A. IDENTITAS PASIEN :
Nama
: Ny. M
RM
: 644776
Tgl Lahir/Umur
: 16-08-1978 / 35 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jl. Arungkeke Kabupaten Jeneponto
Pekerjaan
Agama
: Islam
Status perkawinan
: Kawin
Tgl Masuk RS
Ruangan
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
: Nyeri pada dada kanan
Anamnesis Terpimpin : Dialami sejak kurang lebih sejak 3 bulan yang lalu,
sebelum masuk RS. Awalnya muncul rasa panas di daerah dada, dan kemudian
nyeri dirasakan seperti rasa terbakar pada daerah dada. Nyeri tidak menjalar dan
nyeri dirasakan hilang timbul.
Pasien tidak merasakan kegelisahan dan nyerinya tidak mengganggu tidur.
Pasien juga mngeluhkan adanya luka didaerah dada, yang dialami sejak 2 bulan
yang lalu. Awalnya muncul benjolan seperti kelereng yang dirasakan sejak 1 tahun
yang lalu. Benjolan dirasakan makin lama makin membesar.
C. PEMERIKSAAN FISIS:
Status Generalis : Sakit sedang / gizi cukup / compos mentis
Vital sign:
TD
: 110/70 mmHg
N
: 80 kali/menit
P
: 20 kali/menit
S
: Afebris
Vas
: 5/10
Status Lokalis:
Mamma Dekstra
1
: tampak benjolan sebesar bola takraw, ulkus ada, pus ada, perdarahan
I
P
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hematologi
WBC : 13,89 103/ul
RBC
: 3,13 106/ul
: 26,3 %
PLT
: 256^103/ul
2. Fungsi ginjal
Ureum
Kreatinin
3. Kimia hati
SGOT
SGPT
Albumin
: 23 mg/dl
: 0,6 mg/dl
: 18 u/L
: 12 u/L
: 3,0 gr/dl
E. DIAGNOSIS KERJA
Cancer Pain
F. PENATALAKSANAAN
Durogesic Patch 12,5 mg
Paracetamol tablet 6x500 mg
PEMBAHASAN
Nyeri Kanker adalah perasaan tidak nyaman yang menyangkut fisik
dan emosi yang terjadi akibat kerusakan jaringan. Nyeri tersebut dapat
bersifat akut (kurang dari 1 bulan) dan dapat bersifat kronik (Lebih dari 3 6bulan). Salah satu penyebab nyeri kronik adalah kanker dan nyerinya bersifat
nosiseptik, neuropatik atau kombinasi nosiseptik -neuropatik. Nyeri kanker
dapat terjadi akibat faktor fisik yaitu kankernya sendiri (langsung, tidak
langsung, bersamaan, pengobatan kanker) dan faktor psikologis (cemas,
marah, depresi).1
WHO dan komunitas nyeri internasional sudah mengidentifikasi nyeri
pada kanker sebagai masalah kesehatan global. Kegagalan pengobatan nyeri
kanker sering terjadi akibat assessment nyeri yang tidak adekuat, penderita
tidak berterus terang akan keluhannya dan tidak patuh minum obat -obatan, para
dokter yang tidak paham akan efek samping dari obat obatan serta
kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan kanker, para perawat yang
enggan memberikan obat -obatan secara lege - artis dan teratur dan aturan
dari pemerintah yang berlebihan mengenai obat - obata analgesik khususnya
morfin.1, 2
A.
Klasifikasi nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan
kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau
insisi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi
(ringan sampai berat) dan berlangsung dalam waktu yang singkat. Nyeri akut
biasanya menurun sesuai dengan proses penyembuhan dan umumnya terjadi
kurang dari enam bulan.3, 4
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan
dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronik
berlangsung lama, intensitas bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari enam
bulan. 3, 4
Berdasarkan mekanisme terjadinya, nyeri terbagi menjadi nyeri nosiseptif dan
nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif disebabkan adanya kerusakan jaringan yang
mengakibatkan
dilepaskannya
bahan
kimiawi
yang
disebut
excitatory
neurotransmitter seperti ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta asam arakidonat
(AA) sebagai akibat lisisnya membran sel. Penumpukan asam arakidonat (AA)
memicu pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang akan mengubah
asam arakidonat menjadi prostaglandin E2 (PGE2), Prostaglandin G2 (PGG2),
dan prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin, ion H+ dan K+ intrasel serta
mediator inflamasi lain seperti bradikin dan histamin memegang peranan penting
sebagai aktivator nosiseptor perifer. Ketiganya juga mengawali terjadinya respon
inflamasi dan sensitisasi perifer yang menyebabkan edema dan nyeri pada tempat
yang rusak.3,4
Nyeri nosiseptif dibagi menjadi nyeri viseral dan nyeri somatik. Nyeri viseral
terjadi akibat stimulasi nosiseptor yang berada di rongga abdominal dan rongga
thoraks. Nyeri somatik terbagi menjadi nyeri somatik dalam dan nyeri kutaneus.
