Energi merupakan salah satu tulang punggung utama jalannya peradaban. Kemajuan suatu bangsa membutuhkan dukungan ketersediaan energi. Sebagai contoh, pada tahun 2006, negara maju seperti Amerika mengkonsumsi 21,4% energi dunia, sedangkan Cina yang dianggap sebagai kekuatan industri baru mengkonsumsi 15,6% energi dunia [BP, 2008]. Peningkatan kebutuhan energi di satu sisi serta ketidakstabilan harga dan pasokan energi konvensional di sisi lain, memunculkan isu keamanan energi (energy security) di berbagai negara di dunia. Kesadaran mengenai dampak negatif penggunaan sumber energi fosil terhadap lingkungan, khususnya atmosfer bumi, memunculkan berbagai upaya untuk meningkatkan penggunaan sumber energi baru dan terbarukan yang rendah emisi CO 2 nya atau penggunaan bahan bakar fosil yang disertai upaya untuk mengeliminasi/meminimalkan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) ke atmosfer, seperti Carbon Capture and Storage (CCS). Dengan demikian, di samping bermasalah dengan dirinya sendiri (ketidakstabilan harga dan pasokan), penggunaan bahan bakar fosil secara konvensional juga menimbulkan permasalahan lingkungan hidup. Bertambahnya jumlah penduduk, kemajuan teknologi, dan peningkatan perekonomian menyebabkan peningkatan konsumsi energi dunia. International Energy Agency (IEA, 2007) melaporkan peningkatan konsumsi energi dunia hampir dua kali lipat dari 6.128 Mtoe pada tahun 1973 hingga 11.435 Mtoe pada tahun 2005. Meski bila dilihat sisi jumlah, penggunaan bahan bakar fosil semakin meningkat, namun akibat masalah ketersediaan dan harga yang fluktuatif, persentase penggunaan minyak bumi mengalami penurunan; dari 46,2% pada tahun 1973 menjadi 35% pada tahun 2005. Penurunan persentase penggunaan minyak bumi tersebut dikompensasi oleh kenaikan penggunaan gas (16% menjadi 20,7%) dan batubara (24,4% menjadi 25,3%), serta sumber energi nuklir (0,9% menjadi 6,3%). Selama kurun waktu yang sama, penggunaan sumber energi air mengalami peningkatan dari 1,8% menjadi 2,2%, sedangkan sumber-sumber energi yang lain seperti surya, panas bumi, dan angin mengalami peningkatan dari 0,1% menjadi 0,5%. Selain itu, pembakaran biomassa dan sampah menyumbang suplai energi sekitar 10%. Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa peradaban dunia saat ini masih sangat ditopang oleh bahan bakar fosil. Seperti halnya komposisi energi dunia, Indonesia juga masih bertumpu pada minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan energinya; bahkan dengan persentase yang lebih tinggi (54,4% dari total energi [DESDM, 2005]). Namun kesadaran kolektif bangsa Indonesia terkait permasalahan pada minyak bumi, yakni penurunan tingkat produksi domestik (kurang dari 1 juta barel per-hari), cadangan yang tidak besar (sekitar 24 tahun pada tahun 2007), serta ketidakstabilan harga minyak dunia menumbuhkan keinginan bangsa ini untuk mengurangi ketergantungannya terhadap minyak bumi. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2005 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam peraturan tersebut, pada tahun 2025 konsumsi minyak bumi diharapkan turun menjadi 20%, gas alam naik menjadi 30%, batubara naik menjadi 33%, sedangkan energi baru dan terbarukan naik menjadi 17%. Target capaian energi terbarukan pada perpres tersebut (yakni 15%) cukup maju dibandingkan dengan negara tetangga seperti Australia yang hanya 6% pada tahun 2029-2030 [Australias Energy Outlook, 2006], sedangkan India mentargetkan kontribusi tenaga air dan nuklir sebesar 11,8% pada tahun 2031-2032 [WEC, 2006]. Guna mencapai target penggunaan energi terbarukan tersebut, baru-baru ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 yang mewajibkan berbagai sektor pengguna energi untuk menggunakan Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan persentase dan pentahapan tertentu. 