Anda di halaman 1dari 18

wereLAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN :
Nama
: Ny. M
RM
: 644776
Tgl Lahir/Umur
: 16-08-1978 / 35 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jl. Arungkeke Kabupaten Jeneponto
Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Agama

: Islam

Status perkawinan

: Kawin

Tgl Masuk RS
Ruangan

: 10 Januari 2014 Pukul 10.30


: Lontara 2 Bangsal Onkologi.

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
: Nyeri pada dada kanan
Anamnesis Terpimpin : Dialami sejak kurang lebih sejak 3 bulan yang lalu,
sebelum masuk RS. Awalnya muncul rasa panas di daerah dada, dan kemudian
nyeri dirasakan seperti rasa terbakar pada daerah dada. Nyeri tidak menjalar dan
nyeri dirasakan hilang timbul.
Pasien tidak merasakan kegelisahan dan nyerinya tidak mengganggu tidur.
Pasien juga mngeluhkan adanya luka didaerah dada, yang dialami sejak 2 bulan
yang lalu. Awalnya muncul benjolan seperti kelereng yang dirasakan sejak 1 tahun
yang lalu. Benjolan dirasakan makin lama makin membesar.

C. PEMERIKSAAN FISIS:
Status Generalis : Sakit sedang / gizi cukup / compos mentis
Vital sign:
TD
: 110/70 mmHg
N
: 80 kali/menit
P
: 20 kali/menit
S
: Afebris
Vas
: 5/10
Status Lokalis:
Mamma Dekstra
1

: tampak benjolan sebesar bola takraw, ulkus ada, pus ada, perdarahan

aktif dan hiperemis tidak ada.


: teraba benjolan ulkus kurang lebih 25x20 cm, konsistensi padat keras,

I
P

immobile, permukaan berbenjol-benjol, nyeri tekan ada.


Regio Axilla Dekstra
: tidak tampak benjolan, edema tidak ada.
: teraba benjolan 3x2 cm, konsistensi padat keras, mobile, permukaan rata,
nyeri tekan tidak ada.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hematologi
WBC : 13,89 103/ul
RBC

: 3,13 106/ul

HGB : 8,7 g/dl


HCT

: 26,3 %

PLT

: 256^103/ul

2. Fungsi ginjal
Ureum
Kreatinin
3. Kimia hati
SGOT
SGPT
Albumin

: 23 mg/dl
: 0,6 mg/dl
: 18 u/L
: 12 u/L
: 3,0 gr/dl

E. DIAGNOSIS KERJA
Cancer Pain
F. PENATALAKSANAAN
Durogesic Patch 12,5 mg
Paracetamol tablet 6x500 mg

PEMBAHASAN
Nyeri Kanker adalah perasaan tidak nyaman yang menyangkut fisik
dan emosi yang terjadi akibat kerusakan jaringan. Nyeri tersebut dapat
bersifat akut (kurang dari 1 bulan) dan dapat bersifat kronik (Lebih dari 3 6bulan). Salah satu penyebab nyeri kronik adalah kanker dan nyerinya bersifat
nosiseptik, neuropatik atau kombinasi nosiseptik -neuropatik. Nyeri kanker
dapat terjadi akibat faktor fisik yaitu kankernya sendiri (langsung, tidak
langsung, bersamaan, pengobatan kanker) dan faktor psikologis (cemas,
marah, depresi).1
WHO dan komunitas nyeri internasional sudah mengidentifikasi nyeri
pada kanker sebagai masalah kesehatan global. Kegagalan pengobatan nyeri
kanker sering terjadi akibat assessment nyeri yang tidak adekuat, penderita
tidak berterus terang akan keluhannya dan tidak patuh minum obat -obatan, para
dokter yang tidak paham akan efek samping dari obat obatan serta
kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan kanker, para perawat yang
enggan memberikan obat -obatan secara lege - artis dan teratur dan aturan
dari pemerintah yang berlebihan mengenai obat - obata analgesik khususnya
morfin.1, 2
A.

