Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hidung adalah saluran udara yang pertama mempunyai dua lubang (kavum
nasi),dipisahkan oleh sekat hidung(septum nasi) ( Drs.H.Syaifuddin,2006).
Polip adalah masa lunak,berwarna putih atau keabu-abuan (Subhan, S.Kep.,2003).
Jadi polip hidung adalah pembengkakan mukosa hidung yang terisi cairan interselular
yang terdorng ke dalam rongga hidung oleh gaya berat (R. Pracy,1983).
Penyebab : polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat hipersensitifitas atau reaksi
alergi pada mukosa hidung, polip biasanya di temukan pada orang dewasa dan jarang terjadi
pada anak anak (Subhan,S.Kep.,2003).
Penatalaksanaan:polip yang masih kecil dapat diobati kortikosteroid baik local maupun
sistemik. Pada polip yang cukup besar dan persisten di lakukan tindakan operatif berupa
pengangkatan polip (polippectomy) (Subhan,S.Kep.,2003).

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas,maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana anatomi fisiologi dari polip?
2. Apa pengertian dari polip ?
3. Bagaimana etiologi dari polip ?
4. Bagaimana klasifikasi dari polip ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari polip ?
6. Bagaimana patofisiologi dari polip?
7. Bagaimana pohon masalah dari polip?
8. Bagaimana insiden di dunia dari polip?
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari poilp?
10. Bagaimana komplikasi dari polip?
11. Bagaimana penatalaksanaan dari polip ?
12. Bagaimana konsep asuhan keperawatan dari polip?


1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas,maka dapat ditentukan tujuan sebagai berikut:
1. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui anatomi fisiologi dari polip hidung.
2. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui pengertian dari polip hidung.
3. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui etiologi dari polip hidung.
4. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui klasifikasi dari polip.
5. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui manifestasi klinis dari polip.
6. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui patofisiologi dari polip.
7. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui pohon masalah dari polip
8. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui insiden polip hidung di dunia.
9. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui pemeriksaan penunjang dari polip hidung.
10. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui komplikasi dari polip.
11. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui penatalaksanaan dari polip.
12. Agar mahasiswa mengetahui konsep asuhan keperawatan dari polip hidung.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi fisiologi

Menurut Drs.H.Syaifuddin hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang
pertama,mempunyai dua lubang (kavum nasi),dipisahkan oleh sekat hidung(septum nasi).Di
dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara ,debu dan kotoran yang
masuk ke dalam lubang hidung.Bagian-bagian dari hidung adalah sebagai berikut:
1. Bagian luar dinding terdiri dari kulit.
2. Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.
3. Lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat lipat yang dinamakan karang hidung
(konka nasalis),yang berjumlah 3 buah:
a. Konka nasalis inferior (karang hidung bagian bawah)
b. Konka nasalis media (karang hidung bagian tengah)
c. Konka nasalis superior (karang hidung bagian atas)
Di antara konka ini terdapat 3 buah lekukan meatus yaitu:
a. Meatus superior (lekukan bagian atas)
b. Meatus medialis (lekukan bagian tengah)
c. Meatus inferior (lekukan bagian bawah).
Meatus-meatus inilah yang dilewati oleh udara pernafasan ,sebelah dalam terdapat
lubang yang berhubungan tekak,lubang ini di sebut kaona.
Fungsi dari hindung yaitu sebagai berikut:
1. Bekerja sebagai saluran udara pernafasan.
2. Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu hidung.
3. Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa.
4. Membunuh kuman yang masuk ,bersama udara pernafasan oleh leukosit yang terdapat
dalam selapu lendir (mukosa) atau hidung. (Drs.H.Syaifuddin,2006)

2.2 Definisi
1.Definisi Hidung menurut Syaifuddin
Hidung adalah saluran udara yang pertama mempunyai dua lubang (kavum nasi),dipisahkan
oleh sekat hidung(septum nasi) (Syaifuddin,2006).
2. Definisi Polip menurut Subhan
Polip adalah masa lunak,berwarna putih atau keabu-abuan (Subhan, S.Kep.,2003).
3. Definisi polip hidung Subhan
Polip adalah masa lunak,berwarna putih atau keabu-abuan (Subhan, S.Kep.,2003).

2.3 Etiologi
a) Faktor Herediter
Seperti :Rhinitis alergika,Asma serta Sinusitis kronis
b) Faktor Non Herediter
Seperti karena: peradangan mukosa hidung , edema, iritasi,reaksi hipersensitifitas.

2.4 Klasifikasi Polip
Menurut Subhan Polip hidung terbagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Polip hidung tunggal adalah jumlah polipnya hanya satu, berasal dari sel-sel permukaan
dinding sinus tulang pipi.
2. Polip hidung Multiple adalah jumlah polip lebih dari satu berasal dari permukaan dinding
rongga tulang hidung bagian atas (etmoid).

2.5 Manifestasi Klinis
1. Ingusan
2. Hidung tersumbat terus menerus
3. Hilang atau berkurangnya indera penciuman
4. Nyeri kepala
5. Mengorok
6. Suara bindeng

2.6 Patofisiologi
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan interseluler
dan kemudian terdorong ke dalam rongga hidung dan gaya berat. Polip dapat timbul dari
bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral. Polip hidung paling
sering berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium sinus maksilla dan
masuk ke ronga hidung dan membesar di koana dan nasopharing. Polip ini disebut polip
koana.
Secara makroskopik polip terlihat sebagai massa yang lunak berwarna putih atau
keabu-abuan. Sedangkan secara mikroskopik tampak submukosa hipertropi dan sembab. Sel
tidak bertambah banyak dan terutama terdiri dari sel eosinofil, limfosit dan sel plasma
sedangkan letaknya berjauhan dipisahkan oleh cairan interseluler. Pembuluh darah, syaraf
dan kelenjar sangat sedikit dalam polip dan dilapisi oleh epitel throrak berlapis semu.

2.7 Pohon Masalah
Faktor Non Herediter
Proses Infeksi/ Inflamasi
Pelepasan medioator kimiawi bradikinin dan histamin
Nyeri waktu menelan
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan
Gangguan mekanisme umpan balik / keinginan makan
Penurunan berat badan
Ketidakseimbangan saraf vasomotor
Gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif
Faktor Herediter
Gen
Kelainan pada kromosom dan autosom yang mungkin menurun
Proses autoimun
Penyakit Rhinitis alergika
Polip HIdung
Peningkatan permeabilitas kapiler
Gangguan regulasi vaskuler yang menyebabkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast
Mukosa yang sembab
Gangguan pernafasan/ Dipnea
Edema
Peradangan mukosa hidung





2.8 Insiden di dunia
Di Amerika insiden polip nasi pada anak adalah 0,1%, namun insiden ini meningkat
pada anak-anak dengan fibrosis kistik yaitu 6-48%. Insiden pada orang dewasa adalah 1-4%
dengan rentang 0,2-28%. Insiden di seluruh dunia tidak jauh berbeda dengan insiden di
Amerika Polip nasi terjadi pada semua ras dan kelas ekonomi. Walaupun ratio pried an
wanita pada dewasa 2-4: 1, ratio pada anak anak tidak dilaporkan. Dilaporkan
prevalensinya sebanding dengan pasien dengan asma.
Angka mortalitas polip nasi tidaklah signifikan, namun polip nasi dihubungkan
dengan turunnya kualitas hidup seseorang. Tidak ada perbedaan insiden polip nasi yang nyata
diantara bangsa-bangsa di dunia dan diantara jenis kelamin. Polip multipel yang jinak
biasanya timbul setelah usia 20 tahun dan lebih sering pada usia diatas 40 tahun. Polip nasi
jarang ditemukan pada anak usia dibawah 10 tahun.

2.9 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada polip adalah:
1. Endoskopi. Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari kompleks
osteomeatal. Memberikan gambaran yang baik dari polip, khususnya polip berukuran kecil di
meatus media. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksan naso-endoskopi. Pada kasus polip koanal
juga dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. Dengan
naso-endoskopi dapat juga dilakukan biopsi pada layanan rawat jalan tanpa harus ke meja
operasi.
2. Foto polos rontgen &CT-scan. Untuk mendeteksi sinusitis.
Foto polos sinus paranasal (posisi water, AP, caldwell, dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus, tetapi pemeriksaan ini
kurang bermanfaat pada pada kasus polip. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk
melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada kelainan anatomi,
polip, atau sumbatan pada komplek osteomeatal. CT scan terutama diindikasikan pada kasus
polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa.
3. Biopsi. Kita anjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut, menyerupai
keganasan pada penampakan makroskopis dan ada gambaran erosi tulang pada foto polos
rontgen.

2.10 Komplikasi
1. Satu buah polip jarang menyebabkan komplikasi,tapi jika dalam ukuran besar atau dalam
jumlah banyak dapat mengarah pada akut atau infeksi sinusitis kronis,mengorok dan bahkan
sesak nafas saat tidur.
2. Pada penderita polip yang berukuran besar dan menganggu pernafasan dapat dilakukan
tindakan pengangkatan polip dengan operasi Polipektomi dan Etmoidektomi.