2. Energi dan Perubahan Iklim Telah umum diketahui bahwa CO 2 merupakan GRK (Gas Rumah Kaca) utama yang memerangkap panas di lapisan atmosfer bagian bawah (troposfer) dan selanjutnya menghangatkan permukaan bumi. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam laporannya (assessment report) yang ke-4 melaporkan bahwa konsentrasi CO 2 di atmosfer telah mencapai 379 ppm; melebihi rentang normal antara 180-300 ppm yang bertahan selama 650.000 tahun terakhir. Akibatnya, dari hasil pencatatan diketahui bahwa rata-rata temperatur bumi telah mengalami peningkatan sebesar 0,79 o C dibandingkan dengan masa sebelum revolusi industri. Pemanasan global telah terjadi dan kait-mengkait dengan perubahan perilaku cuaca dan iklim bumi. Pencairan es di wilayah Kutub Utara dan sekitarnya (termasuk Greenland) menjadi bukti telah terjadinya pemanasan global. Sektor energi memegang peran dominan dalam masalah pemanasan global, karena 56,6% emisi CO 2 dunia dihasilkan dari sektor energi [IPCC, 2007]. Dari sektor energi, kontribusi Indonesia terhadap emisi CO 2 dunia sekitar 1,26%; jauh dibawah Amerika yang berkontribusi sebesar 21,4% [IEA, 2007]. Namun di sisi lain, sebagai negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 81.000 km [KLH, 2007], Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan terhadap dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional) mencatat kenaikan permukaan air laut di beberapa wilayah di tanah air sebesar 8 mm per-tahun [KLH, 2007]; melebihi rata-rata dunia yang mencapai 1,8 mm per-tahun [IPCC, 2007]. Perubahan intensitas hujan dan panjang musim hujan serta kemarau ditengarai berbagai pihak sebagai dampak nyata telah terjadinya perubahan iklim di tanah air. Oleh karena itu, Indonesia sangat berkepentingan dengan upaya kolektif masyarakat internasional dalam mencegah perubahan iklim yang lebih tidak bersahabat. 3.Sumber dan Teknologi Energi Ramah Lingkungan Pengurangan penggunaan sumber energi fosil secara konvensional adalah konsekuensi logis penurunan emisi Gas Rumah Kaca. Meski demikian, terlanjur tingginya ketergantungan teknologi terhadap bahan bakar fosil, ditambah masih belum kompetitifnya harga sumber energi terbarukan, menyulitkan berbagai negara, terutama negara dengan kemampuan finansial dan teknologi terbatas (seperti Indonesia), untuk menyatakan sayonara kepada sumber energi fosil. Beberapa skenario yang kemudian dipilih adalah penetrasi bertahap penggunaan sumber energi yang mengemisikan CO 2 neto yang rendah, terutama yang berasal dari sumber energi baru dan terbarukan, peningkatan efisiensi energi, dan implementasi teknologi untuk menangkap dan menyimpan CO 2 di dalam lapisan bumi (Carbon Capture and Storage - CCS). Di bawah ini akan diuraikan kondisi energi di berbagai sektor pengguna energi di Indonesia, serta usulan strategi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan energi dengan dampak lingkungan seminimal mungkin. 3.1. Transportasi Sektor transportasi merupakan salah satu sarana vital yang memiliki multiplyer effect ke berbagai sektor lain. Celakanya, sumber energi di sektor ini hampir belum terdiversifikasi sama sekali. 