Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENYAKIT AKUT
1. Definisi
Penyakit akut adalah merupakan suatu penyakit yang durasi pendek.Penyakit ini dapat
merupakan penyakit yang ringan atau mungkin serius.Penyakit akut ringan termasuk beberapa
masalah yang paling umum ditemukan dalam praktik umum, seperti infeksi saluran pernapasan
atas atau ruam kulit. Penyakit akut Mayor dapat hadir sebagai eksaserbasi akut dari penyakit
kronis yang mendasarinya, seperti infark miokard atau koma diabetes, atau tiba-tiba kondisi yang
tidak didiagnosis sebelumnya, seperti epilepsi atau stroke atau masalah emosional atau
psikologis akut (Jones, White, Armstrong, Asworth, & Peters, 2010).
Menurut Jones, dkk (2010) penyakit akut diklasifikasikan menjadi empat:
1. Penyakit akut ringan (sembuh sendiri)
2. Penyakit utama akut (sembuh sendiri atau membutuhkan pengobatan)
3. Presentasi akut penyakit utama yang ada (eksaserbasi akut)
4. Presentasi akut penyakit kronis baru.
Pada negara berpenghasilan rendah (low income) Infeksi pernapasan akut dan diare
masing-masing menyumbang sekitar 27% dan 23%, kematian anak-anak dan merupakan
penyebab utama morbiditas anak. Infeksi saluran pernafasan akut, diasumsikan bahwa 80-90%
kematian disebabkan oleh pneumonia (Boonstra, Lindbaek, & Ngome, 2005).
Penyakit akut disebut juga suatu kondisi sakit dengan durasi yang singkat.Kondisi
sakit ini bisa dalam keadaan ringan atau bisa juga berat.Penyakit akut yang ringan misalnya
adalah infeksi pernafasan atas, skin rashes.Penyakit akut yang berat misalnya adalah acute
exacerbation dari penyakit kronik seperti infark miokard atau koma diabetikum, kondisi yang
tidak terdiagnosis sebelumnya seperti permasalahan emosi atau psikologis yang bersifat akut.
Menurut hasil riskesdas (2013) terdapat tiga besar penyakit akut yang sering terjadi
pada anak Indonesia. Pertama adalah diare dengan insiden pada kelompok usia balita di
Indonesia sebesar 10,2 persen. Kedua adalah ISPA khususnya pneumonia dengan prevalensi
ISPA 4,5 % dan prevalensi pneumonia yang cenderung meningkat pada tahun 2013 menjadi 2,7
% (2,1 % di tahun 2007). ketiga adalah malaria dengan prevalensi 1 % (data UNICEF, 2013).
2. Penatalaksanaan

B. PNEUMONIA
1. Definisi
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit akut dengan prevalensi
tertinggi di Indonesia. ISPA terbagi menjadi dua yaitu ISPA bagian atas dan bawah.
Pneumonia merupakan salah satu jenis ISPA bagian bawah yang menjadi silent killer pada
anak. Pneumonia adalah infeksi yang terjadi pada saluran napas bagian bawah, khususnya
pada parenkim paru, yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumonia dan
Haemophilus influenza. Berikut tersaji gambar anatomi ISPA bagian atas dan bawah pada
anak (gambar 1).

