Anda di halaman 1dari 6

Akal

LELAKI ITU TERTAWA. Kegelian merasuk. Suara kekeh terdengar. Kepala dan punggungnya tergerak-
gerak mengikuti alur tawa. Lucu di atas alun bayang sendiri. Namun kemudian, tiba-tiba, tawanya
terhenti. Wajahnya terkurung kemarahan yang menyerbu. Matanya nanar. Liar berbinar di seputar
ruang. Tubuh yang duduk di kursi serentak terangkat. Bangkit. Berdiri berdecak pinggang. Kemarahan
kebencian meletup-letup.
Mana tuh si Iwan kalau berani! teriaknya lantang. Wajahnya merona merah. Bibirnya tergetar. Binaran
sinar mata, menyala. Mengesankan kegarangan yang nyata. Apa dikiranya aku takut?! ucapnya masih di
dalam lengkingan suara.
Aku lelaki. Tak ada rasa takut dalam diriku. Mata liarnya melorok-lirik penuh kebencian ke sekitar.
Seolah mencari dan ingin mendapatkan sosok tubuh yang bernama Iwan. Agar dikerumus, dicengkeram,
dihantam berkali-kali.
Tapi aneh. Sekejap wajahnya berubah. Menggambarkan parang di tangan Iwan yang siap diayunkan ke
kepala, membuatnya menjadi takut.
Teriaknya membahana. Wajah marahnya berganti cemas yang amat sangat. Ketakutan terlihat di
mimiknya. Titik-titik keringat menyerbu. Kaki dan tubuhnya bergerak melesat. Kedua tangan
dipancangkan ke depan wajah. Seolah mengelak dari hantaman parang. Secepat kilat berlari.
Langkah seribunya bergerak melompat.
Sebaiknya aku sembunyi. Sebelum parang si Iwan menebas leherku.
Dan tubuh itu terlihat sembunyi. Berlindung di sebuah pohon besar yang terdapat di situ. Menghimpit di
kerindangan dau-daun. Tangan mencengkeram batang pohon. Mata nanar. Liar berpendar ke sekeliling.
Wajah terbauri ketakutan yang amat sangat!
***
IA BERUMUR EMPAT PULUHAN. Tinggal sendiri di rumah peninggalan orang tua, tanpa seorang pun
mendampingi. Kadang-kadang, beberapa hari lantai rumah tak sempat disapu dan dipel. Bahkan sprei
alas tidur sering kumal. Lama tak tercuci, berbau apek. Begitupula sarung bantal dan guling. Ketika
meletakkan kepala, kedua tangan memeluk bantal guling, yang terasa hanyalah bau tak sedap
menyengat hidung. Mengganggu pernafasan. Tapi apa mau dikata, sampai umur seperti itu, ia belum
juga menemukan jodoh. Mendapatkan istri pendamping sebagai teman hidup.
Kegagalan dan kesepian, sering mengurungnya dalam tanya yang dimanja:
Kenapa begini? Kenapa begitu? Kenapa harus merasakan derita dan kesusahan? Kenapa mati? Kenapa
orang tuaku meninggalkanku? Kenapa sendiri? Kenapa orang tak ada yang mencintaiku? Apalagi
kemudian, bilamana teringat ibu, orang terakhir yang mendampingi setelah kematian ayah, hatinya
semakin pilu. Berdosa dan menyesal, karena tak sanggup mengurus dan merawat ibu, terhadap penyakit
yang diderita, membuatnya terbebani.
Rumah sakit, dokter, obat, lain sebagainya, terlalu mahal. Tak bisa ditanggulangi. Biayanya tinggi. Dan ia
sebagai seorang sarjana yang belum mendapatkan kerja, tentu saja tak sanggup memikul tanggung-
jawab itu.
Tapi, dengan adanya informasi tentang surat keluarga miskin, ia pun bersemangat mendapatkan.
Mencari dan berusaha. Namun prosedur yang banyak memakan waktu, menyita tenaga, urus ini minta
itu, membuat ibunya tak sanggup lagi menunggu. Meninggal sebelum bisa dibawa ke rumah sakit, dan
diterima dengan surat keluarga miskin tersebut!