99,96% sumber energi yang digunakan di sektor transportasi adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) [Ariati, 2008]. Praktis, sektor inilah yang biasanya paling terpukul manakala terjadi krisis minyak dunia; dan hal ini bukan sekali ini saja terjadi. Cita-cita luhur Pemerintah untuk meningkatkan penggunaan BBN (Bahan Bakar Nabati) sebagai pengganti BBM masih terseok- seok. Kenyataannya, capaian produksi BBN (biodiesel dan bioethanol) kurang dari 10% dibandingkan dengan target tahunan Tim Nasional BBN. Salah satu kendala seriusnya, pemerintah tidak melakukan intervensi terhadap BBN sebagaimana intervensi yang diberikan kepada BBM. Padahal ditinjau dari segi lingkungan hidup, berbagai hasil riset menyatakan bahwa secara keseluruhan BBN lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan BBM (meski ada pihak-pihak yang masih mempersoalkan kehijauan BBN). Dan yang jelas, BBN bisa berperan dalam mengurangi ketergantungan impor energi. Dari data neraca energi nasional, gas alam merupakan sumber energi yang paling siap menggantikan posisi BBM di sektor transportasi. Ditilik dari isu pemanasan global, penggunaan gas alam lebih bersahabat dengan atmosfer karena memiliki tingkat emisi CO 2 yang lebih rendah dibandingkan BBM. Apalagi mengingat cadangan minyak Indonesia tidaklah besar; terbatas sampai tahun 2022 (versi Blue Print Pengelolaan Energi Nasional) dan 2017 (versi British Petroleum). Pembangunan SPBBG (Stasiun Pengisian Bahan Bajar Gas) di berbagai wilayah dan kerjasama dengan produsen kendaraan bermotor perlu segera dilakukan guna memuluskan penggunan BBG pada kendaraan bermotor. Bila memungkinkan, re-negosiasi kontrak-kontrak gas dengan asing perlu dilakukan guna mencukupi pasokan energi jangka pendek. Dalam jangka panjang, perlu kebijakan untuk mengalokasikan produksi gas baru guna mencukupi kebutuhan dalam negeri. Lebih penting dari itu, pembangunan transportasi massal yang baik adalah hal yang tidak bisa ditawar dan ditunda lagi; baik bagi kota yang sudah terlanjur metropolis, maupun yang sedang beranjak besar. Penggunaan transportasi massal akan berdampak pada penurunan emisi GRK dari sektor transportasi secara signifikan. Cukuplah Jakarta yang menjadi pelajaran berharga bagi seluruh kota di tanah air; jangan tunggu menjadi serumit Jakarta untuk membangun transportasi massal yang baik. Jakarta sudah tak punya pilihan lain; data perkembangan jumlah kendaraan dan jalan menunjukkan bahwa tahun 2014 kemacetan total bisa terjadi di seluruh pelosok Jakarta bila tidak dilakukan pembatasan-pembatasan. 3.2. Industri Konsumsi energi final di sektor ini adalah yang tertinggi (dibandingkan dengan sektor transportasi, rumah tangga dan komersial). Kontribusi minyak bumi pada komposisi energi final sektor industri adalah sebesar 35,7%; lainnya disumbang oleh gas alam, batubara, LPG (Liquefied Petroleum Gas), dan listrik [Ariati, 2008]. Diversifikasi yang sudah berjalan di sektor industri ini perlu dipertahankan dan ditingkatkan; antara lain dengan meningkatkan penggunaan BBN (Bahan Bakar Nabati) guna lebih jauh menurunkan konsumsi minyak bumi. Selain diversifikasi energi, hal yang tidak kalah penting dilakukan di sektor industri adalah penghematan energi. Data dari Departemen Perindustrian menyatakan bahwa potensi penghematan energi di sektor ini rata-rata adalah sebesar 22% - suatu angka yang signifikan apabila bisa diwujudkan. 3.3 Rumah Tangga dan Komersial Dominasi BBM pada komposisi energi final di sektor ini cukup tinggi, yakni sebesar 60,2%. Sisanya disumbang oleh LPG 5,1% dan listrik 34,1% (sebagian kecil menggunakan batubara sebesar 0,5% dan gas alam 0,1%) [Ariati, 2008]. Seperti halnya di sektor yang lain, strategi pengamanan pasokan energi dan mitigasi terhadap perubahan iklim di sektor ini meliputi diversifikasi energi dan penghematan energi. Selain diversifikasi menggunakan gas alam, sumber energi non-fosil yang cocok untuk pemenuhan energi sektor rumah tangga dan komersial adalah sumber energi biomassa (biogas, waste to energy, dsb.). Sektor rumah tangga dan komersial bisa berperan besar dalam penghematan energi melalui penggunaan alat-alat hemat energi dan internalisasi budaya hemat energi sejak kanak- kanak. 