Klasifikasi nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan
kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau

insisi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi
(ringan sampai berat) dan berlangsung dalam waktu yang singkat. Nyeri akut
biasanya menurun sesuai dengan proses penyembuhan dan umumnya terjadi
kurang dari enam bulan.3, 4
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan
dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronik
berlangsung lama, intensitas bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari enam
bulan. 3, 4
Berdasarkan mekanisme terjadinya, nyeri terbagi menjadi nyeri nosiseptif dan
nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif disebabkan adanya kerusakan jaringan yang
mengakibatkan

dilepaskannya

bahan

kimiawi

yang

disebut

excitatory

neurotransmitter seperti ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta asam arakidonat
(AA) sebagai akibat lisisnya membran sel. Penumpukan asam arakidonat (AA)
memicu pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang akan mengubah
asam arakidonat menjadi prostaglandin E2 (PGE2), Prostaglandin G2 (PGG2),
dan prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin, ion H+ dan K+ intrasel serta
mediator inflamasi lain seperti bradikin dan histamin memegang peranan penting
sebagai aktivator nosiseptor perifer. Ketiganya juga mengawali terjadinya respon
inflamasi dan sensitisasi perifer yang menyebabkan edema dan nyeri pada tempat
yang rusak.3,4
Nyeri nosiseptif dibagi menjadi nyeri viseral dan nyeri somatik. Nyeri viseral
terjadi akibat stimulasi nosiseptor yang berada di rongga abdominal dan rongga
thoraks. Nyeri somatik terbagi menjadi nyeri somatik dalam dan nyeri kutaneus.
Nyeri somatik dalam berasal dari tulang, tendon, saraf dan pembuluh darah,
sedangkan nyeri kutaneus berasal dari kulit dan jaringan bawah kulit.3, 4
Nyeri neuropatik berasal dari kerusakan jaringan saraf akibat penyakit atau
trauma, disebut nyeri neuropatik perifer apabila disebabkan oleh lesi saraf tepi,
dan nyeri sentral apabila disebabkan lesi pada otak, batang otak atau medula
spinalis. 3, 4
Pada kasus ini, nyeri yang terjadi merupakan nyeri kronis karena nyeri
berlangsung lebih dari 1 bulan, serta termasuk pula nyeri neuropatik akibat adanya
4

lesi primer pada daerah dada. Lesi dapat terjadi baik didalam system viseral
maupun somatik (somatosensori) perifer ataupun pusat. 3, 4

B.

Lintasan Nyeri
Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi,

transmisi, modulasi, dan persepsi. 3, 4


1. Transduksi
Proses transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi
suatu aktifitas listrik yang akan diterima oleh nosiseptor perifer terhadap trauma
atau stimulasi kimia, termal, dan mekanis yang berpotensi menimbulkan
kerusakan. Mediator noksious perifer dapat berupa bahan yang dilepaskan oleh
sel-sel yang rusak selama perlukaan, ataupun sebagai akibat reaksi humoral dan
neural karena perlukaan. Kerusakan selular pada kulit, fasia, otot, tulang dan
ligamentum menyebabkan pelepasan ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta
asam arakidonat (AA) sebagai akibat lisisnya membran sel. Penumpukan asam
arakidonat (AA) memicu pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang
akan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin E2 (PGE2), Prostaglandin
G2 (PGG2), dan prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin, ion H+ dan K+ intrasel
memegang peranan penting sebagai aktivator nosiseptor perifer. Ketiganya juga
mengawali terjadinya respon inflamasi dan sensitisasi perifer yang menyebabkan
edema dan nyeri pada tempat yang rusak. Selain prostaglandin, leukotrien, 5hydroxytriptamine (5-HT), bradikinin (BK), dan histamin juga dilepaskan oleh
jaringan yang mengalami kerusakan dan banyak berpengaruh dalam terjadinya
sensitisasi noksious primer dan sekunder. 3, 4
Pada daerah lokal dengan dilepaskannya substansi tersebut akan terjadi
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edema neurogenik, peningkatan
iritabilitas nosiseptor, dan aktivasi ujung nosiseptor yang berdekatan. Semua ini
akan menghasilkan suatu keadaan sensitisasi perifer yang disebut hiperalgesia. 3, 4