2. Epidemiologi
Fokus pada tinjauan pustaka ini adalah ISPA bagian bawah khususnya pneumonia. Hal
tersebut merujuk pada data epidemiologi berupa prevalensi pneumonia sebesar 2,7% (2,1 %
di tahun 2007) yang merupakan kasus penyakit akut terbesar pada anak di Indonesia
(Riskesdas, 2013). Pneumonia juga memiliki angka mortalitas yang tinggi. Faktor risiko
pneumonia adalah kurang gizi dan berat bayi lahir rendah (BBLR).
3. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh mikroorganisme sebagai berikut:
a. bakteri : S. pneumoniae, S. aureus, S. piogenes, K. pneumonia, E. coli, dan P.
aeruginosa
b. virus: influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus,
c. jamur : Actynomyces israeli, Aspergillus fumigatus, Histoplasma capsulatum
d. protozoa: Pneumocytis carinii, Toxoplasma gondii
4. Patofisiologi
Paru-paru yang sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme. Namun, pada
pertahanan/barier yang buruk pada paru-paru maka mikoorganisme mudah masuk dan
tumbuh. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke epitel paru-paru melalui inhalasi aerosol
yang mengandung kuman, kolonisasi di permukaan mukosa (aspirasi secret orofaring yang
mengandung kuman), atau penyebaran melalui pembuluh darah lain (misal endokarditis).
Mikroorganisme yang masuk ke parenkim paru akan menyebar ke alveoli melalui pori
interalveolaris dan percabangan bronkus. Selanjutnya paru-paru yang terinfeksi tersebut akan
mengalami 4 stadium yang overlapping:
a. Stadium engorgement
Kapiler di dinding alveoli akan mengalami kongesti sehingga alveoli berisi cairan
edema. Mikroorganisme berkembang biak tanpa hambatan.
b. Stadium hepatisasi merah
Kapiler yang telah mengalami kongesti juga mengalami diapedesis dari sel-sel eritrosit.
c. Stadium hepatisasi kelabu
Alveoli dipenuhi oleh cairan eksudat. Kapiler terdesak dan jumlah sel leukosit
meningkat. Dengan adanya eksudat dan peningkatan sel leukosit yang merupakan
mekanisme pertahanan tubuh maka dapat menghalangi pertumbuhan mikroorganisme.
kemudian mikroorganisme tersebut akan difagositosis. Pada stadium ini akan terbentuk
antibody.
d. Stadium resolusi
Bila sel leukosit berhasil memfagositosis mikroorganisme tersebut maka makrofag akan
terlihat dalam alveoli beserta sisa-sisa sel. dinding alveoli dan jaringan interstisial tidak
mengalami kerusakan.
Jika mekanisme pertahanan tubuh individu baik, maka infeksi tidak berlanjut
menjadi pneumonia. Namun, jika mekanisme pertahanan tubuh individu tidak baik, maka
terjadilah pneumonia. Proses patofisiologi pneumonia juga tergantung pada jenis
mikroorganisme yang menyebabkan.
5. Penatalaksanaan (manajemen)
Manajemen penyakit akut pada anak merupakan tatalaksana yang harus dilakukan
untuk menangani penyakit akut pada anak. Manajemen penyakit akut pada anak membahas
tentang edukasi, promotif, dan preventif. Manajemen pneumonia dimulai dari identifikasi
tentang tanda dan gejala kapan anak harus dirujuk ke RS.
Tabel 1.1 tanda tentang kapan anak usia 2 bulan-5 tahun dengan batuk atau kesulitan
bernapas harus dirujuk

*table dari Acute respiratory infection in children: case management in small hospital in
developing countries (WHO, 1990)
Tabel tanda indikasi di atas merupakan table identifikasi yang menjadi pedoman pada
kasus yang diduga pneumonia untuk dirujuk ke RS. Tabel tersebut mendukung teori bahwa
malnutrisi merupakan factor risiko terjadinya pneumonia pad anak. Setelah berhasil
mengidentifikasi dan menentukan kapan akan dirujuk ke RS maka langkah selanjutnya adalah
manajemen pneumonia di RS.





























Tabel 1.2. Manajemen pneumonia pada RS setingkat RSUD

*table dari Acute respiratory infection in children: case management in small hospital in
developing countries (WHO, 1990)
Tabel 1.2 di atas menjelaskan mengenai tanda klinis, klasifikasi dan penatalaksaan
pneumonia pada anak usia dua bulan- lima tahun tanpa adanya stridor, malnutrisi parah dan
tanda meningitis. Tiga dari empat klasifikasi pneumonia menunjukkan tentang kebutuhan
pemberian antiobiotik. klasifikasi pneumonia parah dan sangat parah dirujuk ke RS. klasifikasi
pneumonia dan bukan pneumonia dapat dirawat di home care.