3.4 Pembangkit Listrik Berbeda dengan ke-tiga sektor di atas, pembangkit energi mengkonsumsi energi primer untuk selanjutnya ditransformasikan menjadi energi final (listrik) yang antara lain dikonsumsi oleh sektor industri dan rumah tangga serta komersial. Diversifikasi energi di sektor ini cukup baik. BBM berkontribusi sebesar 26,2% dari pasokan energi primer; batubara mendominasi dengan 40,4%, sedangkan sisanya disumbang oleh tenaga air (13,3%), gas alam (11,2%), panas bumi (8,9%), dan biomassa (0,02%) [Ariati, 2008]. Maksimalisasi gas alam, tenaga panas bumi, dan biomassa (BBN dan limbah/sampah organik) akan semakin menurunkan peran BBM dalam pembangkitan listrik; yang berdampak pula pada penurunan emisi GRK. Peningkatan efisiensi pada pembangkit listrik bisa dilakukan, salah satunya melalui penerapan siklus kombinasi (combined cycle) antara PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dan PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas). Pemanfaatan gas buang dari PLTG yang masih memiliki temperatur tinggi untuk menguapkan air di siklus PLTU akan menghasilkan efisiensi siklus gabungan yang sangat tinggi. Opsi lain untuk maksimalisasi energi PLTG adalah melaui kombinasi dengan siklus refrigerasi absorbsi. Teknik semacam ini telah diterapkan di Shinjuku Jepang; dari satu sumber energi (gas alam) dihasilkanlah listrik, air panas, dan air dingin untuk refrigerasi (pendingin dan pengkondisian udara). 4. Tantangan Besar Tidak dapat dipungkiri, keamanan energi (energy security) serta pemanasan global dan perubahan iklim adalah dua masalah besar umat manusia dewasa ini yang saling kait-mengkait satu sama lain. Keterkaitan tersebut menyebabkan penyelesaiannya tidak dapat dilakukan secara parsial; peningkatan suplai energi tidak boleh mengakibatkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer. Ini berarti, hanya sumber dan teknologi energi yang rendah emisi O 2 lah yang mampu mengurai permasalahan energi tersebut. Meskipun potensinya besar, pada umumnya kendala utama penggunaan sumber energi terbarukan adalah pada faktor biaya yang tidak kompetitif terhadap bahan bakar fosil. Tiga pilar pengembangan dan penggunaan sumber energi, yakni pemerintah-peneliti-dan masyarakat, harus berperan aktif guna meningkatkan penggunaan sumber dan teknologi energi yang ramah terhadap lingkungan. Pemerintah perlu mengeluarkan berbagai regulasi energi yang berpihak kepada lingkungan hidup, peneliti dituntut untuk melakukan inovasi agar sumber dan teknologi energi ramah lingkungan tersebut semakin terjangkau oleh masyarakat, dan masyarakat diharapkan memiliki kepedulian untuk turut menyelamatkan lingkungan hidup melalui upaya penghematan energi dan penggunaan energi yang ramah lingkungan. Keamanan Energi Hingga 30 tahun mendatang, isu energi masih menjadi fenomena global yang tak terhindarkan bangsa- bangsa. Amerika Serikat (AS) dan Eropa tidak lagi menjadi pemain dominan dalam perburuan sumber- sumber energi baru dan pemanfaatannya untuk kepentingan nasional mereka. Di awal abad ke-21 ini, kita menyaksikan bagaimana Cina ikut memperkeruh suasana, mengacaukan perdagangan komoditas global, dan menyusuri seluruh benua untuk merebut mineral dan tambang bawah tanah. India pun tak ketinggalan meramaikan pasar yang semakin sumpek dan letih ini. Sebagai kekuatan baru ekonomi dunia, Cina dan India berkepentingan mengejar sumber-sumber energi sampai ke ujung dunia sekalipun. Minyak dan gas masih menjadi sumber utama pendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara maju dan yang sedang tumbuh (emerging market).
