Adhe William Fanggdae 102007122 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat adhewilliam@gmail.com
PENDAHULUAN I nflammatory Bowel Disease (I BD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran pencernaan dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, Kolitis Ulseratif, penyakit crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori indeterminate Colitis. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya yang telah diketahui penyebabnya seperti infeksi, iskemia dan radiasi. EPIDEMIOLOG Di Indonesia belum dapat dilakukan studi epidemiologi ini. Data dari berbagai rumah sakit terlihat berbagai variasi akurasi diagnosis antar laporan, mengingat akan terdapatnya perbedaan antara saranan diagnostik penunjang yang tersedia. Sarana diagnostik di pusat rujukan anak dapat pengobatan definitifnya. Tetapi sistem rujukan di Indonesia belum berkembang secara optimal sehingga sebagian besar kasus terduga IBD akan mengalami under-diagnosed atau justru dapat terjadi over-diagnosed tentang IBD. Insidens IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara berkembang. Di Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000 populasi/tahun dan 2,3 kasus baru Kolitis Ulserativa pada kelompok usia 10-19 tahun. Secara umum, prevalens IBD hampir sama angka kejadiannya pada laki-laki dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, didaerah urban, dan terutama bangsa Yahudi, akan tetapi laki-laki mempunyai insidens 20% lebih tinggi pada Penyakit Crohn. 2
Puncak onset usia IBD bersifat bimodal, dan kasus paling sering terjadi pada usia dekade ke-2 dan ke-3. Pada anak, Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia 10-16 tahun, dan sekitar 25% kasus baru di populasi berusia <20> Pada populasi anak, penelitian epidemiologi pospektif dan retrospektif telah dilakukan di beberapa negara dalam 10 tahun terakhir. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa insidens Penyakit Crohn 0,2-5,9 per 100.000 anak/tahun, dan insidens Kolitis Ulserativa 0,5-3,2 per 100.000 anak/tahun. ETIO-PATOGENESIS Sampai saat ini belum di ketahui secara jelas etiologi IBD maupun penjelasannya yang memadai mengenai pola distribusinya. Penyebab kolitis ulserativa dan penyakit Crohn tidak diketahui. Kolitis dan penyakit Crohn disebabkan oleh aktivasi abnormal sistem kekebalan di usus. Sistem kekebalan terdiri dari sel-sel kekebalan tubuh dan protein yang menghasilkan sel-sel seperti anti neutrofil sitoplasmic autoantibodi. Teori adanya peningkatan permeabilitas epitel usus, peran nitrit oksida, dan riwayat infeksi (terutama mikobakterium paratuberkulosis) banyak dikemukakan. Aktivasi dari sistem kekebalan tubuh menyebabkan peradangan dalam jaringan yang bersangkutan. Peradangan pada kenyataannya adalah mekanisme pertahanan yang penting yang digunakan oleh sistem kekebalan tubuh normal, Sistem kekebalan tubuh diaktifkan hanya ketika tubuh terkena penyerang berbahaya/ ada pencetus. Secara umum diperkirakan bahwa proses pathogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus. Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah: A. Faktor Genetik Penderita IBD mempunyai faktor predisposisi genetik. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa 25% penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD. (penulis lain 10-25%). Pada kembar monozigot peluang untuk Penyakit Crohn sekitar 42%-58% dan peluang untuk Kolitis Ulserativa sekitar 6%-17%. Sampai saat ini telah ditemukan beberapa kelainan kromosom yang berhubungan dengan Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa atau keduanya. Kromosom 16 (gen IBDI) atau gen CARD15 berhubungan dengan Penyakit Crohn. Perinuclear antinetrophil antibody (pANCA) ditemukan pada 70% penderita Kolitis Ulserativa. Kromosom 5 (5q31), 6 (6p21 dan 19p) sering ditemukan pada penderita IBD. 3