Tabel 1.3 pengkajian kembali pada anak dengan pneumonia parah

*table dari Acute respiratory infection in children: case management in small hospital in
developing countries (WHO, 1990)
Tabel 1.3 di atas menjelaskan tentang pengkajian kembali pada anak dengan
pneumonia parah setelah masuk di RS. Jika kondisi anak tidak membaik setelah mengkonsumsi
antibiotic benzylpenicilin setelah 48 jam makan tindakan pemeriksaan komplikasi dan
pengubahan antibiotic harus dilakukan. Jika setelah terapi antibiotic selama sepuluh hari, anak
masih menunjukkan tanda pneumonia, maka pemeriksaan untuk penyebab pneumonia persisten
perlu dilakukan.

table 1.4 Pengkajian kembali anak dengan pneumonia yang dirawat dirumah dengan
antibiotik

*table dari Acute respiratory infection in children: case management in small hospital in
developing countries (WHO, 1990)
Tabel 1.4 di atas menunjukkan bahwa jika anak tidak mampu minum, mengalami chest
indrawing (tarikan dada) atau tanda penyakit yang sangat parah maka dirujuk ke RS dan
penanganan yang dilakukan adalah penanganan pneumonia parah atau yang sangat parah. jika
anak tidak menunjukkan progress membaik tapi mempunyai tanda pneumonia parah atau tanda
penyakit para lainnya maka lakukan penggantian antibiotic. jika kondisi anak membaik maka
lanjutkan pemakaian antibiotic. Jika anak sudah sembuh maka selesaikan penggunaan antibotik
selama lima hari.








table 1.5. Manajemen bayi muda (kurang dari dua bulan) di RSUD dengan batuk atau
kesulitan bernapas

*table dari Acute respiratory infection in children: case management in small hospital in
developing countries (WHO, 1990)
Tabel1.5 di atas menunjukkan bahwa tanda-tanda klinis untuk pneumonia parah atau
pneumonia sangat parah dan terapinya dijadikan satu. Sedangkan untuk tanda-tanda klinis untuk
klasifikasi bukan pneumonia (batuk atau pilek) maka disarankan dirawat di rumah atau home
care.
Jenis ISPA lain yang sering terjadi pada anak adalah batuk. Manajemen batuk yang
dapat dilakukan menurut Kelley & Allen (2007) adalah pendekatan tunggu, amati, dan review.
Menurut Kelley & Allen, petugas kesehatan harus mengedukasi orang tua terhadap lama waktu
yang diharapkan untuk manajemen penyakit tersebut. Edukasi tersebut meliputi risiko
menggunakan medikasi di luar rencana, mendiskusikan keamanan, dan perawatan suportif untuk
mengurangi ketidaknyamanan karena penyakit pada anak.