2.11 Penatalaksanaan
1. Medis
a. Bila polip masih kecil dapat diobati secara konservatif dengan kortikosteroid sistemik atau
oral ,missalnya prednisone 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari kemudian
diturunkan perlahan.
b. Secara local dapat disuntikan ke dalam polip,misalnya triasinolon asetenoid atau prednisolon
0,5 ml tiap 5-7 hari sekali sampai hilang.
c. Dapat memaki obat secara topical sebagai semprot hidung misalnya beklometason
dipropinoat.
d. Tindakan operasi diambil jika polip tidak bisa diobati dan terus membesar serta menganggu
jalannya pernafasan yaitu operasi polipektomi atau juga bisa operasi etmoidektomi.

2. Keperawatan
a. Vocational Rehabilitation
Rehabilitasi yang dilakukan untuk memberikan pendidikan pasca operasi karena akan ada
bekas luka dalam hidung sehingga harus diajari cara membuang ingus yang tidak membuat
pasien kesakitan.
b. Social Rehabilitation
Rehabilitasi yang bertujuan untuk adaptasi awal terhadap perubahan tubuh sebagai bukti
dengan partisipasi dalam aktivitas perawatan diri dan interaksi positif dengan orang lain
bertujuan untuk tidak menarik diri dari kontak social.

2.12 Konsep Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian Keperawatan
A. Identitas Klien:
B. Riwayat Keperawatan
Keluhan Utama:hidung terasa tersumbat,sering mengeluarkan lendir(pilek sulit berhenti).
Riwayat kesehatan dahulu:tidak ada riwayat penyakit jantung,paru,kencing manis,gondok
dan penyakit kanker serta penyakit tekanan darah tinggi dan ginjal.

II. Pengkajian Fisik dan Fungsi
A. Aktivitas/Istirahat
Gejala:Kelelahan dan kelemahan
Tanda:Penurunan kekuatan,menunjukan kelelahan
B. Sirkulasi
Gejala:Lelah,pucat dan tidak ada tanda sama sekali
Tanda:Takikardi,disritmia,pucat,diaphoresis dan keringat malam
C. Integritas Ego
Gejala Masalah finansial:biaya rumah sakit, pengobatan
Tanda Berbagai perilaku ,misalnya marah ,menarik diri , pasif
D. Makanan/Cairan
Gejala:Anoreksi/kehilangan nafsu makan
Adanya penurunan berat badan 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya
tanpa dengan usaha diet.
Tanda:-
E. Nyeri/Kenyamanaan
Gejala:Nyeri tekan/nyeri pada daerah hidung
Tanda:Fokus pada diri sendiri , perilaku berhati hati
F. Pernafasan
Gejala:Dipsnea
Tanda:Dipsnea,Takikardi,pernafasan mulut,sianosis,terdapat pembesaran polip.
G. Istirahat
Selama indikasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek.
H. Sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus(baik
purulen,serous,mukopurulen).

III. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan seringnya ingusan
Batasan karakteristik:Dipsnea,kedalaman pernafasan,penggunaan otot aksesori
penafasan,sianosis
Tujuan:Pernafasan normal
Kriteria hasil:Bebas Dipsnea,sianosis,kedalaman nafas normal.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan gangguan mekanisme umpan
balik, keinginan makan, rasa dan bau karena adanya polip. Batasan karakteristik: Penurunan
nafsu makan,gangguan sensasi penciuman,kurang tertarik pada makanan, penurunan berat
badan. Tujuan: Menunjukan peningkatan nafsu makan. Kriteria Hasil: Peningkatan nafsu
makan dan tidak ada penurunan berat badab lebih lanjut.
IV. Intervensi
1. Intervensi diagnosa pertama.

INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
Kaji/awasi prekuensi pernapasan, kedalaman,
irama. Perhatikan laporan dispnea dan/atau
penggunaan otot bantu pernapasan cuping
hidung, gangguan pengembangan dada .
Perubahan (seperti takipnea,
dispnea, penggunaan otot
aksesori) dapat
mengindikasikan berlanjutnya
keterlibatan/ pengaruh
pernapasan yang
membutuhkan upaya
intervensi.
Beri posisi dan bantu ubah posisi secara
periodik
Meningkatkan aerasi semua
segmen paru dan
memobilisasikaan sekresi
Anjurkan/bantu dengan tehnik napas dalam
dan/atau pernapasan bibiratau
Membantu meningkatkan
difusi gas dan ekspansi jalan
napas kecil, memberikan
pernapasan diagfragmatik abdomen bila
diindikasikan
pasien beberapa kontrol
terhadap pernapasan,
membantu menurunkan
ansietas
Awasi/evaluasi warna kulit, perhatikan pucat,
terjadinya sianosis (khususnya pada dasar
kulit, daun telinga,dan bibir)
Proliferasi SDP dapat
menurunkan kapasitas
pembawa oksigen darah,
menimbulkan hipoksemia.
Kaji respon pernapasan terhadap aktivitas.
Perhatikan keluhan dispnea/lapar udara
meningkatkan kelelahan. Jadwalkaan periode
istirahat antara aktivitas.
Penurunan oksigen seluler
menurunkan toleransi
aktivitas. Istirahat menurunkan
kebutuhan oksigen dan
mencegah kelelahandan
dispnea
Identifikasi/dorong tehnik penghematan
energi mis : periode istirahat sebelum dan
setelah makan, gunakan mandi dengan kursi,
duduk sebelum perawatan
Membantu menurunkan
kelelahan dan dispnea dan
menyimpan energi untuk
regenerasi selulerdan fungsi
pernapasan

Tingkatkan tirah baring dan berikan
perawatan sesuai indikasi selama eksaserbasi
akut/panjang
Memburuknya keterlibatan
pernapasan/ hipoksia dapat
mengindikasikan penghentian
aktivitas untuk mencegah
pengaruh pernapasan lebih
serius

Berikan lingkungan tenang Meningkatkan relaksasi,
penyimpanan energi dan
menurunkan kebutuhan
oksigen
Observasi distensi vena leher, sakit kepala,
pusing, edema periorbital/fasial, dispnea,dan
stridor
Pasien non-Hodgkin pada
resiko sindrom vena kava
superior dan obstruksi jalan
napas, menunjukkan
kedaruratan onkologis.
Kolaborasi
Berikan tambahan oksigen Memaksimalkan ketersediaan
untuk untuk kebutuhan
sirkulasi, membantu
menurunkan hipoksemia
Awasi pemeriksaan laboratorium, mis : GDA,
oksimetri
Mengukur keadekuatan fungsi
pernapasan dan keefektifan
terapi.
2. Intervensi diagnosa ke dua.

INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
Pastikan pola diit biasa pasien, yang disukai
atau tidak disukai
Membantu klien untuk mengembalikan nafsu
makan
Awasi masukan dan pengeluaran dan berat
badan secara periodik.
Berguna dalam pemenuhan nutrisi dan
pengembalian berat badan




BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hidung adalah saluran udara yang pertama mempunyai dua lubang (kavum nasi),
dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi) ( Drs.H.Syaifuddin,2006).
Polip adalah masa lunak,berwarna putih atau keabu-abuan (Subhan, S.Kep.,2003). Jadi
polip hidung adalah pembengkakan mukosa hidung yang terisi cairan interselular yang
terdorng ke dalam rongga hidung oleh gaya berat (R. Pracy,1983).
Penyebab: polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat hipersensitifitas atau reaksi
alergi pada mukosa hidung, polip biasanya di temukan pada orang dewasa dan jarang terjadi
pada anak anak (Subhan,S.Kep.,2003).
Penatalaksanaan:polip yang masih kecil dapat diobati kortikosteroid baik local maupun
sistemik. Tapi,Pada pasien dengan polip yang cukup besar dan persisten baru akan di lakukan
tindakan operatif berupa pengangkatan polip (polippectomy). Jadi, untuk penatalaksanaan
pada pasien harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi agar penangannya bisa tepat.

3.2 Saran
Saran dari kelompok kami sebaiknya untuk penanganan pada pasien dengan polip hidung
harus dilakukan secara tepat. Karena, penatalaksanaan tindakan untuk setiap pasien yang
menderita penyakit polip hidung berbeda-beda tergantung dengan tingkat keparahan penyakit
polipnya. polip yang masih kecil dapat diobati kortikosteroid baik local maupun sistemik.
Tapi, Pada pasien dengan polip yang cukup besar dan persisten baru akan di lakukan tindakan
operatif berupa pengangkatan polip (polippectomy). Jadi, untuk penatalaksanaan pada pasien
harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi agar penangannya bisa tepat.


DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, Petrus. 1986 .Penyakit Telinga,Hidung Dan Tenggorokan. Jakarta: EGC.

Pracy R dkk. 1989. Pelajaran Singkat Telinga,Hidung Dan Tenggorok. Jakarta: Gramedia.

Subhan. 2006. ASKEP: Pasien dengan Polip Hidung. Surabaya: UNAIR Press.

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC.

Tambayong, Jan. 2001. Anatomi Fisiologi. Jakarta: EGC.
www.eMedicine .com- Nasal Polyps Article by John E McClay GOOD.htm/,
(Online) (diakses 26 Maret 2012).