***
Konon, ibu yang sangat menyayangi itu, telah berjuang menyekolahkan. Membanting tulang dengan
berdagang barang pecahbelah, hanya karena ingin ia menjadi seorang sarjana. Mendapatkan pekerjaan,
menjadi orang terpandang dan bahagia. Bukan orang miskin yang hidupnya melarat dan menderita.
Tapi keinginan itu tidak terlaksana. Pekerjaan tak kunjung dapat. Walau ia telah menjadi sarjana.
Dan si ibu merasa kecewa. Hatinya miris sekali.
Kenapa sih Nak, sekian lama jadi sarjana, kok kamu masih belum juga bekerja? Masih kluyuran malam-
malam dengan teman? tanyanya saat itu pada sang putra.
Ah Ibu, siapa sih yang tidak mau bekerja? Siapa sih yang mau kluyuran malam-malam tanpa tujuan dan
arti?
Memang, perginya ia di malam hari, setelah berkali-kali mengirim surat lamaran dan mendatangi kantor-
kantor di siangnya, dan tidak berhasil, adalah dalam rangka mencari kerja. Apakah ke kafe ataukah ke
klub malam. Bukankah ia harus menggunakan setiap kesempatan dan peluang? Tak hanya mengharap
kerja di kantor, dan perusahaan belaka? Apalagi kata orang, ia memiliki sedikit kebisaan di dalam
menyanyi. Suaranya lumayan. Tidakkah banyak penyanyi berhasil mengumpulkan uang, jika sudah
terkenal dan digemari orang? Karir sebagai penyanyi dan pemain sinetron sekarang ini, bukankah sangat
sekali didambakan orang?
Semua orang pasti mau mendapatkan kerja Bu. Orang malas tak bertanggung-jawab saja barangkali
yang tidak, katanya lagi ketika itu.
Tapi bukankah kau sarjana, Nak? Si ibu penasaran. Tak percaya kalau seorang sarjana tidak
mendapatkan kerja.
Ia tersenyum. Kegetiran nyata di bibirnya. Kepahitan terasa di hatinya.
***

Banyak orang berharap, dengan pendidikan tinggi, sebagai sarjana, mudah mendapatkan pekerjaan.
Tapi mereka lupa, ini adalah negeri dengan segala macam keruwetan. Kesusahan, penderitaan,
kejahatan. Di samping tentunya, segala macam kesenangan, kemewahan dan kebejatan.
Kenapa bisa begini? kadang orang suka digelitik tanya.
Tetapi, kenapa pula harus bertanya? Bukankah fenomenanya mudah terlihat dan terdengar? Diketahui?
Koruptor, penjilat, pemimpin tak pegang amanat, haus kekuasaan, kedudukan, harta, tak segan-segan
melakukan perbuatan licik, perpecahan di sana sini, teror, keributan, fitnah, penyogokan, yang
orientasinya demi kepentingan diri, kelompok, golongan, suku, bangsa, ras, mazhab, dan sebagainya,
bukankah demikian banyak? Hawa nafsu menjadi raja!
***
INI BERIMBAS PADA LAKI-LAKI ITU. Yang ditanya ibu mengenai pekerjaan, namun tidak juga diperoleh,
meski berstatus sarjana. Sedang sang ibu telah banyak menguras tenaga, waktu dan uang, demi
menyekolahkan sampai ke Perguruan Tinggi. Menjadikannya sebagai sarjana!
Zaman sekarang Bu, orang harus punya uang dulu untuk mencari pekerjaan. Buat pelicin. Kalau tidak
ada uang, ya temanlah. Atau koneksi, katanya menjawab pertanyaan. Kalau tidak ada juga, ya susah
Bu. Orang gak mau kasih kerja.
Kenapa mesti begitu, Nak?
Ya sudah begitu, Bu. Ini zaman kapitalis. Zaman persaingan dan pergulatan. Banyak seteru. Banyak
kepentingan. Banyak kebohongan dan tipuan.