2. Transmisi
Transmisi mengacu pada transfer impuls noksious dari nosiseptor perifer
menuju sel dalam kornu dorsalis medula spinalis. Serabut A dan serabut C
merupakan akson neuron unipolar dengan proyeksi ke distal yang dikenal sebagai
ujung nosiseptif. Ujung proksimal serabut saraf ini masuk ke dalam kornu dorsalis
medula spinalis dan bersinap dengan sel second-order neuron yang terletak dalam
lamina II (substansi gelatinosa) dan dalam lamina V (nukleus proprius). 3, 4
Perubahan pada kornu dorsalis sebagai akibat kerusakan jaringan serta
proses inflamasi ini disebut sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral ini akan
menyebabkan neuron-neuron di dalam medulla menjadi lebih sensitif terhadap
rangsang lain dan menimbulkan gejala-gejala hiperalgesia dan alodinia. Susunan
saraf pusat tidak bersifat kaku, tetapi bersifat seperti plastik (plastisitas) yang
dapat berubah sifatnya sesuai jenis dan intensitas input kerusakan jaringan atau
inflamasi. Stimulus dengan frekuensi rendah menghasilkan reaksi berupa
transmisi sensoris tidak nyeri, tetapi stimulus dengan frekuensi yang lebih tinggi
akan menghasilkan transmisi sensoris nyeri. Impuls noksious dari nosiseptor
perifer akan diteruskan sampai ke neuron presinaptik. Di neuron presinaptik
impuls ini akan mengakibatkan Ca+ akan masuk ke dalam sel melalui Ca+ channel.
Masuknya Ca+ ke dalam sel ini menyebabkan dari ujung neuron presinaptik
dilepaskan
(neurokinin).

beberapa
Dari

neurotransmiter
ujung

presinaptik

seperti
serabut

glutamat

dan

saraf

A-delta

substansi

dilepaskan

neurotransmitter golongan asam amino seperti glutamat dan aspartat, sedangkan


dari ujung presinaptik serabut saraf C dilepaskan selain neurotransmitter golongan
asam amino, juga neurotransmitter golongan peptida seperti substansi-P
(neurokinin), calcitonin gene related protein (CGRP), dan cholecystokinin (CCK).
Selama pembedahan stimulus noksious dihantarkan melalui kedua serabut saraf
tersebut. Sedangkan pada periode pasca bedah dan pada proses inflamasi stimulus
noksious didominasi penghantarannya melalui serabut saraf C. 3, 4

3. Modulasi

Proses modulasi merupakan proses interaksi antara mediator yang


menyebabkan eksitasi dan efek inhibisi dari analgesik endogen. Mekanisme
hambatan terhadap nyeri terjadi di dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan di
tingkat lebih tinggi di brain stem dan mid brain. Di medulla spinalis mekanisme
inhibisi terhadap transmisi nyeri terjadi pada sinaps pertama antara aferen
noksious perifer dan sel-sel dari second order, dengan demikian mengurangi
penghantaran spinotalamus dari impuls noksious. Modulasi spinal dimediasi oleh
kerja inhibisi dari senyawa endogen yang mempunyai efek analgetik, yang
dilepaskan dari interneuron spinal dan dari ujung terminal akson yang mempunyai
sifat inhibisi yang turun (desendens) dari central gray locus ceruleus dan dari
supraspinal yang lain. 3, 4
Analgesik endogen itu adalah enkephalin (ENK), norepinefrin (NE), dan
gamma aminobutyric acid (GABA). Analgesik endogen ini akan mengaktifkan
reseptor opioid, alpha adrenergik, dan reseptor lain yang bekerja melakukan
inhibisi pelepasan glutamat dari aferen nosiseptif primer atau mengurangi reaksi
post sinaptik dari second order neuron NS atau WDR. Opioid endogen seperti
enkefalin dan endorfin akan melakukan modulasi transmisi nyeri. Selain itu,
sebagian sitokin seperti interleukin-1 yang terbentuk di perifer, bersama aliran
darah akan sampai ke sistem saraf pusat, dan juga akan menginduksi COX-2 di
dalam neuron otak sehingga terbentuk juga prostaglandin E-2 yang juga
mengakibatkan perasaan nyeri. Namun di dalam sistem saraf pusat sitokin
interleukin-1 memberikan efek yang berbeda, tergantung besarnya jumlah sitokin
tersebut. Sitokin dalam jumlah yang sedikit justru akan merangsang efek
hiperalgesia, tetapi dalam jumlah yang besar akan memberikan efek analgesia.
Selain itu, sitokin dalam jumlah yang besar akan berpotensiasi dengan
pengeluaran endorphin dalam darah, yang akan memberikan efek analgesia. 3, 4