BAB I
PENDAHULUAN
Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di bagian THT.
Keluhan pasien yang datang dapat berupa sumbatan pada hidung yang makin lama semakin
berat. Kemudian pasien juga mengeluhkan adanya gangguan penciuman dan sakit kepala.
Untuk mengetahui massa di rongga hidung merupakan polip atau bukan selain perlu dikuasai
anatomi hidung juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang dapat menyingkirkan
kemungkinan diagnosa lain. Di dalam referat ini akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi
hidung serta patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan pada polip nasi.
Gambar 1: Pasien dengan Polip Nasi pada hidung sebelah kiri.
(Sumber: Nasal polypectomy: Article by Kevin T Kavanagh, All Rights Reserved
http://www.ent-usa.com)
Gambar 2 : close up view of the right nasal cavity and polyp #5 in a 5-month-old infant. The
obstructing reddish polyp is visible. This is an intranasal glioma that was arising from the
attachment of the inferior turbinate anteriorly; it was removed transnasally.
Sumber: http://www.eMedicine Nasal Polyps Article by John E McClay GOOD.htm
BAB II
PEMBAHASAN
1. I. Latar Belakang
Sumbatan hidung adalah salah satu yang paling sering dikeluhkan ke dokter pada pelayanan
primer. Ini adalah gejala bukan diagnosis, banyak faktor dan kondisi anatomi yang dapat
menyebabkan sumbatan hidung. Pasien juga sering mengeluhkan sakit kepala dan napas yang
lebih sulit dan sensasi penuh pada wajah. Penyebab dari sumbatan hidung dapat struktur
maupun sistemik. Yang disebabkan struktur termasuk perubahan jaringan, trauma, gangguan
congenital. Yang disebabkan sistemik terkait dengan perubahan fisiologis dan patologis.
Polip merupakan salah satu dari penyebab rasa hidung tersumbat.
Polip nasal adalah masa polipoidal yang biasanya berasal dari membran mukosa dari hidung
dan sinus paranasal. Polip tumbuh melebihi dari mukosa yang sering berhubungan rhinitis
alergi.
Patogenesis polip nasal adalah tidak diketahui, Polip hidung paling sering bersamaan dengan
rhinitis alergi dan kadang dengan fibrosis kistik, walaupun pada dewasa terdapat angka yang
siqnifikan di kaitkan dengan non alergi. Polip ini tidak ada hubungan dengan colonic atau
polip uteri. Polip yang irregular unilateral yang dikaitkan dengan sakit dan berdarah akan
memerlukan investigasi penting mungkin mereka presentasi dari sebuah tumor intra nasal.
1. Anatomi dan Fisiologi
Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah :
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Gambar 3: Anatomy hidung.
Sumber: Anatomy Sobota
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat
dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja
otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi
eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak)
disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi
oleh :
- Superior: os frontal, os nasal, os maksila
- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan kartilago
alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi fleksibel.
Perdarahan :
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika,
cabang dari a. Karotis interna).
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,
cabang dari A. Karotis interna)
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang membentang
dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan dengan sinus
frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas batas kavum
nasi:
Posterior : berhubungan dengan nasofaring
Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan
sebagian os vomer
Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya
konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini
dipisahkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra
dan
sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit,
jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang
terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa =
kolumna = kolumela.
Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid,
konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.
Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan
belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinis
sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian
ini.
Gambar 4: Anatomy hidung.
Sumber: Anatomy Sobota
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang
merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang dari
A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama
sama arteri.
Persarafan :
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi
N. Sfenopalatinus.
Gambar 5: Anatomy hidung.
Sumber: Anatomy Sobota
Tempat asal
Tumbuhnya polip terutama di bagian-bagian sempit di bagian atas hidung, di bagian lateral
konka media, dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid. Di tempat inilah mukosa
hidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat
asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger didapati 80% polip nasi berasal
dari celah antara prosesus unsinatus, konka media dan infundibulum.
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh
palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan
silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan
demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia
akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat-obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified
columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel
penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan.
Fisiologi hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan
kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan
atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang
sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian
lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan
masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas,
udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim
dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat
berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang
lebih 37
o
C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan
oleh:
1. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
2. Silia
1. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
2. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri disebut lysozime.
4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai
daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut
tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.
1. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin
dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pankreas.
1. III. Definisi Polip Nasi
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak
bening karena mengandung banyak cairan. Polip nasi bukan merupakan penyakit tersendiri
tapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan
dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis kistik dan asma.
Gambar 6: Polip pada hidung
Polip yang multipel dapat timbul pada anak-anak dengan sinusitis kronik, rhinitis alergi,
fibrosis kistik atau sinuisitis jamur alergi. Polip sangat bervariasi pada setiap individu, polip
dapat berupa polip antro-koanal, polip jinak yang besar ataupun polip multipel yang dapat
merupakan lesi jinak atau merupakan suatu keganasan seperti: glioma, hemangioma,
papiloma, limfoma, neuroblastoma, sarcoma, karsinoma nasofaring dan papiloma inverted.
Kita harus mewaspadai setiap anak dengan polip jinak yang multipel yang dihubungkan
dengan fibrosis kistik dan asma.
Gambar 7: gambaran polip nasi
(Sumber: Nasal polyps: Article by Bechara Y Ghorayeb, www.otolaryngology Houston.htm)
Gambar 8: Endoskopik Polip Nasi.
(Sumber: Nasal polypectomy: Article by Kevin T Kavanagh, All Rights Reserved
www.ent-usa.com)
Gambar 9: The pictures shown to the right are of a patients CT Scan (far right) and of her
polyps in the left (middle picture) and right (far left picture) nasal cavities. The CT Scan
shows polyps
*
and opacified maxillary sinus MS and an opacified posterior ethmoid
sinus ES.
(Sumber: Nasal polyp: Article by Kevin T Kavanagh, All Rights Reserved http://www.ent-
usa.com)
Gambar 10: The nasal polyps on the right are from a 65 year old patient who has had four
previous sinus operations. The last one was twelve years ago. The polyps fill his nasal
cavity. On CT Scan there was erosion of the posterior table of the frontal sinus and
intracranial air.
(Sumber: Nasal polyp: Article by Kevin T Kavanagh, All Rights Reserved www.ent-
usa.com)
Gambar 11: Rigid endoscopic view of the left nasal cavity, showing the septum on the left.
Polyps with some blood and hemorrhage are on top of them in the center portion. The rim of
white from 1 oclock to 4 oclock indicates the lateral nasal wall vestibule. The polyps cover
the inferior turbinate, which is partially visible at 4 and 5 oclock.
Sumber: http://www.eMedicine Nasal Polyps Article by John E McClay GOOD.htm
1. IV. Epidemiologi
Di Amerika insiden polip nasi pada anak adalah 0,1%, namun insiden ini meningkat pada
anak-anak dengan fibrosis kistik yaitu 6-48%.
Insiden pada orang dewasa adalah 1-4% dengan rentang 0,2-28%. Insiden di seluruh dunia
tidak jauh berbeda dengan insiden di Amerika
Polip nasi terjadi pada semua ras dan kelas ekonomi. Walaupun ratio pried an wanita pada
dewasa 2-4: 1, ratio pada anak anak tidak dilaporkan. Dilaporkan prevalensinya sebanding
dengan pasien dengan asma.
Angka mortalitas polip nasi tidaklah signifikan, namun polip nasi dihubungkan dengan
turunnya kualitas hidup seseorang. Tidak ada perbedaan insiden polip nasi yang nyata
diantara
bangsa-bangsa di dunia dan diantara jenis kelamin. Polip multipel yang jinak
biasanya timbul setelah usia 20 tahun dan lebih sering pada usia diatas 40 tahun. Polip nasi
jarang ditemukan pada anak usia dibawah 10 tahun
1. ETIOLOGI
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada
mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui dengan
pasti tetapi ada keragu-raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali
ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan
permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga
hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang
(neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip
biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak anak. Pada anak anak, polip
mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka
Gambar 11: gambaran polip nasi
(Sumber: Nasal polyps: Article by Bechara Y Ghorayeb, www.otolaryngology Houston.htm)
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip, yaitu :
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung.
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit
akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan
terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan
polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari daerah yang sempit
di kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Walaupun demikian polip juga dapat
timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral dan
multipel.
Selain dari fenomena Bernouli terdapat beberapa hipotesa lainnya.
1. Perubahan Polisakarida
di postulatkan pada 1971 oleh Jackson dan Arihood.
2. Infeksi
Infeksi berulang pada sinus predisposisi pada mukosa menjadi perubahan polipoid.
3. Alergi
alergi telah di implikasikan sebagai penyebab, sejak sekresi hidung mengandung eosinofil
dan pasien mempunyai gejala alergi, sering dikaitkan dengan asma dan atopi.
4. Teori vasomotor
Gangguan keseimbangan otonomik di duga mungkin sebagai penyebab pada individu non
atopi. Juga di kaitkan dengan mediator inflamasi, faktor anatomi lokal, dan tumor.
Predisposisi genetik diketahui sebagai penyebab polipoid pada fibrosis kistik.
VI. Patofisiologi
Pada awalnya ditemukan edema mukosa yang timbul karena suatu peradangan kronik yang
berulang, kebanyakan terjadi di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh
cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses ini berlanjut,
mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun kedalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.
Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan polip nasi. Kerusakan epitel merupakan
patogenesa dari polip. Sel-sel epitel teraktivasi oleh alergen, polutan dan agen infeksius. Sel
melepaskan berbagai faktor yang berperan dalam respon inflamasi dan perbaikan. Epitel
polip menunjukan hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus yang berperan dalam
obstruksi hidung dan rinorea.
Polip dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang
mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis yang disebabkan
oleh infeksi hidung dan sinus.
Gambar 12: Fifteen year-old adolescent boy with allergic fungal sinusitis causing right
proptosis, telecanthus, and malar flattening; position of his eyes is asymmetrical, and his
nasal ala on the right is pushed inferiorly compared to the left.
Sumber: Nasal Polyps Article by John E McClay GOOD.htm
Gambar 13: gambaran endoskopi polip nasi
(Sumber: Nasal polyps: Article by Bechara Y Ghorayeb, www.otolaryngology Houston.htm)
VII. Gejala Klinis
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung. Sumbatan
ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada sumbatan yang
hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus
paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala
dan rinore.
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di hidung.
Pasien dengan polip yang masif biasanya mengalami sumbatan hidung yang meningkat,
hiposmia sampai anosmia, perubahan pengecapan, dan drainase post nasal persisten. Sakit
kepala dan nyeri pada muka jarang ditemukan dan biasanya pada daerah periorbita dan sinus
