Anda di halaman 1dari 9

BAB II

KEADAAN MASYARAKAT SULAWESI SEBELUM DAN SESUDAH DATANGNYA


ISLAM
a. Keadaan Masyarakat Sulawesi sebelum hadirnya Islam
Kronologis keberadaan Islam sebagai bukti sejarah, Islam di Sulsel masih membutuhkan
pengkajian yang mendalam supaya sejarahnya lebih objektif. Kehadiran budaya Islam pertama
kali di Kerajaan Gowa jauh sebelum diterimanya agama Islam sebagai agama resmi kerajaan.
Agama Islam dibawa oleh para pedagang Muslim dari Arab, Parsia, India, Cina, dan Melayu ke
Ibu Kota Kerajaan Gow, Somba Opu.

Di Mangallekana
Pada abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12 bernama I Monggorai
Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590) dialah yang memberikan fasilitas
bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk bermukim di sekitar istana kerajaan. Para pedagang
juga diberi kemudahan untuk mendirikan masjid di Kampung Mangallekana. Ini merupakan
masjid tertua yang pernah berdiri di Sulsel.

Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke
pulau. Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau
Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang
ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski
belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan
Goa yang beribu negeri di Makassar.
Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman
dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang
dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar
datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke
Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan
perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu
dan Paloppo.
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku
Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini
sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini
memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan
peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh
Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka.
Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan
Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar
adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17.
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama
Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo,
Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai
cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan
Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa,
tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung,
dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya
Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa)
Gowa ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis
berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil". Dengan melakukan
perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna mengubah daerah Makassar dari
sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia
juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah
yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai)
akan mendapat hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan
dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang
syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita
pendahulu Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan
penangkapan ikan banyak.
Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan
negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang
kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya di abadl ke-16 dan ke-17.
Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna diantaranya adalah Kerajaan
Siang, serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh
Tunipalangga.
Kesultanan Buton terletak di Pulau Buton Propinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara
Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton
dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama
Pulau buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah
Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Negara Kartagama.
Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima
agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun
1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada
tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda
langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh
Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil
mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian
pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Dalam masa yang sama
dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di
Callasusung (Kalensusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua
penduduknya beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula
pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-
orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat
dibuktikan bahwa walau pun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio,
namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai
di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-
orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan
menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu
besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan
Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang
diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor.
Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum
sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara
(Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang
termasuk dalam pemerintahan Buton.
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu
Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh
Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton.
Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam,
Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948
H/1538 M.
Walau bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena daripada
sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton
pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama, bergelar Sultan
atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan
ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama
memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari
Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama,
dinamakan Sultan Murhum.
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000
di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang
dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi
berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan
Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M.
Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah
Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam
ialah tahun 1538 Miladiyah.
Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan
oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M),
bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan
Buton lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai
aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan
tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa
``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu
bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali gus melantik Sultan
Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Kampung Parit Murhum berdekatan dengan
Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua
yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun
memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui
oleh para penyelidik.
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahawa ada
hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton
sembahyang Jumaat di Ternate.
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam
mahu pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan pemerintahan Islam Buton.
Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat diambil
kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran
yang bercorak zahiri. Walau bagaimanapun ajaran syariat tidak diabaikan.
Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang
dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan
Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan
dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai
tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.
Pemerintahan
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan
bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona.
Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan raja Bataraguru, raja Tuarade, raja Rajamulae, dan
terakhir raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka raja Murhum bergelar Sultan
Murhum.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang
secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya
berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan
Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya
tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan
kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang
pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi
sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan
berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk
mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa sehingga para calon
raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, RatuWaa Kaa
Kaa adalah proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang
unik, sistem pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem
pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka
sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai
lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus
tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum diterapkan
tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang
sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar
sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat kesultanan buton
adalah lambang demokrasi kesultanan buton. di sini dirumuskan berbagai program kesultanan
dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat
Buton.
Politik
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik
Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik
dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai
diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas
yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki
masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara
lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan
Buton yaitu Murtabat Tujuh yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan
perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem
Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
Masyarakat
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-
nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang
dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok
adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut
diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam
adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana
terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa
tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-
rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam
memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan
mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan
Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya
sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu
secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain,
perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan
perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu
kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka
menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem
adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari
semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang
berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara.
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem
putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di
kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit
dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton
tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus
melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-nya. Pada
masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh
raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan
mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu
lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.
Perekonomian
Pedagang dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan
Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi
dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak
berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah
utara Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua.
Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di
negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi
Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga
mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga
legislatif).
Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan
maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton,
12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya
yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher
dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam bahasa wolio dikenal dengan istilah digogoli.
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo,
Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan
Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
.
Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Kesultanan Bugis, merupakan
kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi
Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km
2
.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda
di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda
sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke
Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap
Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan
sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja
bergelar Arumpon.
BAB III
PROSES MASUKNYA ISLAM DI SULAWESI