4. Persepsi

Presepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai


korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan
ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut. 3, 4
Serabut ascending akan menyilang sebelum berjalan kearah kranial pada
traktus spinotalamikus. Umumnya saraf pada traktus spinotalamikus berjalan
melewati pons, medulla dan otak tengah ke daerah spesifik di talamus. Dari
talamus, informasi aferen selanjutnya dibawa ke korteks somatosensorik. Traktus
spinotalamikus juga mengirimkan cabang kolateral menuju formasio retikularis.
Impuls yang ditransmisikan melalui traktus ini berperan terhadap perbedaan nyeri
dan respon emosi yang ditimbulkan. Formasio retikularis mungkin berperan
terhadap peningkatan aspek emosional dari nyeri seperti reflex somatik dan
otonomik. 3, 4
Nyeri neuropati pada pasien ini diawali dengan terbentuknya lesi di daerah
dada yang dapat menyebabkan saraf tersebut rusak karena kompresi, infiltrasi,
iskemia, kelainan metabolik atau transeksi. Nyeri ini dapat menimbulkan
disfungsi saraf yang dapat meningkatkan sensitifitas saraf spinal, di lintasan
modulasi, dimana prosesnya disebut fasilitasi sentral atau wind up. Walaupun
sarafnya tidak rusak, terjadi sistem sinyal yang abnormal pada saraf yang
membentuk stimulus noksius, dan menghasilkan nyeri yang lebih hebat dari
normal, atau stimulus non noksius, menghasilkan nyeri. Hal tersebut juga dapat
menyebabkan

alodinia,

dimana

tekanan/

sentuhan

yang

ringan

dapat

menyebabakan nyeri. 3, 4

Gambar 1. Lintasan nyeri: transduksi, konduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.


Dimodifikasi dari: Gottschalk A et al. Am Fam Physician. 2001;63:1981, and Kehlet H etal. Anesth Analg.
1993;77:1049.
C.

Pengukuran Intensitas Nyeri


Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini
dibagi atas skala kategorik (tidak sakit, sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat).
Ataupun penggunaan skala yang digambarkan sebagai garis horizontal atau
vertikal yang ujung-ujungnya diberi nilai 0 menandakan tidak ada nyeri. dan

10 menandakan nyeri yang hebat.5,7


1. Visual Analogue Scale
Cara yang paling sering digunakan untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan
menggunakan Visual Analog Scale (VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang
panjangnya biasaya 10 cm (atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada
masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri
terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri
berat.

Gambar 2. Visual Analogue Scale

Pada kasus ini, intensitas nyeri pasien adalah VAS = 5/10 yang tergolong nyeri
sedang. Cara lain yang digunakan untuk mengukur intensitas nyeri pasien antara
lain :
2. Verbal Rating Scale
Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan tingkat
nyeri pada pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yan dirasakannya.
Peneliti memilih nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa yang dirasakan
pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu :
0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya
1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya
2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya
3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan, wajah
merintih atau menangis

Keempat poin ini secara luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan tingkat
kebenaran dan keandalan. Untuk pasien yang memiliki gangguan kognitif, skala
nyeri verbal ini sulit digunakan.

Gambar 3. Verbal Rating Scale

3. Wong Baker Faces Pain Scale


Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan kesulitan atau keterbatasan
verbal. Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa
nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang dirasakannya.

Gambar 4. Wong Baker Faces Pain Scale

4. Numerical Rating Scale (NRS)


Pertama kali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien
ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 5
atau 0 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10
menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 5. Numerical Rating Scale

Pada pasien ini, digunakan pengukuran intensitas nyeri berupa VAS


(Visual Analog Scale). Hasil dari pengukuran tersebut didapatkan 5/10, yang
dimana merupakan nyeri sedang.

D.

Prinsip Penanganan World Health Organization Analgesic Ladder 6

10

Prinsip dari farmakoterapi, oleh WHO, untuk nyeri kanker, yaitu:


1.

By mouth.
Sebisa mungkin, obat-obatan pasien diberikan melalui mulut (per oral).
Akan tetapi, rute alternatif seperti per rektal, transdermal, sublingual, dan
parenteral mungkin lebih baik pada pasien dengan disfagi, muntah yang
tidak terkontrol, atau obstruksi gastrointestinal. 6

2.

By the clock.
Pasien dengan nyeri kontinyu harus meminum obat analgesik sesuai
dengan waktu interval yang telah ditetapkan. 6

3.

By the ladder.
Tahap-tahap pemberian obat-obat anti nyeri disesuaikan dengan WHO
analgesic ladder. 6

4.

For the individual.


Tidak ada dosis standar opioid. Dosis yang benar adalah dosis dimana
nyeri pasien dapat dihilangkan dengan efek samping yang minimal. Obat
yang digunakan untuk nyeri ringan dan sedang memiliki dosis yang
terbatas dalam penggunaanya oleh karena formulasi (misalnya kombinasi
asam asetilsalisilat dengan asetaminofen, yang toksik pada dosis tinggi)
atau karena peningkatan efek samping yang disproporsional pada dosis
tinggi (misalnya codein). 6

5.

