Anda di halaman 1dari 25

1

Otitis Media dengan Efusi







Penyusun: Marlene Abigail
Dokter Pembimbing: dr. Wahyu BM, Sp.THT


Kepaniteraan Klinik Ilmu THT
RS Panti Wilasa Dr. Cipto
Periode 15 April 18 Mei 2013


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan YME atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat
menyelesaikan referat berjudul OTITIS MEDIA DENGAN EFUSI ini. Adapaun referat ini
dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas dalam kegiatan kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok di RS Panti Wilasa Dr. Cipto, Semarang.
Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Wahyu BM, Sp.THT atas segala
bimbinganya kepada kami, peserta kepaniteraan ini. Terimakasih juga kepada teman-teman
kelompok kepaniteraan periode 15 April 18 Mei 2013 atas kerjasamanya selama menjalani
kepaniteraan di RS ini.
Besar harapan penulis agar referat ini dapat berguna bagi pembaca khususnya teman
sejawat. Kiranya apa yang dituangkan dalam karya tulis ini dapat menambah pengetahuan
bagi kita semua sebagai bekal dalam mencapai cita-cita kita menjadi seorang dokter.
Tentunya masih banyak kekurangan dalam referat ini, baik dari segi penulisan maupun isi.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari sejawat sekalian.
Akhir kata penulis ucapakan terimakasih dan selamat membaca.




Semarang, April 2013

3

DAFTAR ISI

Halaman Judul ...........................................................................................................1

Kata Pengantar ...........................................................................................................2

Daftar Isi ....................................................................................................................3

Bab I Pendahuluan ........................................................................................4

Latar Belakang ....................................................................................4


Bab II Pembahasan ........................................................................................6

Anatomi Telinga .................................................................................6

Fisiologi Telinga .................................................................................10

Pemeriksaan THT ...............................................................................11

Definisi Otitis Media dengan Efusi.....................................................12

Patofisiologi ........................................................................................12

Etiologi ................................................................................................15

Epidemiologi .......................................................................................15

Gejala dan Anamnesis .........................................................................17

Pemeriksaan Fisik ...............................................................................18

Pemeriksaan Penunjang ......................................................................19

Diagnosis Banding ..............................................................................20

Penatalaksanaan ..................................................................................20

Komplikasi ..........................................................................................22

Prognosis .............................................................................................23


Bab III Penutup ................................................................................................24

Kesimpulan ..........................................................................................24


Daftar Pustaka ............................................................................................................25
4

BAB I. PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Otitis media adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan inflamasi
pada telinga tengah tanpa merujuk pada patogenesis atau etiologi yang spesifik. Otitis media
adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum
mastoid, dan sel-sel mastoid.
1

Otitis media berdasarkan durasi penyakitnya dibagi atas akut (< 3 minggu), subakut (3
12 minggu) dan kronis (> 12 minggu). Sedangkan menurut gejala klinisnya otitis media
dapat terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non-supuratif (otitis media dengan
efusi = OME). Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis, yaitu otitis
media supuratfi akut (otitis media akut = OMA) dan otitis media supuratif kronis
(OMSK/OMP). Begitu pula otitis media efusi terbagi menjadi otitis media efusi akut dan
otitis media efusi kronis.
2

Istilah otitis media dengan efusi terbatas pada keadaan dimana terdapat efusi dalam
kavum timpani dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda radang. Bila efusi tersebut
berbentuk pus dan disertai tanda-tanda radang maka disebut otitis media akut.
2

Otitis media dengan efusi dikarakterisasi dengan efusi nonpurulen di telinga tengah
yang dapat berupa mukoid atau serosa. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis media
serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem disebut otitis media mukoid (glue ear).
1

Secara teori, cairan ini sebagai akibat tekanan negative dalam telinga tengah yang
disebabkan oleh obstruksi tuba eustachius. Pada penyakit ini, tidak ada agen penyebab
definitive yang telah diidentifikasi, meskipun otitis media dengan efusi lebih banyak terdapat
pada anak yang telah sembuh dari otitis media akut. Bila terjadi pada orang dewasa,
penyebab lain yang mendasari terjadinya disfungsi tuba eustachii harus dicari. Efusi telinga
tengah sering terjadi pada pasien setelah mengalami barotrauma contoh pada seorang
penyelam dan pada pasien dengan disfungsi tuba eustachius akibat infeksi atau alergi saluran
napas atas.
2

Kondisi yang dianggap sebagai penyebab utama munculnya otitis media dengan efusi
adalah setiap keadaan yang mempengaruhi muara atau ujung proksimal tuba eustachius di
nasofaring ataupun mekanisme mukosiliari klirens dari tuba eustachius. Tuba eustachius
dianggap sebagai katup (valve) penghubung telinga tengah dan nasofaring. Struktur ini
menjamin ventilasi telinga tengah, sehingga menjaga tekanan tetap sama di kedua sisi
gendang telinga. Edema faring dan peradangan akibat ISPA biasanya berefek terhadap ujung
proksimal tuba eustachius di nasofaring ataupun mekanisme mukosiliari klirens tuba
eustachius. Keadaan lain seperti: alergi hidung, barotrauma, penekanan terhadap muara/torus
tuba oleh massa seperti adenoid yang membesar ataupun tumor di nasofaring, abnormalitas
anatomi tuba eustachius ataupun deformitas celah palatum, benda asing seperti nasogastrik
atau nasotrakeal tube, dapat pula menjadi faktor predisposisi.
1,2

Otitis media efusi merupakan penyakit yang sering di derita oleh bayi dan anak-anak.
1

Di Indonesia masih jarang ditemukan kepustakaan yang melaporkan angka kejadian penyakit
ini, hal ini di sebabkan kerena belum ada penelitian yang khusus mengenai penyakit ini, atau
tidak terdeteksi karena minimalnya keluhan pada anak yang menderita otitis media dengan
efusi.
Adanya cairan di dalam telinga tengah mengakibatkan terjadinya gangguan
pendengaran. Orang tua mengeluhkan anak-anaknya mendengarkan suara televise dengan
volume terlalu keras, sering menanyakan ulang atas jawaban yang diberikan orang tuanya
dan tidak segera mengacuhkan bila dipanggil. Beberapa anak mungkin tidak didapatkan
5

keluhan. Cairan dalam telinga tengah pada anak-anak bisa berbulan-bulan dan baru diketahui
ketika diadakan pemeriksaan rutin.
1

Anak-anak memerlukan kemampuan mendengar untuk belajar berbicara. Adanya
gangguan pendengaran karena cairan di telinga tengah mengakibatkan terjadinya kelambatan
bicara. Diagnosis dan penatalaksanaan dini dapat mencegah hambatan pendengaran anak
akibat otitis media dengan efusi.
1


6

BAB II. PEMBAHASAN

II. 1 ANATOMI TELINGA
Untuk memahami tentang gangguan pendengaran, perlu diketahui anatomi
telinga, fisiologi pendengaran, dan cara pemeriksaan pendengaran. Telinga terdiri dari
telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam (Gambar 1).
3