maksila. Pasien polip dengan sumbatan total rongga hidung atau polip tunggal yang besar
memperlihatkan gejala sleep apnea obstruktif dan pernafasan lewat mulut yang kronik.
Pasien dengan polip soliter seringkali hanya memperlihatkan gejala obstruktif hidung yang
dapat berubah dengan perubahan posisi. Walaupun satu atau lebih polip yang muncul, pasien
mungkin memperlihatkan gejala akut, rekuren, atau rinosinusitis bila polip menyumbat
ostium sinus. Beberapa polip dapat timbul berdekatan dengan muara sinus, sehingga aliran
udara tidak terganggu, tetapi mukus bisa terperangkap dalam sinus. Dalam hal ini dapat
timbul perasaan penuh di kepala, penurunan penciuman, dan mungkin sakit kepala. Mukus
yang terperangkap tadi cenderung terinfeksi, sehingga menimbulkan nyeri, demam, dan
mungkin perdarahan pada hidung.
Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil mungkin tidak
menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu pemeriksaan rutin. Polip yang
terletak posterior biasanya tidak teridenfikasi pada waktu pemeriksaan rutin rinoskopi
posterior. Polip yang kecil pada daerah dimana polip biasanya tumbuh dapat menimbulkan
gejala dan menghambat aliran saluran sinus, menyebabkan gejala-gejala sinusitis akut atau
rekuren.
Gejala Subjektif:
v Hidung terasa tersumbat
v Hiposmia atau Anosmia (gangguan penciuman)
v Nyeri kepala
v Rhinore
v Bersin
v Iritasi di hidung (terasa gatal)
v Post nasal drip
v Nyeri muka
v Suara bindeng
v Telinga terasa penuh
v Mendengkur
v Gangguan tidur
v Penurunan kualitas hidup
Gejala Objektif:
v Oedema mukosa hidung
v Submukosa hipertropi dan tampak sembab
v Terlihat masa lunak yang berwarna putih atau
kebiruan
v Bertangkai
Gambar 14 : pada beberapa kasus, karena tersumbat, terinfeksi bakteri terjadi dan secret
hidung yang hijau dapat terlihat disekitar polip. (Sumber: Nasal polyps: Article by Bechara Y
Ghorayeb, www.otolaryngology Houston.htm)
VIII. Diagnosis
Anamnesa
Pada anamnesa kasus polip, keluhan utama biasanya ialah hidung tersumbat. Sumbatan ini
menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada
massa di dalam hidung dan sukar membuang ingus. Gejala lain adalah gangguan penciuman.
Gejala
sekunder dapat terjadi bila sudah disertai kelainan organ didekatnya berupa: adanya post
nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga terasa penuh,
mendengkur, gangguan
tidur dan penurunan kualitas hidup.
Selain itu juga harus di tanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan
alergi obat serta makanan.
Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar. Dapat dijumpai
pelebaran kavum nasi terutama polip yang berasal dari sel-sel etmoid.
Gambar 15: Deformitas hidung
(Sumber: Nasal polyps: Article by Bechara Y Ghorayeb, www.otolaryngology Houston.htm)
2. Rinoskopi Anterior
Gambar 16 : gambaran rinoskopi anterior polip nasi
(Sumber: Nasal polyps: Article by Bechara Y Ghorayeb, www.otolaryngology Houston.htm)
Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas septum membuat
pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus dan polip multipel atau soliter. Polip
kadang perlu dibedakan dengan konka nasi inferior, yakni dengan cara memasukan kapas
yang dibasahi dengan larutan efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak
pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip tidak mengecil. Polip dapat diobservasi
berasal dari daerah sinus etmoidalis, ostium sinus maksilaris atau dari septum.
3. Rinoskopi Posterior
Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada kalanya berasal dari
daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang menandakan adanya rinosinusitis.
1. Naso endoskopi
Adanya fasilitas nasoendoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus baru. Polip stadium
awal tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan
nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat terlihat tangkai polip yang berasal
dari ostium assesorius sinus maksila.
Gambar 17: gambaran endoskopik pada nasal
Picture of an Ethmoid Polyp in the Left Middle Meatus
This picture was taken during endoscopic sinus surgery with a straight (0 degree) telescope.
1. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, lateral, Caldwell dan AP) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus, tetapi sebenarnya kurang
bermanfaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan kesan positif palsu atau negative
palsu dan tidak dapat memberikan informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan
variasi anatomis di daerah kompleks osteomeatal. Pemeriksaan tomografi computer sangat
bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada
proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal.
Terutama pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika
ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama
bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai potongan koronal,
sedangkan polip yang rekuren juga diperlukan potongan aksial.
Gambar 18 : potongan koronal CT Scan menampakan
opaksifikasi yang lengkap pada sinus dan rongga hidumg dengan ekspansi pada ethmoid yang
berasal dari polip hidung sumber : www.emedicine.com
Gambar 19: Gambaran radiologi Polip Nasi
(Sumber:Radiology: Article by Kevin T Kavanagh, All Rights Reserved http://www.ent-
usa.com)
6. Tes alergi
Evaluasi alergi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat alergi lingkungan
atau riwayat alergi pada keluarganya.
7. Laboratorium
Untuk membedakan sinusitis alergi atau non alergi. Pada sinusitis alergi ditemukan eosinofil
pada swab hidung, sedang pada non alergi ditemukannya neutrofil yang menandakan adanya
sinusitis kronis.
8. Temuan histologis
Pseudostratified ciliated columnar epithelium
Epithelial basement membrane yang menebal
Oedematous stroma
Gambar 20: Gambaran Histologis
Sumber: Article by Bechara Y Ghorayeb, www.otolaryngology Houston.htm)
IX. Diagnosis Banding
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri cirinya sebagai berikut:
- Tidak bertangkai
- Sukar digerakkan
- Nyeri bila ditekan dengan pinset
- Mudah berdarah
- Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip dan konka
polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati hati
pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan
vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan
hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.
Polip Polipoid mukosa
Bertangkai, dapat digerakkan Tidak bertangkai, sukar digerakkan
Konsistensi lunak Konsistensi keras
Tidak nyeri bila ditekan Nyeri pada penekanan
Tidak mudah berdarah Mudah berdarah
Berwarna putih kebiruan Berwarna merah muda
Tidak mengecil pada pemberian
vasokonstriktor (adrenalin)
Mengecil pada pemberian vasokonstriktor
Tabel 1.
X. Penatalaksanaan
Karena etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi inflamasi, maka
penatalaksanaan medis ditujukan untuk pengobatan yang tidak spesifik. Pada terapi
medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid dapat diberikan secara
sistemik ataupun intranasal.
Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi dalam waktu yang singkat,
dan pemberiannya perlu memperhatikan efek samping dan kontraindikasi.
Kortikosteroid oral adalah pengobatan paling efektif untuk pengobatan jangka pendek dari
polip nasi, dan kortikosteroid oral memiliki efektivitas paling baik dalam mengurangi
inflamasi polip.
Kortikosteroid juga dapat diberikan secara intranasal dalam bentuk spray steroid, yang dapat
mengurangi atau menurunkan pertumbuhan polip nasi yang kecil, tetapi secara relatif tidak
efektif untuk polip yang masif. Steroid intranasal paling efektif pada periode
post operatif untuk mencegah atau mengurangi relaps.
Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi pada polip yang
dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat diberikan antihistamin oral untuk
mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi. Bila telah terjadi infeksi yang ditandai dengan
adanya sekret yang mukopurulen maka dapat diberikan antibiotik.
Pengobatan Medis sebagai berikut :
Steroid oral dan topikal di berikan pada pengobatan pertama pada nasal polip.
Antihistamin, dekongestan dan sodium cromolyn memberikan sedikit keuntungan.
Imunoterapi mungkin dapat berguna untuk pengobatan rhinitis alergi, tapi bila di
gunakan sendirian, tak dapat berguna pada polip yang telah ada, pemberian antibiotik
bila terjadi superimposed infeksi bakteri.
Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik secara topikal maupun sistemik.
Injeksi langsung pada polip tidak dibenarkan oleh Food and Drug Administration
karena dilaporkan terdapat 3 pasien dengan kehilangan penglihatan unilateral setelah
injeksi intranasal langsung dengan kenalog. Keamanan mungkin tergantung pada
ukuran spesifik partikel. Berat molekuler yang besar seperti Aristocort lebih aman dan
sepertinya sedikit yang di pindahkan ke area intrakranial. Hindari injeksi langsung ke
dalam pembuluh darah.
Steroid oral paling efektif pada pengobatan medis untuk nasal polipoid. Pada dewasa
penulis banyak menggunakan prednison (30-60mg) selama 4-7 hari dan diturunkan
selama 1-3 minggu. Variasi dosis pada anak-anak, tetapi maksimum biasanya
1mg/kb/hari selama 5-7 hari dan diturunkan selama 1-3 minggu.
Respon dengan kortikosteroid tergambar dari ada atau tidaknya eosinofilia, jadi pasien
dengan polip dan rhinitis alergi atau asma seharusnya respon dengan pengobatan ini.
Pasien dengan polip yang sedikir eosinofil mungkin tidak respon terhadap steroids.
Penggunaan steroid oral jangka panjang tidak direkomendasikan karena efek
sampingnya yang merugikan ( seperti gangguan pertumbuhan, Diabetes Melitus,
hipertensi, gangguan psikis, gangguan pencernaan, katarak, glukoma, osteoporosis)
Pemberian topikal kortikosteroid di berikan secara umum karena lebih sedikit efek
yang merugikan dibandingkan pemberian sistemik karena bioavaibilitasnya yang
terbatas. Pemberian jangka panjang khususnya dosis tinggi dan kombinasi dengan
kortikosteroid inhalasi, terdapat resiko penekanan hipotalamus-pituari-adrenal aksis,
pembentukan katarak, gangguan pertumbuhan, perdarahan hidung, dan pada jarang
kasus terjadi perforasi septum.
Pembedahan dilakukan jika:
1. Polip menghalangi saluran nafas
2. Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus
3. Polip berhubungan dengan tumor
4. Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitis yang gagal pengobatan
maksimum dengan obat- obatan.
Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan dengan menggunakan senar
polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi belum memadati rongga hidung.
Polipektomi
sederhana cukup efektif untuk memperbaiki gejala pada hidung, khususnya pada
kasus polip yang tersembunyi atau polip yang sedikit. Bedah sinus endoskopik
(Endoscopic Sinus Surgery) merupakan teknik yang lebih baik yang tidak hanya
membuang polip tapi juga membuka celah di meatus media, yang merupakan tempat
asal polip yang tersering sehingga akan membantu mengurangi angka kekambuhan. Surgical
micro debridement merupakan prosedur yang lebih aman dan cepat, pemotongan jaringan
lebih akurat dan mengurangi perdarahan dengan visualisasi yang lebih baik.
Gambar 21: Nasal Polypectomy: microderbrider memasuki meatus media kiri
(Sumber: Nasal polypectomy: Article by Kevin T Kavanagh, All Rights Reserved
http://www.ent-usa.com)
Gambar 22: Nasal Polypectomy: Nasal polyp. Stalk attached to medial maxillary wall.
(Sumber: Nasal polyps: Article by Kevin T Kavanagh, All Rights Reserved www.ent-
usa.com)
XI. Prognosis
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut. Rekurensi dari
polip umumnya terjadi bila adanya polip yang multipel. Polip tunggal yang besar seperti
polip antral-koanal jarang terjadi relaps.
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan
kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa dekongestan yang
berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi
inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi
dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara
lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
BAB III
KESIMPULAN
1. Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan sumbatan pada
hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
2. Etiologi polip di literatur terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu pada
proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi.
3. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya riwayat
rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata, adanya sekret hidung.
4. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai, mudah
digerakkan, tidak ada nyeri tekan dan tidak mengecil pada pemberian vasokonstriktor lokal.
5. Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun operatif, yang
biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari pasien sendiri.
6. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan yang lebih
besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani polipektomi beberapa
kali dalam hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000
1. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan Kelainan
Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000
1. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 114. Penerbit Media Aesculapius
FK-UI 2000
1. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1989
1. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea &
Febiger 14th edition. Philadelphia 1991
1. www.ent-usa.com
1. www.otolaryngology Houston.htm
1. www.eMedicine .com- Nasal Polyps Article by John E McClay GOOD.htm
1. Ear, Nose & Throat Journal, August, 2000 by Ken Yanagisawa, Steven Y. Ho, Eiji
Yanagisawa



