Anda di halaman 1dari 6

1

PEMAHAMAN PRODUK JASA RS


Benar bahwa produk yang dihasilkan Rumah Sakit adalah Jasa. Namun jasa yang
dihasilkan oleh RS ini, berbeda dengan jasa pada umumnya yang sudah kita ketahui,
seperti hotel, bank, restoran, tempat wisata dsb.
Jasa hotel, bank, restoran dan tempat wisata itu termasuk kategori produk jasa yang
dicari (sought product), artinya orang dalam kondisi normal pasti akan mencari jasa
tersebut untuk memenuhi kebutuhannya.
Sebaliknya dengan jasa yang dihasilkan oleh RS, jasa ini terkategori jasa yang tidak dicari
oleh orang normal (unsought product). Meskipun ada beberapa jasa RS yang dicari,
misalnya bedah kosmetika, medical check up, tapi prosentasenya kecil sekali. Dengan
demikian pada prinsipnya RS memberikan jasa kepada orang yang tertimpa musibah, sakit
atau kecacatan.
Jadi sebagus apapun RS, tidak ada orang - dalam kondisi normal, dengan sengaja mencari
pelayanan jasa RS tersebut. Katakanlah RS memberikan pelayanan rawat inap yang prima,
bisa amputasi kaki tidak terasa, bisa operasi jantung tanpa dibedah, tidak ada satupun
orang normal yang akan memanfaatkan jasa tersebut. Tidak ada orang dari airport datang
ke RS menanyakan apakah masih tersedia kamar kosong, kalaupun ada kamar kosong
prosedurnya harus ada surat rujukan dari dokter karena ada indikasi harus dirawat inap.
RS hanya memberikan pemenuhan kebutuhan pada orang yang kondisinya tidak normal
Pemahaman ini harus dijadikan dasar untuk menyesuaikan, jika akan menerapkan
prinsip2 ilmu ekonomi. Karena ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari manusia
memenuhi kebutuhan yang tak terbatas, sedangkan sumberdaya yang tersedia terbatas.
Manusia dalam hal ini adalah manusia normal, tidak dalam kondisi sakit atau terkena
musibah.
Oleh karena itu, sangat tidak tepat menyamakan jasa RS dengan Hotel maupun Restoran.
Mungkin yang paling sesuai adalah jasa Pemadam Kebakaran, Pemakaman, atau Jasa
Pengacara bahkan Lembaga Pemsyarakatan

KERANCUAN PEMAHAMAN PRODUK JASA RS
Karena menganggap RS itu sebagai unit bisnis, maka terasa sekali pengaruh ilmu ekonomi
dalam proses pembelajaran pada Program Pendidikan Manajemen Rumah Sakit. Ini tidak
salah, hanya dalam penerapannya, menganggap seolah2 pelayanan jasa RS itu untuk
orang normal, jadi menerapkan ilmu ekonomi apa adanya.
Daya Beli
Sering terkecoh dengan daya beli masyarakat meningkat karena pertumbuhan ekonomi,
ditafsirkan akan meningkatkan daya beli jasa RS.
Pengertian membeli, sebenarnya tersirat kemauan dan kemampuan membayar, jadi ada
niat, dan orang yang membeli dalam kondisi normal.
Orang sakit atau terkena musibah itu sudah jelas menderita, berjuang melawan
penyakitnya, menahan penderitaan, mengorbankan harta untuk membayar pengobatan.
Sehingga tidak tepat kalau disitilahkan daya beli untuk jasa RS. Kalaupun akan dipaksakan,
2