Pertumbuhan ekonomi berarti tersedianya lapangan kerja yang luas bagi rakyat-rakyat mereka. Pertumbuhan mendorong masyarakat memiliki daya beli untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka. Pertumbuhan pula yang menopang harmonisasi kehidupan sebuah negara, dalam pengertian stabilitas terjaga. Bagi Cina, mengerem pertumbuhan atau kehilangan sumber energi sama saja membangunkan konflik besar yang bisa memorak-porandakan Tirai Bambu menjadi berlapis-lapis kecil. Menguasai sumber-sumber energi berdampak pada dimilikinya satu sumber kekuatan sebuah negara di mata dunia. Para ahli ekonomi politik global menyebut sejumlah syarat negara agar bisa muncul menjadi pemain utama dunia yang disegani segenap bangsa-bangsa, yang salah satunya penguasaan terhadap energi. Penguasaan energi dalam pengertian tidak hanya memiliki sumber-sumbernya, tetapi juga mengontrol pasokan, distribusi, dan pemasarannya.
Indonesia memiliki potensi menjadi bangsa yang disegani internasional, yang lahir bukan karena faktor demografi saja. Tetapi, selama kita tidak melakukan sesuatu yang berarti, peluang itu hanya berhenti sampai pada potensi. Sebaliknya, jika itu diwujudkan dalam penguatan sektor energi, misalnya, mimpi menjadi bangsa yang disegani dalam arti sesungguhnya bisa terwujud.
Energi menjadi salah satu faktor penting penentu upaya Indonesia untuk menyejahterakan seluruh rakyat, mengangkat harkat dan martabat bangsa, dan menjadi pemain berpengaruh dalam percaturan ekonomi politik global. Lucunya, ketika negara-negara lain berlomba menguasai energi, kita malah terlena untuk melupakan potensi itu. Kita telanjur menelanjangi sektor migas untuk kepentingan asing dan membonsai kekuatan dalam negeri untuk bisa bersaing. Karena itu, kita berharap pemerintah membuat satu kebijakan energi yang bervisi global. Bukan sekadar kebijakan gali lubang tutup lubang. Ketika Cina sudah membangun pembangkit listrik minimal 1.000 MW, kita masih sibuk berdebat soal trafo listrik. Kebijakan energi itu harus mampu menjadikan bangsa ini sebagai pemain penting yang disegani dan menyejahterakan rakyat
KEAMANAN: SINERGI KONTEMPORER ANTARA LINGKUNGAN DAN MANUSIA KEAMANAN: SINERGI KONTEMPORER ANTARA LINGKUNGAN DAN MANUSIA
Konsep keamanan yang ada saat ini tidak lagi menjelaskan konsep tradisional, tapi lebih kontemporer dan kompleks. Keamanan yang dulunya bersifat militerisme, telah mendapat perluasan makna menjadi keamanan manusia (human security) dan keamanan lingkungan (environmental security). Keterkaitan manusia dengan lingkungan sangat penting dalam menciptakan keamanan dan perdamaian dunia. Tentunya, kedua elemen tersebut harus dapat dimasukkan ke dalam pembuat kebijakan dan kekuasaan antar negara yang biasa disebut green politics. Politik hijau muncul dan berkembang dalam teori hubungan internasional tidak hanya menjadi pajangan belaka, tetapi juga harus dimaksimalkan potensinya, mengingat bahwa krisis global yang terjadi saat ini berdampak buruk bagi ketahanan lingkungan. Pertanyaan besar yang menjadi acuan essay ini adalah sejauh mana isu keamanan lingkungan dan manusia ini berkembang di dalam studi hubungan internasional? Bagaimana sistem internasional mempengaruhi politik lingkungan di setiap negara? Mengapa keamanan lingkungan bersinergi dengan ketahanan lingkungan hidup?
