot bantu
pernapasan mengalami relaksasi.
Manfaat pernapasan diafragma:
- Mengatur pernapasan pada waktu serangan sesak napas dan
waktu melakukan pekerjaan/latihan.
- Memperbaiki ventilasi ke arah basal paru.
- Melepaskan sekret yang melalui saluran napas.

Dengan pernapasan diafragma maka akan terjadi peningkatan
volume tidal, penununan kapasitas residu fungsional dan
peningkatan ambilan oksigen optimal.
Latihan ini dapat dilakukan dengan prosedur berikut :
- Sebelum melakukan latihan, bila terdapat obstruksi saluran
napas yang reversibel dapat diberi bronkodilator. Bila terdapat
hipersekresi mukus dilakukan drainase postural dan latihan
batuk. Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi
oksigen di rumah.
- Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur
miring ke kiri atau ke kanan, mendatar atau setengah duduk.
- Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian
tengah, tangan yang lain di atas dada. Akan dirasakan perut
bagian atas mengembang dan tulang rusuk bagian bawah
membuka. Penderita perlu disadarkan bahwa diafragma memang
turun pada waktu inspirasi. Saat gerakan (ekskursi) dada
minimal. Dinding dada dan otot bantu napas relaksasi.
- Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi
pelan-pelan melalui mulut (pursed lips breathing), selama
inspirasi, diafragma sengaja dibuat aktif dan memaksimalkan
protrusi (pengembangan) perut. Otot perut bagian depan dibuat
berkontraksi selama inspirasi untuk memudahkan gerakan
49
diafragma dan meningkatkan ekspansi sangkar toraks bagian
bawah.
- Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot
perut untuk menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban
seberat 0,51 kg dapat diletakkan di atas dinding perut untuk
membantu aktivitas ini.

Latihan pernapasan pernapasan diafragma sebaiknya
dilakukan bersamaan dengan latihan berjalan atau naik tangga.
Selama latihan, penderita harus diawasi untuk mencegah kesalahan
yang sering terjadi seperti :
- Ekspirasi paksa
Hal ini akan memperberat obstruksi saluran napas,
meningkatkan tekanan intrapleura dan terjadi air trapping jika
saluran napas yang rusak dan mudah kolaps ditekan oleh
tekanan intrapleura.
- Perpanjangan ekspirasi:
Menyebabkan pernapasan berikutnya tidak teratur dan tidak
efisien, pola pernapasan kembali ke pernapasan dada bagian
atas yang tidak teratur disertai dengan aktifnya otot bantu
pernapasan.
- Gerakan tipuan abdomen
Otot perut berkontraksi dan relaksasi tetapi tidak ada perbaikan
dan ventilasi.
- Penggunaan dada bagian atas secara berlebihan
Hal ini dapat mengganggu gerakan diafragma, kebutuhan O2
meningkat karena otot bantu pernapasan bekerja lebih keras.
b) Pursed lips breathing
Pursed lips breathing (PLB) dilakukan dengan cara
menarik napas (inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui
hidung (bukan menarik napas dalam) dengan mulut tertutup,
50
kemudian mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui
mulut dengan posisi seperti bersiul, lamanya ekspirasi 23 kali
lamanya inspirasi, sekitar 46 detik. Penderita tidak diperkenankan
mengeluarkan napas terlalu keras. PLB dilakukan dengan atau
tanpa kontraksi otot abdomen selama ekspirasi. Selama PLB tidak
ada udara ekspirasi yang mengalir melalui hidung, karena terjadi
elevasi involunter dari palatum molle yang menutup lubang
nasofaring. Dengan pursed lips breathing (PLB) akan terjadi
peningkatan tekanan pada rongga mulut, kemudian tekanan ini
akan diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat
mencegah air trapping dan kolaps saluran napas kecil pada waktu
ekspirasi. Hal ini akan menurunkan volume residu, kapasitas vital
meningkat dan distribusi ventilasi merata pada paru sehingga dapat
memperbaiki pertukaran gas di alveoli. Selain itu PLB dapat
menurunkan ventilasi semenit, frekuensi napas, meningkatkan
volume tidal, PaO2 saturasi oksigen darah, menurunkan PaCO2
dan memberikan keuntungan subjektif karena mengurangi rasa
sesak napas pada penderita. Pursed lips breathing akan menjadi
lebih efektif bila dilakukan bersama-sama dengan pernapasan
diafragma. Ventilasi alveoler yang efektif terlihat setelah latihan
berlangsung lebih dari 10 menit.
c) Latihan batuk
Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan
benda asing atau sekret dan saluran pernapasan. Batuk yang efektif
harus memenuhi kriteria:
- Kapasitas vital yang cukup untuk mendorong sekret.
- Mampu menimbulkan tekanan intra abdominal dan intratorakal
yang cukup untuk mendorong udara pada fase ekspulsi.
Cara melakukan batuk yang baik:
Posisi badan membungkuk sedikit ke depan sehingga
memberi kesempatan luas kepada otot dinding perut untuk
51
berkontraksi sehingga menimbulkan tekanan intrathorak. Tungkai
bawah fleksi pada paha dan lutut, lengan menyilang di depan perut.
Penderita diminta menarik napas melalui hidung kemudian
menahan napas sejenak, disusul batuk dengan mengkontraksikan
otot-otot dinding perut serta badan sedikit membungkuk kedepan.
Cara ini diulangi dengan satu fase inspirasi dan dua tahap fase
ekspulsi. Latihan diulang sampai penderita menguasai.
Penderita yang mengeluh sesak napas saat latihan batuk,
diistirahatkan dengan melakukan Iatihan pernapasan diantara dim
latihan batuk. Bila penderita tidak mampu batuk secara efektif,
dilakukan rangsangan dengan alat penghisap (refleks batuk akan
terangsang oleh kateter yang masuk trakea) atau menekan trakea
dari satu sisi ke sisi yang 1ain.