Nyeri somatik dalam berasal dari tulang, tendon, saraf dan pembuluh darah,
sedangkan nyeri kutaneus berasal dari kulit dan jaringan bawah kulit.3, 4
Nyeri neuropatik berasal dari kerusakan jaringan saraf akibat penyakit atau
trauma, disebut nyeri neuropatik perifer apabila disebabkan oleh lesi saraf tepi,
dan nyeri sentral apabila disebabkan lesi pada otak, batang otak atau medula
spinalis. 3, 4
Pada kasus ini, nyeri yang terjadi merupakan nyeri kronis karena nyeri
berlangsung lebih dari 1 bulan, serta termasuk pula nyeri neuropatik akibat adanya
4
lesi primer pada daerah dada. Lesi dapat terjadi baik didalam system viseral
maupun somatik (somatosensori) perifer ataupun pusat. 3, 4
B.
Lintasan Nyeri
Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi,
2. Transmisi
Transmisi mengacu pada transfer impuls noksious dari nosiseptor perifer
menuju sel dalam kornu dorsalis medula spinalis. Serabut A dan serabut C
merupakan akson neuron unipolar dengan proyeksi ke distal yang dikenal sebagai
ujung nosiseptif. Ujung proksimal serabut saraf ini masuk ke dalam kornu dorsalis
medula spinalis dan bersinap dengan sel second-order neuron yang terletak dalam
lamina II (substansi gelatinosa) dan dalam lamina V (nukleus proprius). 3, 4
Perubahan pada kornu dorsalis sebagai akibat kerusakan jaringan serta
proses inflamasi ini disebut sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral ini akan
menyebabkan neuron-neuron di dalam medulla menjadi lebih sensitif terhadap
rangsang lain dan menimbulkan gejala-gejala hiperalgesia dan alodinia. Susunan
saraf pusat tidak bersifat kaku, tetapi bersifat seperti plastik (plastisitas) yang
dapat berubah sifatnya sesuai jenis dan intensitas input kerusakan jaringan atau
inflamasi. Stimulus dengan frekuensi rendah menghasilkan reaksi berupa
transmisi sensoris tidak nyeri, tetapi stimulus dengan frekuensi yang lebih tinggi
akan menghasilkan transmisi sensoris nyeri. Impuls noksious dari nosiseptor
perifer akan diteruskan sampai ke neuron presinaptik. Di neuron presinaptik
impuls ini akan mengakibatkan Ca+ akan masuk ke dalam sel melalui Ca+ channel.
Masuknya Ca+ ke dalam sel ini menyebabkan dari ujung neuron presinaptik
dilepaskan
(neurokinin).
beberapa
Dari
neurotransmiter
ujung
presinaptik
seperti
serabut
glutamat
dan
saraf
A-delta
substansi
dilepaskan
3. Modulasi
4. Persepsi
alodinia,
dimana
tekanan/
sentuhan
yang
ringan
dapat
menyebabakan nyeri. 3, 4
Pada kasus ini, intensitas nyeri pasien adalah VAS = 5/10 yang tergolong nyeri
sedang. Cara lain yang digunakan untuk mengukur intensitas nyeri pasien antara
lain :
2. Verbal Rating Scale
Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan tingkat
nyeri pada pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yan dirasakannya.
Peneliti memilih nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa yang dirasakan
pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu :
0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya
1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya
2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya
3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan, wajah
merintih atau menangis
Keempat poin ini secara luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan tingkat
kebenaran dan keandalan. Untuk pasien yang memiliki gangguan kognitif, skala
nyeri verbal ini sulit digunakan.
D.
10
By mouth.
Sebisa mungkin, obat-obatan pasien diberikan melalui mulut (per oral).
Akan tetapi, rute alternatif seperti per rektal, transdermal, sublingual, dan
parenteral mungkin lebih baik pada pasien dengan disfagi, muntah yang
tidak terkontrol, atau obstruksi gastrointestinal. 6
2.
By the clock.
Pasien dengan nyeri kontinyu harus meminum obat analgesik sesuai
dengan waktu interval yang telah ditetapkan. 6
3.
By the ladder.
Tahap-tahap pemberian obat-obat anti nyeri disesuaikan dengan WHO
analgesic ladder. 6
4.
5.
1.
12
2.
Tahap kedua, digunakan untuk nyeri sedang atau jika pasien masih
mengeluh nyeri setelah langkah pertama. Pada tahap ini diberikan obatobat golongan opioid lemah (misalnya codeine, hydrocodone). Obatobatan ini dapat dikombinasi dengan non opioid dan dapat diberikan
bersama-sama dengan analgesia adjuvant.6
3.
