Anda di halaman 1dari 23

Referat

Peritonitis et causa Perforasi Gaster










Pembimbing:
dr. Tri Djoko Widagdo, Sp.B


Disusun Oleh:
Feliani
11.2012.172



Kepaniteraan Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus
16 Desember 2013 22 Febuari 2014
2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Referat yang berjudul Peritonitis et
causa Perforasi Gaster yang berlangsung pada tanggal 16 Desember 2013 22 Febuari 2014
dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
UKRIDA di RS Mardi Rahayu Kudus.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Tri
Djoko Widagdo, Sp.B selaku pembimbing dari RS Mardi Rahayu Kudus yang telah
memberikan bimbingan dan petunjuk serta sarannya selama pelaksanaan kepaniteraan.
Penulis berharap, semoga pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh selama
menjalani kepaniteraan ini dapat memberikan manfaat rekan sejawat dan semua pihak yang
membutuhkan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
demi penyempurnaan referat ini.
Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan taufik dan hidayahnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menyusun laporan ini dan semoga laporan ini dapat
bermanfaat.







Kudus, Januari 2014


Penulis




3

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. 2
DAFTAR ISI .............................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 4
BAB II PEMBAHSAN
2.1 Definisi 6
2.2 Anatomi 6
2.3 Fisiologi 7
2.4 Epidemiologi 8
2.5 Etiologi 8
2.6 Patofisiologi 9
2.7 Tanda dan gejala 10
2.8 Pemeriksaan penunjang 14
2.9 Diagnosis 15
2.10 Penatalaksanaan 16
2.11 Komplikasi 20
2.12 Prognosis 20
BAB III PENUTUP 22

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 23














4

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Penyebab
perforasi gastrointestinal adalah: ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon sigmoid,
kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor
ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering adalah akibat ulkus peptik lambung
dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi
kantung buatan (perforatio tecta).
Pada tahun 1799 gejala klinik ulkus perforasi dikenali untuk pertama kali, meskipun
baru pada tahun 1892, Ludwig Hensner, seorang Jerman, pertama kali melakukan tindaka
bedah pada ulkus peptik lambung. Pada tahun 1894, Henry Percy Dean melakukan tindakan
bedah pada ulkus perforasi usus kecil duodenum. Gastrektomi parsial, meskipun sudah
dilaksanakan untuk ulkus gaster perforasi dari awal 1892, tidak menjadi terapi populer
sampai tahun 1940. Hal ini karena dirasakan adanya rekurensi yang tinggi dari gejala-gejala
setelah perbaikan sederhana. Efek fisiologis vagotomi trunkal pada sekresi asam telah
diketahui sejak awal abad 19, dan pendekatan ini diperkenalkan sebagai terapi ulkus
duodenum pada tahun 1940. Perkembangan selanjutnya terapi ulkus peptik adalah
diperkenalkannya vagotomi selektif tinggi pada akhir 1960. Namun, tidak ada satupun
pencapaian ini yang terbukti berhasil, dan beberapa komplikasi postoperatif, termasuk angka
rekurensi ulkus yang tinggi, telah membatasi penggunaan teknik-teknik ini. Akhir-akhir ini,
pada pasien dengan perforasi gaster, penutupan sederhana lebih umum dikerjakan daripada
reseksi gaster.

1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana menegakkan diagnosis peritonitis?
Bagaimana penatalaksanaan peritonitis?

1.3 Tujuan
Mengetahui cara menegakkan diagnosis peritonitis
Mengetahui penatalaksanaan peritonitis

5

1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan mengenai cara penegakan diagnosis dan penatalaksanaan
peritonitis


























6

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput
rongga perut (peritoneum). Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis,
perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi pascaoperasi, iritasi
kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap
infeksi bakteri secara inokulasi (ringan). Kontaminasi yang terus menerus oleh bakteri
yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya benda asing atau enzim pencernaan aktif
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.