Kapitalis? sang Ibu heran tak mengerti. Hingga keningnya yang tua semakin berkernyit. Membentuk
garis mengerut.
Melihat ibunya bingung, ia lalu menjelaskan:
Kapitalis itu orang yang punya modal, Bu. Modal uang, modal kesempatan, modal kedudukan, modal
jabatan, modal keberanian, modal kenekatan, modal dengkul, yah macam-macam modal lah, Bu,
katanya seperti kesal. Sehingga sang ibu menjadi bingung tak mengerti.
Ah pusing ah. Ibu tak ngerti, ucapnya seraya mengakhiri percakapan sambil berdiri dan beranjak pergi.
Yang penting Nak, kau harus cari kerja terus, ya? Jangan putus asa. InsyaAllah dapat, lanjut ibunya
seraya melangkah ke dapur. Menyiapkan makan malam untuk mereka santap. Walau nasinya hanya
berteman sayur bening dan tempe goreng, tapi bagi orang seperti mereka, itulah makanan terlezat.
Karena untuk mendapatkan makanan serupa itu saja, sangat susah dan sulit di negeri yang penuh
dengan pengangguran ini!
***
BEGITULAH. Ibu meninggal. Ia belum juga mendapatkan pekerjaan. Dan segala sesuatu tentang ibu,
sangat membebani pikirannya. Terutama sekali ketidakberdayaan membahagiakan ibu dalam hal materi
selagi hidup. Di samping masalah teman pendamping yang bisa menemani, menghibur diri, mengurus
rumahnya, yang tidak juga didapatkan.
***
KETIKA ITU, Iwan, pemuda yang baru dikenal saat ia sedang mengamen dan bernyanyi di sebuah
restoran, mengajaknya ke pesta ulang tahun. Katanya, barangkali saja bisa memperoleh pekerjaan. Di
sana ada band yang akan menghibur tamu-tamu.
Kau bisa nyumbang lagu. Suaramu bagus. Mungkin band tersebut akan mengajak dan memintamu
menyanyi di dalam grup bandnya. Yang bisa meledak dalam pembuatan kaset atau videoklip.
Diminta dan diiming-imingi demikian, ia pun menyetujui. Siapa yang tak ingin menjadi penyanyi,
membuat fideoklip? Saat ini orang berlomba-lomba untuk itu. Barangkali saja rejeki mujur. Dan ia
menjadi penyanyi terkenal sebagai Indonesian Idol. Bukankah uang bisa jadi melimpahruah?
Dan ia pun datang ke pesta tersebut bersama Iwan. Yang hadir kebanyakan anak muda dari berbagai
golongan. Anak-anak orang kaya dan terpelajar. Mahasiswa mahasiswi, meski ada juga dari mereka yang
perekonomian kelas menengah.
Ia menyanyi. Beberapa lagu. Mendapat sambutan. Bahkan mendapat teman gadis-gadis cantik, minum
dan bersenang-senang.
Namun ia tidak menyadari, di dalam rokok yang dihisap, diberi sesuatu campuran, yang kemudian
diketahui sebagai ganja. Tidak hanya itu, ia kemudian mulai dikenalkan dan diberikan yang lain, sabu-
sabu!
Berkenalan dengan itu, dan juga Rika, membuatnya semakin ketagihan. Apalagi Iwan dan Rika tak
berkeberatan mengeluarkan uang demi barang tersebut. Sehingga santai-santai saja ia menerima dan
menikmati. Diiring kepusingan diri di dalam memikirkan hidup yang belum juga teratasi. Memberikan
pekerjaan dan pendamping untuknya.
Dalam pelukan Rika dan barang tersebut, ia semakin terpaut. Lupa dan semaput!
Akhirnya, jadilah ia pengedar. Permintaan Iwan dan Rika, tak bisa ditolak. Karena ia pun sangat
memerlukan. Ketagihan dan kecanduan, apalagi frustrasi memiliki pendidikan tinggi, yang telah digeluti
dan melabelkan gelar sarjana, mengorbankan ibu, namun belum bisa memberikan kerja, tambah
membuatnya sangat membutuhkan barang tersebut!