C. DIARE AKUT
1. Definisi
Diare didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi dan kecairan feses. Diare infeksi
akut (biasanya berlangsung kurang dari 7 hari) adalah alasan umum untuk konsultasi dokter
umum dan untuk masuk ke rumah sakit bagi anak-anak (Elliot & Dalby-Payne, 2004).
Menurut Betz (2009) mendefenisikan diare sebagai inflamasi pada membran mukosa
lambung dan usus halus yang ditandai dengan diare, muntah-muntah yang berakibat
kehilangan cairan dan elektrolit yang menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan
elektrolit.
2. Epidemiologi
Menurut Rathaur, dkk (2014) Lebih dari 1 miliar kasus dan setidaknya 4 juta kematian
per tahun yang dikaitkan dengan diare di seluruh dunia. Di negara berkembang sekitar 1.000
juta episode terjadi setiap tahun pada anak-anak di bawah lima tahun, menyebabkan 5 juta
kematian di antara mereka setiap tahunnya, dari yang 80% terjadi dalam dua tahun pertama
kehidupan. Lima belas negara berkontribusi tiga perempat dari kematian anak akibat diare
pada anak di bawah usia lima tahun di seluruh dunia dari mana India menempati urutan
pertama.
3. Etiologi
Etiologi diare akut dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu faktor infeksi yang dibagi
menjadi infeksi enteral dan parentral. Infeksi enteral yaitu infeksi yang terjadi pada saluran
pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak, meliputi: infeksi bakteri virus,
parasit, protozoa dan jamur. Bakteri yang sering menjadi penyebab diare adalah Vibrio,
E.Coli, Salmonela, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, infeksi virus disebabkan
oleh Enteroovirus, Adenovirus, Rotarovirus, Astrovirus dan infeksi parasit disebabkan oleh
cacing Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides, Protozoa disebabkan oleh Entamoeba
histolytica, Giardia lambia, Trichomonas hominis dan jamur yaitu Candida
albicans.(Rathaur, Pathania, Jayara, & Yadav, 2014).
4. Patofisiologi
Proses terjadinya gastroenteritis dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan faktor
diantaranya pertama faktor infeksi, proses ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman)
yang masuk kedalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan
merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan usus. Selanjutnya terjadi perubahan
kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorbsi cairan
dan elektrolit atau juga dikatakannya adanya toksin bakteri atau akan menyebabkan sistem
transpor aktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang kemudia sekresi cairan
dan elektrolit akan meningkat. Faktor malabsorbsi merupakan kegagalan dalam melakukan
absorbsi yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit ke ronggan usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadi
gastroenteritis. Faktor makanan juga dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu
diserap dengan baik sehingga terjadi peningkatan dan penuruan peristaltik yang
mengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap makanan yang kemudian
menyebabkan gastroenteritis (Hidayat, 2008).
5. Evaluasi Diagnostik
Dalam enteritis akut, langkah diagnostik yang paling penting adalah penilaian klinis
dari tingkat dehidrasi. Evaluasi diagnostik lebih lanjut menyangkut potensi komplikasi atau
diagnosis banding yang mungkin ada di balik presentasi klinis enteritis menular baik
anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah dasar dari evaluasi diagnostik. Dalam kasus yang
parah, bila timbul komplikasi, atau bila diagnosis diragukan, penelitian lebih lanjut harus
dilakukan (Koletzko & Osterrieder, 2009).
6. Klasifikasi Diare
Menurut World Gastroenterologi Organisation (2012), mengklasifikasikan diare
berdasarkan episode dari diare menjadi tiga kategori: 1). Diare akut, yaitu adanya tiga kali