Paracetamol tablet 6x500 mg, sesuai dengan step 3 tahap pemberian terapi
menurut step leeder pain WHO. Namun dari hasil pengukuran intensitas nyeri
dengan memakai VAS didapatkan 5/10 (nyeri sedang), yang dimana menurut step
leeder pain WHO terapinya harus melalui step 2.
Jadi terapi yang baik dengan mengacu pada step leeder pain WHO pada
pasien ini, diawali dengan pemberian obat-obat golongan opioid lemah (misalnya
codeine, hydrocodone) dan dikombinasi dengan non opioid. Bisa dengan
pemberian codein tablet 5x60 mg dan paracetamol tablet 4x500 mg.
E.
13
eksternal,
subcutaneous
injection
reservoirsatau
implanted
F.
dengan
kanker
payudara
dengan
berbagai
kompleksitas
diri
dari
masyarakat)
biasanya
membutuhkan
penanganan
multidisiplin baik dari dokter, psikoterapis, dan tentunya dukungan dari keluarga. 6
Pada aspek psikis ini secara umum juga dibagi dua penanganan yaitu dari
aspek psikofarmakologi serta dari aspek psikoterapinya.
Aspek Psikofarmakologi
Benzodiazepine merupakan golongan obat anxiolitik dan aman digunakan
untuk pengobatan pada pasien kanker. Walaupun juga terdapat efek antimuntah, efek ketergantungan, gangguan psikomotor, gangguan memori
tipe obat ini juga tetap digunakan tentunya juga dengan memperhatikan
kondisi pasien seperti apakah ada penyakit bawaan lain, ada gangguan
fungsi ginjal atau gangguan fungsi hati. Selain itu terdapat pula golongan
14
obat lain yang juga sering digunakan seperti dari golongan Trisiklik
Antidepresan dan dari golongan Serotonine Norepinephrine Reuptake
Inhibitorsseperti duloxetine dan venlafaxine yang memiliki efek analgesik
positif, kemudian juga memiliki efek anti cemas yang baik. 6,7
Aspek Psikoterapi
Karena penyakit kanker merupakan penyakit yang tidak kunjung sembuh,
derita nyeri yang tidak terputus, dan sering mengakibatkan pasien menjadi
kehilangan pekerjaan, kehilangan peran penting dalam keluarga akhirnya
akan memunculkan problem psikologis. Tujuan dari psikoterapi adalah
untuk mengurangi tekanan emosional, meningkatkan penghargaan
terhadap diri sendiri, mampu untuk mengendalikan diri, dan mampu untuk
memecahkan masalah. Psikoterapi meliputi terapi kognitif, terapi perilaku,
teknik relaksasi, dan hipnosis. 6,7
Pada kasus ini, tidak didapatkannya adanya tanda-tanda kecemasan,
kemarahan, dan kegelisahan maupun gangguan tidur. Jadi pada pasien ini tidak
memerlukan suatu penanganan permasalahan kondisi psikis.
15
KESIMPULAN
Nyeri merupakan salah satu keluhan pada penderita kanker dan memiliki
dampak pada fungsi fisiologis tubuh dan juga mempengaruhi kualitas hidup
penderita. Pengelolaan nyeri yang tidak adekuat bukan saja akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas, namun dipandang sebagai suatu hal yang tidak
manusiawi. Oleh sebab itu, nyeri kanker harus ditangani dengan adekuat.
Dalam penatalaksanaan pada pasien kasus ini, baiknya diawali dengan step
2 menurut step leeder pain WHO, yang diawali dengan pemberian obat-obat
golongan opioid lemah (misalnya codeine, hydrocodone) dan dikombinasi dengan
non opioid.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiwarsono. Pengobatan nyeri kanker di Bangsal RSUD Dr
Moewardi (RSDM) [online]. 2012 [cited on 19 May 13]. Available
from
http://www.palliative-surabaya.com/gambar/pdf/buku_pkb_vi-
bagian_1008082008.pdf
2. Subagio Y, Suradi, Raharjo et al. Tatalaksana nyeri pada kanker
[online].
2012
[cited
on
19
May
13].
Available
from
http://www.scribd.com/doc/78411230/Tatalaksana-Nyeri-PadaKanker.pdf
3. Nalini Vadivelu, Christian J. Whitney, andRaymond S. Sinatra. 2009.
Pain Pathways and Acute Pain Processing in Acute pain management.
Cambridge University Press. Page 3-13
4. Suza Dewi Elizadiani. 2007. Pain Experiences and Pain Management
in Postoperative Patients. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40
No 1. Pediatric Department of Nursing Program Medical School
University of Sumatera Utara. Page 1-7
5. Phan PC, Burton AW. 2008. Palliative and Cancer Pain Care. Chapter
94 in Anesthesiology. The Mc Graw-Hill Companies. Page 2106
17
18