daya beli terhadap jasa RS adalah: kemampuan (tanpa kemauan) membayar tagihan
yang tidak diinginkan
Jadi tidak ada kaitannya sama sekali antara kenaikan daya beli masyarakat dengan
kenaikan jumlah pengunjung RS. Gratispun tidak menjamin orang akan berduyun2 ke RS.
Karena yang dijual adalah kepercayaan, jadi jangan harap akan ada pasien kalau RS tidak
dipercaya.
Ability to pay dan Willingness to pay
Dari uraian diatas jelas willingness saja tidak ada untuk mendapatkan pelayanan jasa RS,
selama kondisi orang tersebut normal. Apalagi ability to pay, tidak ada kaitan sama sekali.
Prinsip ini hanya berlaku untuk produk barang dan jasa yang dicari
Elastisitas demand
Di RS, prinsip ini juga tidak berlaku, elastisitas demand ini erat hubungannya dengan price
sensitivity. Makin rendah harga produk (yang peka harga), makin banyak pembelinya.
Apakah prinsip ini akan dipaksakan di RS? Apakah kalau diiklankan, cabut gigi satu gratis
satu, pasien akan berduyun-duyun datang? Amputasi kaki gratis, apa semakin banyak
yang datang untuk melakukan amputasi?
Mutu Pelayanan
Waktu membicarakan masalah mutu, harus jelas terlebih dahulu, apakah yang dimaksud
itu mutu produk jasa, atau mutu transaksi. Jadi tidak langsung menetapkan indikator
mutu jasa RS adalah kepuasan pelanggan.
Kalau yang dimaksud mutu transaksi, tidak salah, walau kurang tepat (sekali lagi, produk
jasa RS adalah unsought, jadi kepuasan dan tidak mengecewakan berbeda makna).
Namun kalau yang dimaksud adalah mutu jasa, maka indikator mutunya adalah
ketepatan anamnese, ketepatan diagnosa, ketepatan pemberian terapi dan ketepatan
asuhan keperawatan.
Sekedar ilustrasi, jika ada rumah terbakar, pasti kita atau siapapun yang melihat langsung
menelepon Pemadam Kebakaran. Pemadam kebakaran telah bekerja dengan baik, cepat
merespons, datang tepat waktu, api bisa dipadamkan, dan kebetulan hanya separuh
rumah yang terbakar. Segala sesuatu yang dikerjakan oleh Pemadam Kebakaran sudah
sesuai dg SOP. Apakah untuk menilai mutu pelayanan ditanyakan kepada pemilik rumah
:Apakah anda puas dengan pelayanan kami?, wah pasti bisa ditebak bagaimana reaksi
pemilik rumah yang terbakar.
Kalau di RS, pasien sudah boleh pulang, tangannya masih diperban, tagihan belum lunas,
boleh diangsur. Tepatkah apabila ditanya kepuasan terhadap pelayanan?
Satuan unit jasa
Dalam menghitung unit cost, langkah pertama seharusnya adalah merumuskan satuan
unit nya. Jadi tidak mungkin menghitung unit cost tanpa mengetahui satuannya.
Yang dipergunakan sekarang adalah langsung menggunakan rumus


TC
UC =
Q
3

Dimana UC = unit cost; TC = Total Cost dan Q adalah jumlah produksi
Komentar saya:
1. Rumus ini dipakai untuk menghitung unit cost dengan methode Process Costing
dimana pembaginya haruslah homogen sifatnya. Sehingga rumus ini hanya dipakai
untuk produk yang homogen, sama dan serupa. Pada hal produk jasa di RS tidak
ada yang homogen. Pasien di rawat jalan tidak bisa dikatakan homogen, kerena
pasti penyakitnya berbeda, terapinya berbeda, umur dan jenis kelamin berbeda.
2. Total Cost (TC) yang dimaksud adalah total dari Production Cost, tetapi
kenyataannya yang dijumlahkan adalah keseluruhan pengeluaran RS, yang tidak
lain adalah operational cost
3. Q yang dimaksud adalah jumlah produksi, bukan jumlah produk yang terjual. dan
produk harus homogen (pembagi tidak boleh heterogen).
a. jumlah pengunjung menunjukkan jumlah jasa yang terjual, kalau
dari pagi dokter sudah siap, perawat siap, peralatan siap, obat siap,
tetapi pengunjung hanya ada tiga, apakah benar jumlah produksi
hanya tiga?
b. Oleh karena itu harus dihitung terlebih dahulu berapa kapasitas
produksi, kapasitas terpasang dan kapasitas terjual. Ini hanya bisa
dihitung kalau diketahui satuan unitnya.
4. Untuk produk yang heterogen harus menggunakan metode JOB ORDER COSTING.
Yaitu mulai dengan merumuskan satuan unitnya, kemudian mengurai menjadi
komponen, baru dihitung nilai biaya per komponen. Penghitungan unit cost ini
tidak menggunakan akuntansi keuangan ataupun manajemen keuangan, akan
tetapi menggunakan MANAGERIAL ACCOUNTING, akuntansi manajerial. Yang
membuat rancu biasanya menghitung unit cost tetapi yang dipikirkan adalah tarip,
ini dua hal yang berbeda walau saling berhubungan.
5. Yang menjadi masalah adalah, kita tidak pernah merumuskan SATUAN UNIT
produk jasa yang dihasilkan RS menurut ilmu kedokteran. Rumusan ini menjadi
penting, karena akan digunakan untuk menghitung kapasitas, baik Kapasitas
Produksi, Kapasitas Terpasang dan Kapasitas Terpakai/Terjual. Jika RS akan
membuat Master Plan atau Business Plan, maka penghitungan kapasitas ini
menjadi hal yang mutlak harus dilakukan.