4) Latihan meningkatkan kemampuan fisik
Bertujuan meningkatkan toleransi penderita terhadap aktivitas
dan meningkatkan kemampuan fisik, sehingga penderita hidup lebih
aktif dan lebih produktif. Pengaturan tingkat latihan dimulai dengan
tingkat berjalan yang disesuaikan dengan kemampuan awal tiap
penderita secara individual, yang kemudian secara bertahap
ditingkatkan ke tingkat toleransi yang paling besar. Jarak maksimum
dalam latihan berjalan yang dicapai oleh penderita merupakan batas
untuk mulai meningkatkan latihan dengan menaiki tangga. Selama
latihan penderita harus dibantu dengan pemberian oksigen untuk
menghindari penununan saturasi oksigen secara drastis yang dapat
membahayakan jantung. Penderita harus diawasi dengan baik, secara
berkala gas darah arteri diukur tenutama pada penderita dengan
hipoventilasi alveoler, untuk mencegah retensi CO2 yang berlebihan.
Pemberian oksigen selama latihan harus diteruskan sampai penderita
mendapat manfaat yang maksimal, setelah itu lambat laun dapat
disapih. .
4,5,8,9,10
52

53
Daftar Pustaka
1. Alsaggaf Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu
Penyakit Paru FK Unair. Surabaya.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan PPOK
3. Aditama Tjandra Yoga. 2005. Patofisiologi Batuk. Bagian Pulmonologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Unit Paru RS Persahabatan.
Jakarta.
4. Garisson Susan J. 2001. Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik.
Departement of Physical Medicine and Rehabilitation. Texas
5. Pauwels, R.Et al.,2003. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease, Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention
6. Petty, Thomas L. 2006, The History of COPD. International Journal of
COPD. Vol 1(1). Pp:3-14
7. Sat Sharma. 2006. Obstructive Lung Disease. Division of Pulmonary
Medicine, Department of Internal Medicine, University of Manitoba.
www.emedicine.com
8. Sheety, Sachin, et al. 2006. A Low Cost Pulmonary Rehabilitation
Programme for COPD Patients : Is it any Good? . IJPMR. Vol 17(2). Pp:
26-32.
9. Stoller, J.K.,2004.Overview of Management of Acut Exacerbation of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In Rose, B.D., Up To Date 12.1
10. Sutherland, E.P. & Cherniak, R.M., 2004. Current Consepts : management
of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J Med 2004:350: 2689-
97.
11. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM;
2007.
12. Price, Sylvia A., Wilso, Loraine M. 2008. Patofisiologi, Konsep klinis
Proses-Proses Penyakit, Buku II, edisi keempat. Penerbit Buku Kedokteran,
EGC.
54
13. Wibisono, Jusuf M. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru, Balai penerbit FK
UNAIR, Surabaya
14. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumonia Komuniti.

Anda mungkin juga menyukai