Polip nasi ialah massa lunak yang bertangkai di dalam rongga hidung yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. Permukaannya licin, berwarna putih keabu-abuan dan agak bening karena
mengandung banyak cairan. Bentuknya dapat bulat atau lonjong, tunggal atau multipel,
unilateral atau bilateral. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari
usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak di bawah usia 2 tahun, harus
disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel.

Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit atopi,
tetapi makin banyak penelitian yang tidak mendukung teori ini dan para ahli sampai saat ini
menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti.

Histopatologi polip nasi

Secara makroskopik polip merupakan massa dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau
lonjong, berwarna pucat keabu-abuan, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif
(bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan oleh
sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip
dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat
menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.

Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas hidung, di
bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid. Di tempat-
tempat ini mukosa hidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan
endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger
didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus, konka media dan
infundibulum.


Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut polip koana.
Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana.
Menurut Stammberger polip antrokoana biasanya berasal dari kista yang terdapat pada
dinding sinus maksila. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid
posterior atau resesus sfenoetmoid.

Diagnosis Polip Nasi
Anamnesis

Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan sampai
berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai
bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai
infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang
dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan
penurunan kualitas hidup.
Gejala pada saluran napas bawah didapati pada kurang lebih sepertiga kasus polip, dapat
berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.

Selain itu harus ditanyakan riwayat rintis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi
obat lainnya serta alergi makanan.
Pemeriksaan Fisik

Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak
mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai
massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.

Untuk kepentingan penelitian agar hasil pemeriksaan dan pengobatan dapat dilaporkan
dengan standar yang sama, Mackay dan Lund pada tahun 1997 membuat pembagian stadium
polip sebagai berikut, stadium 0 : tidak ada polip, stadium 1 : polip masih terbatas di meatus
medius, stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung, stadium 3: polip yang masif.

Naso-endoskopi

Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru.
Polip stadium 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi
tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.

Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium
asesorius sinus maksila.

Pemeriksaan Radiologi

Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi sebenarnya kurang
bermafaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan kesan positif palsu atau negatif
palsu, dan tidak dapat memberikan informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan
variasi anatomis di daerah kompleks ostio-meatal. Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT
scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal
apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal.
TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah
terutama bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai potongan koronal,
sedangkan pada polip yang rekuren diperlukan juga potongan aksial.

Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-keluhan yang
dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar frekuensi infeksi berkurang,
mengurangi/menghilangkan keluhan pernapasan pada pasien yang disertai asma, mencegah
komplikasi dan mencegah rekurensi polip.

Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid intranasal
selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau
gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan maka diberikan juga
kortikosteroid sistemik. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid intranasal mungkin
harganya mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian pasien, sehingga dalam keadaan demikian
langsung diberikan kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid saat ini belum ada ketentuan
yang baku, pemberian masih secara empirik misalnya diberikan Prednison 30 mg per hari
selama seminggu dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama seminggu.Menurut van Camp
dan Clement dikutip dari Mygind dan, Lidholdt untuk polip dapat diberikan prednisolon
dengan dosis total 570 mg yang dibagi dalam beberapa dosis, yaitu 60 mg/hari selama 4 hari,
kemudian dilakukan tapering off 5 mg per hari. Menurut Naclerio pemberian kortikosteroid
tidak boleh lebih dari 4 kali dalam setahun. Pemberian suntikan kortikosteroid intrapolip
sekarang tidak dianjurkan lagi mengingat bahayanya dapat menyebabkan kebutaan akibat
emboli. Kalau ada tanda-tanda infeksi harus diberikan juga antibiotik. Pemberian antibiotik
pada kasus polip dengan sinusitis sekurang-kurangnya selama 10-14 hari.

Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif
dipertimbangkan untuk terapi bedah. Terapi bedah yang dipilih tergantung dari luasnya
penyakit (besarnya polip dan adanya sinusitis yang menyertainya), fasilitas alat yang tersedia
dan kemampuan dokter yang menangani. Macamnya operasi mulai dari polipektomi
intranasal menggunakan jerat (snare) kawat dan/ polipektomi intranasal dengan cunam
(forseps) yang dapat dilakukan di ruang tindakan unit rawat jalan dengan analgesi lokal;
etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid; operasi Caldwell-
Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat
dilakukan tindakan endoskopi untuk polipektomi saja, atau disertai unsinektomi atau lebih
luas lagi disertai pengangkatan bula etmoid sampai Bedah Sinus Endoskopik Fungsional
lengkap.27-28,31 Alat mutakhir untuk membantu operasi polipektomi endoskopik ialah
microdebrider (powered instrument) yaitu alat yang dapat menghancurkan dan mengisap
jaringan polip sehingga operasi dapat berlangsung cepat dengan trauma yang minimal.27

Untuk persiapan prabedah, sebaiknya lebih dulu diberikan antibiotik dan kortikosteroid untuk
meredakan inflamasi sehingga pembengkakan dan perdarahan berkurang, dengan demikian
lapang-pandang operasi lebih baik dan kemungkinan trauma dapat dihindari.