***
Bertahun-tahun ia melakukan perbuatan itu. Menjadi kurir Iwan di dalam menjalankan bisnis barang
haram. Walau aman-aman saja dan belum tertangkap, tapi tagihan fitrah diri yang selalu mencari
kebenaran dan jalan lurus, takut tertangkap, merasa berdosa atas perbuatan buruk, mengganggu
batinnya sedemikian rupa. Menjadikan dirinya sebagai manusia yang selalu resahgelisah. Was-was,
takut, cemas, terbebani! Dibayang-bayangi hal-hal yang menakutkan dan mengerikan. Bahkan,
gambaran penjara dan neraka yang akan di tempati sebagai akibat perbuatan, begitu merasuki jiwanya!
Pada titik ingatnya akan hal itu, perbuatan yang ditimbulkan Iwan atas ajakannya dulu, yang sudah
membuatnya susah semakin menderita, menjadikannya benci terhadap Iwan. Menuduhnya sebagai
musuh yang ingin membunuh dan mencelakakan. Dan parang sebagai alat bunuh yang akan digunakan
Iwan pun, mulai terpampang dalam alam bentukannya! Dan akal sebagai alat pikir manusia sehat tak
dapat bekerja lagi dengan normal!
***
Wan, katanya ketika itu. Saat tuduhan terhadap Iwan sudah tak dapat dipendamnya. Ternyata kau
seorang pembunuh Wan.
Awalnya Iwan hanya tersenyum. Tertawa-tawa mengomentari:Ah gila kau!
Namun ketika kali berikutnya ia menyatakan hal seperti itu lagi, maka jawaban Iwan pun tetap: Ah gila
kau!
Ini terjadi berulang-ulang. Jawaban Iwan tetap sama: Ah gila kau! Gila kau!
Seringnya laki-laki itu mengucapkan kata-kata tuduhan dan curiga seperti itu, membuat Iwan akhirnya
tak dapat lagi menahan marah.
Stik drum yang berada di kamar, diambilnya. Dihantamkan ke tubuh laki-laki itu berkali-kali.
Walau terhindar dan selamat dari pukulan, karena gerakan menangkis yang dilakukan, namun gambaran
kejadian dan peristiwa tersebut, terekam. Mengikuti laki-laki itu di mana saja ia berada.
Lucunya, ia tak pernah mau menghindar dari Iwan.
Iwan baginya sudah sedemikian memerangkapnya, memasungnya dalam kebutuhan terhadap barang
haram tersebut. Apalagi dengan ketiadaan ekonomi dan kerja selain itu.
***
HARI DEMI HARI, bulan demi bulan, hingga tahun, ia semakin tercandui barang haram tersebut. Dan
kebutuhan terhadap barang itu, diperolehnya melalui pekerjaannya sebagai pengedar. Hingga suatu
saat, ia semakin di rasuki bayang-bayang dan suara-suara. Alam bentukan sendiri yang tercipta melalui
lamunan dan pikiran. Suara batin yang kadangkala menagih dan menegur atas laku buruk sang diri.
Takut, cemas, dendam, sakit hati, sepi, sedih, tegang, menyebabkannya tak sanggup lagi berdiri di atas
fakta alam yang nyata. Apalagi pengaruh barang haram tersebut yang sudah sedemikian lama dipakai,
tambah merusak otak, akal dan jiwanya!
***
Jadilah ia sebagai orang yang dikenal dengan sebutan: Orang gila yang tidak waras lagi akalnya!
Ironinya, hal yang seperti itu, tidak hanya bersifat individual, namun merambas ke dunia global, dan
bersifat sosial. Kemuliaan akal ciptaan Allah, agar membedakannya dari binatang dan makhluk-makhluk
lain, tersia-sia. Organ biologis seperti mata dan telinga, tak berfungsi. Hingga hati pun tidak
merasa.Tidak bisa menerima tanda-tanda. Terpasung dalam perangkap buruk hawa nafsu dan
lingkungan. Di mana Negara ikut andil membuat keadaan serupa!
Wallahu alam.
Wal-hamdulillahi Robbil aalamien.

Anda mungkin juga menyukai