Gambar 1. Anatomi Telinga

Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga. Daun telinga terdiri dari
tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang
rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam terdiri dari
tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 3 cm.
3
Seringkali ada penyempitan liang telinga
pada perbatasan tulang dan rawan ini. Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis
terletak di depan terhadap liang telinga sementara prosesus mastoideus terletak di
belakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalan ke
lateral menuju prosesus stiloideus di posteroinferior liang telinga, dan kemudian
berjalan di bawah liang telinga untuk memasuki kelenjar parotis.
4

7

Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen
dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua
pertiga bagian dalam hanya dijumpai sedikit kelenjar serumen.
3


Membran Timpani
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
falksida (membran Sharpnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran
propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar adalah lanjutan epitel
kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh epitel kubus bersilia, seperti epitel
mukosa saluran nafas.
3
Pars tensa mempunya satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan
fibrosa di bagian tengah dimana tangkai maleus dilekatkan. Lapisan fibrosa tidak
terdapat di atas prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan membran Sharpnell
menjadi lemas (flaksid).
4

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refek cahaya (cone of light) ke arah bawah
yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani
kanan (Gambar 2).
3

Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah-
belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.
3

Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat
aditus ad antrum, yaitu lubang yang menbhubungkan telinga tengah dengan antrum
mastoid.
3


Gambar 2. Membran Timpani Telinga Kanan

Telinga Tengah
Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak
dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga
kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke
arah umbo dari membran timpani sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian
tengah.
4

Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fosa kranii media.
Pada bagian atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang mastoid dan
bawahnya adalah saraf fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf fasialis dan
tendonnya menembus melalui suatu piramid tulang menuju leher stapes. Saraf korda
timpani timbul dari saraf fasialis di bawah stapedius dan berjalan ke lateral depan
menuju inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari telinga tengah lewat sutura
8

petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung dengan saraf lingualis dan
menghantarkan serabut-serabut sekretomotorik ke ganglion submandibularis dan
serabut-serabut pengecap dari dua pertiga anterior lidah.
4

Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang di sebelah superolateral
menjadi sinus sigmoideus dan lebih ke tangah menjadi sinus transversus. Keduanya
adalah aliran vena utama rongga tengkorak. Cabang aurikularis nervus bagus masuk
ke telinga tengah dari dasarnya. Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis
karotikus. Di atas kanalis ini, muara tuba Eustachius dan otot tensor timpani yang
menempati daerah superior tuba kemudian membalik, melingkari prosesus
koklreariformis dan berinsersi pada leher maleus.
4

Dinding lateral dari telinga tengah adalah dinding tulang epitimpanum di
bagian atas, membran timpani, dan dinding tulang hipotimpanum di bagian bawah.
4

Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium
yang menutupi lingkaran koklea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintasi
promontorium ini. fenestra rotundum terletak di poteroinferior dari promontorium,
sedangkan kaki stapes terletak pada fenestra ovalis pada batas posterosuperior
promontorium. Kanalis falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis terletak di atas
fenestra ovalis mulai dari prosesus kokleariformis di anterior hingga piramid
stapedius di posterior.
4

Rongga mastoid berbentuk seperti piramid berisi tiga dengan puncak
mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah
dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoideus terletak di bawah duramater
pada daerah ini. pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Tonjolan
kanalis semisirkularis lateralis menonjol ke dalam antrum. Di bawah ke dua patokan
ini berjalan saraf fasialis dalam kanalis tulangnya untuk keluar dari tulang temporal
melalui foramen stilomastoideus di ujung anterior krista yang dibentuk oleh insersio
otot digastrikus. Dinding lateral mastoid adalah tulang subkutan yang dengan mudah
dapat dipalpasi di posterior aurikula.
4

Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari
luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga
tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat apda inkus, dan inkus
melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan
koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.
3


Tuba Eustachius
Tuba eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring.
Bagian lateral tuba eutachius adalah bagian yang bertulang sementara dua pertiga
bagian medial bersifat kartilagoginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah
atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya.
Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di
atas otot konstriktor superior. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat dibuka melalui
kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing dipersarafi
pleksus faringealis dan saraf mandibularis.
4
Pada anak, tuba lebih pendek, lebih lebar, dan kedudukannya lebih horizontal
dibandingkan dengan tuba orang dewasa. Panjang tuba orang dewasa sekitar 37,5 mm
dan pada anak di bawah 9 tahun sekitar 17,5 mm (Gambar 3).

Oleh sebab itu, anak-
anak lebih rentan terhadap otitis media.
3

9


Gambar 3. Perbandingan Tuba Eustachius pada Orang Dewasa dan Anak.

Telinga Dalam
Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai
labirin. Derivat vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membran
yang terisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraseluler dalam tubuh yang tinggi
kalium dan rendah natrium. Labirin membran dikelilingi oleh cairan perilimfe (tinggi
natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam kapsula otika bertulang. Labirin tulang
dan membran memiliki bagian vestibular dan bagian koklear. Bagian vestibularis
(pars superior) berhubungan degnan keseimbangan, sementara bagian koklearis (pars
inferior) merupakan organ pendengaran.
4

Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah putaran.
Aksis dari spital tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai
arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina
tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ corti. Rongga
koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya
35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibuli berisi perilimfe dan
dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana Reissner yang tipis. Bagian bawah
adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis
oleh lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilimfe pada kedua skala
berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis
melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema. Membrana basilaris sempit
pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah).
4

Terletak di atas membrana basilaris dari basis ke apeks adalah organ corti,
yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer
pendengaran. Organ corti terdiri dari suatu baris sel rambut dalam (3000) dan tiga
baris sel rambut luar (12.000). Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan
horisontal dari suatu jungkat-jungkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung
saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-
sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang
cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular, dikenal sebagai membrana tektoria.
Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu punggung yang terletak di
medial disebut sebagai limbus.
4

Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus, dan kanalis
semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel
rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus
oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan
dengan berat jenis yang lebih besar dari endolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka
10

gaya dari otolit akan membengkokan silia sel-sel rambut dan menimbulkan
rangsangan pada reseptor.
4

Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga
merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada
bidang yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis
bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu ujung yang
melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut krista. Sel-sel rambut
menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis
semisirkularis akan menggerakan kupula yang selanjutnya akan membengkokan silia
sel-sel rambut krista dan merangsang sel reseptor.
4


II.2 FISIOLOGI TELINGA
Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani dan diteruskan ke telinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran. Energi
getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan
tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan
melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa sehingga akan menimbulkan
gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan
rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.
Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran
(area 39-40) di lobus temporalis.
3

Fisiologi Tuba Eustachius
Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tenah
dengan nasofaring. Fungsi tuba adalah untuk ventilasi, drainase sekret dan
menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke telinga tengah. Ventilasi berguna
untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan
udara laur. Adanya fungsi ventilasi tuba ini dapat dibuktikan dengan perasat Valsava
dan perasat Toynbee.
2

Perasat Valsava dilakukan dengan cara meniupkan dengan kerasa dari hidung
sambil hidung dipencet serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka makan terasa udara
masuk ke dalam rongga telinga yang menekan membran timpani ke arah lateral.
Perasat ini tidak boleh dilakukan apabila ada infeksi pada jalan nafas atas.
2