Pasca bedah perlu kontrol yang baik dan teratur mengunakan endoskop, dan telah terbukti
bahwa pemberian kortikosteroid intranasal dapat menurunkan kekambuhan.

Sumber : medlinux


Polip Nasi atau biasa disebut Polip Hidung adalah kelainan mukosa hidung dan sinus
paranasal terutama pada kompleks osteomeatal (KOM) di meatus nasi medius berupa massa
lunak yang bertangkai (tonjolan pada jaringan permukaan mukosa), bentuk bulat atau
lonjong, berwarna putih keabu-abuan (bentuknya mirip dengan buah anggur bening lonjong
bertangkai). Permukaannya licin dan agak bening karena banyak mengandung cairan. Sering
bilateral dan multipel.


Orang yang menderita Polip hidung merasa terganggu akibat tonjolan di dalam hidungnya
sehingga tidak leluasa untuk bernafas (buntu) dan pilek berkepanjangan. Perlu diingat bahwa
jika seseorang mengalami pilek dan hidung berasa mampet.

JENIS POLIP HIDUNG

Polip Hidung terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :

Polip hidung Tunggal. Jumlah polip hanya sebuah. Berasal dari sel-sel permukaan dinding
sinus tulang pipi (maxilla).
Polip Hidung Multiple. Jumlah polip lebih dari satu. Dapat timbul di kedua sisi rongga
hidung. Pada umumnya berasal dari permukaan dinding rongga tulang hidung bagian atas
(etmoid).

PENYEBAB POLIP HIDUNG

Penyebab Polip hidung belum diketahui secara pasti. Namun ada 3 faktor yang berperan
dalam terjadinya polip nasi, yaitu :

1. Peradangan. Peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang kronik dan berulang.
2. Vasomotor. Gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Edema. Peningkatan tekanan cairan interstitial sehingga timbul edema mukosa hidung.
Terjadinya edema ini dapat dijelaskan oleh fenomena Bernoulli.

Fenomena Bernoulli yang dimaksud yaitu udara yang mengalir melalui tempat yang sempit
akan menimbulkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya sehingga jaringan yang lemah
ikatannya akan terisap oleh tekanan negatif tersebut. Akibatnya timbullah edema mukosa.
Keadaan ini terus berlangsung hingga terjadilah polip hidung. Ada juga bentuk variasi polip
hidung yang disebut polip koana (polip antrum koana).

Polip Hidung Polip hidung biasanya tumbuh di daerah dimana selaput lendir membengkak
akibat penimbunan cairan, seperti daerah di sekitar lubang sinus pada rongga hidung.

PATOFISIOLOGI POLIP HIDUNG


Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan interseluler dan
kemudian terdorong ke dalam rongga hidung dan gaya berat. Polip dapat timbul dari bagian
mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral. Polip hidung paling sering
berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium sinus maksilla dan masuk ke
ronga hidung dan membesar di koana dan nasopharing. Polip ini disebut polip koana. Secara
makroskopik polip tershat sebagai massa yang lunak berwarna putih atau keabu-abuan.
Sedangkan secara mikroskopik tampak submukosa hipertropi dan sembab. Sel tidak
bertambah banyak dan terutama terdiri dari sel eosinofil, limfosit dan sel plasma sedangkan
letaknya berjauhan dipisahkan oleh cairan interseluler. Pembuluh darah, syaraf dan kelenjar
sangat sedikit dalam polip dan dilapisi oleh epitel throrak berlapis semu.
Mekanisme patogenesis yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan polip hidung sulit
ditentukan. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan polip, antara lain:

Proses inflamasi yang disebabkan penyebab multifaktorial termasuk familiar dan faktor
herediter
Aktivasi respon imun lokal
Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis.


Semua jenis imunoglobulin dapat ditemui pada polip nasi, tapi peningkatan IgE merupakan
jenis yang paling tinggi ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan tonsil dan serum
sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi, dimana peningkatan
jumlah memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas.

Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin merupakan
mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000 konsentrasi serum.
Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah Gamma Interferon
(IFN-) dan Tumour Growth Factor (TGF-). IFN- menyebabkan migrasi dan aktivasi
eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan
sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF- yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa
normal merupakan faktor paling kuat dalam menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik
ekstraseluler. Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang
akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan
terjadinya edema submukosa pada polip nasi.



Fenomena bernouli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui celah yang sempit akan
mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya, sehingga jaringan yang lemah akan
terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga menyebabkan polip, fenomena ini dapat
menjelaskan mengapa polip banyak terjadi pada area yang sempit di kompleks osteomatal.

Patogenesis polip pada awalnya ditemukan bengkak selaput permukaan yang kebanyakan
terdapat pada meatus medius, kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga
selaput permukaan yang sembab menjadi berbenjol-benjol. Bila proses terus membesar dan
kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai sehingga terjadi Polip

HISTOPATOLOGI POLIP HIDUNG


Epitel normal dari kavum nasi adalah epitel kolumnar bertingkat semu bersilia. Epitel
permukaan dari sinus lebih tipis, memiliki sel goblet dan silia yang lebih sedikit bila
dibandingkan dengan kavum nasi.

Berdasarkan histologisnya terdapat 4 tipe dari polip nasi:

Eosinofilik edematous. Tipe ini merupakan jenis yang paling banyak ditemui yang meliputi
kira-kira 85% kasus. Tipe ini ditandai dengan adanya stroma yang edema, peningkatan sel
goblet dalam jumlah normal, jumlah eosinofil yang meningkat tinggi, sel mast dalam stroma,
dan penebalan membran basement.

Polip inflamasi kronik. Tipe ini hanya terdapat kurang dari 10% kasus polip nasi. Tipe ini
ditandai dengan tidak ditemukannya edema stroma dan penurunan jumlah dari sel goblet.
Penebalan dari membran basement tidak nyata. Tanda dari respon inflamasi mungkin dapat
ditemukan walaupun yang dominan adalah limfosit. Stroma terdiri atas fibroblas.

Polip dengan hiperplasia dari glandula seromusinous. Tipe ini hanya terdapat kurang dari
5% dari seluruh kasus. Gambaran utama dari tipe ini adalah adanya glandula dan duktus
dalam jumlah yang banyak.

Polip dengan atipia stromal.Tipe ini merupakan jenis yang jarang ditemui dan dapat
mengalami misdiagnosis dengan neoplasma. Sel stroma abnormal atau menunjukkan
gambaran atipikal, tetapi tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai suatu neoplasma.

Pada polip nasi, tapi peningkatan IgE merupakan jenis yang paling tinggi ditemukan bahkan
apabila dibandingkan dengan tonsil dan serum sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM terdapat
dalam jumlah bervariasi, dimana peningkatan jumlah memperlihatkan adanya infeksi pada
saluran napas.

Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin merupakan
mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000 konsentrasi serum.
Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah Gamma Interferon
(IFN-) dan Tumour Growth Factor (TGF-). IFN- menyebabkan migrasi dan aktivasi
eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan
sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF- yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa
normal merupakan faktor paling kuat dalam menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik
ekstraseluler. Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang
akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan
terjadinya edema submukosa pada polip nasi.


GEJALA POLIP HIDUNG

Gejala Polip Hidung Ketika baru terbentuk, sebuah polip tampak seperti air mata dan jika
telah matang, bentuknya menyerupai buah anggur yang berwarna keabu-abuan. Penderita
biasanya mengeluhkan hidung tersumbat, penurunan indra penciuman, dan gangguan
pernafasan. Akibatnya penderita bersuara sengau.

Polip hidung juga bisa menyebabkan penyumbatan pada drainase lendir dari sinus ke hidung.
Penyumbatan ini menyebabkan tertimbunnya lendir di dalam sinus. Lendir yang terlalu lama
berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan akhirnya terjadi sinusitis.

Pengobatan Polip Hidung Tujuan utama pengobatan adalah mengatasi polip dan menghindari
penyebab atau faktor pemicu terjadinya polip. Obat semprot hidung yang mengandung
corticosteroid kadang bisa memperkecil ukuran polip hidung atau bahkan menghilangkan
polip. Operasi dilakukan jika polip mengganggu pernafasan atau berhubungan dengan tumor.

DIAGNOSIS POLIP HIDUNG

Cara menegakkan diagnosa polip hidung, yaitu dengan :

Anamnesis

Hidung tersumbat.
Terasa ada massa didalam hidung.
Sukar membuang ingus.
Gangguan penciuman : anosmia & hiposmia.
Gejala sekunder. Bila disertai kelainan jaringan & organ di sekitarnya seperti post nasal drip,
sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga rasa penuh, mendengkur, gangguan
tidur dan penurunan kualitas hidup.