2.2 Anatomi lambung
Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak di antara esofagus
dan duodenum. Dari hubungan anatomi topografik lambung-duodenum dengan hati,
pankreas, dan limpa, dapat diperkirakan bahwa tukak peptik akan mengalami perforasi ke
rongga sekitarnya secara bebas atau penetrasi ke dalam organ di dekatnya, bergantung pada
letak tukak.
Berdasarkan faalnya, lambung dibagi dalam dua bagian. Tiga perempat proksimal
yang terdiri dari fundus dan korpus, berfungsi sebagai penampung makanan yang ditelan
serta tempat produksi asam lambung dan pepsin, sedangkan dinding korpus, apalagi antrum,
tebal, dan kuat lapisan ototnya.
Ciri yang cukup menonjol pada anatomi lambung adalah peredaran darahnya yang
sangat kaya dan berasal dari empat jurusan dengan pembuluh nadi besar di pinggir kurvatura
mayor dan minor serta dalam dinding lambung. Di belakang dan tepi medial duodenum, juga
ditemukan arteri besar (a.gastroduodenalis). Perdarahan hebat bisa terjadi karena erosi
dinding arteri itu pada tukak peptik lambung atau duodenum.
Vena dari lambung duodenum bermuara ke vena porta. Peredaran vena ini kaya sekali
dengan hubungan kolateral ke organ yang ada hubungan embrional dengan lambung dan
duodenum.
Saluran limf dari lambung juga cukup rumit. Semuanya akan berakhir di kelenjar
paraaorta dan preaorta di pangkal mesenterium embrional. Antara lambung dan pangkal
7

embrional itu terdapat kelenjar limf yang letaknya tersebar di mana-mana akibat putaran
embrional.
Persarafan simpatis lambung seperti biasa melalui serabut saraf yang menyertai arteri.
Impuls nyeri dihantarkan melalui serabut eferen saraf simpatis. Serabut parasimpatis berasal
dari n.vagus dan mengurus sel parietal di fundus dan korpus lambung. Nervus vagus anterior
(sinister) memberikan cabang ke kandung empedu, hati dan antrum sebagai saraf Laterjet
anterior, sedangkan n.vagus posterior (dekstra) memberikan cabang ke ganglion seliakus
untuk visera lain di perut kan ke antrum sebagai saraf Laterjet posterior.

Gambar 1. Ulkus peptikum

2.3 Fisiologi lambung
Fungsi utama lambung adalah penerima makanan dan minuman, dikerjakan oleh
fundus dan korpus, dan penghancur dikerjakan oleh antrum, selain turut bekerja dalam
pencernaan awal berkat kerja kimiawi asam lambung dan pepsin.
Motilitas
Fungsi lambung yang berkaitan dengan gerakan adalah penyimpanan dan
pencampuran makanan serta pengosongan lambung. Kemampuan lambung menampung
makanan mencapai 1500 ml karena mampu menyesuaikan ukurannya dengan kenaikan
tekanan intraluminal tanpa peregangan dinding (relaksasi reseptif). Fungsi ini diatur oleh
n.vagus dan hilang setelah vagotomi. Ini antara lain yang mendasari turunnya kapasitas
penampungan pada penderita tumor lambung lanjut sehingga cepat kenyang.
Peristalsis terjadi bila lambung mengambang akibat adanya makanan dan minuman.
Kontraksi yang kuat pada antrum (dindingnya paling tebal) akan mencampur makanan
dengan enzim lambung, kemudian mengosongkannya ke duodenum secara bertahap. Daging
tidak berlemak, nasi, dan sayuran meninggalkan lambung dalam tiga jam, sedangkan
makanan yang tinggi lemak dapat bertahan di lambung 6-12 jam.
8

