Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Agustus 2013


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

URTIKARIA



OLEH :
Abd. Rahim Hariadi (10542 0007 08)
Anisyah Hariadi (10542 0010 08)
Sartika Akib (10542 0048 08)

PEMBIMBING :
dr. Wiwiek Dwiyanti, Sp.KK


DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2013
I. PENDAHULUAN
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Sinonim biasa
untuk urtikaria adalah hives","nettle rash, biduran dan kaligata. Urtikaria adalah
reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan
edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna
pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi
halo. Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk. Secara
umum, urtikaria dibagi menjadi bentuk akut dan kronis, berdasarkan durasi
penyakit dan bukan dari bercak tunggal. Disebut akut apabila serangan
berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama 4 minggu tetapi
timbul setiap hari, bila melebihi waktu tersebut digolongkan sebagai urtikaria
kronik. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak muda, umumnya laki-laki
lebih sering daripada perempuan. Urtikaria kronik lebih sering pada wanita usia
pertengahan. Ada kecenderungan urtikaria lebih sering diderita oleh penderita
atopik.
1-3

Walaupun patogenesis dan beberapa penyebab yang dicurigai telah
ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberi
hasil seperti yang diharapkan.
2
Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-
langkah umum untuk mencegah atau menghindari faktor pemicu dan
farmakoterapi. Penatalaksanaan tersebut distratifikasikan menjadi first-line
therapy, second-line therapy, dan third-line therapy.
4





II. EPIDEMIOLOGI
Umur, jenis kelamin, bangsa/ras, kebersihan, keturunan dan lingkungan
dapat menjadi agen predisposisi bagi urtikaria. Berdasarkan data dari
NationalAmbulatory Medical Care Survey dari tahun 1990 sampai dengan 1997
di USA, wanita terhitung 69% dari semua pasien urtikaria yang datang berobat ke
pusat kesehatan. Distribusi usia paling sering adalah 0-9 tahun dan 30-40 tahun.
Paling sering episode akut pada anak-anak adalah karena reaksi atau efek samping
dari makanan atau karena penyakit-penyakit virus. Sedangkan untuk urtikaria
kronik adalah urtikaria idiopatik atau urtikaria yang disebabkan karena autoimun.
5
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 50% urtikaria bersama-sama dengan
angioedema dan 10% angioedema saja. Kejadian urtikaria pada populasi
umumnya antara 1% sampai5%.
1,4,6
Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan
(0.48%) daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan prevalensi urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi,
lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota. Sedangkan insidensi urtikaria akut
pada suatu kota dengan penduduk lebih dari 500.000 orang mempunyai frekuensi
urtikaria akut yang secara signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah
penduduk kurang dari 500.000.
7


III. ETIOLOGI
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain:
2
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara
imunologik maupun non-imunologik.Obat sistemik (penisilin, sepalosporin,
dan diuretik) menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II.
Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast
untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras.
2

Gambar 1. Severe and acute urticaria caused by penicillin allergy
5


2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya
akibat reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah
telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan
semangka.
2
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal
ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).
2

Gambar 2 : A massive urticarial reaction to a wasp sting.
5

4. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid,
bahan kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
2
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu
binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik
(tipe I).
2
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang,
serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan
kimia, misalnya insect repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.
2

7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor
tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik
maupun non imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda
tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut
dermografisme atau fenomena Darier.
2

Gambar 3: Dermographism
8
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya
infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.
2
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .
2
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang
menunjukkan penurunan autosomal dominan.
2

11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan
urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.
2

IV. KLASIFIKASI
Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis
daripada etiologi karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau
patogenesis urtikaria dan banyak kasus karena idiopatik.
4
Terdapat bermacam-
macam klasifikasi urtikaria, berdasarkan lamanya serangan berlangsung
dibedakan urtikaria akut dan kronik.
2,4
1. Urtikaria Akut
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau
berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.
2
Lesi individu
biasanya hilang dalam < 24 jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan
sering dikaitkan dengan atopi. Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria akut
berkembang menjadi kronis atau rekuren.
4
2. Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu.
2

Pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama
lebih dari 6 minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya
mungkin parah dan dapat mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas
hidup.
4
3. Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di
tempat di mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa.
Urtikaria kontak dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE) atau
non-alergi (IgE-independen).
4

4. Urtikaria Fisik
a. Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik
dan merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya
berbentuk linier yang tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah
kulit digores. Dermographism tampak sebagai garis biduran (linear
wheal). Transient wheal atau biduran yang sementara muncul secara cepat
dan biasanya memudar dalam 30 menit akan tetapi, kulit biasanya
mengalami pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.
9

