Anda di halaman 1dari 8

Energi Dan Lingkungan: Sebuah Keterkaitan Erat

1. Komposisi Energi Dunia


Energi merupakan salah satu tulang punggung utama jalannya peradaban. Kemajuan suatu
bangsa membutuhkan dukungan ketersediaan energi. Sebagai contoh, pada tahun 2006, negara
maju seperti Amerika mengkonsumsi 21,4% energi dunia, sedangkan Cina yang dianggap
sebagai kekuatan industri baru mengkonsumsi 15,6% energi dunia [BP, 2008]. Peningkatan
kebutuhan energi di satu sisi serta ketidakstabilan harga dan pasokan energi konvensional di sisi
lain, memunculkan isu keamanan energi (energy security) di berbagai negara di dunia.
Kesadaran mengenai dampak negatif penggunaan sumber energi fosil terhadap lingkungan,
khususnya atmosfer bumi, memunculkan berbagai upaya untuk meningkatkan penggunaan
sumber energi baru dan terbarukan yang rendah emisi CO
2
nya atau penggunaan bahan bakar
fosil yang disertai upaya untuk mengeliminasi/meminimalkan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) ke
atmosfer, seperti Carbon Capture and Storage (CCS). Dengan demikian, di samping bermasalah
dengan dirinya sendiri (ketidakstabilan harga dan pasokan), penggunaan bahan bakar fosil secara
konvensional juga menimbulkan permasalahan lingkungan hidup.
Bertambahnya jumlah penduduk, kemajuan teknologi, dan peningkatan perekonomian
menyebabkan peningkatan konsumsi energi dunia. International Energy Agency (IEA, 2007)
melaporkan peningkatan konsumsi energi dunia hampir dua kali lipat dari 6.128 Mtoe pada tahun
1973 hingga 11.435 Mtoe pada tahun 2005. Meski bila dilihat sisi jumlah, penggunaan bahan
bakar fosil semakin meningkat, namun akibat masalah ketersediaan dan harga yang fluktuatif,
persentase penggunaan minyak bumi mengalami penurunan; dari 46,2% pada tahun 1973
menjadi 35% pada tahun 2005. Penurunan persentase penggunaan minyak bumi tersebut
dikompensasi oleh kenaikan penggunaan gas (16% menjadi 20,7%) dan batubara (24,4%
menjadi 25,3%), serta sumber energi nuklir (0,9% menjadi 6,3%). Selama kurun waktu yang
sama, penggunaan sumber energi air mengalami peningkatan dari 1,8% menjadi 2,2%,
sedangkan sumber-sumber energi yang lain seperti surya, panas bumi, dan angin mengalami
peningkatan dari 0,1% menjadi 0,5%. Selain itu, pembakaran biomassa dan sampah
menyumbang suplai energi sekitar 10%. Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa peradaban dunia
saat ini masih sangat ditopang oleh bahan bakar fosil.
Seperti halnya komposisi energi dunia, Indonesia juga masih bertumpu pada minyak bumi untuk
pemenuhan kebutuhan energinya; bahkan dengan persentase yang lebih tinggi (54,4% dari total
energi [DESDM, 2005]). Namun kesadaran kolektif bangsa Indonesia terkait permasalahan pada
minyak bumi, yakni penurunan tingkat produksi domestik (kurang dari 1 juta barel per-hari),
cadangan yang tidak besar (sekitar 24 tahun pada tahun 2007), serta ketidakstabilan harga
minyak dunia menumbuhkan keinginan bangsa ini untuk mengurangi ketergantungannya
terhadap minyak bumi. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2005
tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam peraturan tersebut, pada tahun 2025 konsumsi
minyak bumi diharapkan turun menjadi 20%, gas alam naik menjadi 30%, batubara naik menjadi
33%, sedangkan energi baru dan terbarukan naik menjadi 17%. Target capaian energi terbarukan
pada perpres tersebut (yakni 15%) cukup maju dibandingkan dengan negara tetangga seperti
Australia yang hanya 6% pada tahun 2029-2030 [Australias Energy Outlook, 2006], sedangkan
India mentargetkan kontribusi tenaga air dan nuklir sebesar 11,8% pada tahun 2031-2032 [WEC,
2006]. Guna mencapai target penggunaan energi terbarukan tersebut, baru-baru ini Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 32
Tahun 2008 yang mewajibkan berbagai sektor pengguna energi untuk menggunakan Bahan
Bakar Nabati (BBN) dengan persentase dan pentahapan tertentu.