Cairan lambung
Cairan lambung yang jumlahnya bervariasi antara 500-1500 ml/hari mengandung
lendir, pepsinogen, faktor intrinsik dan elektrolit, terutama larutan HCl. Sekresi basal cairan
ini selalu ada dalam jumlah sedikit. Produksi asam merupakan hal yang kompleks, namun
secara sederhana dibagi atas tiga fase perangsangan. Ketiga fase, yaitu fase sefalik, fase
gastrik, dan fase intestinal ini saling mempengaruhi dan berhubungan.
Fase sefalik
Rangsang yang timbul akibat melihat, menghirup, merasakan, bahkan berpikir tentang
makanan akan meningkatkan produksi asam melalui aktivitas n.vagus.
Fase gastric
Distensi lambung akibat adanya makanan atau zat kimia, seperti kalsium, asam
amino, dan peptida dalam makanan akan merangsang produksi gastrin, refleks vagus,
dan reflek kolinergik intramural. Semua itu akan merangsang sel parietal untuk
memproduksi asam lambung.
Fase intestinal
Hormon enterooksintin merangsang produksi asam lambung setelah makanan sampai
di usus halus. Seperti halnya proses sekresi dalam tubuh, cairan lambung bertindak
sebagai penghambat sekresinya sendiri berdasarkan prinsip umpan balik. Keasaman yang
tinggi di daerah antrum akan menghambat produksi gastrin oleh sel G sehingga sekresi
fase gastrik akan berkurang. Pada pH di bawah 2.5 produksi gastrin mulai dihambat.

2.4 Epidemiologi
Pada orang dewasa, perforasi ulkus peptik adalah penyebab umum dari morbiditas
dan mortalitas akut abdomen sampai sekitar 30 tahun lalu. Angka kejadian menurun secara
paralel dengan penurunan umum dari prevalensi ulkus peptik. Ulkus duodenum 2-3 kali lebih
sering dari perforasi ulkus gaster. Sekitar satu pertiga perforasi gaster berkaitan dengan
karsinoma gaster.

2.5 Etiologi
Perforasi non-trauma, misalnya :
o Akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia
o Spontan pasa bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan stress ulcer
9

o Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid : terutama pada pasien
usia lanjut.
o Adanya faktor predisposisi : termasuk ulkus peptic
o Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma
o Benda asing (misalnya jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi esofagus,
gaster, atau usus dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan sepsis.
Perforasi trauma (tajam atau tumpul), misalnya :
o Trauma iatrogenik setelah pemasangan pipa nasogastrik saat endoskopi
o Luka penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen (misalnya tusukan pisau)
o Trauma tumpul pada gaster : trauma seperti ini lebih umum pada anak
daripada dewasa dan termasuk trauma yang berhubungan dengan pemasangan
alat, cedera gagang kemudi sepeda, dan sindrom sabuk pengaman.
Dari uji laboratorium, ternyata jamu tersebut mengandung bahan kimia. Sebagian
besar zat kimia tersebut merupakan golongan obat yang bersifat antiperadangan dan antinyeri
(anti-inflamasi) nonsteroid (NSAID) di antaranya fenilbutazon, antalgin, dan natrium
diclofenac, serta golongan obat anti-inflamasi steroid di antaranya deksametosan dan
prednisone. Minuman bersoda, makanan yang berbumbu tajam, merokok dan stress secara
fisiologis juga dapat meningkatkan produksi asam lambung yang dapat memperparah
terjadinya borok pada peritonitis.
Ruptur lambung akan melepaskan udara dan kandungan lambung ke dalam
peritoneum. pasien akan menunjukkan rasa nyeri hebat, akut, disertai peritonitis. Dari
radiologis, sejumlah besar udara bebas akan tampak di peritoneum dan ligamentum
falsiparum tampak dikelilingi udara.