Perasat Toynbee dilakukan dengan cara menelan ludah sambil hidung dipencet
serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka maka akan terasa membran timpani tertarik ke
medial.
2

Tuba biasanya dalam keadaan tertutup dan baru terbuka apabila oksigen
diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan dan
menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh otot tensor veli palatini apabila perbedaan
tekanan berbeda antara 20-40 mmHg.
2
Sekresi telinga tengah akan dialirkan ke nasofaring melalui tuba eustachius
yang berfungsi normal. Karena selalu tertutup, tuba eustachius dapat melindungi
telinga tengah dari kontaminasi sekresi telinga tengah dan organisme patogenik.
3
11


II.3 PEMERIKSAAN THT

Pemeriksaan Telinga
Alat yang diperlukan untuk pemeriksaan telinga adalah lampu kepala, corong
telinga, otoskop, dan garpu tala.
Pasien duduk dengan posisi badan sedikit condong ke depan dan kepala lebih
tinggi sedikit dari kepala pemeriksa untuk mempermudah melihat liang telinga dan
membran timpani.
Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga (retro aurikuler) apakah
terdapat tanda peradanagan atau sikatriks bekas oeprasi. Dengan menarik daun telinga
ke atas dan ke belakang, liang telinga menjadi lebih lurus dan akan mempermudah
pemeriksa melihat membran timpani. Otoskop digunakan untuk melihat lebih jelas
bagian-bagian membran timpani. Otoskop dipegang dengan tangan kanan untuk
memeriksa telinga kanan dan dipegang dengan tangan kiri untuk memeriksa telinga
kiri. Agar posisi otoskop stabil maka jari kelinking tangan yang memegang otoskop
ditekankan pada pipi pasien.
Uji pendengaran dilakukan dengan garputala dan dari hasil pemeriksaan dapat
diketahui jenis ketulian konduktif atau sensorineural. Uji penala yang sehari-hari
dilakukan adalah Rinne, Weber, dan Swabach.
Uji Rinne dilakukan dengan cara sebagai berikut. Penala digetarkan,
tangkainya diletakkan di prosesus mastoideus, setelah tidak terdengat penala dipegang
di depan liang telinga kira-kira 2,5 cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif,
bila tidak terdengar disebut Rinne negatif.
Uji Weber dilakukan dengan cara menggetarkan penala dan tangkai penala
diletakan di garis tengah kepala. Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada
salah satu telinga disebut Weber laterisasi ke telinga tersebut. Bila tidak terdapat
bunyi yang lebih keras di salah satu telinga disebut Weber tidak ada lateralisasi.
Uji Swabach dilakukan dengan menggetarkan penala dan diletakkan di
prosesus mastoideus pasien sampai tidak terdengar bunyi, kemudian tangkai penala
dipindahkan ke prosesus mastoideus pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila
pemeriksa masih dapat mendengar disebut Swabach memendek, bila pemeriksa tidak
dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya. Bila pasien masih
dapt mendengar maka disebut Swabach memanjang.
5


Pemeriksaan Hidung
Bentuk luar hidung diperhatikan apakah ada deiasi atau depresi tulang hidung.
Apakah ada pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal. Dengan jari dapat
dipalpasi adanya krepitasi tulang hidung pada fraktur os nasal atau rasa nyeri tekan
pada peradangan hidung dan sinus paranasal.
Pemeriksaan rongga hidung bagian dalam dilakukan dengan cara rhinoskopi
anterior menggunakan spekulum hidung. Spekulum dimasukan ke dalam lubang
hidung dengan hati-hati dan dibuka setelah spekulum berada di dalam, dan tetap
dibuka sampai spekulum dikeluarkan dari hidung supaya bulu hidung tidak tercabut.
Yang diperhatikan adalah keadaan vestibulum hidung, septum, konka dan meatus, dan
keadaan mukosa hidung.
Untuk melihat bagian belakang hidung dilakukan pemeriksaan rhinoskopi
posterior sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring. Untuk melakukan pemeriksaan
ini diperlukan spatula lidah dan kaca nasofaring yang telah dihangatkan. Pasien
diminta membuka mulut, lidah dua pertiga anterior ditekan dengan spatula lidah.
12

Pasien diminta untuk bernafas melalui mulut dan kaca nasofaring dimasukan
menghadap ke atas melalui mulut. Setelah kaca berada di nasofaring pasien diminta
bernafas biasa melalui hidung. Diperhatikan keadaan bagian belakang septum dan
koana, konka dan meatus, torus tubarius, muara tuba eustachius, dan fossa
Rossenmuler.
5


Pemeriksaan Tenggorok
Pemeriksaan faring dan rongga mulut dimulai dengan inspeksi keadaan bibir,
mukosa rongga mulut, lidah, dan gerakan lidah. Dengan menekan spatula pada bagian
tengah lidah maka bagian-bagian rongga mulut akan lebih jelas terlihat. Pemeriksaan
dimulai dengan melihat keadaan dinding belakang faring serta kelenjar limfanya,
uvula, arkus faring dan gerakannya, tonsil, mukosa pipi, gusi, dan gigi geligi.
Untuk pemeriksaan hipofaring dan laring pasien duduk lurus agak condong ke
depan dengan leher sedikit fleksi. Pasien diminta membuka mulut dan menjulurkan
lidahnya sejauh mungkin. Lidah dipegang dengan tangan kiri memakai kain kasa dan
ditarik keluar dengan hati-hati. Kemudian kaca laring yang sudah dihangatkan
dimasukan ke dalam mulut dengan arah kaca ke bawah, bersandar pada uvula dan
palatum mole. Melalui kaca dapat dilihat hipofaring dan laring. Untuk menilai
gerakan pita suara aduksi pasien diminta mengucapkan iiii sedangkan untuk menilai
gerakan pita suara abduksi dan melihat daerah subglotik pasien diminta untuk
inspirasi dalam.
5


II.4 DEFINISI OTITIS MEDIA DENGAN EFUSI

Otitis media adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan
inflamasi pada telinga tengah tanpa merujuk pada patogenesis atau etiologi yang
spesifik. Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media dengan efusi
dikarakterisasi dengan efusi nonpurulen di telinga tengah yang dapat berupa mukoid
atau serosa. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis media serosa dan apabila efusi
tersebut kental seperti lem disebut otitis media mukoid (glue ear).
1
Istilah otitis media dengan efusi terbatas pada keadaan dimana terdapat efusi
dalam kavum timpani dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda radang. Bila
efusi tersebut berbentuk pus, membran timpani utuh dan disertai tanda-tanda radang
maka disebut otitis media akut.
2


II.5 PATOFISIOLOGI

Pada dasarnya otitis media efusi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu otitis
media serosa dan otitis media mukoid. Otitis media serosa adalah bentuk yang akut
sementara mukoid adalah bentuk yang kronis. Pada otitis media serosa, sekret terjadi
secara tiba-tiba di telinga tengah dengan disertai rasa nyeri pada telinga, sedangkan
pada keadaan kronis, sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri dengan gejala-
gejala pada telinga yang berlangsung lama.
2