Konsep Human Security dan Perkembangannya Pasca perang dingin, human security lahir dalam perluasan konsep dari kemanan militer, diperkuat oleh gelombang globalisasi yang melahirkan arus balik karena beberapa efek negatifnya terhadap negara- negara lemah, kelompok, dan individu tertentu. Upaya memperjuangkan human security merupakan reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik, penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan senjata ilegal, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya. Tokoh-tokoh yang telah mempopulerkan konsep tersebut adalah Caroline Thomas, Sorensen, J.T. Matthew, Norman Myers, Neville Brown. Namun, gagasan mengenai human security sebenarnya membangkitkan kembali definisi keamanan dan bagaimana cara mendapatkan keamanan itu. Tiga kontroversi yang masih diperdebatkan dala konsep keamanan manusia ialah : human security merupakan gagasan negara Barat dalam bungkus yang baru untuk menyebarkan kembali nilai HAM mereka; human security bukanlah hal baru melainkan konsep yang secara luas mencakup isu nonmiliter; definisi dan upaya mencapai human security tiap negara berbeda karena disparitas sudut pandang dan pengalaman. (Edy Prasetyono : 2003 Menurut UNDP, definisi human security ialah : first, safety from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And, second, ...protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily life --- whether in homes, in jobs or in communities. (United Nations Development Programme 1994: Human Development Report) Dengan kata lain, konsep yang mencakup freedom from fear and freedom from want ini menandai pergeseran hubungan internasional: perubahan norma tentang hubungan antara kedaulatan negara dan hak azasi manusia yang kemudian melahirkan konsep Responsibility to Protect. Sementara itu, Kanada mengkritik konsep human security UNDP yang mengabaikan human insecurity resulting from violent conflict. Kanada menganggap bahwa keamanan manusia secara doktrinal harus berdasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, dan Konvensi Jenewa. Terlepas dari perdebatan tersebut, hal yang harus ditekankan dalam konsep human security ialah aspek politik dan operasional yang biasa disebut dengan degree of human agency dan control. Arti dari human agency and control yaitu pencegahan aksi kekerasan yang mungkin dilakukan oleh berbagai aktor terhadap manusia, mungkin negara, kelompok, individu-individu, dan sebagainya. Implementasi dari konsep human security sudah dilakukan ketika kasus Gerakan Aceh Merdeka terjadi. Pentingnya penerapan human security dan peace building dalam kasus Aceh dilatarbelakangi oleh : respon pemerintah menggunakan kekuatan militer berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) terhadap gerakan milisi di Aceh telah terbukti gagal dalam menyelesaikan konflik dan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM); pengiriman kekuatan militer yang berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) tersebut telah menyebabkan timbulnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pihak militer terhadap masyarakat Aceh. Semangat Politik Hijau dalam Menjaga Stabilitas Environmental Security Sejarah yang menjelaskan tentang lingkungan hidup sebenarnya telah diwariskan sejak abad 12. Hal ini dibuktikkan dengan kasus penebangan kayu hutan Babilonia, Yunani, dan Italia ketika peradaban manusia baru berkembang serta adanya konservasi minyak di Mediterania dan peradaban Cina. (Hughes: 1975) Filsuf yang berkontribusi terhadap konsep-konsep lingkungan hidup bernama Rosseau dari Prancis dan Henry David Thoreau dari Amerika. Mereka mulai menggencarkan aspek lingkungan hidup pada masa pencerahan, yang pada akhirnya memunculkan istilah green politics. Green politics sendiri bermakna ideologi politis, yang sangat kental dengan nuansa ekologis, kelestarian lingkungan hidup, dan demokrasi partisipatoris. Konsep green politics mulai dibangun dalam bentuk gerakan konservatif sejak lahrinya Sierra Club di San Fransisco, tahun 1892. Klub tersebut menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi dan preservasi alam. Politik lingkungan juga tak terlepas dari gerakan environementalis dari Jerman, ditandai dengan berdirinya German Green Party (GGP) tahun 