2.6 Patofisiologi
Infeksi Helicobacter pylori dan penggunaan anti inflamasi non steroid merupakan dua
faktor penyebab utama dalam patogenesa terjadinya ulkus peptikum. Infeksi H. pylori terjadi
pada 76 % kasus ulkus gaster dan 90 % terjadi pada kasus ulkus duodenum. Faktor lain yang
juga berperan adalah penggunaan steroid, merokok, alkohol atau kopi, stress, dan lain-lain.
Penyakit atau kondisi yang berhubungan dengan peningkatan faktor resiko ulkus gaster
adalah sirosis, penyakit paru kronik, gagal ginjal dan transplantasi ginjal.
Patofisiologi infeksi H.pylori masih belum jelas. Mekanisme yang sampai saat ini
diketahui yaitu H.pylori memicu terbentuknya ulkus meliputi stimulasi pelepasan gastrin,
interupsi penghambatan vagal refleks, penghambatan pelepasan gastrin, dan penghambatan
10

sekresi bikarbonat gastroduadenal. Penelitian terbaru mengkonfirmasikan hubungan antara
OAINS dengan ulkus peptikim. Perbaikan komplikasi terhadap saluran cerna akibat obat ini
dapat dicapai melalui konsultasi yang diberikan pada pasien untuk membatasi atau
menghentikan penggunaannya, penggunaan obat lain secara bersamaan untuk
meminimalisasi efek samping pada saluran cerna (contohnya antibiotik untuk H.pylori,
prostaglandin, dan obat anti sekresi), dan pemilihan obat OAINS yang memiliki efek samping
paling minimal terhadap saluran cerna pada pasien-pasien yang memiliki resiko komplikasi
ulkus peptikum. Ulkus peptikum biasanya terjadi bila kerusakan mukosa lebih atau sama
dengan 3 mm.
Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan mikroorganisme lain
karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma
abdominal memiliki fungsi gaster normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri
setelah perforasi gaster. Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster
beresiko terhadap kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran cairan asam
lambung ke rongga peritoneal sering berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika kebocoran
tidak ditutup dan partikel makanan mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap
menjadi peritonitis bakterial. Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel
inflamasi akut. Omentum dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi,
membentuk flegmon. Hipoksia yang diakibatkan di area memfasilitasi pertumbuhan bakteri
anaerob dan menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid dari granulosit, yang mengarah
pada peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel, hipertonisitas cairan membentuk
abses, efek osmotik, mengalirnya lebih banyak cairan ke area abses, dan pembesaran abses
abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general, kegagalan multi organ, dan syok
dapat terjadi.

Gambar 2. Perforasi gaster
11

2.7 Tanda dan Gejala
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga
abdomen. Beratnya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit,
perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia
serta tingkat kesehatan penderita secara umum.
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal
peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri
abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada
cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum
parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi,
berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat
menjadi syok.
2.7.1 Gejala
Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis.
Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan
perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada
henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri
biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.
Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari
proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat disertai dengan
perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis
Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti
demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu
tubuh biasanya sekitar 38
O
C sampai 40
O
C.
Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga
menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada
pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan
12

lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen.
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat
kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan
perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.
Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama
akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari
intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman
gram negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok.
Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa
efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala
yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia.
2.7.2 Tanda
Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi
yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari
frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya
volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya
syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang
lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus
untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.
Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi
dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan
diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan
penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini
terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
13


Gambar 3. Distensi abdomen
Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus
dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai
hamper tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya
suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada
suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen
akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi.
Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini
menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal
yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis.
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara
akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan
ditemukan pekak hepar yang menghilang.
Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi
ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang
terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri
tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada
daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang
dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering
melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya
kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting
adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut
14

nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen
secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup
gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan
perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses
inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau
dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya
terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal.
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan
spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek
spasme otot menjadi sangat berat seperti papan

2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit
dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel
darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari
20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya
terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya.
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh
polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit
tidak menunjukkan peningkatan yang nyata. Analisa gas darah, serum elektrolit, faal
pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan.
2.8.2 Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak
PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses
pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan
menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya
akibat adanya udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto
polos abdomen.
15


Gambar 4. Pneumoperitoneum pada foto thorax posisi berdiri
Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan adalah : foto
polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan vesika urinaria penuh, CT-scan
murni dan CT-scan dengan kontras. Jika temuan foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas,
sebaiknya jangan ragu untuk menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat
mendeteksi cairan dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali. CT scan abdomen adalah
metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara
tampak seperti gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh karena
itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster.