A. Melalui Pedagang
Kalau kita melihat dari sumber sejarah, bahwa penyebaran Islam di
Indonesia khususnya di Sulsel dilakukan oleh parah saudagar Muslim yang
mengadakan kontak dagang antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun
dengan dagang antarnegara. Dapatlah dipahami bahwa yang mula-mula membawa agama
Islam ke Sulsel adalah pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-saudagar
India, dan Iran. Selanjutnya Islam disiarkan oleh pedagang-pedagang dari Melayu
dan dari Jawa. Berdasarkan kajian sejarah Islam sudah berpengaruh di Jawa
sekitar tahun 1500-1550 M yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.
Pengaruh Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis pada
tahun 1511 M. Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin banyak
kerajaan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai di
Pulau Jawa, Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan
pedagang-pedagang Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di
pesisir Pulau Jawa sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan
didahului oleh proses islamisasi yang berkesinambungan di kalangan masyarakat.

B. Pengaruh Tionghoa
Sebagaimana dicatat dalam sumber sejarah bahwa, Islam di Jawa juga
disiarkan oleh seorang pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan yang
membawa seorang pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik, dan
Surabaya, daerah di pesisir utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa di
wilayah pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 855 M telah memeluk Islam dan
orang-orang pribumi yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti orang
Tionggoa itu. Kesadaran orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan berkembang
di Sulsel tidak lepas dari aktivitas perdagangan yang berlangsung sampai ke
kepulauan nusantara terutama di Maluku.

Seorang Muslim dari Persi yang pernah mengunjungi belahan timur Indonesia
memberikan informasi tentang masuknya Islam di Sulsel. Ia mengatakan bahwa di
Sula (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu kira-kira pada akhir
abad ke-2 Hijriah. Dia juga yang mengabarkan tentang kehadiran Islam di
kalangan masyarakat Sulsel. Menurut dia, Islam di Sulsel juga dibawa sayyid
Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari Aceh lewat Jawa (Pajajaran).
Sayyid Jamaluddin datang atas undangan raja yang masih beragama Budha, Prabu
Wijaya yang memerintah Pajajaran pada tahun 1293-1309. Sayyid Jamaluddin Akbar
Al Husaini melanjutkan perjalanan ke Sulsel bersama rombongannya 15 orang.
Mereka masuk ke daerah Bugis dan menetap di Ibu Kota Tosorawajo dan meninggal
di sana sekitar tahun 1320 M. Inilah suatu bukti bahwa jauh sebelum Islam
diterima secara resmi sebagai agama kerajaan di Sulsel pemahaman Islam sudah
ada di masyarakat lewat interaksi sosial dan hubungan dagang antar individu
maupun berkelompok.

Hak Istimewa
Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, di Sulsel pernah menetap seorang
dari Jawa bernama Anakoda Bonang yang membawa saudagar melayu Muslim yang
memimpin perdagangan dari Pahang, Patani, Johor, Campa, dan Minangkabau.
Rombongan Anakoda Bonang ini diberi hak istimewa oleh raja. Pada masa itu
Sulsel sudah menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Sumatera, Jawa,
Malaka, dan Hindia. Di Makassar, pada masa itu, sudah ada koloni dagang
orang-orang asing dari daerah itu. Sehubungan dengan strategi orang-orang Melayu yang
mendirikan
kerajaan-kerajaan yang berpaham Islam di sekitar Pulau Jawa, dalam lontara di
jelaskan, Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565-1590)
bersahabat baik dengan raja-raja di Pulau Jawa bagian barat. Raja Gowa
memberikan fasilitas kepada para saudagar Muslim untuk menetap di sekitar
Istana Kerajaan Gowa.
Islam di Sulsel mencapai puncak keemasannya sekitar awal abad ke-18 yang
ditandai dengan berlakunya syariat Islam dalam berinteraksi sosial.