B. Faktor Lingkungan Beberapa agen infeksius diduga sebagai penyebab IBD. Akan tetapi, isolasi agen infeksius dari jaringan IBD tidak dapat membuktikan hubungan antara agen infeksius sebagai etiologi IBD karena pada IBD sering disertai koloni bakteri oportunistik pada mukosa yang mengalami inflamasi. Selain itu pemberian antibiotika tidak mempengaruhi perjalanan penyakit IBD. Sampai ini belum ada data mengenai transmisi secara epidemik agen infeksius pada IBD. Faktor lingkungan lain yang diduga pencetus IBD adalah stres psikososial, faktor makanan, seperti pajanan susu sapi atau food additives, asupan serat kurang dan zat toksin lingkungan. C. Faktor Imunologi Kelainan respon kekebalan telah diduga mempunyai peranan dalam patogenesis IBD. Pada IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, sistem kekebalan akan mengalami kelainan regulasi yang bersifat menetap dan bertindak sebagai lingkaran setan yang mengakibatkan proses inflamasi. Sel T helper/CD4+ mempunyai peran penting dalam kelainan regulasi sistem kekebalan pada IBD. Sel Th1 menghasilkan interleukin (IL)-2, interferon (INF)-g, dan tumor necrosis factor (TNF)-a yang merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin yang dihasilkan akan merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan granuloma, merupakan gambaran histologi yang sering ditemukan pada Penyakit Crohn.. Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan sitokin seperti IL-4. IL-5, Il-6 dan Il-10, akan merangsang antibody- mediated immune respons. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan oleh aktivasi antibodi dan komplemen lebih sering ditemukan pada Kolitis Ulserativa. Beberapa penelitian telah membuktikan kelainan autoimun dengan adanya antibodi, immune-complex complement atau aktifitas limfosit terhadap mukosa kolon, namun semua fenomena ini tidak berlangsung secara konsisten dan tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit. Selain itu, adanya kerusakan sel mukosa tanpa disertai adanya agen eksogen spesifik, dan respon terhadap pemberian kortikosteroid dan obat imunosupresif mendukung kemungkinan mekanisme kelainan kekebalan. Pada Kolitis Ulserativa ternyata berhubungan dengan prevalens atopi keluarga, dan umumnya disertai dengan kelainan ekstraintestinal seperti eritema nodusum, artritis, dan uveitis. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum dapat dibuktikan apakah kelainan kekebalan tersebut mempunyai peranan primer atau sekunder pada patogenesis IBD. Diduga, kelainan kekebalan poligenik, yang menjelaskan manifestasi klinis yang beragam pada IBD. 4
Sistem kekebalan humoral lokal saluran gastrointestinal pada IBD diduga mempunyai kelainan. Pada periode neonatus, defisiensi immunoglobulin A (IgA) sekretori atau fungsi barier mukosa yang imatur akan menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein di lumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi peningkatan pajanan terhadap makromolekul dan sensitasi sistem kekebalan saluran pencernaan terhadap antigen, bakteri atau alergen makanan dan perubahan sekresi dan komposisi mukus. Pendapat lain mengatakan bahwa local gut associated lymphoid tissue mengalami sensitasi terhadap antigen, kemudian membentuk tahapan/dasar yang kemudian hari teraktivasi oleh pajanan cross- reacting antigents melalui respon imun antibody-dependent cell-mediated. GAMBARAN KLINIK Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstra intestinal seperti arthritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum dan kolangitis. Disamping itu tentunya disertai dengan gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti gangguan nutrisi. Gambaran klinis kolitis ulseratif (KU) relatif lebih seragam dibandingkan gambaran klinis pada penyakit Crohn (PC). Hal ini disebabkan distribusi anatomik saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi yaitu dapat melibatkan atau terjadi pada semua segmen saluran cerna, mulai dari mulut sampai anorektal. Derajat klinik kolitis ulseratif (KU) dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang terjadi dan laju endap darah. Perjalanan penyakit KU dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Penyakit ringan berkorelasi dengan kotoran berdarah berselang sampai 4 kali sehari dengan bagian yang tebal, lendir putih. Keterlibatan biasanya terbatas pada rektum (proktitis) atau rektosigmoid kolon (proktosigmoiditis atau kolitis distal). Mungkin ada sakit perut ringan atau kram. Pasien mungkin percaya bahwa mereka adalah sembelit padahal sebenarnya mereka mengalami tenesmus, yang adalah perasaan konstan kebutuhan untuk mengosongkan usus disertai dengan upaya paksa tegang, sakit, dan kram dengan output sedikit kotoran atau tidak. nyeri rektal ini jarang terjadi. 5