2. Energi dan Perubahan Iklim
Telah umum diketahui bahwa CO
2
merupakan GRK (Gas Rumah Kaca) utama yang
memerangkap panas di lapisan atmosfer bagian bawah (troposfer) dan selanjutnya
menghangatkan permukaan bumi. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam
laporannya (assessment report) yang ke-4 melaporkan bahwa konsentrasi CO
2
di atmosfer telah
mencapai 379 ppm; melebihi rentang normal antara 180-300 ppm yang bertahan selama 650.000
tahun terakhir. Akibatnya, dari hasil pencatatan diketahui bahwa rata-rata temperatur bumi telah
mengalami peningkatan sebesar 0,79
o
C dibandingkan dengan masa sebelum revolusi industri.
Pemanasan global telah terjadi dan kait-mengkait dengan perubahan perilaku cuaca dan iklim
bumi. Pencairan es di wilayah Kutub Utara dan sekitarnya (termasuk Greenland) menjadi bukti
telah terjadinya pemanasan global.
Sektor energi memegang peran dominan dalam masalah pemanasan global, karena 56,6% emisi
CO
2
dunia dihasilkan dari sektor energi [IPCC, 2007]. Dari sektor energi, kontribusi Indonesia
terhadap emisi CO
2
dunia sekitar 1,26%; jauh dibawah Amerika yang berkontribusi sebesar
21,4% [IEA, 2007]. Namun di sisi lain, sebagai negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang
81.000 km [KLH, 2007], Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan terhadap
dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survai dan
Pemetaan Nasional) mencatat kenaikan permukaan air laut di beberapa wilayah di tanah air
sebesar 8 mm per-tahun [KLH, 2007]; melebihi rata-rata dunia yang mencapai 1,8 mm per-tahun
[IPCC, 2007]. Perubahan intensitas hujan dan panjang musim hujan serta kemarau ditengarai
berbagai pihak sebagai dampak nyata telah terjadinya perubahan iklim di tanah air. Oleh karena
itu, Indonesia sangat berkepentingan dengan upaya kolektif masyarakat internasional dalam
mencegah perubahan iklim yang lebih tidak bersahabat.
3.Sumber dan Teknologi Energi Ramah Lingkungan
Pengurangan penggunaan sumber energi fosil secara konvensional adalah konsekuensi logis
penurunan emisi Gas Rumah Kaca. Meski demikian, terlanjur tingginya ketergantungan
teknologi terhadap bahan bakar fosil, ditambah masih belum kompetitifnya harga sumber energi
terbarukan, menyulitkan berbagai negara, terutama negara dengan kemampuan finansial dan
teknologi terbatas (seperti Indonesia), untuk menyatakan sayonara kepada sumber energi fosil.
Beberapa skenario yang kemudian dipilih adalah penetrasi bertahap penggunaan sumber energi
yang mengemisikan CO
2
neto yang rendah, terutama yang berasal dari sumber energi baru dan
terbarukan, peningkatan efisiensi energi, dan implementasi teknologi untuk menangkap dan
menyimpan CO
2
di dalam lapisan bumi (Carbon Capture and Storage - CCS). Di bawah ini akan
diuraikan kondisi energi di berbagai sektor pengguna energi di Indonesia, serta usulan strategi
untuk menjamin pemenuhan kebutuhan energi dengan dampak lingkungan seminimal mungkin.
3.1. Transportasi
Sektor transportasi merupakan salah satu sarana vital yang memiliki multiplyer effect ke berbagai
sektor lain. Celakanya, sumber energi di sektor ini hampir belum terdiversifikasi sama sekali.