Otitis media serosa terutama terjadi akibat adanya transudat atau plasma yang
mengalir dari pembuluh darah ke telinga tengah yang sebagian besar terjadi akibat
adanya perbedaan tekanan hidrostatik, sedangkan pada otitis media mukoid, cairan
yang ada di telinga tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang
terdapat di dalam mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, dan rongga mastoid. Faktor
yang berperan utama dalam keadaan ini adalah terganggunya fungsi tuba Eustachius.
13

Faktor lain yang dapat berperan sebagai penyebab barotrauma, sinusitis, rinitis,
defisiensi imunologik atau metabolik. Keadaan alergik sering berperan sebagai faktor
tambahan dalam timbulnya cairan di telinga tengah (efusi di telinga tengah).
2

Disfungsi tuba Eustrachius adalah prekursor yang utama. Jika tuba eustachius
tersbumbat, maka akan tercipta keadaan vakum di dalam telinga tengah. Sumbatan
yang lama dapat mengarah pada peningkatan produksi cairan yang semakin
memperberat masalah. Gangguan pada tuba eustachius yang membuat tuba eustachius
tidak dapat membuka secara normal antara lain berupa palatoskisis dan obstruksi tuba,
serta barotrauma.
6

Palatoskisis dapat menyebabkan disfungsi tuba eustachius akibat hilangnya
penambat otot tensor veli palatini. Pada palastokisis yang tidak dikoreksi, otot
menjadi terhambat dalam kontraksinya membuka tuba eustachius pada saat menelan.
Ketidakmampuan untuk membuka tuba ini menyebabkan ventilasi telinga tengah
tidak memadai, dan selanjutnya terjadi peradangan.
6

Obstruksi tuba eustachius dapat disebabkan oleh berbagai keadaan termasuk
peradangan, seperti nasofaringitis atau adenoitis. Obstruksi juga disebabkan oleh
tumor nasofaring. Bila suatu tumor nasofaring menyumbat tua eustachius, temuan
klinis pertama dapat berupa cairan dalam telinga tengah. Obstruksi dapat pula
disebabkan oleh benda asing, misalnya tampon posterior untuk pengobatan epistaksis,
atau trauma mekanis akibat adenoidektomi yang terlalu agresif sehingga terbentuk
parut dan penutupan tuba.
6

Obstruksi mekanik atau fungsional tuba eustachius mengakibatkan efusi
telinga tengah. Obstruksi mekanik instrinsik dapat diakibatkan infeksi atau alergi dan
obstruksi ekstrinsik dari adenoid obstruktif atau tumor nasofaring. Kolaps menetap
tuba eustachius selama menelan dapat mengakibatkan obstruksi fungsional akibat
pengurangan kekakuan tuba, dan mekanisme pembukaan aktif yang tidak efisien, atau
ekduanya. Obstruksi fungsional adalah lazim pada bayi dan anak kecil karena jumlah
dan kekuan kartilago yang mendukung tuba kurang daripada jumlah dan kekakuan
pada anak yang lebih tua dan orang dewasa. Karena tuba Eustachius telibat dengan
otot-otot yang melekat pada palatum lunak dan karena ia merupakan bagian dari dasar
tengkorak, penderita dengan anomali pada daerah ini, seperti palatum lemah dan anak
dengan sindroma Down, mempunyai insiden yang jauh lebih tinggi disfungsi tuba
eustachius dan otitis media kronik dengan efusi.
7

Obstruksi tuba eustachius mengakibatkan tekanan telinga tengah negatif dan,
jika menetap, mengakibatkan efusi telinga tengah transudatif. Drainase efusi dihambat
oleh pengangkutan mukosiliare yang terganggu dan oleh tekanan negatif terus
menerus. Bila tuba eustachius tidak secara total terobstruksi secara mekanik,
kontaminasi ruang telinga tengah dari sekresi nasofaring dapat terjadi karena refluks,
karena aspirasi (dari telingan tengah yang sangat negatif), atau karena peniupan
(insufflasi) selama menangis, peniupan hidung, bersin, dan penelanan bila hidung
terobstruksi. Bayi dan anak kecil mempunyai tuba eustachius yang lebih pendek
daripada anak yang lebih tua dan orang dewasa, yang membuatnya lebih rentan
terhadap refluks sekresi nasofaring ke dalam ruang telinga tengah dan terhadap
perkembangan otitis media akut.
7

Infeksi virus pada saluran pernapasan atas mungkin menyebabkan edema
mukosa tuba eustachius sehingga menyebabkan penambahan disfungsi tuba
eustachius.
7

Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang tiba-
tiba di luar telinga tengah sewaktu di pesawat terbang atau menyelam, yang
menyebabkan tuba gagal untuk membuka. Apabila perbedaan tekanan mencapai 90
14

cmHg, maka otot yang normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada
keadaan ini terjadi tekanan negatif di rongga telinga tengah, sehingga cairan keluar
dari pembuluh darah kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai dengan ruptur
pembuluh darah, sehingga cairan di telinga tengah dan rongga mastoid tercampur
darah.
2

Otitis media efusi dapat didahului dengan otitis media akut. Hal ini disebabkan
oleh sekresi cairan dari mukosa yang terinflamasi. Mukosa telinga tengah
tersensitisasi oleh paparan bakteri sebelumnya, dan melalui reaksi alergi terus
menerus memproduksi sekret. Tetapi otitis media dengan efusi tidak harus selalu
diawali dengan otitis media akut.
1
Patofisiologi otitis media dengan efusi dan hubungnanya dengan penyebab
diringkas dalam skema 1.














Skema 1. Patofisiologi Otitis Media dengan Efusi
2

Sembuh/normal
Efusi OME
Fungsi tuba tetap
terganggu
Infeksi (-)
Tekanan
negatif di
telinga
tengah
Gangguan
tuba
Etiologi:
Perubahan tekanan udara tiba-tiba
Alergi
Infeksi
Sumbatan
OMA
Tuba tetap terganggu
Infeksi (+)
Sembuh OME OMSK
15

II.6 ETIOLOGI

Gangguan fungsi tuba eustachius merupakan penyebab utama. Gangguan tersebut
dapat terjadi pada:
1,2,6

1. Kegagalan fungsi tuba Eustachi. Disebabkan oleh:
a. Hiperplasia adenoid
b. Rinitis kronik dan sinusitis
c. Tonsilitis kronik. pembesaran tonsil akan menyebabkan obstruksi
mekanik pada pergerakan palatum molle dan menghalangi
membukanya tuba eustachius.
d. Tumor nasofaring yang jinak dan ganas. Kondisi ini selalu
menyebabkan timbulnya otitis media unilateral pada orang dewasa.
e. Defek palatum, misalnya celah pada palatum atau paralisis palatum.

2. Alergi
Alergi inhalans atau ingestan sering terjadi pada anak-anak. Ini tidak hanya
menyebabkan tersumbatnya tuba eustachius oleh karena udem tetapi juga
dapat mengarah kepada peningkatan produksi sekret pada mukosa telinga
tengah.

3. Otitis media yang belum sembuh sempurna
Terapi antibiotik yang tidak adekuat pada OMA dapat menonaktifkan infeksi
tetapi tidak dapat menyembuhkan secara sempurna. Akan menyisakan infeksi
dengan grade yang rendah. Proses ini dapat merangsang mukosa untuk
menghasilkan cairan dalam jumlah banyak. Jumlah sel goblet dan kelenjar
mukus juga bertambah.