Gambar 4 : Dermographism: a frenzy of scratching by an already dermographic individual led
to this dramatic appearance.
5
b. Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan
atau tanpa immediate reaction, dan berlangsung sampai 24 - 48 jam.Erupsi
terdiri dari nodul eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan
delayed pressure urticaria.
9

c. Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria merupakan bentuk utama tetapi hanya 2%
dari urtikaria tetapi dapat terjadi untuk beberapa derajat dari sepertiga
pasien dengan urtikaria kronis, meskipun mereka kurang menyadari hal ini
kecuali mempetanyakan secara langsung. Sebagian besar pasien dengan
delayed pressure urticaria memiliki unsure yang sama dengan urticaria
kronik. Terjadi tekanan yang terus menerus setelah dioleskan pada kulit
lalu setelah 30n menit 9 jam, yang biasanya 4 - 8 jam dan berlangsung
selama 12 - 72 jam.
6

Gambar 5 : Extensive delayed pressure urticaria over the back after sitting against a hard surface.
Induced delayed dermographism is also seen on the upper back.
(Courtesy of St Johns Institute of Dermatology, London, UK.)
6



d. Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat,
dapat berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa
tahun karena paparan vibrasi okupasional seperti pada pekerja-pekerja di
pengasahan logam karena getaran-getaran gerinda. Urtikaria ini dapat
sebagai kelainan autosomal dominan yang diturunkan dalam keluarga.
Bentuk keturunan sering disertai dengan flushing pada wajah.
9


e. Cold urticaria
Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan
(herediter). Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang
meliputi perubahan dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung
dengan objek dingin. Jarak antara paparan dingin dan onset munculnya
gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata durasi episode adalah 12
jam.
6,9

Gambar 6 : urttcarla after an ice cube had been applled to theslte for 3 min.
8


f. Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh.
Cholinergic urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast.
Erupsi tampak dengan biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kira-
kira 1-2 mm yang dikelilingi oleh flare eritema sedikit atau luas
merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.
9

Gambar 7 : Typical small transient wheals of cholinergic urticaria
in this case triggered by exercise.
5

g. Local heat urticaria
Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi
dalam beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya
muncul 5 menit setelah kulit terpapar panas. Area yang terekspos menjadi
seperti terbakar, tersengat, dan menjadi merah, bengkak dan indurasi.
9








h. Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan
kadang-kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah
paparan dengan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan
faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam
Gambar 8 : Local Heat Urticaria.
10
darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan
sinar/cahaya yang terlihat.
9








i. Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks
terdiri dari pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan
intestinal), dan sinkop yang berbeda dari cholinergic urticaria. Exercise-
induced anaphylaxis memerlukan olahraga/exercise sebagai stimulusnya.
9


j. Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh
white halo yang terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria
terjadi karena peran norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah
Gambar 10 : Exercise-induced anaphylaxis.
11
Gambar 9 : Solar Urticaria.
11
rangsangan faktor pencetus seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan
coklat.
9

k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus

Gambar 11 : Aquagenic urticaria on the back after swimming,
showing a few small papular weals surrounded by wide fl ares.
(Courtesy of Norfolk and Norwich University Hospital, UK.)
6

Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat
menghasilkan urtikaria dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria
karena bertindak sebagai pembawa antigen-antigen epidermal yang larut
air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil yang mirip dengan
cholinergic urticaria.
6,9


V. PATOGENESIS
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan
cairan setempat.Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai
kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi
akibat pelepasan mediator - mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow
reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan
atau basofil.
2
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel
mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang
non imunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate)
memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia
seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein,
polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik
misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya
belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan
mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan
pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya
demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh
darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.
2
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang
kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena
adanya reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka
terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas
tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan.
Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara
alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu
merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin
bakteri.
2-3,9
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik
dan kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria
akibat kontak dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis
serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin.Kekurangan C1 esterase inhibitor
secara genetik menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.
2,3