Penghitungan Unit Cost dan Pentaripan
Didalam undang-undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 49 ayat 2 tegas
dinyatakan bahwa besaran tarip harus ditetapkan berdasarkan komponen biaya satuan
pembiayaan dengan memperhatikan kondisi regional
Kemudian yang membingungkan adalah, dalam penjelasan pasal 49 itu, tertulis
Yang dimaksud dengan biaya satuan (unit cost) adalah hasil perhitungan total
biaya operasional pelayanan yang diberikan Rumah Sakit. (hanya sperti ini, tidak
ada kelanjutannya, apakah biaya ini kemudian dibagi, dibagi dengan apa dst)
Yang dimaksud kondisi regional termasuk didalamnya indeks kemahalan setempat
Masalahnya menjadi rancu, penjelasan ini menjadikan tambah tidak memperjelas. Ada
kesalahan fatal. Menghitung unit cost, menurut referensi apapun pasti yang dihitung
4

adalah biaya produksi, bukan biaya operasional. Kemudian tidak ada penjelasan lebih
lanjut, biaya operasional itu harus diapakan sehingga dapat diketahui biaya satuannya.
Padahal penjelasan pasal ini akan menjelaskan makna biaya satuan (unit cost).
Kemungkinan sekali kalimat selanjutnya adalah dibagi dengan jumlah kunjungan, seperti
yang selama ini dipergunakan dalam menghitung unit cost. Dengan tetap menggunakan
rumus


Rumus berdasar process costing ini tidak salah, tetapi tidak tepat untuk menghitung unit
cost pelayanan jasa RS. Coba dianalisa kelemahannya:
1. Biaya total yang seharusnya dihitung adalah biaya produksi. Artinya, biaya non
produksi tidak dihitung.
2. Jumah produksi adalah jumlah produk yang dihasilkan, bukan yang terjual. Karena
produk jasa RS itu mempunyai ciri-ciri tidak nampak, intangible, tidak dapat
disimpan, mudah berubah, disajikan dan dikonsumsi pada saat yang sama (bukan
diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang sama) dan heterogen. Maka jumlah
pengunjung sebetulnya mengindikasikan jumlah jasa yang terjual, bukan jasa yang
diproduksi. Jika jasa yang telah diproduksi dan tidak ada yang memanfaatkan,
otomatis akan hilang. (lihat butir Menghitung Kapasitas Produksi, Kapasitas
Terpasang dan Kapasitas Terjual di RS)
3. Process Costing ini hanya dipergunakan untuk menghitung unit cost produk yang
produksinya massal dan homogen
Karena karakteristik produk jasa RS tidak homogen dan tidak massal, maka harus
dipergunakan penghitungan unti cost dengan menggunakan metode Job Order Costing:
1. Tentukan rumusan unit jasa yang dijual sesuai dan menurut ilmu kedokteran,
karena jasa yang yang dijual adalah jasa profesi kedokteran. Misalnya, di rawat
jalan, yang dijual adalah Pemeriksaan Medis yang dilakukan oleh seorang
dokter sesuai dengan protokol medis.
2. Hitung satuannya, biasanya dalam satuan waktu, baik menit atau jam, yaitu
lamanya atau durasi pemberian pelayanan. Misalnya untuk pemeriksaan
tersebut diatas dibutuhkan waktu rata-rata 10 menit.
3. Kemudian langkah berikutnya adalah menguraikan unit jasa menjadi komponen
jasa, seperti sumberdaya manusia (dalam hal ini dokter), peralatan dan bahan
habis pakai yang dipergunakan, listrik diruang periksa dan lain-lainnya, yang
membuat transaksi jasa dilaksanakan dengan baik
4. Setiap komponen kemudian dihitung biaya (cost) yang diperlukan, dalam waktu 10
menit tersebut. Total biaya komponen inilah yang merupakan biaya satuan atau
unit cost. Untuk ini maka perlu dihitung dan ditetapkan terlebih dahulu standar
biaya, misalnya beban listrik per watt/menit, air per liter, jasa dokter per
pemeriksaan, penggunaan peralatan per menit dan seterusnya.
Langkah langkah tersebut diatas, baru sampai untuk menghitung unit cost, belum
menghitung tarip. Nah penentuan metode penghitungan tarip ini tidak banyak berbeda
baik untuk sought maupun unsought product, tinggal milih strateginya saja.
TC
UC =
Q
5