4. Infeksi virus
Berbagai virus adeno dan rino pada saluran pernapasan atas dapat menginvasi
telinga tengah dan merangsang peningkatan produksi sekret.

Kondisi di bawah ini harus dipertimbangkan saat mengevaluasi pasien dengan
suspel otitis media dengan efusi:
1

Masa nasofaring jinak
Karsinoma nasofaring
Otitis media akut
Hipertrofi adenoid
Defek kongenital apda tuba eustachius
Diskinesia silia
Defisiensi IgG

II.7 EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, infeksi telinga tengah adalah masalah kesehatan utama
yang ditemukan pada bayi dan anak. Suatu survei yang melakukan skrining pada
anak-anak yang sehat usia bayi sampai 5 tahun menunjukkan sebanyak 15-40%
memiliki efusi pada telinga tengah. Studi lain, pada anak yang diperiksa secara
berkala selama 1 tahun, 50-60% peserta dan 25% anak usia sekolah ditemukan efusi
pada telinga tengah, dengan puncak insiden pada musim dingin.
1

16

Antara 84%-93% populasi anak mengalami paling sedikit 1 episode otitis
media akut. Sekitar 80% anak-anak mengalami episode otitis media dengan efusi saat
berusia kurang dari 10 tahun. 5% dari anak-anak usia 2-4 tahun mengalami hilangnya
pendengaran karena efusi telingan tengah yang menetap selama 4 bulan atau lebih.
Prevalensi otitis media dengan efusi didapatkan paling tinggi pada kelompok usia 2
tahun ke bawah, dan menurun secara drastis pada anak di atas 6 tahun.
1

Sebuah studi selama 7 tahun yang dilakukan di Boston menunjukkan frekuensi
otitis media akut. Pada anak kurang dari 1 tahun, 62% mengalami paling tidak 1
episode otitis media akut, dan 17% mengalami 3 atau lebih episode. Pada anak kurang
dari 3 tahun, 83% mengalami paling tidak 1 kali episode otitis media akut, dan 46% 3
episode atau lebih.
1

Pada studi lain, 12,8 juta episode otitis media terjadi pada anak-anak di bawah
5 tahun. Karena paling tidak 30-45% anak-anak dengan otitis media akut mengalami
otitis media dengan efusi setelah 30 hari, dan 10% mengalami otitis media dengan
efusi stelah 90 hari, paling tidak tercatat 4,84 juta episode otitis media dengan efusi
pada tahun tersebut, di antaranya ada 1,28 episode yang persisten sampai 3 bulan atau
lebih.
1


Faktor Predisposisi
Usia
Insidens tertinggi ditemukan pada kelompok usia 6-20 bulan. Setelah usia 2
tahun, insiden otitis media menurun secara progresif, walaupun penyakit ini tetap
umum ditemukan pada anak usia sekolah. Alasan tingginya insiden pada bayi dan
anak-anak meliputi masih belum matangnya sistem imun dan anatomi tuba eustachius
yang lebih lebar, lebih pendek, serta letaknya lebih horizontal.
7


Jenis Kelamin
Walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara prevalensi otitis
media ddngan efusi pada pria dan wanita, tetapi beberapa studi menunjukan bahwa
frekuensi pada pria sedikit lebih banyak.
1


Genetik
Penyakit pada telinga tengah cenderung ditunrunkan di dalam keluarga dan
beberapa studi telah memberi gagasan bahwa ada komponen herediter pada otitis
media. Ditemukan lebih banyak kasus otitis media pada kembar monozigot
dibandingkan dizigot.
7


Status Sosioekonomi
Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya otitis media meliputi
padatnya rumah, minimnya fasilitas sanitasi, status nutrisi yang kurang baik, akses
untuk mendapatkan pelayanan media yang terbatas, dan kurangnya kemampuan untuk
membeli obat.
7


Pemberian ASI
ASI memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap otitis media
dibandingkan dengan susu formula. Pada kelompok dengan status sosiekonomi tinggi,
mungkin tidak didapatlan banyak perbedaan, tetapi pemberian ASI memberikan
manfaat yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan susu formula pada kelompok
status sosiekonomi rendah.
7


17

Paparan Asap Rokok
Studi telah menunjukkan bahwa paparan terhadap asap rokok, termasuk
perokok pasif, meningkatkan keretanan terhadap otitis media.
7

Pajanan dengan Anak yang Sakit
Banyak studi telah menunjukan bahwa ada hubungan yang positif antara
terjadinya otitis media dan keseringan anak berada di dekat anak-anak yang lain,
seperti pada tempat penitipan anak.
1,7


Musim
Pada negara 4 musim, angka kejadian tertinggi otitis media adalah selama
musim dingin dan paling rendah selama musim panas, pola ini sesuai dengan pola
ISPA. Dengan demikian, ada hubungan yang signifikan antara ISPA dan otitis media.

Anomali Kongenital
Otitis media dengan efusi banyak ditemukan pada bayi dengan palatoskisis
yang tidak ditangani, anomali kranial lainnya, dan sindroma Down. Kebanyakan yang
terjadi pada anomali kongenital ini adalah defisiensi fungsi tuba eustachius, yang
mempredisposisi penderita kepada penyakit telinga tengah.
7


Kebiasaan
Menempatkan bayi pada posisi berbaring saat minum ASI atau susu pada
dasarnya meningkatkan resiko otitis media dengan efusi, karena hal tersebut
menyebabkan reflux ke tuba eustachius saat menelan.
1



II.8 GEJALA DAN ANAMNESIS

Otitis media dengan efusi hampir selalu diawali dengan otitis media akut
setelah otitis media akut sembuh. Namun, efusi telinga tengah dapat timbul tanpa
diawali dengan otitis media akut, seperti pada kasus otitis media serosa setelah
barotrauma.
1

Keluhan yang paling sering disampaikan oleh orangtua dari anak yang
menderita otitis meda dengan efusi adalah tanda-tanda penurunan pendengaran,
seperti tidak menjawab ketika dipanggil dan seringkali meminta mengulangi
pembicaraan. Tetapi, tanda ini tidak konsisten dan tidak selalu mengindikasi efusi
telinga tengah.
1

Orang dewasa dengan otitis media efusi mengeluh rasa penuh di telinga
dan/atau rasa tertekan, telinga terasa tersumbat atau pendengaran berkurang. Pasien
jarang mengeluh nyeri.
1

Temuan yang berhubungan pada pengambilan riwayat dapat meliputi riwayat
infeksi saluran nafas bagian atas sebelumnya, riwayat perjalanan dengan pesawat atau
menyelam sebelumnya, atau alergi terhadap alergen di lingkungan.
1
Gejala yang menonjol pada otitis media serosa akut biasanya pendengaran
berkurang. Selain itu pasien juga mengeluh rasa tersumbat pada telinga atau suara
sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda, pada telinga yang sakit. Kadang-kadang
terasa seperti ada cairan yang bergerak dalam telinga pada saat posisi kepala berubah.
Rasa sedikit nyeri dapat timbul pada saat awal tuba terganggu yang menyebabkan
timbulnya tekanan negatif pada telinga tengah (misalnya pada barotrauma), tetapi
setelah sekret terbentuk, pelan-pelan tekanan negatif ini hilang. Rasa nyeri dalam
18

telinga tidak ada jika penyebabnya adalah virus atau alergi. Tinitus dan vertigo
terkadang dapat ditemukan dalam bentuk yang ringan.
2