99,96% sumber energi yang digunakan di sektor transportasi adalah Bahan Bakar Minyak
(BBM) [Ariati, 2008]. Praktis, sektor inilah yang biasanya paling terpukul manakala terjadi krisis
minyak dunia; dan hal ini bukan sekali ini saja terjadi. Cita-cita luhur Pemerintah untuk
meningkatkan penggunaan BBN (Bahan Bakar Nabati) sebagai pengganti BBM masih terseok-
seok. Kenyataannya, capaian produksi BBN (biodiesel dan bioethanol) kurang dari 10%
dibandingkan dengan target tahunan Tim Nasional BBN. Salah satu kendala seriusnya,
pemerintah tidak melakukan intervensi terhadap BBN sebagaimana intervensi yang diberikan
kepada BBM. Padahal ditinjau dari segi lingkungan hidup, berbagai hasil riset menyatakan
bahwa secara keseluruhan BBN lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan BBM (meski ada
pihak-pihak yang masih mempersoalkan kehijauan BBN). Dan yang jelas, BBN bisa berperan
dalam mengurangi ketergantungan impor energi.
Dari data neraca energi nasional, gas alam merupakan sumber energi yang paling siap
menggantikan posisi BBM di sektor transportasi. Ditilik dari isu pemanasan global, penggunaan
gas alam lebih bersahabat dengan atmosfer karena memiliki tingkat emisi CO
2
yang lebih rendah
dibandingkan BBM. Apalagi mengingat cadangan minyak Indonesia tidaklah besar; terbatas
sampai tahun 2022 (versi Blue Print Pengelolaan Energi Nasional) dan 2017 (versi British
Petroleum). Pembangunan SPBBG (Stasiun Pengisian Bahan Bajar Gas) di berbagai wilayah dan
kerjasama dengan produsen kendaraan bermotor perlu segera dilakukan guna memuluskan
penggunan BBG pada kendaraan bermotor. Bila memungkinkan, re-negosiasi kontrak-kontrak
gas dengan asing perlu dilakukan guna mencukupi pasokan energi jangka pendek. Dalam jangka
panjang, perlu kebijakan untuk mengalokasikan produksi gas baru guna mencukupi kebutuhan
dalam negeri.
Lebih penting dari itu, pembangunan transportasi massal yang baik adalah hal yang tidak bisa
ditawar dan ditunda lagi; baik bagi kota yang sudah terlanjur metropolis, maupun yang sedang
beranjak besar. Penggunaan transportasi massal akan berdampak pada penurunan emisi GRK
dari sektor transportasi secara signifikan. Cukuplah Jakarta yang menjadi pelajaran berharga bagi
seluruh kota di tanah air; jangan tunggu menjadi serumit Jakarta untuk membangun transportasi
massal yang baik. Jakarta sudah tak punya pilihan lain; data perkembangan jumlah kendaraan
dan jalan menunjukkan bahwa tahun 2014 kemacetan total bisa terjadi di seluruh pelosok Jakarta
bila tidak dilakukan pembatasan-pembatasan.
3.2. Industri
Konsumsi energi final di sektor ini adalah yang tertinggi (dibandingkan dengan sektor transportasi, rumah tangga
dan komersial). Kontribusi minyak bumi pada komposisi energi final sektor industri adalah sebesar 35,7%; lainnya
disumbang oleh gas alam, batubara, LPG (Liquefied Petroleum Gas), dan listrik [Ariati, 2008]. Diversifikasi yang
sudah berjalan di sektor industri ini perlu dipertahankan dan ditingkatkan; antara lain dengan meningkatkan
penggunaan BBN (Bahan Bakar Nabati) guna lebih jauh menurunkan konsumsi minyak bumi. Selain diversifikasi
energi, hal yang tidak kalah penting dilakukan di sektor industri adalah penghematan energi. Data dari Departemen
Perindustrian menyatakan bahwa potensi penghematan energi di sektor ini rata-rata adalah sebesar 22% - suatu
angka yang signifikan apabila bisa diwujudkan.
3.3 Rumah Tangga dan Komersial
Dominasi BBM pada komposisi energi final di sektor ini cukup tinggi, yakni sebesar 60,2%. Sisanya disumbang
oleh LPG 5,1% dan listrik 34,1% (sebagian kecil menggunakan batubara sebesar 0,5% dan gas alam 0,1%) [Ariati,
2008]. Seperti halnya di sektor yang lain, strategi pengamanan pasokan energi dan mitigasi terhadap perubahan
iklim di sektor ini meliputi diversifikasi energi dan penghematan energi. Selain diversifikasi menggunakan gas alam,
sumber energi non-fosil yang cocok untuk pemenuhan energi sektor rumah tangga dan komersial adalah sumber
energi biomassa (biogas, waste to energy, dsb.). Sektor rumah tangga dan komersial bisa berperan besar dalam
penghematan energi melalui penggunaan alat-alat hemat energi dan internalisasi budaya hemat energi sejak kanak-
kanak.