Penyakit sedang sering berhubungan dengan kotoran berdarah sekitar 10 kali sehari, anemia (yang tidak memerlukan transfusi), sedang sakit perut, dan demam low grade, 38-39 C (99,5-102,2 F). Keterlibatan dapat memperpanjang sampai lentur lienalis (kolitis sisi kiri). Penyakit yang parah, atau penyakit fulminan, berhubungan dengan kotoran berdarah lebih dari 10 kali sehari, kram perut yang parah, demam sampai 39,5 C, anemia yang membutuhkan transfusi, hipotensi, dan penurunan berat badan yang cepat dengan nutrisi yang tidak mencukupi. Keterlibatan mungkin atau mungkin tidak memperpanjang ke sekum (pankolitis). Pasien dalam kategori ini mungkin sekedar memperluas peradangan lapisan mukosa, motilitas kolon menyebabkan gangguan dan menyebabkan megakolon beracun. Jika membran serosa yang terlibat, perforasi kolon dapat terjadi. Berbagai jenis kolitis ulseratif diklasifikasikan menurut lokasi dan tingkat peradangan. Ulseratif proktitis mengacu pada peradangan yang terbatas pada rektum. Pendarahan rektum mungkin merupakan satu-satunya gejala. Di samping itu juga mengalami rasa sakit di rektum, urgensi (merasa tiba-tiba harus buang air besar), dan tenesmus. Proktosigmoiditis, melibatkan radang rektum dan kolon sigmoid. Gejala proktosigmoiditis, seperti halnya proktitis, termasuk perdarahan rektum, urgensi, dan tenesmus. Kadang terdapat diare dan kram perut. Kolitis sisi kiri, melibatkan peradangan yang dimulai di rektum dan meluas ke kiri usus besar. Gejala kolitis sisi kiri meliputi diare berdarah, kram perut, penurunan berat badan, dan nyeri perut sisi kiri.
Pankolitis atau kolitis universal adalah peradangan yang mempengaruhi seluruh kolon (usus besar kanan, kiri kolon, kolon melintang dan rektum). Gejala pankolitis meliputi diare berdarah, nyeri perut dan kram, penurunan berat badan, kelelahan, demam dan berkeringat di malam hari. Beberapa pasien dengan pankolitis memiliki kelas peradangan rendah dan gejala-gejala ringan yang mudah untuk merespon obat. Secara umum, pasien dengan pankolitis berat diderita lebih banyak dan lebih sulit diobati dibandingkan dengan bentuk yang lebih terbatas dari kolitis ulserativa. Kolitis fulminan adalah bentuk pankolitis berat tapi jarang ditemukan. Pasien dengan kolitis fulminan sangat sakit dengan dehidrasi , sakit perut yang 6
parah, diare berkepanjangan dengan perdarahan, dan bahkan shock . Mereka berisiko terkena megakolon toksik (ditandai dilatasi dari usus karena inflamasi berat) dan pecah usus (perforasi). Adanya gambaran klinis IBD yang bervariasi ini memerlukan pengetahuan yang cukup memadai untuk membedakannya dengan penyakit lain yang sering di Indonesia seperti kolitis infeksi dan tuberkulosis usus. Gambaran klinis bahkan endoskopik dan radiologik sulit untuk membedakan PC dengan tuberkulosis gastrointestinal, yang mempunyai prediksi anatomik yang sama yaitu di daerah ileocaecal. Setelah mendapatkan diagnosis IBD, masuk dalam tahap berikutnya, yaitu membedakan apakah colitis ulseratif, penyakit Crohn atau untuk sementara dimasukkan dalam kategori Indeterminate colitis bila sulit dibedakan. Gejala klinis IBD pada anak berbeda dibanding dewasa. Pada anak, gejala klinis yang sering dikeluhkan adalah nyeri perut. Selain itu beberapa gejala klinis gastrointestinal yang sering ditemukan adalah diare, perdarahan rektum, massa abdomen dan kelainan perianal. Onset klinis IBD dapat terjadi perlahan (insidious), dengan gejala klinis tidak spesifik gastrointestinal atau gejala ekstraintestinal seperti gagal tumbuh. Hal ini sering menyebabkan terlambat diagnosis atau diagnosis yang tidak tepat. Gagal tumbuh terjadi pada 10-40% penderita IBD. Gambaran klinis IBD pada anak tegantung dari lokasi dan luasnsya proses inflamasi traktus gastrointestinal, gejala klinis ekstrainterstinal, dan akibat penyakit pada tumbuh kembang harus dipertimbangkan dalam evaluasi diagnosis. Gambaran gejala klinis IBD pada anak dan dewasa seperti tabel dibawah ini.