Perasaan tuli pada otitis media mukoid lebih menonjol oleh karena sekret yang
kental. Seringkali pada anak keadaan ditemukan tidak sengaja saat pemeriksaan THT
rutin.
2


II.9 PEMERIKSAAN FISIK

Otoskopi
Otoskopi pada otitis media serosa terlihat membran timpani retraksi dan utuh.
Kadang-kadang tampak gelembung udara atau permukaan cairan di dalam kavum
timpani. Otoskopi pada otitis media mukoid terlihat membran timpani utuh, retraksi,
suram, kuning kemerahan atau keabu-abuan (Gambar 4). Tidak terdapat tanda-tanda
radang pada membran timpani.
1,2



Gambar 4. Perbandingan Membran Timpani pada Telinga Normal dan Otitis Media dengan
Efusi.

Tes Penala
Hasil tes penala sesuai dengan tuli konduktif, yaitu Rinne negatif, Weber
laterisasi ke telinga yang sakit, Schwabach memanjang.

Pemeriksaan Hidung dan Tenggorok
Tekadang, hipertrofi tonsilar juga dapat ditemukan. Lebih sering didapatkan
hipertrofi adenoid, terutama pada pasien dengan kondisi yang rekuren. Tumor
nasofaring mungkin ditemukan.
Temuan lainnya dapat meliputi hidung tersumbat, post nasal drip, rinorea, dan
mata gatal dan berair, sesuai dengan tanda infeksi saluran nafas atas atau alergi
lingkungan.


19

II.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium jarang digunakan untuk menunjang diagnosis otitis
media dengan efusi, kecuali ada kecurigaan terhadap penyakit lain. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik sudah cukup sensitif dan spesifik untuk menunjang diagnosis otitis
media dengan efusi. Namun beberapa modalitas di bawah dapat digunakan.
1


Timpanometri
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah.
Timpanometri merupakan alat pengukur tak langsung dari kelenturan (gerakan)
membran timpani dan sistem osikular dalam berbagai kondisi tekanan positif, normal,
atau negatif. Energi akustik tinggi dihantarakan pada telingan melalui suatu tabung
tersumbat; sebagian diabsorpsi dan sisanya dipantulkan kembali ke kanalis dan
dikumpulkan oleh saluran kedua dari ujung tabung tersebut. Jika telinga normal, besar
energi yang dipantulkan tersebut lebih kecil dari energi insiden. Sebaliknya bila
telinga terisi cairan, atau bila gendang telinga menebal, atau sistem osikular menjadi
kaku, maka energi yang dipantulkan akan lebih besar dari telinga normal. Dengan
demikian jumlah energi yang dipantulkan makin setara dengan energi insiden.
Hubungan ini digunakan sebagai saranan pengukur kelenturan.
6

Timpanogram adalah suatu penyajian berbentuk grafik dan kelenturan relatif
sistem osikular sementara tekanan udara liang telinga diubah-ubah (Gambar 5).

Gambar 5. Timpanogram

Tipe A (timpanogram normal). Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat
tekanan udara sekitar, memberi kesan tekanan udara di dalam telinga tengah yang
normal.
6

Tipe B. Timpanogram relatif datar atau berbentuk kubah memperlihatkan
sedikit perubahan dalam kualitas pemantul sistem timpano-osikular dengan perubahan
tekanan udara dalam liang telinga. Timpanogram tipe B dihubungkan dengan cairan
di dalam telinga tengah, gendang telinga yang menebal, atau sumbatan serumen.
6

Tipe C. kelenturan maksimal terjadi pada tekanan ekivalen negatif lebih dari
100 mmH2O pada liang telinga. Pemeriksaan otoskop biasanya memperlihatkan
retraksi membran timpani dan mungkin juga cairan dalam telinga tengah.
6
Adanya efusi pada telinga tengah akan memperlihatkan timpanogram tipe B,
sementara adanya tekanan negatif pada telinga tengah memperlihatkan timpanogram
tipe C. Tipe B dapat timbul pada otitis media dengan efusi dimana efusi masih banyak
terkumpul di telinga tengah. Tipe C didapatkan pada fase resolusi dari otitis media
dengan efusi dan pada disfungsi tuba Eustachius.
8
Timpanogram tipe B didapatkan
pada 43% kasus otitis media dengan efusi dan tipe C pada 47% kasus.
1



20

Studi Radiologik
Computed tomography (CT-scan) dan magnetic resonance imaging (MRI)
sangat sensitif dan tidak dibutuhkan untuk menegakan diagnosis. Namun, kedua
modalitas ini dapat berguna untuk mendeteksi masa nasofaring pada pasien dewasa
dengan otitis media dengan efusi unilateral. MRI memiliki keunggulan untuk melihat
batas-batas jaringan lunak dengan lebih tepat, dan CT scan memiliki keunggulan
untuk menggambarkan anatomi tulang dengan lebih spesifik.
1


II.11 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding otitis media dengan efusi adalah otitis media akut stadium
oklusi.
Yang membedakan otitis media akut dengan otitis media efusi adalah, adanya
infeksi bakteri pada otitis media akut dan adanya tanda-tanda radang pada membran
timpani pada otitis media akut yang tidak dijumpai pada otitis media efusi. Perbedaan
lainnya adalah, cairan pada otitis media akut berupa cairan supuratif, sementara pada
otitis media efusi cairannya berupa non supuratif.
Namun pada otitis media akut stadium oklusi, gambaran membran timpani
adalah retraksi karena adanya tekanan negatif di dalam telinga tengah akibat absorpsi
udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal atau berwarna keruh pucat.
1

Pada otitis media dengan efusi dapat dilihat air-fluid level atau gelembung
udara pada membran timpani yang dapat membantu membedaknnya dengan otitis
media akut stadium oklusi.
7

Dari anamnesis, otitis media akut seringkali didahului oleh ISPA dan
merupakan keadaan yang akut. Sementara otitis media efusi yang bukan disebabkan
oleh barotrauma lebih merupakan keadaan yang kronis. Kehilangan pendengaran pada
otitis media efusi lebih menonjol daripada otitis media akut stadium oklusi.

II.12 PENATALAKSANAAN

Farmakoterapi
Penatalaksanaan famakologik untuk otitis media dengan efusi meliputi
pemberian steroid, antihistamin dan dekongestan, dan mukolitik.