Pemeriksaan fisik. Terlihat deformitas hidung luar.
Rinoskopi anterior. Mudah melihat polip yang sudah masuk ke dalam rongga hidung.
Dengan pemeriksaan rhinoskopi anterior biasanya polip sudah dapat dilihat, polip yang masif
seringkali menciptakan kelainan pada hidung bagian luar. Pemeriksaan Rontgen dan CT scan
dapat dilakukan untuk

Polip biasanya tumbuh di daerah dimana selaput lendir membengkak akibat penimbunan
cairan, seperti daerah di sekitar lubang sinus pada rongga hidung. Ketika baru terbentuk,
sebuah polip tampak seperti air mata dan jika telah matang, bentuknya menyerupai buah
anggur yang berwarna keabu-abuan.

Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak
mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat terlihat
adanya massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.1

Pembagian polip nasi polip/ hidung

Grade 0 : Tidak ada polip
Grade 1 : Polip terbatas pada meatus media
Grade 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung tapi belum
menyebabkan obstruksi total
Grade 3 : Polip sudah menyebabkan obstruksi total
Endoskopi. Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari kompleks
osteomeatal.
memberikan gambaran yang baik dari polip, khususnya polip berukuran kecil di meatus
media. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tetapi tampak dengan pemeriksan naso-endoskopi. Pada kasus polip koanal juga
dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. Dengan naso-
endoskopi dapat juga dilakukan biopsi pada layanan rawat jalan tanpa harus ke meja operasi.
Foto polos rontgen &CT-scan. Untuk mendeteksi sinusitis.
Foto polos sinus paranasal (posisi water, AP, caldwell, dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus, tetapi pemeriksaan ini
kurang bermanfaat pada pada kasus polip. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk
melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada kelainan anatomi,
polip, atau sumbatan pada komplek osteomeatal. CT scan terutama diindikasikan pada kasus
polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa.
Biopsi. Kita anjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut, menyerupai
keganasan pada penampakan makroskopis dan ada gambaran erosi tulang pada foto polos
rontgen.

PENATALAKSANAAN POLIP HIDUNG

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-keluhan yang
dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar frekuensi infeksi berkurang,
mengurangi/menghilangkan keluhan pernapasan pada pasien yang disertai asma, mencegah
komplikasi dan mencegah rekurensi polip.

Medikamentosa : kortikosteroid, antibiotik &anti alergi.
Operasi : polipektomi & etmoidektomi.
Kombinasi : medikamentosa & operasi.
Berikan kortikosteroid pada polip yang masih kecil dan belum memasuki rongga hidung.
Caranya bisa sistemik, intranasal atau kombinasi keduanya. Gunakan kortikosteroid sistemik
dosis tinggi dan dalam jangka waktu singkat. Berikan antibiotik jika ada tanda infeksi.
Berikan anti alergi jika pemicunya dianggap alergi.

Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid intranasal
selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau
gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan maka diberikan juga
kortikosteroid sistemik. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid intranasal mungkin
harganya mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian pasien, sehingga dalam keadaan demikian
langsung diberikan kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid saat ini belum ada ketentuan
yang baku, pemberian masih secara empirik misalnya diberikan Prednison 30 mg per hari
selama seminggu dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama seminggu.Menurut van Camp
dan Clement dikutip dari Mygind dan, Lidholdt untuk polip dapat diberikan prednisolon
dengan dosis total 570 mg yang dibagi dalam beberapa dosis, yaitu 60 mg/hari selama 4 hari,
kemudian dilakukan tapering off 5 mg per hari. Menurut Naclerio pemberian kortikosteroid
tidak boleh lebih dari 4 kali dalam setahun. Pemberian suntikan kortikosteroid intrapolip
sekarang tidak dianjurkan lagi mengingat bahayanya dapat menyebabkan kebutaan akibat
emboli. Kalau ada tanda-tanda infeksi harus diberikan juga antibiotik. Pemberian antibiotik
pada kasus polip dengan sinusitis sekurang-kurangnya selama 10-14 hari.

Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif
dipertimbangkan untuk terapi bedah. Terapi bedah yang dipilih tergantung dari luasnya
penyakit (besarnya polip dan adanya sinusitis yang menyertainya), fasilitas alat yang tersedia
dan kemampuan dokter yang menangani. Macamnya operasi mulai dari polipektomi
intranasal menggunakan jerat (snare) kawat dan/ polipektomi intranasal dengan cunam
(forseps) yang dapat dilakukan di ruang tindakan unit rawat jalan dengan analgesi lokal;
etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid; operasi Caldwell-
Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat
dilakukan tindakan endoskopi untuk polipektomi saja, atau disertai unsinektomi atau lebih
luas lagi disertai pengangkatan bula etmoid sampai Bedah Sinus Endoskopik Fungsional
lengkap. Alat mutakhir untuk membantu operasi polipektomi endoskopik ialah microdebrider
(powered instrument) yaitu alat yang dapat menghancurkan dan mengisap jaringan polip
sehingga operasi dapat berlangsung cepat dengan trauma yang minimal.

Polipektomi merupakan tindakan pengangkatan polip menggunakan senar polip dengan
bantuan anestesi lokal. Kategori polip yang diangkat adalah polip yang besar namun belum
memadati rongga hidung.

Etmoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan tindakan
pengangkatan polip sekaligus operasi sinus. Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang
sangat besar, berulang, dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal.

Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan sebelum dan sesudah
operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah profilaksis pasca operasi.
baca lebih lengkap disini
DAFTAR PUSTAKA
Nuty W. Nizar & Endang Mangunkusumo. Polip Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi,
Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.

http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2010/09/05/polip-hidung/


Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung dan sinus paranasal terutama kompleks
osteomeatal (KOM) di meatus nasi medius berupa massa lunak yang bertangkai, bentuk bulat
atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan. Permukaannya licin dan agak bening karena
banyak mengandung cairan. Sering bilateral dan multipel. Polip merupakan manifestasi dari
berbagai penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rinitis alergi, asma, dan lain-lain.
Etiologi Polip Hidung
Etiologi polip hidung belum diketahui secara pasti. Namun ada 3 faktor yang berperan dalam
terjadinya polip nasi, yaitu :
Peradangan. Peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang kronik dan
berulang.
Vasomotor. Gangguan keseimbangan vasomotor.
Edema. Peningkatan tekanan cairan interstitial sehin
gga timbul edema mukosa hidung. Terjadinya edema ini dapat dijelaskan oleh fenomena
Bernoulli.
Fenomena Bernoulli merupakan penjelasan dari hukum sunnatullah yaitu udara yang
mengalir melalui tempat yang sempit akan menimbulkan tekanan negatif pada daerah
sekitarnya sehingga jaringan yang lemah ikatannya akan terisap oleh tekanan negatif tersebut.
Akibatnya timbullah edema mukosa. Keadaan ini terus berlangsung hingga terjadilah polip
hidung.
Ada juga bentuk variasi polip hidung yang disebut polip koana (polip antrum koana).

Polip koana (polip antrum koana) adalah polip yang besar dalam nasofaring dan berasal
dari antrum sinus maksila. Polip ini keluar melalui ostium sinus maksila dan ostium
asesorisnya lalu masuk ke dalam rongga hidung kemudian lanjut ke koana dan membesar
dalam nasofaring.
Diagnosis Polip Hidung
Cara menegakkan diagnosa polip hidung, yaitu :
Anamnesis.
Pemeriksaan fisik. Terlihat deformitas hidung luar.
Rinoskopi anterior. Mudah melihat polip yang sudah masuk ke dalam rongga hidung.
Endoskopi. Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari kompleks
osteomeatal.
Foto polos rontgen & CT-scan. Untuk mendeteksi sinusitis.
Biopsi. Kita anjurkan jika terdapat massa unilat
eral pada pasien berusia lanjut, menyerupai keganasan pada penampakan makroskopis dan
ada gambaran erosi tulang pada foto polos rontgen.
Anamnesis untuk diagnosis polip hidung :
Hidung tersumbat.
Terasa ada massa didalam hidung.
Sukar membuang ingus.
Gangguan penciuman : anosmia & hiposmia.
Gejala sekunder. Bila disertai kelainan jaringan & organ di sekitarnya seperti post nasal drip,
sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga rasa penuh, mendengkur, gangguan
tidur dan penurunan kualitas hidup.
Terapi Polip Hidung
Ada 3 macam terapi polip hidung, yaitu :
Medikamentosa : kortikosteroid, antibiotik & anti alergi.
Operasi : polipektomi & etmoidektomi.
Kombinasi : medikamentosa & operasi.
Berikan kortikosteroid pada polip yang masih kecil dan belum memasuki rongga hidung.
Caranya bisa sistemik, intranasal atau kombinasi keduanya. Gunakan kortikosteroid sistemik
dosis tinggi dan dalam jangka waktu singkat. Berikan antibiotik jika ada tanda infeksi.
Berikan anti alergi jika pemicunya dianggap alergi.
Polipektomi merupakan tindakan pengangkatan polip menggunakan senar polip dengan
bantuan anestesi lokal. Kategori polip yang diangkat adalah polip yang besar namun belum
memadati rongga hidung.

Etmoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan tindakan
pengangkatan polip sekaligus operasi sinus. Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang
sangat besar, berulang, dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal.
Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan sebelum dan sesudah
operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah profilaksis pasca operasi.
Daftar Pustaka
Nuty W. Nizar & Endang Mangunkusumo. Polip Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi,
Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) merupakan satu di antara tumor jinak rongga
hidung (benign nasal cavity tumors) yang paling umum dialami oleh remaja pria.
Sinonim
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma,
juvenile nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal
tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, angiofibroma nasofaring belia.
Di dalam artikel ilmiah ini digunakan istilah JNA.
Definisi
JNA merupakan tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologis jinak
namun secara klinis bersifat ganas karena berkemampuan merusak tulang dan meluas ke
jaringan di sekitarnya, misalnya: ke sinus paranasal, pipi, rongga mata atau tengkorak
(cranial vault), sangat mudah berdarah dan sulit dihentikan.
Penyebab (Etiology)
Penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah
bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di
turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa
beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty).
Riset terkini oleh Bretani berhasil membuktikan adanya reseptor estrogen dan progesteron
pada JNA, namun kadar gonadotropin di semua pasien normal.
Teori lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari embryonal chondrocartilage yang
berada di occipital plate.
Selain itu, ada juga teori tentang respon desmoplastic dari nasopharyngeal periosteum atau
embryonic fibrocartilage antara basiocciput dan basisphenoid.
Teori tentang penyebab dari sel-sel paraganglionik nonkromafin dari cabang terminal arteri
maksilaris juga dipostulasikan.
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil mengungkapkan
delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor gene p53 sama seperti Her-
2/neu oncogene.
Epidemiologi
JNA banyak dialami terutama remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis
JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus
dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade kedua kehidupan, tepatnya pada rentang
usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia 25 tahun.
Insiden JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,5% dari semua tumor
kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
Patofisiologi
Menurut Mansfield E (2006), asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di
atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek
posterior dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya area jaringan
endotel di daerah ini.
Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah
menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan
menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya.
Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial.
Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-
tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu
bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke
anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada
satu sisinya, dan septumnya berdeviasi (bengkok) ke sisi lainnya.
Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded).
Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat diserbu atau diinvasi juga jika tumor berkembang
lebih lanjut.
Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus
maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid) dapat ter-
erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura
orbita didesak oleh tumor.
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien
yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan
pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan
dengan JNA.
Manifestasi Klinis
Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling
sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah
(blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi
(unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga
kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral
rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap bau
(hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga
(otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk
pipi (deformity of the cheek), dan rhinolalia.
Tanda
1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior;
nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile)
atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini
mencapai 80%.
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging palate),
terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di
pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai dengan perluasan
setempat). Angka kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%,
sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan tanda
bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat penurunan
penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.
Diagnosis
Diagnosis angiofibroma ditegakkan melalui pemeriksaan radiologi konvensional, CT scan,
MRI, dan angiography.
Pada pemeriksaan radiologi konvensional (foto kepala potongan anteroposterior, lateral, dan
posisi Waters) akan tampak gambaran klasik tanda Holman Miller yaitu pendorongan
prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigopalatina melebar.
Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan massa tumor dan
destruksi tulang ke jaringan di sekitarnya. Juga tampak perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari
greater sphenoidal wing, atau invasi fossa infratemporal dan pterigomaksilaris.
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menetapkan batas
tumor, terutama jika telah meluas ke intrakranial.
Angiography menunjukkan cabang-cabang sistem karotid eksterna yang menjadi penyuplai
makanan utama (primary feeders).
Penemuan Histologis
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang (mature
fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang berdinding tipis.
Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka kekurangan
elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan
tentang kecenderungan terjadi perdarahan.
Stadium
Untuk menentukan derajat atau stadium tumor, umumnya digunakan klasifikasi Session dan
Fisch.
Klasifikasi Menurut Sessions
Stadium IA Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.
Stadium IB Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring dengan keterlibatan
sedikitnya satu sinus paranasal.
Stadium IIA Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary fossa.
Stadium IIB Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa erosi superior dari
tulang-tulang orbita.
Stadium IIIA Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial fossa/pterygoid
base); perluasan intrakranial minimal.
Stadium IIIB Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke sinus
kavernosus.
Klasifikasi Menurut Fisch
Stadium I Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa kerusakan tulang.
Stadium II Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal dengan kerusakan
tulang.
Stadium III Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio parasellar; sisanya
di lateral sinus kavernosus.
Stadium IV Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik, dan atau fossa
pituitari.
Penatalaksanaan
Pada prinsipnya dipakai dua pendekatan sebagai penatalaksanaan JNA, yakni terapi medis
dan terapi pembedahan.
A. Terapi Medis
*Terapi hormonal dan kemoterapi
Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau testosterone receptor
blocker, efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada stadium I dan II hingga 44%.
Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu) sebelum eksisi
dapat mengurangi vascularity JNA namun terkait dengan efek samping memiliki sifat
kewanitaan (feminizing side effects).
Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau kambuh.
Schuon, et.al. (2006) melaporkan analisis immunohistochemical dari mekanisme
pertumbuhan JNA. Mereka berkesimpulan bahwa pertumbuhan dan vaskularisasi JNA
dikendalikan oleh faktor-faktor yang dibebaskan dari stromal fibroblasts. Oleh karena itu,
dihambatnya faktor-faktor ini dapat bermanfaat untuk terapi JNA yang tidak dapat dioperasi
(inoperable).
* Radioterapi
Beberapa center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80% dengan terapi radiasi.
Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan dosis radiasi yang lebih rendah
ke jaringan di sekitarnya. Para ahli telah menyediakan radioterapi untuk penyakit intrakranial
atau kasus yang berulang.
Radioterapi three-dimensional conformal untuk JNA yang luas (extensive) atau penyebaran
hingga intrakranial memberikan suatu alternatif yang baik untuk radioterapi konvensional
berkaitan dengan pengendalian penyakit dan morbiditas akibat radiasi (radiation morbidity).
External beam irradiation, paling sering digunakan untuk penyakit intrakranial yang tidak
dapat dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent). Digunakan dosis yang bervariasi
dari 30-46 Gy. Sisa tumor seringkali muncul dua tahun setelah terapi. Perhatian utama
termasuk kulit sekunder, tulang, jaringan lunak, keganasan tiroid, dan hambatan
perkembangan tulang wajah.
B. Terapi Pembedahan
Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi dan perluasan JNA.
* Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal digunakan untuk
tumor-tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II).
* Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor telah meluas ke lateral.
* Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa osteotomi LeFort, memperbaiki akses
posterior terhadap tumor.
* Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-Ferguson dan perluasan
koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface osteotomies untuk jalan masuk.
* Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan pemotongan tumor sekaligus (en
bloc), dekompresi saraf mata, dan pembukaan sinus kavernosus.
* Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada rongga hidung
dan sinus paranasal.
Diagnosis Banding
1. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
2. Polip koanal (choanal polyp).
3. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).
4. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
5. Kordoma (chordoma).
6. Karsinoma (carcinoma).
7. Penyebab lain dari nasal obstruction, (seperti: nasal polyps, antrochoanal polyp,
teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma,
squamous cell carcinoma)
8. Penyebab lain dari mimisen (epistaxis), baik sistemik maupun lokal.
9. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan rongga mata (orbital swellings).
Komplikasi
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV),
perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital, dan
transfusi perioperative.
Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Transformasi
keganasan (malignant transformation). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai
hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena
kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the
cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.
Prognosis
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah: keberadaan tumor di
fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial, suplai makanan dari
arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor.
Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan (recurrence). Rata-
rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan reseksi lengkap dari
JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial. Rerata kesembuhan 90% berhubungan
dengan pembedahan kedua jika terjadi kekambuhan.
Tahukah Anda?
Ada istilah Cancer predisposition syndromes and associated genes, misalnya: sindrom
tuberous sclerosis, bersifat autosomal dominant, berhubungan dengan gen TSC1 dan TSC2
yang berlokasi di kromosom 9q34 dan 16p13.3, dan ada keterkaitan erat dengan
angiofibroma dan renal angiomyolipoma.
Referensi
Fauci, et.al. (Ed.) Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition. McGraw-Hill
Companies, Inc. USA. 2008; Part 6: Chapter 79.
Goodenberger J, Ross PJ. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Radiol Technol. Jul-Aug
2000;71(6):595-8.
Mansfield, E. Angiofibroma. In: eMedicine Specialties > Vascular Surgery > Medical Topics.
Jun 26, 2006.
Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi Keenam. Editor:
Soepardi EA, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.
Schick B, Veldung B, Wemmert S, et al. p53 and Her-2/neu in juvenile angiofibromas. Oncol
Rep. Mar 2005;13(3):453-7.
Schuon R, Brieger J, Heinrich UR, et al. Immunohistochemical analysis of growth
mechanisms in juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Eur Arch Otorhinolaryngol. Dec 20
2006;
Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In: eMedicine Specialties >
Otolaryngology and Facial Plastic Surgery > Pediatric Otolaryngology. Feb 23, 2007.
Tyagi I, Syal R, Goyal A. Recurrent and residual juvenile angiofibromas. J Laryngol Otol.
Jan 9 2007;1-8.
Windfuhr JP, Remmert S. Extranasopharyngeal angiofibroma: etiology, incidence and
management. Acta Otolaryngol. Oct 2004;124(8):880-9.

Anda mungkin juga menyukai