Gejala Klinis Kolitis Ulserativa Penyakit Crohn Anak Dewasa Anak Dewasa Nyeri perut Diare Perdarahan Rektum Penurunan berat Badan Demam 71% 67% 52% 39% 12% 33-53% 37-80% 80-90% 43% 27% 62-95% 66-77% 80-92% 22-83% 14-60% 60% 60-100% 20% 34% 26-51% 7
Gagal tumbuh Artritis 6% 16% - 13% 30-33% 15-25% - 4-7% Tabel Gambaran klinis IBD Pada Penyakit Crohn diare, nyeri perut (sering dirasakan setelah makan), kram periumbilikal, demam, dan penurunan berat badan adalah gejala klinis yang paling umum dan menandakan adanya inflamasi di usus halus. Perdarahan rektum terjadi jika mengenai kolon. Gejala klinis ekstraintestinal atau gagal tumbuh mungkin sebagai gejala awal dari Penyakit Crohn. Diare yang terjadi terutama disebabkan oleh malabsorbsi akibat inflamasi pada mukosa, obstruksi parsial yang menyebabkan stasis dan pertumbuhan berlebih dari bakteri, atau dengan adanya fistula enteroenteral atau enterokolika. Diduga prevalens malabsorbsi pada anak dengan penyakit Crohn sekitar 17% terhadap laktosa, 29% terhadap lemak, 70% terhadap protein. Diare berdarah yang menandakan keterlibatan kolon, biasanya disertai nyeri perut dan urgensi untuk defekasi karena terjadi peningkatan kecepatan transit di kolon dan distensi dari bagian kolon yang mengalami inflamasi. Pada umumnya gejala klinis Kolitis Ulserativa berupa diare, peradarahan rektum, nyeri perut, tenesmus ani dan tinja berdarah yang terjadi secara perlahan (insidious) tanpa disertai gejala sistemik, berat badan turun, atau hipoalbuminemia. Sekitar 30% anak dengan gejala sistemik dan disertai diare berdarah, kram, urgensi anoreksi, penurunan berat badan dan demam. Sebagian dari anak dengan derajat berat akan mengalami kolektomi karena tidak berespon terhadap terapi medikamentosa. Gejala ekstraintestinal pada IBD terjadi pada 25-35% penderita. Gejala Klinis ekstraintestinal yang sering terjadi berupa: Tempat Manifestasi Kulit Hati Tulang Sendi Mata Eritema nodusum, pioderma gangrenosum Infiltrasi lemak, sclerosing cholangitis, hepatitis kronis, kolelitiasis Osteopenia, aseptik nekrosis Artritis, ankylosing spondilitis, sakro-ilitis Uveitis, episkleritis, kerastitis 8
Gejala ekstraintestinal tersebut terbagi menjadi 4 kelompok: Kelompok 1 : Secara langsung berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus gastrointestinal, biasanya respon pada terapi kelainan gastrointestinal (seperti demam dan anemia) Kelompok 2 : Tidak berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus gastrointestinal (seperti sclerosis cholangitis) Kelompok 3 : Akibat dari kelainan traktus gastrointestinal (seperti obstruksi uretra) Kelompok 4 : Timbul akibat dari terapi (seperti drug-induced pancreatitis) Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah, peripheral form (10% penderita) umumnya mengenai sendi besar (lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, sendi siku) dan biasanya berhubungan dengan inflamasi kolon yang aktif. Yang kedua, adalah bentuk aksial berupa ankylosing spondilitis atau sakroilitis. Bentuk aksial jarang terjadi pada anak. Gambaran ekstraintestinal yang dapat timbul sebagai gejala awal dan petunjuk pada Penyakit Crohn adalah kelainan perianal, stomatitis, eritema nodusum, eritema sendi besar, uveitis, dan jari tabuh serta gagal tumbuh. Kelainan perianal lebih sering terjadi pada penyakit Crohn dibanding Kolitis Ulserativa berupa skin tags, abses perianal, atau fisura dan fistula yang tidak nyeri. Artritis dapat terjadi pada 11% kasus dan bersifat monoartikular terutama pada lutut dan pergelangan kaki atau poliartritis 9