Steroid
Beberapa klinisi mengusulkan pemberian kortikosteroid untuk mengurangi
respon inflamasi di kompleks nasofaring-tuba Eustachius dan menstimulasi agent-
aktif di permukaan tuba Eustachius dalam memfasilitasi pergerakan udara dan cairan
melalui tuba Eustachius. Pemberian dapat berupa kortikosteroid oral atau topikal
(nasal), ataupun kombinasi.
1


Antihistamin dan Dekongestan
Kongesti nasal, rinorea, dan sinusitis seringkali menyertai otitis media dengan
efusi, dan anthistamin dan dekongestan dapat diberikan untuk meredakan gejala
tersebut. Pemberian terapi ini terutama berguna jika penyebab utamanya adanya
alergi. Antihistamin mencegah degranulasi sel mast dan mencegah pelepasan histamin
yang dapat menyebabkan udem mukosa dan peningkatan produksi mukus.
1



21

Mukolitik
Dimaksudkan untuk merubah viskoelastisitas mukus telinga tengah untuk
memperbaiki transport mukus dari telinga tengah melalui tuba eustachius ke
nasofaring. Namun demikian mukolitik ini tidak memegang peranan penting dalam
pengobatan otitis media dengan efusi.
9


Terapi Bedah
Indikasi Bedah
Tindakan bedah telah diterima sebagai intervensi terapetik untuk otitis media
dengan efusi, dan terbukti efektif. Intervensi ini meliputi miringotomi dengan atau
tanpa pemasangan pipa ventilasi, adenoidektomi, atau keduanya. Tonsilektomi tidak
terlalu memberi manfaat sebagai terapi otitis media dengan efusi.
1

Indikasi untuk intervensi bedah masih kontroversial, seperti dengan semua
pembedahan, keuntungan bagi pasien harus lebih besar dari resiko dan kerugian yang
ditanggung.
1

Sebelumnya, intervensi bedah dilakukan jika efusi bertahan lebih dari 3 bulan.
Namun, sebuah studi menunjukkan, pada tidak adanya hilang pendengaran yang
signifikan, anak-anak yang hanya diobservasi dibandingkan dengan yang menerima
pipa ventilasi tidak memiliki perbedaan peningkatan kualitas hidup yang bermakna.
Karena itu, jika ambang batas dengar masih 20 dB, observasi menjadi pilihan.
Namun, hanya 30% pasien yang memiliki otitis media dengan efusi selama 3 bulan
akan sembuh selama 12 bulan ke depan, karena itu, monitor ambang dengar tetap
dibutuhkan.
1

Untuk pasien dengan hilang pendengaran dan otitis media dengan efusi,
hilangnya pendengaran 40 dB atau lebih adalah inidkasi absolut untuk dilakukan
pemasangan pipa ventilasi. Hilang pendengaran di rentang 21-40 dB adalah indikasi
relatif.
1


Miringotomi
Jika miringotomi dilakukan tanpa pemasangan pipa ventilasi, prosedur ini
tidak terlalu berguna untuk anak-anak. Miringotomi dan aspirasi dapat berguna untuk
orang dewasa sementara terjadi penyembuhan telinga tengah. Miringotomi dan
pemasangan pipa ventilasi dilakukan pada otitis media dengan efusi kronik. Berkat
pemasangan pipa ventilasi, terjadi penyamaan tekanan dan drainase. Biasanya, pipa
akan lepas sendiri selama 9-12 bukan setelah pemasangan. Otorea persistem adalah
komplikasi yang paling sering terjadi, timbul pada sekitar 15% pasien dan menetap
selama 1 tahun pada 5%. Komplikasi yang paling sering kedua adalah
timpanoskelrosis. Perforasi persisten adalah komplikasi ketiga yang paling sering
terjadi (timbul pada kurang lebih 2%), perforasi persisten meningkat apabila pipa
ventilasi tidak lepas lebih dari 18 bulan. Komplikasi lainnya yang mungkin terjadi
adalah formasi jaringan granulasi, kolesteatoma, dan tuli sensorineural.
1


Adenoidektomi
Walaupun edenoidektomi adalah terapi utama pada otitis media dengan efusi
akibat obstruksi oleh dhipertrofi adenoid, namun prosedur miringotomi dan
pemasangan pipa lebih mudah dan resikonya lebih rendah. Komplikasi adenoidektomi
meliputi perdarahan (0,4%) dan terbentuknya jaringan parut pada torus tubarius.
Indikasi untuk adenodektomi meliputi: (1) hipertrofi adenoid, (2) untuk meningkatkan
fungsi tuba eustachius, (3) menghilangkan sumber infeksi di orifisium tuba.
1

22

Hipertrofi adenoid dapat mengoklusi nasofaring dan koana dan menyebabkan
tekanan pada nasofaring selama menelan dan dapat menyebabkan refluks pada tuba,
selain itu adenoid dapat mengobstruksi orifisium tuba dan menurunkan fungsi tuba.
Alasan lain untuk dilakukan adenoidektomi adalah menghilangkan sumber infeksi.
Jika dilakukand engan benar, adenoidektomi dapat membuat mukosa nasofaring
mulus dan menurunkan kolonisasi bakteri.
1

Anak-anak dengan abnormalitas kraniofasial dan neurologis memerlukan
terapi yang lebih agresif. Kriteria ambang dengar 20 dB tidak dapat digunakan pada
pasien ini.
9


Perubahan Gaya Hidup dan Pencegahan
Modifikasi gaya hidup berikut ini dapat membantu menurunkan frekuensi
otitis media dengan efusi: menghindari merokok pasif, memberikan ASI dan
menghindari pemberian ASI atau makanan sembari berbaring.
Bayi yang mendapatkan ASI memiliki resiko yang lebih rendah untuk
mengalami otitis media akut dan otitis media dengan efusi. Menempatkan bayi pada
posisi berbaring pada dasarnya meningkatkan resiko otitis media dengan efusi, karena
hal tersebut menyebabkan reflux ke tuba eustachius saat menelan.
1


II.13 KOMPLIKASI

Komplikasi otitis media dengan efusi dapat meliputi:

Tuli Konduktif dan Keterlambatan Perkembangan Bahasa dan Wicara
Otitis media dengan efusi terutama berhubungan dengan hilangnya
pendengaran. Secara rata-rata hilangnya pendengaran ini ringan dan tidak terlalu
mengganggu kehidupan. Namun, Rosenfeld dan kolega (1996) mendemonstrasikan
bahwa anak-anak dengna otitis media efusi mengalami kesulitan dalam mengenali
kata-kata pada volume percakapan biasa. Anak-anak dengan otitis media kronik yang
diterapi dengan miringotomi dan pemasangan pipa ventilasi mengalami perbaikan
dalam kemampuan bahasa.
9


Tuli Sensorineural
Prostaglandin dan leukotriens didapatkan dengan konsentrasi tinggi pada efusi
telinga tengah dan dapat memasuki tingkap bulat. Paparan kronik terhadap metabolit
ini dapat menyebabkan tuli sensorineual temporer dan kadang-kadang permanen.
1


Disfungsi Vestibular
Casselbrant dan kolega (1995) mendemonstrasikan bahwa anak-anak dengan
otitis media efusi mengalami goyangan yang lebuh signifikan pada tes postugrafi
dibandingkan anak normal. Anak-anak dengan otitis media efusi juga terlihat lebih
bergantung pada pengelihatan untuk keseimbangan dibandingkan anak yang sehat.
Casselbrant dan kolega (1998) juga menunjukkan adanya abnormalitas vestibular
yang menetap pada kelompok anak yang pernah mengalami otitis media dengan efusi
yang telah sembuh saat pemeriksaan. Hal ini mengindikasikan adanya efek yang
berkepanjangan pada labirin vestibular pada pasien otitis media dengan efusi.
9