With attention to detail.


Dilakukan monitor secara hati-hati pada pasien yang mendapat regimen
analgesia. Secara teratur harus di follow-upkeluhan, efek obat dan efek
sampingnya. Antisipasi efek samping yang diperlukan dan bila perlu beri
profilaktik 6.
World Health Organization merekomendasikan WHO Analgesic Ladder

untuk penatalaksanaan nyeri kanker. Tahapan tersebut digunakan untuk


mmengklasifikasikan jenis analgesia yang nantinya akan diberikan kepada pasien
dengan nyeri kanker, sesuai dengan derajat nyerinya 6
11

Pembagian terapi penatalaksanaan nyeri menurut WHO adalah sebagai berikut:

1.

Tahap pertama, dengan menggunakan obat analgetik nonopiat seperti


aspirin, asetaminofen, atau NSAID lainnya dengan atau tanpa adjuvant.
Tahap ini digunakan untuk nyeri ringan. 6

12

2.

Tahap kedua, digunakan untuk nyeri sedang atau jika pasien masih
mengeluh nyeri setelah langkah pertama. Pada tahap ini diberikan obatobat golongan opioid lemah (misalnya codeine, hydrocodone). Obatobatan ini dapat dikombinasi dengan non opioid dan dapat diberikan
bersama-sama dengan analgesia adjuvant.6

3.

Tahap ketiga, digunakan untuk nyeri berat atau gagal mendapatkan


perbaikan yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua, dengan
memberikan obat opioid kuat. Yang termasuk obat-obatan yaitu morfin,
fentanil, hidromorfon, levorfanol, metadon, oksikodon, dan oksimorfon. 6
Pada kasus ini didapatkan pemberian durogesic patch 12,5 mg dan

Paracetamol tablet 6x500 mg, sesuai dengan step 3 tahap pemberian terapi
menurut step leeder pain WHO. Namun dari hasil pengukuran intensitas nyeri
dengan memakai VAS didapatkan 5/10 (nyeri sedang), yang dimana menurut step
leeder pain WHO terapinya harus melalui step 2.
Jadi terapi yang baik dengan mengacu pada step leeder pain WHO pada
pasien ini, diawali dengan pemberian obat-obat golongan opioid lemah (misalnya
codeine, hydrocodone) dan dikombinasi dengan non opioid. Bisa dengan
pemberian codein tablet 5x60 mg dan paracetamol tablet 4x500 mg.
E.

Intervensi Penanganan Nyeri Kanker 6


Teknik intervensi pada nyeri kanker hanya akan dilakukan jika manajemen

dengan pengobatan (farmakoterapi) gagal dalam mengatasi nyeri. Kegagalan


terapi terjadi ketika penyembuhan nyeri tidak adekuat (kembali kambuh) ataupun
sama sekali nyeri tersebut tidak teratasi. Teknik intervensi ini ada dua kategori
yaitu modalitas ablatif dan augmentatif.
1. Modalitas ablatif
Modalitas ini dilakukan dengan cara memblok transmisi nosiseptif dengan
suntikan neurolitik atau bedah lesi (blokade saraf). Tujuannya adalah merusak
lintasan nosiseptif menggunakan bahan kimia (misal: fenol, alkohol),

13

rangsangan panas atau dingin, atau menggunakan skalpel, sehingga nyeri


menghilang. 6
2. Modalitas augmentatif
Modalitas ini menggunakan cara stimulasi elektrik dan metode infus. Metode
infus banyak digunakan untuk pengobatan nyeri kanker, sedangkan metode
stimulasi elektrik lebih jarang. Metode infus merupakan hasil dari
perkembangan teknologi untuk infus kontinyu melalui epidural, intratekal,
atau intraserebroventrikular (ICV) kateter, yang dihubungkan dengan pompa
infus

eksternal,

subcutaneous

injection

reservoirsatau

implanted

programmable infusion pumps. 6

F.

Penanganan Permasalahan Psikis Pada Pasien Kanker Payudara6


Pasien

dengan

kanker

payudara

dengan

berbagai

kompleksitas

permasalahannya membutuhkan penanganan dari berbagai disiplin ilmu di mana


salah satunya tidak melupakan penanganan aspek psikologisnya. Pasien dengan
kanker payudara sering kali mengalami stress dalam berbagai tingkatnya,
khususnya ditemukan pada pasien dengan usia muda. Pasien dengan tingkat stress
ringan (memiliki kesulitan untuk mengeluarkan permasalahannya, cenderung
mengisolasi

diri

dari

masyarakat)

biasanya

membutuhkan

penanganan

multidisiplin baik dari dokter, psikoterapis, dan tentunya dukungan dari keluarga. 6
Pada aspek psikis ini secara umum juga dibagi dua penanganan yaitu dari
aspek psikofarmakologi serta dari aspek psikoterapinya.