2.9 Diagnosis
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis,
pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.
2.9.1 Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis
organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran
klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen,
demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan
gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut.
Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya
menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan
gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik),
demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum,
dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis
non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.
16

2.9.2 Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik.
2.9.3 Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus
besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi.
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos
abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi).
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos
abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus
buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah :
1. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan
kekaburan pada cavum abdomen.
2. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit
(semilunair shadow).
3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi.
Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding
abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum
abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma
atau intra peritoneal.

2.10 Penatalaksanaan
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
2. 10.1 Penanganan Preoperatif
Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial.
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular
sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh.
Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC
17

(Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan
untuk mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah
didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan
lewat ginjal.
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal
telah adekuat dan urin telah diprodukasi.
Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob
yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob
yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan
penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan
kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan
dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi.
Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya
hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah
didapatkan hasil dari uji sensitivitas.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1)
besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3)
ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai
antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera
diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi
dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari
bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin
sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita
yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral
lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida
sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,
metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.
18

Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada
pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang
adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan
dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari
peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel.
Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel
darah putih yang normal.
Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup
diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya
infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat
kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat
ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang
ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.
Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah
muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan
kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital
(temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam.
Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin,
alkali fosfatase dan urinalisis.
2.10.2 Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan
untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan
perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur
operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta
membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah,
mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri
virulen.
Kontrol Sumber Infeksi
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua
material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah
komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan
teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi
19

fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari
seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup.
Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau
kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan
kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan
setelah memasuki kavum peritoneum.
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan
antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat
memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara
parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek
tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan
aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok
obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua
cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme
pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri.
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal
dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan
tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara
luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak
dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula.
Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase
diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.
2. 10.3 Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.
Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ
vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik
diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik
ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus
menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada
20

durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih
awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder.

2.11 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal
dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan
fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang
persisten, edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan
merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem
imun.

2.12 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan
durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi
kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata
atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada
pasien yang terdiagnosis lebih awal.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pada keadaan
perforasi gaster, diantaranya yaitu :
Syok pada waktu masuk rumah sakit
Penyakit penyerta
Terlambat tindakan operasi ( lebih > 24 jam )
Operasi reseksi gaster
Infeksi pasca operasi dan infeksi luka operasi
Infeksi fungus pada peritoneum
Untuk menilai mortalitas dan morbiditas ini, ada beberapa skor yang dapat digunakan
diantaranya adalah BOEY SCORE

21



Table 1. Prognosis berdasarkan boey score



















22

BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Penyebab peritonitis sekunder paling sering
adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi
kolon. Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia,
takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut
akan teras tegang karena iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi postoperatif sering
terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya,
keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan
awal pasien.

3.2 Saran
Setiap peritonitis harus ditangani secermat mungkin bila tidak ingin penyakit berjalan
terus. Source control harus dilaksanakan sebaik mungkin. Pemeriksaan kultur dan resistensi
harus diulang terutama pada mereka yang menunjukkan perjalanan penyakit yang panjang
dan berat. Awasi terjadinya perubahan organisme penyebab infeksi dan gunakan obat yang
sesuai resistensi dan tidak lagi menggantungkan pada antibiotik spektrum luas.

23

DAFTAR PUSTAKA


1. Brian, J. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 17 Januari 2014,
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#aw2aab6b2b4aa
2. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment
12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
3. Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not
An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra Abdominal
Infection. Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63.
4. Fauci et al. 2008. Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1. McGraw Hill.
Peritonitis halaman 808-810. 1916-1917.
5. Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4.
6. Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection.
Critical Care Medicine; 31(8) : 2228-37.
7. Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill.
p.1459-1467.

Anda mungkin juga menyukai