migran tanpa disertai kerusakan sendi atau deformitas. Artritis sering terjadi pada penderita dengan kelainan kolon dan cenderung berhubungan dengan aktifitas penyakit. Eritema nodusum terjadi pada 5% kasus dan berhubungan dengan aktivitas penyakit terutama inflamasi pada kolon. Uveitis yang terjadi berupa simtomatik pada 3% anak dan asimtomatik pada 30% anak. Gagal tumbuh terjadi pada 87% anak, dan disertai dengan osteoporosis serta gangguan maturasi seksual. Seperti halnya pada penyakit Crohn, pada Kolitis Ulserativa terjadi gejala klinis ekstraintestinal. Gejala ekstraintestinal yan sering dijumpai seperti artritis sendi besar, lesi kulit pioderma gangrenosum atau eritema nodusum (lebih sering pada Penyakit Crohn) dan gagal tumbuh. Selain itu, insidens kelainan hepatobilier pada Kolitis Ulserativa mencapai 5-10% dan kelainan yang sering ditemukan adalah sclerosing cholangitis. Derajat berat gejala klinis Penyakit Crohn terbagi 3 kriteria yaitu: Ringan-sedang Dapat mentoleransi diet secara oral tanpa dehidrasi, demam, nyeri perut, massa abdomen, obstruksi, atau penurunan berat badan >10% Sedang-berat Tidak respon terhadap terapi derajat ringan-sedang atau gejala demam menetap, penurunan berat badan yang tidak signifikan, nyeri perut, mual dan muntah intermiten (tanpa adanya obstruksi), atau anemia yang signifikan. Berat-fulminan Gejala klinis yang persisten meskipun telah mendapat kortikosteroid, atau penderita dengan demam tinggi, muntah persisten, obstruksi intestinal, kaheksia atau abses intra abdominal. Pada Kolitis Ulserativa, setidaknya terdapat 4 bentuk gejala dan tanda klinis yang berhubungan dengan derajat peradangan mukosa dan gangguan sistemik. Prodromal (<5%) Kegagalan pertumbuhan, artropati, eritema nodusum, occult fecal blood. Peningkatan LED, nyeri 10
perut tidak khas, atau perubahan pola defekasi. Ringan (50-60%) Diare, perdarahan rektum ringan, nyeri perut, tidak ada gangguan sistemik Sedang (30%) Diare berdarah, kram, urgensi, abdominal tenderness Gangguan sistemik: anoreksia, penurunan berat badan, panas badan, anemia ringan Berat (10%) Defekasi berdarah >6x/hari, abdominal tenderness dengan atau tanpa distensi, takikardia, panas badan, penurunan berat badan, anemia yang signifikan, lekositosis dan hipoalbuminemia
DIAGNOSIS Diagnosis penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi, gambaran mukosa dengan endoskopi, dan histopatologi. A. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik Anamnesis yang lengkap tentang gejala gastrointestinal, gejala sistemik, riwayat keluarga, gagal tumbuh, adanya keterlambatan perkembangan dan kematangan seksual serta manifestasi ekstraintestinal. Pemeriksaan fisik tanda-tanda dehidrasi, status nutrisi dan gejala ekstraintestinal. Adanya hipotensi ortostatik, takikardia, distensi abdomen dan adanya massa merupakan indikasi parahnya penyakit dan memerlukan perawatan. B. Pemeriksaan Laboratorium Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk IBD. Pemeriksaan laboratorium dapat membantu dalam menilai keberhasilan pengobatan, petanda inflamasi, petanda gejala klinis ekstraintestinal dan status nutrisi. Pemeriksaan feses rutin dan biakan mikroorganisme feses dilakukan untuk eksklusi penyakit infeksi 11
Dua petanda antibodi spesifik IBD telah diketahui antibodi tersebut adalah perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) dan antibodi anti saccharomyces cervisiae (ASCA). Antibodi pANCA ditemukan pada 80% Kolitis Ulserativa dan 45% pada Penyakit Crohn. Sedangkan antibodi ASCA ditemukan pada 60-70% Penyakit Crohn dan 14% pada Kolitis Ulserativa. Pada 2 penelitian seroepidemiologi menunjukkan bahwa kombinasi pANCA positif dan ASCA negatif mempunyai prediksi positif Kolitis Ulserativa sebesar 88-92%. Sedangkan kombinasi pANCA negatif dan ASCA positif mempunyai nilai prediksi positif Penyakit Crohn 95-96%. C. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi abdomen posisi tegak dan terlentang untuk mengevaluasi dilatasi kolon dan eksklusi obstruksi yang berhubungan dengan ileus, obstruksi, pneumoperitonium karena perforasi. Barium enema dapat menilai karakteristik dan luas kelainan kolon, akan tetapi tidak boleh dilakukan pada penyakit akut (active disease), yaitu kolitis aktif karena dapat menyebabkan dilatasi toksik. Pada kolitis ringan dan sedang tanpa distensi abdomen, barium enema dengan double contrast dapat mendeteksi kelainan mukosa berupa karakteristik lesi, deformitas sekum, kelainan segmental/seluruh kolon. Pemeriksaan barium enema dapat menentukan adanya pemendekan vili, hilangnya haustrae, pseudopoli, striktur dan spasme pada IBD. Pemeriksaan radiologi traktus gastrointestinal atas dengan follow trough sampai dengan usus halus dapat menentukan ada/tidaknya kelainan pada usus halus. Pada Penyakit Crohn, ileum terminal tampak rigid, konstriksi, dan nodular dengan deformitas akibat proses inflamasi transmural. Pada Kolitis Ulserativa dapat ditemukan backwash-ileitis, berupa gambaran mukosa yang menghilang dan ileum terminal dilatasi tanpa disertai penebalan dinding. Selain itu, tidak ditemukan kelainan lain dari usus halus pada Kolitis Ulserativa. Kelainan yang dapat dilihat pada pemeriksaan barium enema dengan double contrast kolon penderita IBD adalah. Gambaran stove-pipe Gambaran rectal sparing Gambaran thumbprinting Gambaran skip lesion Gambaran string sign Gambaran collar button 12
Pemeriksaan lain yang dapat membantu adalah ultrasonografi dan CT scan. Pemeriksaan tersebut terutama untuk menentukan adanya abses intra abdomen. D. Pemeriksaan Endoskopi Kolonoskopi secara visual langsung mukosa dengan biopsi mukosa pada kolon dan ileum termminal merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik pada IBD. Kontraindikasi kolonoskopi pada kolitis yang berat, karena resiko perforasi, perdarahan dan menginduksi megakolon toksik. Kelainan mukosa pada Penyakit Crohn berupa lesi diskret atau aphthae pada mukosa dengan eksudat sentral dan eritema dan gambaran cobblestone-like appearance. Diantara daerah lesi terdapat daerah mukosa yang normal (skip area). Pada Kolitis Ulserativa, kelainan mukosa difus dan kontinyu dengan edema, eritema, dan erosi mukosa serta pseudopolyp. Kolonoskopi pada penderita IBD dapat digunakan untuk tindakan terapi. Tindakan yang sering dilakukan berupa dilatasi striktur pada Penyakit Crohn dan injeksi intralesi kortikosteroid (triamnisolon 5 mg pada 4 kuadran) dapat membantu untuk mencegah pembentukan striktur berulang. DIAGNOSIS BANDING Gejala klinis dan ektraintestinal yang beragam menyebabkan diagnosis Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa sulit ditegakkan. Beberapa kelainan yang menyerupai IBD adalah Chronic inflamatory-like intestinal disorder seperti enterokolitis karena infeksi (bakteri dan parasit, kelainan sistem imunitas (seperti gastroenteritis eosinofilik), kelainan vaskular (seperti vaskulitis sistemik, Henoch-Scholein Purpura, sindrom hemolitik-uremik) dan kolitis Hisrchsprung serta limfoma intestinal, serta keganasan. PENGOBATAN Mengingat bahwa etiopatogenesis IBD belum jelas maka pengobatannya lebih ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi. Dengan dugaan adanya faktor/agen proinflamasi yang dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada kelompok rentan, maka diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik, lavase usus, pengikat produk bakteri, mengistirahatkan kerja usus dan perubahan pola dietetik. Pada prinsipnya pengobatan IBD ditujukan pada serangan akut dan terapi pemeliharaan waktu fase remisi. Obat baku pertama mengandung komponen 5-acetil salicylic acid (5-ASA) dan obat kortikosteroid 13