3.4 Pembangkit Listrik
Berbeda dengan ke-tiga sektor di atas, pembangkit energi mengkonsumsi energi primer untuk selanjutnya
ditransformasikan menjadi energi final (listrik) yang antara lain dikonsumsi oleh sektor industri dan rumah tangga
serta komersial. Diversifikasi energi di sektor ini cukup baik. BBM berkontribusi sebesar 26,2% dari pasokan energi
primer; batubara mendominasi dengan 40,4%, sedangkan sisanya disumbang oleh tenaga air (13,3%), gas alam
(11,2%), panas bumi (8,9%), dan biomassa (0,02%) [Ariati, 2008]. Maksimalisasi gas alam, tenaga panas bumi, dan
biomassa (BBN dan limbah/sampah organik) akan semakin menurunkan peran BBM dalam pembangkitan listrik;
yang berdampak pula pada penurunan emisi GRK.
Peningkatan efisiensi pada pembangkit listrik bisa dilakukan, salah satunya melalui penerapan siklus kombinasi
(combined cycle) antara PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dan PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas).
Pemanfaatan gas buang dari PLTG yang masih memiliki temperatur tinggi untuk menguapkan air di siklus PLTU
akan menghasilkan efisiensi siklus gabungan yang sangat tinggi. Opsi lain untuk maksimalisasi energi PLTG adalah
melaui kombinasi dengan siklus refrigerasi absorbsi. Teknik semacam ini telah diterapkan di Shinjuku Jepang; dari
satu sumber energi (gas alam) dihasilkanlah listrik, air panas, dan air dingin untuk refrigerasi (pendingin dan
pengkondisian udara).
4. Tantangan Besar
Tidak dapat dipungkiri, keamanan energi (energy security) serta pemanasan global dan perubahan iklim adalah dua
masalah besar umat manusia dewasa ini yang saling kait-mengkait satu sama lain. Keterkaitan tersebut
menyebabkan penyelesaiannya tidak dapat dilakukan secara parsial; peningkatan suplai energi tidak boleh
mengakibatkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer. Ini berarti, hanya sumber dan teknologi energi yang
rendah emisi O
2
lah yang mampu mengurai permasalahan energi tersebut. Meskipun potensinya besar, pada
umumnya kendala utama penggunaan sumber energi terbarukan adalah pada faktor biaya yang tidak kompetitif
terhadap bahan bakar fosil. Tiga pilar pengembangan dan penggunaan sumber energi, yakni pemerintah-peneliti-dan
masyarakat, harus berperan aktif guna meningkatkan penggunaan sumber dan teknologi energi yang ramah terhadap
lingkungan. Pemerintah perlu mengeluarkan berbagai regulasi energi yang berpihak kepada lingkungan hidup,
peneliti dituntut untuk melakukan inovasi agar sumber dan teknologi energi ramah lingkungan tersebut semakin
terjangkau oleh masyarakat, dan masyarakat diharapkan memiliki kepedulian untuk turut menyelamatkan
lingkungan hidup melalui upaya penghematan energi dan penggunaan energi yang ramah lingkungan.
Keamanan Energi
Hingga 30 tahun mendatang, isu energi masih menjadi fenomena global yang tak terhindarkan bangsa-
bangsa. Amerika Serikat (AS) dan Eropa tidak lagi menjadi pemain dominan dalam perburuan sumber-
sumber energi baru dan pemanfaatannya untuk kepentingan nasional mereka. Di awal abad ke-21 ini, kita
menyaksikan bagaimana Cina ikut memperkeruh suasana, mengacaukan perdagangan komoditas global,
dan menyusuri seluruh benua untuk merebut mineral dan tambang bawah tanah.
India pun tak ketinggalan meramaikan pasar yang semakin sumpek dan letih ini. Sebagai kekuatan baru
ekonomi dunia, Cina dan India berkepentingan mengejar sumber-sumber energi sampai ke ujung dunia
sekalipun. Minyak dan gas masih menjadi sumber utama pendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara
maju dan yang sedang tumbuh (emerging market).