Aspek Psikofarmakologi
Benzodiazepine merupakan golongan obat anxiolitik dan aman digunakan
untuk pengobatan pada pasien kanker. Walaupun juga terdapat efek antimuntah, efek ketergantungan, gangguan psikomotor, gangguan memori
tipe obat ini juga tetap digunakan tentunya juga dengan memperhatikan
kondisi pasien seperti apakah ada penyakit bawaan lain, ada gangguan
fungsi ginjal atau gangguan fungsi hati. Selain itu terdapat pula golongan
14

obat lain yang juga sering digunakan seperti dari golongan Trisiklik
Antidepresan dan dari golongan Serotonine Norepinephrine Reuptake
Inhibitorsseperti duloxetine dan venlafaxine yang memiliki efek analgesik
positif, kemudian juga memiliki efek anti cemas yang baik. 6,7

Aspek Psikoterapi
Karena penyakit kanker merupakan penyakit yang tidak kunjung sembuh,
derita nyeri yang tidak terputus, dan sering mengakibatkan pasien menjadi
kehilangan pekerjaan, kehilangan peran penting dalam keluarga akhirnya
akan memunculkan problem psikologis. Tujuan dari psikoterapi adalah
untuk mengurangi tekanan emosional, meningkatkan penghargaan
terhadap diri sendiri, mampu untuk mengendalikan diri, dan mampu untuk
memecahkan masalah. Psikoterapi meliputi terapi kognitif, terapi perilaku,
teknik relaksasi, dan hipnosis. 6,7
Pada kasus ini, tidak didapatkannya adanya tanda-tanda kecemasan,

kemarahan, dan kegelisahan maupun gangguan tidur. Jadi pada pasien ini tidak
memerlukan suatu penanganan permasalahan kondisi psikis.

15

KESIMPULAN
Nyeri merupakan salah satu keluhan pada penderita kanker dan memiliki
dampak pada fungsi fisiologis tubuh dan juga mempengaruhi kualitas hidup
penderita. Pengelolaan nyeri yang tidak adekuat bukan saja akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas, namun dipandang sebagai suatu hal yang tidak
manusiawi. Oleh sebab itu, nyeri kanker harus ditangani dengan adekuat.
Dalam penatalaksanaan pada pasien kasus ini, baiknya diawali dengan step
2 menurut step leeder pain WHO, yang diawali dengan pemberian obat-obat
golongan opioid lemah (misalnya codeine, hydrocodone) dan dikombinasi dengan
non opioid.

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Budiwarsono. Pengobatan nyeri kanker di Bangsal RSUD Dr
Moewardi (RSDM) [online]. 2012 [cited on 19 May 13]. Available
from

http://www.palliative-surabaya.com/gambar/pdf/buku_pkb_vi-

bagian_1008082008.pdf
2. Subagio Y, Suradi, Raharjo et al. Tatalaksana nyeri pada kanker
[online].

2012

[cited

on

19

May

13].

Available

from

http://www.scribd.com/doc/78411230/Tatalaksana-Nyeri-PadaKanker.pdf
3. Nalini Vadivelu, Christian J. Whitney, andRaymond S. Sinatra. 2009.
Pain Pathways and Acute Pain Processing in Acute pain management.
Cambridge University Press. Page 3-13
4. Suza Dewi Elizadiani. 2007. Pain Experiences and Pain Management
in Postoperative Patients. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40
No 1. Pediatric Department of Nursing Program Medical School
University of Sumatera Utara. Page 1-7
5. Phan PC, Burton AW. 2008. Palliative and Cancer Pain Care. Chapter
94 in Anesthesiology. The Mc Graw-Hill Companies. Page 2106

17

6. Manuaba, IB Tjakra Wibawa, Prof.DR.dr.,M.P.H., Sp.B (K) Onk.


Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid PERABOI. CV Sagung Seto,
Jakarta. 2010
7. Desen Wan. Terapi Nyeri Kanker dan Perawatan Pasien Terminal.
Buku Ajar Onkologi Klinik. Ed 2. Jakarta. 2008.FKUI. page 216-239

18

Anda mungkin juga menyukai