Beberapa studi menunjukkan perbaikan fungsi vestibuler setelah pemasangan
pipa ventilasi. Casselbrant dan kolega (1995) menunjukkan adanya perbaikan yang
siginifikan di dalam tes posturografi setelah pipa ventilasi dipasang.
9


23

Perubahan Struktur dan Fungsi Telinga
Otitis media dengan efusi adalah proses inflamasi yang berhubungan dengan
infiltrat makrofag, sel fibroblas, dan neutrofil (Ruah et al, 1992). Inflamasi kronik
menyebabkan penipisan lapisan fibrosa pada membran timpani dan menyebabkan
timpanosklerosis, suatu proses yang ditandai dengan formasi plak pada lapisan
submukosa telinga tengah. Plak ini dapat menyebabkan limitasi gerakan osikular yang
menyebabkan tuli konduktif. Disfungsi tuba eustachius yang berhubungan dengan
otitis media dengan efusi kronik dikombinasi dengan atelektasis membran timpani
dapat menyebabkan masalah yang lebih signifikan seperti otitis adesiva, erosi
osikular, dan kolesteatoma.
9


II.14 PROGNOSIS

Otitis media dengan efusi adalah penyebab utama hilangnya pendengaran pada
anak-anak. Kondisi ini berhubungan dengan keterlambatan bicara pada anak di bawah
usia 10 tahun. Hilangnya pendengaran biasanya konduktif, namun otitis media dengan
efusi juga berhubungan dengan tuli sensorineural.
1

Secara umum, prognosis dari otitis media dengan efusi adalah baik.
Kebanyakan episode dapat sembuh tanpa intervensi. Tetapi, 5% anak-anak yang tidak
ditangani secara bedah mengalami otitis media efusi persisten selama 1 tahun.
Intervensi bedah secara signifikan meningkatkan pembersihan efusi telinga tengah
pada populasi ini, namun kegunaan untuk perkembangan bahasa dan bicara dan
kualitas hidup masih kontroversial.
1


24

BAB III. PENUTUP

KESIMPULAN
Istilah otitis media dengan efusi terbatas pada keadaan dimana terdapat efusi dalam
kavum timpani dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda radang.
1
Disfungsi tuba
Eustrachius adalah prekursor yang utama. Jika tuba eustachius tersbumbat, maka akan
tercipta keadaan vakum di dalam telinga tengah. Sumbatan yang lama dapat mengarah pada
peningkatan produksi cairan yang semakin memperberat masalah. Gangguan pada tuba
eustachius yang membuat tuba eustachius tidak dapat membuka secara normal antara lain
berupa palatoskisis dan obstruksi tuba, serta barotrauma.
3
Penyakit yang berhubungan dengan
otitis media efusi adalah hiperplasia adenoid, rinitis kronik dan sinusitis, tonsilitis kronik,
tumor nasofaring, defek palatum, alergi, otitis media yang belum sembuh sempurna, serta
infeksi virus. Faktor resiko adalah usia di bawah 2 tahun, genetik, status sosioekonomi redah,
tidak mendapatkan ASI, minum dan makan sambil berbaring, paparan terhadap asap rokok,
pajanan dengan anak lain yang sakit, musim dingin, dan anomali kongenital seperti
palastokisis dan Sindroma Down.
1,7

Gejala yang menonjol pada otitis media serosa akut biasanya pendengaran berkurang.
Selain itu pasien juga mengeluh rasa tersumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar lebih
nyaring atau berbeda, pada telinga yang sakit. Kadang-kadang terasa seperti ada cairan yang
bergerak dalam telinga pada saat posisi kepala berubah. Rasa nyeri jarang ditemukan. Tinitus
dan vertigo terkadang dapat ditemukan dalam bentuk yang ringan.
2

Otoskopi pada otitis media serosa terlihat membran timpani retraksi dan utuh.
Kadang-kadang tampak gelembung udara atau permukaan cairan di dalam kavum timpani.
Otoskopi pada otitis media mukoid terlihat membran timpani utuh, retraksi, suram, kuning
kemerahan atau keabu-abuan. Tidak terdapat tanda-tanda radang pada membran
timpani.
1,7
Hasil tes penala sesuai dengan tuli konduktif, yaitu Rinne negatif, Weber laterisasi
ke telinga yang sakit, Schwabach memanjang. Pada pemeriksaan fisik mungkin dapat
ditemukan gejala dari penyakit yang mendasari disfungsi tuba eustachius. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah timpanometri dan didapatkan tipe B atau C.
Farmakoterapi meliputi pemberian steroid, antihistamin dan dekongestan, dan
mukolitik. Sementara terapi bedah meliputi miringotomi dan pemasangan pipa ventilasi dan
adenoidektomi.
1

Komplikasi berupa tuli konduktif yang dapat menyebabkan keterlambatan
perkembangan bahasa pada anak, tuli sensorineural, disfungsi vestibular, dan perubahan
struktur dan fungsi telinga.
9

Secara umum, prognosis dari otitis media dengan efusi adalah baik. Kebanyakan
episode dapat sembuh tanpa intervensi. Intervensi bedah secara signifikan meningkatkan
pembersihan efusi telinga tengah pada populasi ini, namun kegunaan untuk perkembangan
bahasa dan bicara dan kualitas hidup masih kontroversial.
1



25

DAFTAR PUSTAKA

1. Thasher RD, Meyers AD. Otitis media with effusion. [Jurnal]. 15 Juni 2009. Diunduh
dari http://emedicine.medscape.com/article/858990-medication#showall. Pada tanggal
25 April 2013.
2. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (Editor). Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Ed. 7. Jakarta: FK UI. 2012. P. 67-9.
3. Bashiruddin J, Hendarmin H, Soetirto I. Gangguan pendengaran (Tuli). Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (Editor). Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Ed. 7. Jakarta: FK UI. 2012. P. 10-4.
4. Liston SL, Duvall AJ. Embriologi, anatomi, dan fisilogi telinga. Dalam: Adams GL,
Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Ed. 6. Jakarta:EGC. 1997. P.
27-38.
5. Soepardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (Editor). Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Ed. 7. Jakarta: FK UI. 2012. P. 2-6.
6. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid. Dalam:
Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Ed. 6.
Jakarta:EGC. 1997. P. 90-9.
7. Kerscher JE. Otitis media. In: Kliegman, Behrman, Janson, Stanton. Nelson Textbook
of Pediatrics. 18
th
Ed. Philadelphia: Elsevier inc; 2007: part I. Chapter 639.
8. Lucile Packard Childrens Hospital. How to interpret the tympanogram. [Journal].
Diunduh dari
http://peds.stanford.edu/Rotations/continuity_clinic/documents/CCC_How_to_Interpr
et_the_Tympanogram.pdf. Pada tanggal 25 April 2013.
9. Belmont MJ. Watchful waiting for otitis media with effusion. In: Advanced Therapy
in Otitis Media. Ontario: Bc Decker. 2004. P. 171-3. Chapter 33.

Anda mungkin juga menyukai