BAB IV
BUKTI-BUKTI PENINGGALAN SEJARAH ISLAM
Banyak terdapat bukti-bukti peninggalan sejarah Islam di Sulawesi, dan berikut di antrara bukti-
bukti tersebut:
1. Dalam catatan Lontara Bilang tertulis bahwa raja pertama yang memeluk agama Islam tahun
1603 adalah Kanjeng Matoaya, Raja ke-4 dari Kerajaan Tallo. Penyiar agama Islam di daerah ini
berasal dari Demak, Tuban, dan Gresik. Oleh karena itu Islam masuk melalui Raja dan
masyarakat Gowa Tallo.
2. Masjid Hila yaitu masjid pertama Datuk Tiro di Kabupaten Bulukumba yang didirikan oleh Al-
Maulana Khotib Bungsu atau Datuk Tiro. Setelah Luru Daeng Biasa masuk Islam, maka Datuk
Tiro membuat masjid Hila.
3. Batu karang berbentuk bukit karang kecil di tengah pantai Semboang dengan tinggi 15 meter,
adalah makam Karaeng Sapo Batu, karena Raja Tiro pertama bernama Karaeng Raja Daeng
Malaja.
4. Obyek tinggalan arkeologi Islam yang berada di kota Manado berupa makam tua yang terdapat
di kmpleks pekuburan Islam Tuminting. Secara umum bangunan makam memiliki tiga unsur
yang menjadi kelengkapan satu dengan lainnya, yaitu:
- Kijing (jirat), dasar yang berbentuk persegi panjang dengan berbagai bentuk variasi.
- Nisan, berupa tanda yang terbuat dari kayu, batu atau logam yang diletakkan di atas kijing.
Nisan ada yang dipasang pada bagian kepala saja, atau kepala dan kaki.
- Cungkup, berupa bangunan pelindung beratap untuk melindungi makam dari hujan.
5. Benda bersejarah yang berkaitan dengan masuknya agama Islam di Lembah Palu, Sulawesi
Tengah, tidak hanya berupa Al-Quran kuno saja. Ada sejumlah naskah yang hadir di tengah
masyarakat lembah Palu bersamaan dengan masuknya Islam. Naskah tersebut di antaranya
berupa naskah Kutika dan Naskah Lontara.
6. Masjid di Mangallekana Kabupaten Gowa dan pelaksanaan Islam sebelum abad 16.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah:
a. Sebelum hadirnya Islam, masyarakat di Sulawesi telah menganut agama
Katholik, Kristen, Hindu, dan Budha, serta animism. Kaya tradisi dan
kebudayaan kuno. Kemudian setelah hadirnya Islam di Sulawesi terjadilah
perubahan yang cukup signifikan dalal segi hubungan social antar
penduduk serta perdagangan, tetapi tidak menghapus tradisi yang ada.
b. Islam dating di Sulawesi dan menyebar secara damai dan santun. Pertama
hadir pada abad ke-15 Masehi di Kerajaan Gowa di Daerah Mangalekana,
yang dibawa oleh para pedagang muslim dari Arab, Persia, India, Cina,
dan Melayu ke Ibukota Kerajaan Gowa, Somba Opu.kemudian disebarkan
oleh tiga Datuk dari Sumatera yaitu: Datuk Ri Tiro, Datuk Patimang, dan
Datuk Ri Bandang. Aliran atau corak yang dibawa adalah sufistik dan
tasauf. Karena selain selain mereka ahli dalam bidang sufistik dan tasauf,
hal ini pun sesuai dengan masyarakat yang lebih mmenyukai hal-hal yang
bersifat kebatinan. Setelah Islam berkembang di Sulawesi Selatan lambat
laun terus menyebar ke seluruh daerah di pulau Sulawesi.
B. Saran-saran
Untuk lebih menambah wawasan dan memperbaiki makalah ini perlulah kiranya saran yang
membangun dari para teman-teman maupun dari kalangan yang berkomitmen terhadap Sejarah
Islam Indonesia.



http://librarianshendriirawan.blogspot.com/2013/04/masuknya-islam-ke-sulawesi.html

Anda mungkin juga menyukai