VI. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis urtikaria yaitu berupa munculnya ruam atau lesi kulit
berupa biduran yaitu kulit kemerahan dengan penonjolan atau elevasi berbatas
tegas dengan batas tepi yang pucat disertai dengan rasa gatal (pruritus) sedang
sampai berat, pedih, dan atau sensasi panas seperti terbakar. Lesi dari urtikaria
dapat tampak pada bagian tubuh manapun, termasuk wajah, bibir, lidah,
tenggorokan, dan telinga.Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibat
sengatan serangga, besarnya dapat lentikular, numular sampai plakat. Bila
mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan submukosa
atau subkutan, maka ia disebut angioedema. Urtikaria dan angioedema dapat
terjadi pada lokasi manapun secara bersamaan atau sendirian. Angioedema
umumnya mengenai wajah atau bagian dari ekstremitas, dapat disertai nyeri
tetapi jarang pruritus, dan dapat berlangsung sampai beberapa hari.
Keterlibatan bibir, pipi, dan daerah periorbita sering dijumpai, tetapi
angioedema juga dapat mengenai lidah dan faring. Lesi individual urtikaria
timbul mendadak, jarang persisten melebihi 24-48 jam, dan dapat berulang
untuk periode yang tidak tentu.
2,3,7,9


VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Angioedema


Gambar 12 : Angio-oedema of the lip (a) during and (b) 3 days after an attack.
(Courtesy of St Johns Institute of Dermatology, London, UK.)
6

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan
lapisan submukosa yang terjadi pada saluran napas dan saluran cerna.
Angioedema dapat disebabkan oleh mekanisme patologi yang sama dengan
urtikaria, namun pada angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam
dan jaringan subkutaneus. Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi
dan eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam daripada yang tampak pada
urtikaria, pembengkakan yang nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi
pada permukaan mukosa dari saluran nafas dan saluran cerna (pembengkakan
usus menyebabkan nyeri abdomen berat), serta suara serak yang merupakan
tanda paling awal dari edema laring.
3,9
2. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering
dijumpai. Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan
diameter terpanjang sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama
halus. Lokalisasinya dapat tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat
yang tertutup pakaian. Efloresensi berupa makula eritroskuamosa anular dan
solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian
sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai dengan garis
lipat kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon cemara. Lesi
inisial (herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk oval, anular,
berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.
2

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.
2
Pemeriksaan
darah rutin bisa bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyakit penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan seperti komplemen,
autoantibodi, elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan
urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C
1

inhibitor dan C
4
komplemen sangat penting pada kasus angioedema
berulang tanpa urtikaria.
12
Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu
diperiksa pada urtikaria dingin.
2
2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina.
Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.
2
3. Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan
melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik
(radio-allergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan
serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai
sebagai tes penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui adanya
faktor vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies.
13,14
4. Tes eleminasi makanan
Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi
satu.
2
5. Suntikan mecholyl intradermal
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa
urtikaria kolinergik.
2
6. Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila
dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu.
2
7. Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu
diagnosis.
2
Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis.
Tidak terdapat perubahan epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan
peningkatan jarak antara serabut-serabut kolagen karena dipisahkan oleh
edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di
papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu
terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin sejumlah
eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang
bersangkutan.
13,14
Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan
kronik. Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler,
yaitu campuran limfosit, polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-
sel inflamasi lainnya. Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan
histopatologi dari respon alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan
urtikaris yang sangat parah atau urtikaria atipikal memiliki vaskulitis pada
biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat keparahan
penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik (parah).
12


IX. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-
line therapy, dan third-line therapy.
4
1. First-line therapy
First-line therapy terdiri dari:
4
a. Edukasi kepada pasien:
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan
menggunakan bahasa verbal atau tertulis.
- Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang
tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang
adekuat, dan fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat
ditemukan.
b. Langkah non medis secara umum, meliputi:
- Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas,
stres, alcohol, dan agen fisik.
- Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE
inhibitor.
- Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan
urtikaria.
- Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1%
atau 2%.
c. Antagonis reseptor histamin
Antagonis reseptor histamin H
1
dapat diberikan jika gejalanya
menetap. Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat
bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu
menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Secara klinis dasar
pengobatan pada urtikaria dan angioedema dipercayakan pada efek
antagonis terhadap histamin pada reseptor H
1
namun efektifitas tersebut
acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam
perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang
berkhasiat terhadap reseptor H
1
tetapi nonsedasi golongan ini disebut
sebagai antihistamin nonklasik.
2