Pertumbuhan ekonomi berarti tersedianya lapangan kerja yang luas bagi rakyat-rakyat mereka.
Pertumbuhan mendorong masyarakat memiliki daya beli untuk memenuhi segala kebutuhan hidup
mereka. Pertumbuhan pula yang menopang harmonisasi kehidupan sebuah negara, dalam pengertian
stabilitas terjaga. Bagi Cina, mengerem pertumbuhan atau kehilangan sumber energi sama saja
membangunkan konflik besar yang bisa memorak-porandakan Tirai Bambu menjadi berlapis-lapis kecil.
Menguasai sumber-sumber energi berdampak pada dimilikinya satu sumber kekuatan sebuah negara di
mata dunia. Para ahli ekonomi politik global menyebut sejumlah syarat negara agar bisa muncul menjadi
pemain utama dunia yang disegani segenap bangsa-bangsa, yang salah satunya penguasaan terhadap
energi. Penguasaan energi dalam pengertian tidak hanya memiliki sumber-sumbernya, tetapi juga
mengontrol pasokan, distribusi, dan pemasarannya.

Indonesia memiliki potensi menjadi bangsa yang disegani internasional, yang lahir bukan karena faktor
demografi saja. Tetapi, selama kita tidak melakukan sesuatu yang berarti, peluang itu hanya berhenti
sampai pada potensi. Sebaliknya, jika itu diwujudkan dalam penguatan sektor energi, misalnya, mimpi
menjadi bangsa yang disegani dalam arti sesungguhnya bisa terwujud.

Energi menjadi salah satu faktor penting penentu upaya Indonesia untuk menyejahterakan seluruh rakyat,
mengangkat harkat dan martabat bangsa, dan menjadi pemain berpengaruh dalam percaturan ekonomi
politik global. Lucunya, ketika negara-negara lain berlomba menguasai energi, kita malah terlena untuk
melupakan potensi itu. Kita telanjur menelanjangi sektor migas untuk kepentingan asing dan membonsai
kekuatan dalam negeri untuk bisa bersaing.
Karena itu, kita berharap pemerintah membuat satu kebijakan energi yang bervisi global. Bukan sekadar
kebijakan gali lubang tutup lubang. Ketika Cina sudah membangun pembangkit listrik minimal 1.000
MW, kita masih sibuk berdebat soal trafo listrik. Kebijakan energi itu harus mampu menjadikan bangsa
ini sebagai pemain penting yang disegani dan menyejahterakan rakyat

KEAMANAN: SINERGI KONTEMPORER ANTARA LINGKUNGAN DAN MANUSIA
KEAMANAN: SINERGI KONTEMPORER ANTARA LINGKUNGAN DAN MANUSIA

Konsep keamanan yang ada saat ini tidak lagi menjelaskan konsep tradisional, tapi lebih kontemporer dan
kompleks. Keamanan yang dulunya bersifat militerisme, telah mendapat perluasan makna menjadi
keamanan manusia (human security) dan keamanan lingkungan (environmental security). Keterkaitan
manusia dengan lingkungan sangat penting dalam menciptakan keamanan dan perdamaian dunia.
Tentunya, kedua elemen tersebut harus dapat dimasukkan ke dalam pembuat kebijakan dan kekuasaan
antar negara yang biasa disebut green politics. Politik hijau muncul dan berkembang dalam teori
hubungan internasional tidak hanya menjadi pajangan belaka, tetapi juga harus dimaksimalkan
potensinya, mengingat bahwa krisis global yang terjadi saat ini berdampak buruk bagi ketahanan
lingkungan. Pertanyaan besar yang menjadi acuan essay ini adalah sejauh mana isu keamanan lingkungan
dan manusia ini berkembang di dalam studi hubungan internasional? Bagaimana sistem internasional
mempengaruhi politik lingkungan di setiap negara? Mengapa keamanan lingkungan bersinergi dengan
ketahanan lingkungan hidup?