atau lebih buang air besar dengan konsistens cair dalam 24 jam; 2). Disenteri, terdapatnya
darah dalam feses dan 3). Diare persisten, yaitu dimulai dari episode akut dan berlangsung
lebih dari 14 hari. Sedangkan menurut Menurut WHO (2005) diare dapat diklasifikasikan
kepada: 1). Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari; 2). Disentri, yaitu
diare yang disertai dengan darah; 3. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari
14 hari; 4. Diare yang disertai dengan malnutrisi berat.
7. Manifestasi Klinis
Pada umumnya tanda dan gejala diare: buang air besar dengan konsistensi cair lebih
dari tiga kali dalam 24 jam, kadang-kadang bercampur darah serta kadang disertai muntah
dan demam dapat mendahului atau mengikuti diare, atau tidak sama sekali. Manifestasi lanjut
tergantung pada tingkat kehilangan cairan dan elektrolit (tingkat dehidrasi) (Koletzko &
Osterrieder, 2009).
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare pada anak balita baik yang dirawat di
rumah sakit maupun dirawat dirumah, yaitu :
a) Pemberian cairan atau rehidrasi
Tujuan utama dalam pengelolaan diare akut adalah untuk mencegah dehidrasi (jika tidak
ada tanda-tanda dehidrasi), mengatasi dehidrasi (bila ada), dan mencegah insufisiensi
gizi, terutama pada anak-anak, dengan memberi makan selama dan setelah diare.Dua
tujuan pertama dapat dicapai dengan oralit terapi solusi yang diterima sebagai standar
emas untuk mencapai manajemen berkhasiat dan hemat biaya clinically- gastroenteritis
akut. Kecuali pasien koma atau menderita dehidrasi parah, larutan oralit dianjurkan
terlepas dari agen penyebab dan usia pasien karena terapi larutan oralit lebih murah,
sering hanya sebagai efektif, dan lebih praktis daripada cairan intravena. Studi kami
menunjukkan bahwa 89.3% dari pasien menerima larutan oralit (12,3% menerima ORS
saja, dan 77% menerima ORS dalam kombinasi dengan obat simptomatik (Abdulrahman,
Ismaeel, Khalid, Khaja, & H.H, 2007). Pada klein diare yang harus diperhatikan adalah
terjadinya kekurangan cairan atau dehidrasi. Oleh sebab itu, pemantauan derajat dehidrasi
dan keadaan umum pada pasien sangatlah penting(Thielman & Guerrant, 2004).
b) Pemberian Zinc
Zinc diberikan untuk mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat
mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut
didasarkan pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran
cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc
pada diare dapat meningkatkan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush borde
apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari
usus. (Lamberti, Walker, Chan, Jian, & Black, 2013).
c) Pengobatan dietetik dan pemberian ASI
Pengobatan dietetik adalah dengan pemberian makanan dan minuman khusus pada klien
dengan tujuan penyembuhan dan menjaga kesehatan. Adapunt hal yang diperhatikan
adalah untuk anak dibawah satu tahun dengan berat badan kurang dari 7 Kg, jenis
makanan yang diberikan adalah memberikan asi dan susu formula yang mengandung
laktosa rendah dan asam lemak tidak jenuh misalnya LLM, makanan setengah padat
(bubur, makanan padat Nasi Tim). Memberikan bahan makanan yang mengandung
kalori, rotein, vitamin, mineral dan makanan yang bersih. Prinsip pengobatan dietetik
yaitu B E S E singkatan dari Oralit, Breast feeding, Early Feeding,
Stimulanaeously with Education (Suraatmaja, 2007).
d) Pengobatan kausal
Pengobatan yang tepat terhadap kausa diare diberikan setelah di ketahui penyebab
pasti.Jika kausa diare penyakit parental, diberikan antibiotika sistemik.Jika tidak terdapat
infeksi parental, antibiotik baru boleh diberikan kalau pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan bakteri patogen.
e) Pengobatan simtomatik
Pemberian obat anti diare bertujuan untuk menghentikan diare secara cepat seperti
antispasmodic.