(baik sistemik maupun topikal). Bila gagal, maka diberikan obat lini kedua yang pada umumnya bersifat imunosupresif (seperti 6-merkaptopurin, azatiprin, siklosporin dan metotreksat), anti-TNF (infliximab). Preparat 5-ASA dapat dalam bentuk oral/sistemik atau supositoria/enema. Pada kasus tertentu atau terjadi komplikasi perforasi, perdarahan masif, ileus karena stenosis dan megatoksik kolon maka diperlukan intervensi bedah Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah komplikasi dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memeperbaiki status nutrisi dan kualitas hidup. Konsultasi ke bagian Gizi dilakukan karena gagal tumbuh sering terjadi pada penderita IBD. Tujuan dari dukungan nutrisi adalah pemulihan hemostasis metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti ongoing losses; kecukupan energi, protein dan mineral untuk keseimbangan positif nitrogen dan penyembuhan. Sampai saat belum diketahui zat makanan tertentu yang menyebabkan aktivasi IBD. Pemberian nutrisi enteral mungkin mempengaruhi proses inflamasi pada Penyakit Crohn, tetapi tidak mempunyai penranan dalam proses inflamasi pada Kolitis Ulserativa. A. Terapi Medikamentosa Medikamentosa yang digunakan untuk induksi remisi, mempertahankan remisi, mencegah dan mengurangi relaps adalah: 1. Aminosalisilat (ASA), terutama untuk mempertahankan remisi. Dosis tinggi digunakan untuk induksi remisi. Sulfasalasin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis, dapat ditingkatkan sampai 75 mg/kg Mesalamin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam2-4 dosis (maksimal 3,2g/hari) Olsalazin, dosis 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis 2. Kortikosteroid, untuk induksi remisi. Tidak berperan dalam mempertahankan remisi. Prednison, dosis: 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal atau dosis terbagi Metilprednisolon, dosis: 2 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis 3. Imunomodulator, digunakan untuk induksi dan mempertahankan remisi. 14
Azathioprine, dosis: 2-2,5 mg/kg/hari dosis tunggal 6-Mercatopurin, dosis: 1,5 mg/kg/hari dosis tunggal 4. Anti-tumor necrosis factor untuk induksi remisi infliximab merupakan antibodi monoklonal anti-TNF-alfa. Infliximab, dosis: 5 mg/kg dilarutkan dengan 250 ml NaCl fisiologis secara intravena. Infliximab dosis tunggal untuk Penyakit Crohn derajat moderat-berat atau pada fistula dengan dosis 5mg/kg dalam 2 jam 3 kali pada minggu 0, 2, dan 6, sering diikuti pemberian setiap 8 minggu. Data penggunaan infliximab pada Kolitis Ulserativa tidak sebaik pada Penyakit Crohn. 5. Antibiotika Metronidazole, dosis: 30-50 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Metronidazole diberikan pada kelainan perianal Penyakit Crohn Terapi medikamentosa pada Kolitis Ulserativa tergantung dari derajat berat dan luasnya inflamasi. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk mengendalikan proses inflamasi, menghilangkan gejala klinis, mencegah komplikasi, dan mencegah relaps, serta mempersiapkan untuk tindakan bedah karena 20% penderita akan mengalami tindakan bedah. Luasnya inflamasi terbagi menjadi 2 tipe yaitu: Tipe distal, inflamasi terbatas pada kolon dibawah fleksura llienalis dan dapat dicapai dengan terapi topikal Tipe ekstensif, inflamasi meluas kearah proksimal dari fleksura lienalis dan memerlukan terapi sistemik Pada Penyakit Crohn sampai saat ini belum ada terapi definitif, penatalaksanaan umumnya terdiri dari terapi medikamentosa dan dukungan nutrisi. Sampai saat ini, belum ada regimen medikamentosa yang dapat mempengaruhi outcome jangka panjang Penyakit Crohn. Oleh karena itu, medika mentosa digunakan untuk serangan eksaserbasi dan mengurangi frekuensi serangan eksaserbasi.