Konsep Human Security dan Perkembangannya
Pasca perang dingin, human security lahir dalam perluasan konsep dari kemanan militer, diperkuat oleh
gelombang globalisasi yang melahirkan arus balik karena beberapa efek negatifnya terhadap negara-
negara lemah, kelompok, dan individu tertentu. Upaya memperjuangkan human security merupakan
reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat
konflik dan kekerasan fisik, penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan
senjata ilegal, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya. Tokoh-tokoh yang telah mempopulerkan
konsep tersebut adalah Caroline Thomas, Sorensen, J.T. Matthew, Norman Myers, Neville Brown.
Namun, gagasan mengenai human security sebenarnya membangkitkan kembali definisi keamanan dan
bagaimana cara mendapatkan keamanan itu. Tiga kontroversi yang masih diperdebatkan dala konsep
keamanan manusia ialah : human security merupakan gagasan negara Barat dalam bungkus yang baru
untuk menyebarkan kembali nilai HAM mereka; human security bukanlah hal baru melainkan konsep
yang secara luas mencakup isu nonmiliter; definisi dan upaya mencapai human security tiap negara
berbeda karena disparitas sudut pandang dan pengalaman. (Edy Prasetyono : 2003
Menurut UNDP, definisi human security ialah : first, safety from such chronic threats such as hunger,
disease, and repression. And, second, ...protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of
daily life --- whether in homes, in jobs or in communities. (United Nations Development Programme
1994: Human Development Report) Dengan kata lain, konsep yang mencakup freedom from fear and
freedom from want ini menandai pergeseran hubungan internasional: perubahan norma tentang
hubungan antara kedaulatan negara dan hak azasi manusia yang kemudian melahirkan konsep
Responsibility to Protect. Sementara itu, Kanada mengkritik konsep human security UNDP yang
mengabaikan human insecurity resulting from violent conflict. Kanada menganggap bahwa keamanan
manusia secara doktrinal harus berdasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi
Manusia, dan Konvensi Jenewa.
Terlepas dari perdebatan tersebut, hal yang harus ditekankan dalam konsep human security ialah aspek
politik dan operasional yang biasa disebut dengan degree of human agency dan control. Arti dari human
agency and control yaitu pencegahan aksi kekerasan yang mungkin dilakukan oleh berbagai aktor
terhadap manusia, mungkin negara, kelompok, individu-individu, dan sebagainya. Implementasi dari
konsep human security sudah dilakukan ketika kasus Gerakan Aceh Merdeka terjadi. Pentingnya
penerapan human security dan peace building dalam kasus Aceh dilatarbelakangi oleh : respon
pemerintah menggunakan kekuatan militer berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM)
terhadap gerakan milisi di Aceh telah terbukti gagal dalam menyelesaikan konflik dan perlawanan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM); pengiriman kekuatan militer yang berlebihan dan penerapan Daerah
Operasi Militer (DOM) tersebut telah menyebabkan timbulnya pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan pihak militer terhadap masyarakat Aceh.
Semangat Politik Hijau dalam Menjaga Stabilitas Environmental Security
Sejarah yang menjelaskan tentang lingkungan hidup sebenarnya telah diwariskan sejak abad 12. Hal ini
dibuktikkan dengan kasus penebangan kayu hutan Babilonia, Yunani, dan Italia ketika peradaban manusia
baru berkembang serta adanya konservasi minyak di Mediterania dan peradaban Cina. (Hughes: 1975)
Filsuf yang berkontribusi terhadap konsep-konsep lingkungan hidup bernama Rosseau dari Prancis dan
Henry David Thoreau dari Amerika. Mereka mulai menggencarkan aspek lingkungan hidup pada masa
pencerahan, yang pada akhirnya memunculkan istilah green politics.
Green politics sendiri bermakna ideologi politis, yang sangat kental dengan nuansa ekologis, kelestarian
lingkungan hidup, dan demokrasi partisipatoris. Konsep green politics mulai dibangun dalam bentuk
gerakan konservatif sejak lahrinya Sierra Club di San Fransisco, tahun 1892. Klub tersebut
menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi dan preservasi alam. Politik lingkungan juga tak terlepas
dari gerakan environementalis dari Jerman, ditandai dengan berdirinya German Green Party (GGP) tahun
1980. Sebagai partai yang sangat atraktif pada masa itu, GGP yang bersimbol bunga matahari di
benderanya memiliki 4 pilar prinsipil, yakni: Ecological wisdom, Social justice, Grassroots democracy,
Nonviolence. (John Willey : 1995)
Kemunculan rezim lingkungan internasional ditandai oleh pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun
1972. Dua puluh tahun kemudian isu lingkungan hidup kembali dengan adanya konferensi di Rio de
Janeiro tahun 1992, membahas tentang kemerosotan lingkungan hidup karena pembangunan yang tidak
berkelanjutan. Hasil keputusan sidang tersebut bernama Agenda 21, menghasilkan kesepakatan berupa
rencana tindak kegiatan yang disepakati dunia untuk memecahkan lingkungan dan pembangunan. Sejak
saat itu pula, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) berkembang secara pesat,
di Indonesia sendiri dipopulerkan oleh Prof. Emil Salim.
Pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka
panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak
jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-
pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat
dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan
manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi
kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat
mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal
mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-
politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan
kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi
yang tinggi. (Emil Salim : 2003)
Pendekatan green politics terdiri dari dua bagian utama, yakni : ecocentrism dan anthropocentrism.
Ekosentrisme dikemukakan oleh Aldo Leopold, berfokus pada komunitas biotik sebagai satu keseluruhan
biosfer dan stabilitas komposisi ekologis. Land ethic dan good environmental management telah menjadi
kunci utama dalam pandangan filosofis ini. (Leopold : 1949) Ekosentrisme juga sering
disebut life-centered, atau deep ecology system. Sedangkan antroposentrisme dikemukakan oleh Arn
Naess, yang berfokus pada kewajiban moral manusia untuk menghargai alam karena didasarkan atas
kewajiban untuk menghargai sesama sebagai manusia. (Naess:1984) Konsep antroposentris juga biasa
disebut dengan human-centered. Dua perspektif tersebut termasuk dalam teori etika lingkungan hidup,
yang diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-
prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem
alam dan lingkungan sekitarnya. (Taylor: 1999)
Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi isu utama bagi kelestarian lingkungan
hidup. Dampak yang terjadi pun meluas sampai ke permasalahan krisis energi, krisis pangan, tentunya
juga degradasi lingkungan. Sejak dicanangkannya Protokol Kyoto tahun 1997, Amerika Serikat termasuk
negara penentang dan tidak meratifikasi kesepakatan tersebut. AS merasa dirugikan dengan adanya
usulan mereduksi emisi karbon dioksida sebesar 30%-50%, perusahaan domestik pun akan bangkrut.
Sebaliknya, AS menuduh negara berkembang yang tidak memiliki manajemen sampah yang baik,
sehingga menghasilkan gas metana (gas paling berbahaya bagi kerusakan ozon, di atas C02). Titik
penyebab utama permasalahan tersebut adalah dominasi penggunaan perspektif antroposentrisme dalam
melestarikan lingkungan hidup. Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan United Nations
Framework on Climate Change Conference 2007 telah menganjurkan adanya preferensi ekosentrisme
sebagai strategi kebijakan nasional setiap negara. Implementasi green politics dalam menstabilkan
environmental security tidak harus dari kalangan birokrat, tetapi semua lapisan bertanggung jawab
atasnya. Sebagai generasi muda, sudah sepatutnya melestarikan lingkungan hidup dimulai sejak dini dan
dari lingkup paling kecil (keluarga).
Lingkungan hidup memang menjadi isu area utama ketiga setelah keamanan internasional dan ekonomi
global. (Porter dan Brown : 1996) Meskipun cenderung bersifat low political issues, lingkungan hidup
dan intervensi humanisme mampu membawa pengaruh besar bagi sistem hubungan internasional.
Pembuat kebijakan dan pengambil keputusan senantiasa memprioritaskan unsur sosial humanis dan
keamanan bersama (collective security) di atas kepentingan yang hanya bersifat power politics. Salah satu
cara paling sederhana untuk menjaga kelestarian lingkungna hidup ialah sosialisasi penghematan energi
dan penerapan hemat listrik dan air di rumah, membuang sampah di tempatnya, dan melakukan
penghijauan satu jiwa satu pohon (minimal). Keamanan internasional telah mengkorelasi aspek
humanisme (manusia) dan ekologis (lingkungan) secara komprehensifdan sinergis. Semakin intensif
kebijakan tersebut berlaku di sektor domestik, semakin cepat perdamaian keberlanjutan tercapai.

Anda mungkin juga menyukai