Antihistamin golongan AH
1
yang nonklasik contohnya adalah
terfenadin, aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini
diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam.
Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4
jam (misalnya terfenadin) sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam
setelah pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung lebih lama
dibandingkan dengan AH
1
yang klasik bahkan aztemizol masih efektif 21
hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga
dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long acting. Keunggulan
lain AH
1
non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak
dapat menembus sawar darah otak.
2
Antagonis reseptor H
2
dapat berperan jika dikombinasikan dengan
pada beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit
adalah tipe H
2
. Antagonis reseptor H
2
sebaiknya tidak digunakan sendiri
karena efeknya yang minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis
reseptor H
2
adalah cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan famotidine.
4
2. Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-
line therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-
farmakologi.
a. Photochemotherapy
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen
plus UVA [PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola
urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.
4

b. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis
reseptor H
1
dan H
2
dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai
efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik.
Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang
bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat
bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang
dianjurkan untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang
menunjukkan efek signifikan pada reseptor H
1
dan memiliki aktivitas
antipruritus. Telah dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus
urtikaria fisik dan delayed-pressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.
4
c. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin
mungkin gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping
bermasalah. Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon
dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka
pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan,
mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam
urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon dengan antihistamin.
Sebuah kursus singkat dari kortikosteroid oral (diberikan setiap hari
selama 5-7 hari, dengan atau tanpa tappering) atau dosis tunggal injeksi
steroid dapat membantu ketika digunakan untuk episode urtikaria akut
yang tidak respon terhadap antihistamin. Kortikosteroid harus dihindari
pada penggunaan jangka panjang pengobatan urtikaria kronis karena efek
samping kortikosteroid seperti hiperglikemia, osteoporosis, ulkus
peptikum, dan hipertensi.
4
Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone,
methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi
prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis
dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak
0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat
mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60
mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis
anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis).
Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas
kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-
anak 0.16-0.8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.
13

d. Leukotriene Receptor Antagonist
Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan
mempunyai respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria
kronis atau pada individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist
seperti montelukast, zafirlukast, dan zileuton menunjukkan keunggulan
yang lebih dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan pasien dengan
urtikaria kronik.
4
e. Antagonis saluran kalsium
Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan
whealing pada pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau
dikombinasikan dengan antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan
dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast kutaneus.
4
3. Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak
berespon terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy
menggunakan agen immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine,
tacrolimus, methotrexate, cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan
intravenous immunoglobulin (IVIG). Pasien yang memerlukan third-line
therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun dari urtikaria kronik. Third
line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone, albuterol
(salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine,
hydroxychloroquine, dan warfarin.
4
a. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam
mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine
dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga
pasien dengan urtikaria kronik yang tidak berespon terhadap antihistamin.
Tacrolimus dengan dosis 20-g/mL setiap hari dapat mengobati pasien
dengan corticosteroid-dependent urticaria.
4

Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen
pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme
yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi
anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1
dan memblok pelepasan histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen.
4
b. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan
urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk
mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan
harus diselidiki dalam hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant
pharmacotherapy.
4

c. Obat lainnya
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola
urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin
paling berguna untuk urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik
idiopatik dan telah dikaitkan dengan respon yang baik pada
hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun 2-adrenoceptor agonist
terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik,
penggunaannya umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti
takikardia dan insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak
pasien.
4


X. PROGNOSIS
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat
diatasi, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit
dicari.
2










DAFTAR PUSTAKA

1. Harahap, M. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. Hal.200
2. Djuanda, A. (2008). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 153-159.
3. Habif TP. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4
th
ed.
London: Mosby; 2004.p. 59-129
4. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria a review. Am J Clin Dermatol;
10(1): 9-21
5. Hunter J, Savin J, Dahl M. Reactive erythema and vasculitis. Clinical
Dermatology. 3
rd
ed. Blackwell Publishing; 2002. p. 94-9.
6. Williams, J, Timothy, B, (2006). Erythema and Urticaria. Clinical Dermatology.
10
ed.
Saunders Elsevier Publishing.
7. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in
Spain. J Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220
8. Grattan C, Black AK. Urticaria and Angioedema. In : Bolognia JL, Jorizzo JL,
Rapini RP, editors. Dermatology. 2
nd
edition. USA: Mosby Elsevier; 2008.
9. Tony B., Stephen B., (2004). Urticaria and Mastocytosis. Texbook Of
Dermatology. 7
ed
. Blacwell Science Publishing.
10. Perdanakusuma, D.S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Kulit.
Surabaya Plastic Surgery, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari
http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit-dan-
penyembuhan.html
11. http://emedicine.medscape.com/article/762917-overview. di akses tgl 02 agustus
2013
12. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Desember
2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
13. Gawkrodger DJ. Dermatology: An Illustrated Colour Text. 3
rd
ed. Elsevier
Science Limited; 2002. p. 72-3
14. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC
15. Soter N. A, Kaplan A.P. Urticaria and Angioedema. In : Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatricks Dermatology
In Genereal Medicine 7
th
ed. New York : McGraw-Hill Inc; 2003. p. 330-341.

Anda mungkin juga menyukai