15
B.Terapi Bedah Pendekatan terapi bedah pada IBD tergantung dari jenis dan berat penyakit. Tujuan terapi bedah pada Kolitis Ulserativa dan Penyakit Crohn berbeda. Karena kelainan Kolitis Ulserativa terbatas pada kolon, maka total kolektomi merupakan terapi definitif. Akan tetapi, pada Penyakit Crohn dimana kelainan traktus gastrointestinal dapat terjadi mulai dari mulut sampai anus, saat ini belum ada terapi bedah definitif. Indikasi bedah Penyakit Crohn adalah: Obstruksi traktus gastrointestinal Fistula Abses Perdarahan yang tidak terkontrol Megakolon toksik Perforasi Penyakit fulminan yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa Gagal tumbuh dengan kelainan mukosa traktus gastrointestinal yang terbatas (localized disease) Indikasi bedah untuk Kolitis Ulserativa adalah: Megakolon toksik Perdarahan yang masif/tidak terkontrol Perforasi Prolonged corticostreoid dependent Komplikasi akibat kortikosteroid pada penyakit kronis aktif 16
Gagal tumbuh setelah mendapat dukungan nutrisi Displasia epitel dan resiko tinggi keganasan Penyakit yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa Striktur C.Peran Probiotik dan Prebiotik Peranan probiotik dan prebiotik pada IBD masih belum jelas. Akhir-akhir ini banyak penelitian pemberian probiotik dan prebiotik pada penderita IBD. Probiotik dapat mengubah flora traktus gastrointestinal dengan mekanisme kompetitif, menghasilkan zat antimikroba, atau mempengaruhi respon kekebalan lokal. Ada juga yang mengatakan bahwa interaksi probiotik dengan sel epitel dapat mempercepat penyembuhan proses inflamasi. Efek prebiotik dapat ditingkatkan dengan pemberian prebiotik yang dapat merangsang pertumbuhan probiotik Pada anak, penelitian probiotik pada IBD menunjukkan bahwa pemberian Lactobacillus casei strain GG pada Penyakit Crohn meningkatkan respons kekebalan IgA traktus gastrointestinal. Penelitian lain menunjukkan bahwa probiotik dapat memperbaiki gejala kllinis dan permeabilitas traktus gastrointestinal pada pada penyakit Crohn. Penelitian pemberian prebiotik dan probiotik (sinbiotik) pada penderita Kolitis Ulserativa mempercepat perbaikan gejala klinis KOMPLIKASI Inflamasi transmural dari lapisan mukosa hingga serosa merupakan penyebab komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, sehingga terjadi adhesi, striktur, dan abses, yang meningkatkan resiko obstruksi serta pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan fistula. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa keganasan, malnutrisi dan gagal tumbuh. Fistula dapat terjadi enterokutan, enteroenteral, enterokolika, perirektal, labial, enterovaginal, dan enterovesikal. Komplikasi Kolitis Ulserativa yang mengancam jiwa adalah megakolon toksik dan merupakan kasus kegawatan medis dan kegawatan bedah. Anak dengan megakolon toksik mempunyai risiko tinggi untuk perforasi kolon, sepsis akibat bakteri gram negatif dan perdarahan masif. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi berupa striktur dan keganasan.
17
PROGNOSIS Inflamatory bowel disease ditandai dengan periode eksaserbasi dan remisi. Sebagian besar anak (70%) dengan Kolitis Ulserativa mengalami remisi dalam 3 bulan setelah terapi inisial dan kurang lebih 50% remisi dalam 2 tahun. Koletomi dalam 5 tahun setelah diagnosis terjadi pada 26% kasus derajat berat dibanding 10% kasus derajat ringan. Anak dengan proktitis, 70% akan mengalami penyakit lebih ekstensif dikemudian hari. Hanya 1% anak dengan penyakit Crohn tidak mengalami relaps setelah didiagnosis dan terapi inisial. Anak dengan ileokolitis cenderung untuk mengalami respon buruk terhadap terapi medikamentosa. Sekitar 70% anak dengan Penyakit Crohn akan mengalami tindakan bedah dalam 10-20 tahun setelah diagnosis. Selain itu, pada IBD cenderung untuk terjadi keganasan pada kolorektal. Resiko keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis Ulserativa. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk adenokarsinoma adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun) dan luas colitis (pankolitis > left-sided colitis > proktitis).
18
DAFTAR ISI 1. Djojoningrta, D . Inflammatory Bowel Disease. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1, Ed.IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2. Jawetz, et.al. Medical Microbiology. Ed.23. 2008. Jakarta: EGC 3. Price A. Sylvia. Patofisiologi. Vol.2. 2006. Jakarta: EGC 4. Kolitis Ulseratif: Peradangan Usus yang Tidak Diketahui. Diunduh dari:http://www.majalah- farmacia.com/rubrik/one_news_print.asp?IDNews=1730. 12 mei 2012 5. Penyakit Crohn. Diunduh dari: http://www.tanyadokter.com/disease.asp?id=1001418. 12 mei 2012