D. MALARIA
1. Definisi malaria
Malaria adalah penyakit mengancam jiwa yang disebabkan oleh parasit yang
ditransmisikan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi.Malaria merupakan penyakit
yang dapat dicegah dan dapat diobati (WHO, 2014).

2. Epidemiologi
Menurut laporan Commiting to Child Survival: A Promise Renewed. Progress Report
UNICEF (United Nations International Childrens Emergency Fund) 2013 menyatakan bahwa
terjadi penurunan jumlah kematian pada anak dibawah umur 5 tahun. Hal ini dibuktikan dengan
jumlah kematian anak dibawah usia 5 tahun di Indonesia pada tahun 1990 sekitar 385.000
menjadi 152.000 pada tahun 2012. Fakta ini cukup memuaskan, akan tetapi masih ada 400 anak
yang meninggal setiap harinya di Indonesia. Beberapa penyebab yang berkontribusi adalah anak-
anak tersebut dari keluarga miskin dan terpinggirkan, tidak sedikit dari anak-anak merupakan
korban dari penyakit yang mudah dicegah dan diobati, seperti pneumonia, diare dan malaria
(Razak, 2013).

Pneumonia, diare, dan malaria menjadi penyebab utama kematian anak secara global, dan
permasalahan gizi merupakan permasalahan yang menyertai kematian pada anak dengan kondisi
seperti ini (Razak, 2013). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh UNICEF tahun 2012
prosentase untuk kematian balita Indonesia yang disebabkan oleh malaria adalah 1%, akan tetapi
malaria menjadi salah satu fokus program pemerintah untuk menurunkan angka kematian pada
balita. Hal ini dikarenakan prevalensi malaria masih tinggi yaitu mencapai 417.819 kasus positif
pada tahun 2012 (Wardah, 2013). Tujuh puluh persen kasus malaria terletak pada Indonesia
daerah timur diantaranya ada di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi dan Nusa
Tenggara. Departemen Kesehatan menyatakan bahwa pengendalian malaria cukup sulit,
dikarenakan faktor geografis yang sulit dijangkau dan tidak meratanya penduduk (Wardah,
2013).

3. Etiologi malaria
Malaria disebabkan oleh parasit plasmodium yang disebarkan ke manusia melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi, oleh karena itu Anopheles betina yang terinfeksi
disebut dengan vektor dari malaria.Nyamuk anopheles betina menggigit pada waktu senja dan
dini hari (subuh).Terdapat 4 spesies parasit yang menyebabkan malaria pada manusia, yaitu
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale (WHO,
2014).
Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax merupakan parasit yang paling umum
menginfeksi manusia dan Plasmodium falciparum merupakan parasit yang paling
mematikan.Saat ini, ada beberapa kasus malaria pada manusia yang disebabkan oleh
Plasmodium knowlesi.Plasmodium knowlesi merupakan spesies malaria yang terjadi pada
daerah Asia Tenggara (WHO, 2014).

4. Gejala
Malaria merupakan sakit yang ditandai dengan demam yang bersifat akut.Pada seseorang
yang pada kondisi non-immune, gejala muncul pada hari ketujuh atau lebih (biasanya pada hari
ke-10 sampai ke-15) setelah digigit oleh nyamuk yang terinfeksi.Gejala awal yang muncul
adalah demam, pusing, menggigil dan muntah. Apabila tidak ditantangai dalam waktu 24 jam, P.
falciparum akan menyebabkan kondisi yang lebih parah dan bisa sampai pada kematian (WHO,
2014).
Pada anak-anak yang mengalami malaria berat akan diikuit satu atau lebih tanda: anemia
berat, distress pernafasan yang berhubungan dengan asidosis metabolik, atau malaria cerebral
(WHO, 2014).

