Anda di halaman 1dari 2

Tabaruk Budaya, Beribadah Lewat Seni dan Sastra

Malam mulai merambat, bada salat tarawih, satu persatu undangan mulai berdatangan di
salah satu rumah kos sederhana yang terhimpit bangunan acak di kota Malang. Wajah mereka
tampak sumringah, bersemangat memenuhi undangan si empunya rumah. Tak kalah bersemangat,
pemilik acara menyambut dan menyalami mereka satu persatu. Menunggu acara dimulai, undangan
disuguhi rembulan yang berbinar bundar di gelap langit. Penata lampu sedang sibuk mengutak atik
komposisi warna lampu panggung yang pas, Sederet lukisan hasil karya entah siapa terpajang apik
menghias sepotong tembok yang masih utuh di ruang terbuka itu. Semilir angin, suara jangkrik
bahkan kucing begitu alami menemani dimulainya acara.
Langit semakin pekat, acara tabaruk budaya yang secara harfiah dapat diartikan sebagai
keberkatan, dimulai. Diawali dengan penampilan sekelompok pemuda asal Mojokerto. Jauh-jauh
dari Mojokerto, mereka menggebrak malam yang dingin dengan lagu percintaan. Penonton yang
telah menunggu cukup lama menghangat. Mengikuti irama dan lirik lagu yang mereka bawakan.
Satu per satu mereka berkenalan, bercerita sambil mendengarkan lagu kedua, lagu rohani yang
dibawakan. Sayang, penampilan kelompok music ini kurang lepas. Beberapa kali suara tidak
terdengar hingga belakang. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh lokasi acara yang berada di antara
perkampungan penduduk, sehingga takut mengganggu penduduk.
Penampil kedua, tidak kalah membakar hangatnya malam kota Malang yang seharusnya
dingin. Di depan podium yang disiapkan panitia, klimaks acara justru pada penampil kedua.
Membawakan dua buah puisi bertajuk masa dan takut puisi. Puisi pertama, Masa bercerita
tentang perjalanan hidup manusia. Awal mula manusia dicipta. Masa atau waktu mengingatkan
manusia bagaimana ia dicipta. Betapa Sang Maha Kuasa berkuasa atas diri manusia, namun
mengapa manusia begitu congkak, sombong, merasa tidak ada yang lebih atas dirinya. Lantas
seluruh manusia yang semasa hidupnya berjalan di kesombongan, tersentak kaget ketika kiamat
datang, gunung-gunung berterbangan. Sesungguhnya, kepada Sang Penciptalah manusia kembali.
Pembacaan puisi kedua, berjudul takut puisi. Perenungan penulis menyikapi rasa kagum
tertuang dalam puisi ini. Pembaca yang sekaligus penulis puisi mempermainan emosi sekaligus
menyajikan pemikiran baru. Hampir setiap penyair di muka bumi pernah menulis tentang Tuhan.
Tuhan adalah tumpuan. Tak ada tempat lain yang lebih aman selain mengadu kepada Tuhan.
Berbeda dengan Frederich Nietzche yang mempertanyakan eksistensi Tuhan dalam kehidupan
manusia, penulis kali ini begitu memuja Tuhan. Ia bacakan penuh penghayatan. Pada dasarnya, puisi
mempunyai nilai seni apabila pengalaman jiwanya dapat dijelmakan ke dalam kata. Semakin tinggi
pengalaman jiwanya, maka semakin tinggi pula nilainya. Pengalaman spiritual yang telah dialami
oleh penulis sekaligus pembaca puisi beragam. Pada dasarnya setelah melewati kekosongan,
setiap manusia akan kembali mencari Tuhan.
Diselingi guyonan dan cengkrama sana-sini, secara mengejutkan pemilik acara memanggil
pengisi acara selanjutnya secara acak. Seluruh undangan yang hadir, mau tidak mau, suka tidak suka
harus telah bersiap menampilkan sesuatu. Kali ini, giliran si pembawa cerita yang mendapat
keberuntungan. Rupanya ia telah siap. Mulanya biasa saja, ia mencoba mengawali cerita dengan
melempar guyonan-guyonan terhadap si empunya hajat. Diselingi petikan gitar dari sang suami, ia
mengawali. Cerita yang sederhana sebetulnya, tentang masa kecil saat ramadhan yang begitu biasa
terjadi di semua keluarga. Hal yang membedakan adalah, ramadhan setelahnya tidak lagi sama.
Ibunda yang ada dalam cerita telah dipanggil Sang Kuasa. Pelajaran yang berharga, selagi orang tua
masih ada, manfaatkan waktu sebaik-baiknya. Entah karena pesona pencerita, atau karena cerita
yang sederhana itu diakhiri dengan, seluruh undangan terdiam menyimak hingga cerita usai.
Ibadah berlanjut, tabaruk budaya terus berjalan seakan lupa denting malam telah mengalun.
Malam yang khidmad, di bulan ramadhan. Tarawih telah usai sedari tadi. Hampir tengah malam,
grup sholawat yang terdiri atas beberapa laki-laki beraksi. Tidak banyak kata, tidak banyak cerita.
Inilah titik temu antara ibadah, seni, dan sastra. Memuja-muji Tuhan dengan puisi, cerita, dan lagu-
lagu sholawatan. Tidak ada yang tertawa, bercanda seperti sebelum-sebelumnya. Skral malam
berhasil membungkam tamu undangan. Semua tercurah hanya kepada junjungan.
--------------------------------------------------CUTHEL :D ------------------------------------------------------

Anda mungkin juga menyukai