1980. Sebagai partai yang sangat atraktif pada masa itu, GGP yang bersimbol bunga matahari di benderanya memiliki 4 pilar prinsipil, yakni: Ecological wisdom, Social justice, Grassroots democracy, Nonviolence. (John Willey : 1995) Kemunculan rezim lingkungan internasional ditandai oleh pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972. Dua puluh tahun kemudian isu lingkungan hidup kembali dengan adanya konferensi di Rio de Janeiro tahun 1992, membahas tentang kemerosotan lingkungan hidup karena pembangunan yang tidak berkelanjutan. Hasil keputusan sidang tersebut bernama Agenda 21, menghasilkan kesepakatan berupa rencana tindak kegiatan yang disepakati dunia untuk memecahkan lingkungan dan pembangunan. Sejak saat itu pula, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) berkembang secara pesat, di Indonesia sendiri dipopulerkan oleh Prof. Emil Salim. Pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku- pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya- politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi. (Emil Salim : 2003) Pendekatan green politics terdiri dari dua bagian utama, yakni : ecocentrism dan anthropocentrism. Ekosentrisme dikemukakan oleh Aldo Leopold, berfokus pada komunitas biotik sebagai satu keseluruhan biosfer dan stabilitas komposisi ekologis. Land ethic dan good environmental management telah menjadi kunci utama dalam pandangan filosofis ini. (Leopold : 1949) Ekosentrisme juga sering disebut life-centered, atau deep ecology system. Sedangkan antroposentrisme dikemukakan oleh Arn Naess, yang berfokus pada kewajiban moral manusia untuk menghargai alam karena didasarkan atas kewajiban untuk menghargai sesama sebagai manusia. (Naess:1984) Konsep antroposentris juga biasa disebut dengan human-centered. Dua perspektif tersebut termasuk dalam teori etika lingkungan hidup, yang diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip- prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya. (Taylor: 1999) Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi isu utama bagi kelestarian lingkungan hidup. Dampak yang terjadi pun meluas sampai ke permasalahan krisis energi, krisis pangan, tentunya juga degradasi lingkungan. Sejak dicanangkannya Protokol Kyoto tahun 1997, Amerika Serikat termasuk negara penentang dan tidak meratifikasi kesepakatan tersebut. AS merasa dirugikan dengan adanya usulan mereduksi emisi karbon dioksida sebesar 30%-50%, perusahaan domestik pun akan bangkrut. Sebaliknya, AS menuduh negara berkembang yang tidak memiliki manajemen sampah yang baik, sehingga menghasilkan gas metana (gas paling berbahaya bagi kerusakan ozon, di atas C02). Titik penyebab utama permasalahan tersebut adalah dominasi penggunaan perspektif antroposentrisme dalam melestarikan lingkungan hidup. Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan United Nations Framework on Climate Change Conference 2007 telah menganjurkan adanya preferensi ekosentrisme sebagai strategi kebijakan nasional setiap negara. Implementasi green politics dalam menstabilkan environmental security tidak harus dari kalangan birokrat, tetapi semua lapisan bertanggung jawab atasnya. Sebagai generasi muda, sudah sepatutnya melestarikan lingkungan hidup dimulai sejak dini dan dari lingkup paling kecil (keluarga). Lingkungan hidup memang menjadi isu area utama ketiga setelah keamanan internasional dan ekonomi global. (Porter dan Brown : 1996) Meskipun cenderung bersifat low political issues, lingkungan hidup dan intervensi humanisme mampu membawa pengaruh besar bagi sistem hubungan internasional. Pembuat kebijakan dan pengambil keputusan senantiasa memprioritaskan unsur sosial humanis dan keamanan bersama (collective security) di atas kepentingan yang hanya bersifat power politics. Salah satu cara paling sederhana untuk menjaga kelestarian lingkungna hidup ialah sosialisasi penghematan energi dan penerapan hemat listrik dan air di rumah, membuang sampah di tempatnya, dan melakukan penghijauan satu jiwa satu pohon (minimal). Keamanan internasional telah mengkorelasi aspek humanisme (manusia) dan ekologis (lingkungan) secara komprehensifdan sinergis. Semakin intensif kebijakan tersebut berlaku di sektor domestik, semakin cepat perdamaian keberlanjutan tercapai.