Untuk memilih strategi pentaripan (pricing strategy) yang akan dipergunakan, harus
dipikirkan besaran margin yang diinginkan akan dipergunakan untuk apa saja. Dan ini
sangat dipengaruhi oleh bentuk dan sifat RSnya, RS Pemerintah atau Swasta, RS umum
atau khusus. Pada umumnya yang dimasukkan sebagai pertimbangan adalah biaya untuk
operasional, biaya untuk pengembangan dan biaya untuk investasi.

Marketing RS
Karena tidak memahami sepenuhnya karakteristik dan kategori produk jasa RS, dan
memang karena terbatasnya referensi, maka pembahasan marketing RS biasanya hanya
berorientasi pada produk jasa RS sebagai sought product. Sehingga dapat dimaklumi jika
digunakan teori dan ilmu marketing yang orientasinya pada produk barang dan jasa yang
dicari (sought product). Akibatnya, lupa bahwa demand terhadap pelayanan RS itu tidak
dapat diinduced begitu saja. Karena jasa RS itu unsought seharusnya yang disosialisasikan
adalah mutu produk, yaitu mutu jasa pelayanan medik itu sendiri, mencakup ketepatan
anamnese, ketepatan diagnosa, ketepatan pemberian terapi, ketepatan tindakan medik
da ketepatan pemberian asuhan keperawatan. Ini mutlak diperlukan karena upaya
marketing RS adalah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, jika sewaktu2 sakit
atau tertimpa musibah, RS menjadi pilihan utamanya untuk mendapatkan pertolongan
dan atau mengatasi masalahnya yang menyangkut dengan kesehatannya. Marketing
untuk RS dengan demikian yang paling ampuh adalah Mouth to Mouth
Tidak salah kita meniru marketing produk jasa yang dicari, akan tetapi MUTU pelayanan
harus dapat dijamin prima terlebih dahulu, ini pun hanya untuk meningkatkan
kepercayaan.

PENDIDIKAN MANAJER RUMAH SAKIT
Kalau dibaca brosur pengumuman tentang pembukaan program baru S2 Magister
Administrasi Rumah Sakit di berbagai universitas baik negeri maupun swasta, ternyata
kurikulum pendidikannya berbeda-beda, tidak ada yang sama. Berbeda dengan program
S2 lainnya misalnya program Magister Manajemen, ada kurikulum nasionalnya, sehingga
yang membedakan adalah hanya muatan lokalnya.
Walaupun lulusan MARS/MKes umumnya kembali meneruskan kariernya di RS, tetapi
tidak sedikit yang kemudian mengambil jalur sebagai Konsultan manajemen RS ataupun
sebagai Dosen pada program S2 Manajemen RS.
Masalahnya apakah benar mereka disiapkan untuk itu semua, apakah mereka telah
dibekali kompetensi sebagai manajer, konsultan ataupun dosen? Untuk mendapatkan
kompetensi yang diakui, tentunya mereka harus mempunyai sertifikat kompetensi dari
badan yang mempunyai lisensi dari BNSP (Badan Nasioal Serifikasi Profesi) untuk
memberikan sertifikat tersebut. Baik sertifikat sebagai Manajer RS, Konsultan Manajemen
RS atau Dosen Manajemen Perumah Sakitan.
Idealnya, karena pendidikan S2 ini bukan keilmuan, seharusnya setelah mereka
menyelesaikan pendidikan, mereka memiliki sertifikat kompetensi tadi, jadi benar-benar
siap pakai. Tidak hanya sebatas gelar saja.

6

PRODUKSI JASA PELAYANAN MEDIK
Kalau produk jasa pelayanan medik dan bagaimana menghitung unit cost dan bagaimana
memasarkannya, maka ada satu lagi yang perlu dibahas secara mendalam, yaitu
bagaimana proses produksinya. Kalau ada produk yang ternyata cacat, harus dapat diteliti
faktor produksi apa yang menyebabkan produk itu cacat, dan bagaimana memngatasinya
agar produk tetap menjadi prima.

Sekian dulu saja ya, lain kali disambung

Bekasi, 11 Maret 2014

Heru Kusumanto

Anda mungkin juga menyukai