5. Patofisiologi
Malaria merupakan penyakit hematologi dan bersifat infeksius.Plasmodium falciparum
merupakan plasmodium yang paling sering dijumpai pada gangguan red blood cell (RBC).
Perkembangan P.falciparum pada proses intraerythrocytic, proses molecular yang multiple
berkontribusi pada proses remodeling penginfeksian dan non-infected RBCs, tetapi proses ini
tidak sepenuhnya jelas. Spleen atau limpa merupakan organ utama yang memfilter perubahan
dari RBCs, oleh karena itu spleen merupakan important player dalam manisfestasi klinis dari
malaria, terlebih pada kondisi anemia. Hal ini dikarenakan RBC mempunyai peran dalam
mengarahkan pertukaran (pada mikrosirkulasi) antara sel dengan lumen pembuluh darah yang
akan menuju ke pembuluh vena (Buffet, 2011).
Plasmodium falciparum mampu mengubah RBCs dan membuat abnormal pada
mikrosirkulasi yang diikuti dengan reaksi imunitas local dan sistemik, yang menghasilkan
berbagai kondisi klinis yang cukup berat. RBCs yang terinfeksi dengan parasite pada tahap
perkembangan awal akan menghasilkan perubahan pada adhesion dan atau perubahan bentuk
yang akan menganggu proses sirkulasi. RBCs yang terinfeksi oleh parasite pada tahap
perkembangan akhir (trophozoites) atau parasite yang sudah matur (schizonts) maka akan terjadi
perubahan pada adhesion dan atau kemampuan untuk berubah bentuk yang pada akhirnya akan
menganggu sirkulasi perifer (Buffet, 2011).
Plasmodium falciparum juga akan akan mengubah protein dari RBCs. Perubahan protein
ini terjadi pada saat parasite melakukan invasi ke RBCs, dan perubahan ini membuat sistem
imun mengenali adanya suatu benda asing. RBCs yang terinfeksi tertahan pada spleen dan
terjadi proses fagositosis, dan proses ini yang menyebabkan hilangnya RBC dalam jumlah yang
banyak pada pasien malaria (Buffet, 2011).

6. Penatalaksanaan
a. Modifikasi Lingkungan
Malaria merupakan penyakit yang bisa dicegah dan diobati, intervensi yang
direkomendasikan sesuai dan bisa untuk diimplementasikan. The World Health Organization
(WHO) merekomendasikan intervensi yaitu mengontrol vector dengan pemasangan kelambu
insektisida (Insecticide treated nets atau ITNs), indoor residual spraying (IRS), pengontrolan
larva, pelaporan diagnosis malaria dari hasil pemeriksaan mikroskopis atau rapid diagnostic tests
(RDTs), dan pemberian obat antimalarial dan mendokumentasikan kejadian resistensi obat
(WHO, 2013).
Kelambu insektisida atau ITNs merupakan pemasangan kelambu yang mengandung
insektisida yang mampu berfungsi melindungi perseorangan (dengan memasang kelambu pada
tempat tidur) dan atau komunitas (dengan memasang kelambu pada seluruh area).WHO
merekomendasikan penutupan dengan kelambu pada populasi yang berisiko dengan
menggunakan ITNs dan meminta kepada masyarakat untuk beralih ke LLINs (Long Lasting
Insecticidal Nets) (WHO, 2013).
Indoor residual spraying (IRS) merupakan teknik memberikan menyebarkan insektisida
dalam bentuk spray yang bertujuan untuk meminimalisir transimisi, mengontrol dan membasmi
nyamuk anopheles betina yang membawa parasite. Dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT)
mempunyai waktu efektif yaitu selama > 6 bulan (WHO, 2013).
Penatalaksanaan eradikasi sumber-sumber larva yaitu dengan memodifikasi dan
memanipulasi lingkungan.Terdapat 4 subkategori dalam membasmi larva yaitu memodifikasi
habitat vector, memanipulasi habitat, larvaciding, dan control biologis. Larvaciding merupakan
cara yang paling sering dilakukan dalam penatalaksanaan pembasmian larva-larva plasmodium
(WHO, 2013).
b) Pengobatan
Tatalaksana pengobatan pada anak dengan malaria tidak berat/tanpa komplikasi yaitu
dengan pemberian artemisinin sebagai obat lini pertama. Tatalaksana untuk anemia berat yaitu
dengan pemberian artesunat intravena (2,4 mg/kgBB IV atau IM) jika tidak terdapat artesunat
intravena, bisa diberikan: (1) artemeter intramuscular (3,2 mg/kgBB IM); (2) kina-dehidroklorida
intravena (20 mg/kgBB), dosis awal kina-dehidroklorida diberikan apabila ada pengawasan ketat
dan pengaturan tetesan infus, apabila tidak memungkinkan bisa diberikan obat kina
intramuscular; (3) kina intramuscular (10 mg/kgBB) (WHO Indonesia, 2008).
Perawatan penunjang untuk anak dengan malaria berat adalah dengan menjaga jalan nafas,
memposisikan badan anak miring untuk menghindari aspirasi, dan mengubah posisi setiap 2 jam
sekali. Perawat perlu memperhatikan status dehidrasi pasien, irama derap, fine crackles (ronki)
pada dasar paru dan atau peningkatan JVP, edema kelopak mata. Apabila muncul tanda dehidrasi
anak bisa diberikan furosemide dengan dosis awal 1 mg/kgBB (WHO Indonesia, 2008).


Abdulrahman, Y., Ismaeel, Khalid, A. J., Khaja, A., & H.H, A. (2007). Management of Acute
Diarrhoea in Primary Care in Bahrain: Self-reported Practice of Doctors. J HEALTH
POPULL NUTR, 2, 206-211.
Al-Gallas, N., Bahri, O., Bouratbeen, A., Haasen, A. B., & Aissa, R. B. (2007). Etiology of
Acute Diarrhea in Children and Adults in Tunis, Tunisia, with Emphasis on
Diarrheagenic Escherichia coli: Prevalence, Phenotyping and Molecular Epidemiology.
The American Society Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 77(3).
Ayieko, Philip, & English, Mike. 2007. Case Management of Childhood Pneumonia in
Developing Countries. Pediatr Infect Dis J. 2007 May ; 26(5): 432440.
doi:10.1097/01.inf.0000260107.79355.7d
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2654069/pdf/ukmss-4153.pdf, diunduh
pada 9 september 2014
Betz. Cecily L. (2002). Keperawatan pediatrik.Jakarta. EGC.
Boonstra, E., Lindbaek, M., & Ngome, E. (2005). Adherence to management guidelines in acute
respiratory infections and diarrhoea in children under 5 years old in primary health care
in Botswana. International Journal for Quality in Health Care, 17(3), 221-227.
Buffet, P.A., et al. (2011). The Pathogenesis of Plasmodium falciparum malaria in humans:
insight splenic physiology. The American Society of Hematology, 117(2); 381-392.
Retrieved on 13 September 2014 from doi 10.1182/blood-2010-04-202911.
Depkes RI. (2008). Profil kesehatan Indonesia 2007. Depkes RI
Elliot, E. J., & Dalby-Payne, J. R. (2004). Acute infectious diarrhoea dehydration in children.
MJA PRACTICE ESSENTIALS - PAEDIATRICS, 181(10), 565-570.
Hidayat.(2005). Pengantar ilmu keperawatan anak 1.Jakarta: Salemba Medika
Jones, R., White, P., Armstrong, D., Asworth, M., & Peters, M. (2010). Managing acute illness.
The King's Found: Department of Primary Care and Public Health Science King's
College London.
Kelley, L.K.
,
& Allen, P.J. 2007. Managing acute cough in children: evidence-based guidelines.
Pediatric Nurs. 2007 Nov-Dec;33(6):515-24.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18196716, diunduh pada 4 sept 2014
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013.
Koletzko, S., & Osterrieder, S. (2009). Acute infectious diarrhea in children. [Review]. Dtsch
Arztebl Int, 106(33), 539-547; quiz 548. doi: 10.3238/arztebl.2009.0539
Lamberti, L. M., Walker, C. L., Chan, K. Y., Jian, W. Y., & Black, R. E. (2013). Oral zinc
supplementation for the treatment of acute diarrhea in children: a systematic review and
meta-analysis. [Meta-Analysis Research Support, Non-U.S. Gov't Review]. Nutrients,
5(11), 4715-4740. doi: 10.3390/nu5114715
McLennan, J. D. (2001). Home Management of Childhood Diarrhoea in a Poor Periurban
Community in Dominican Repubic. J HEALTH POPULL NUTR, 3, 245-254.
Ngastiah.(2005). Perawatan anak sakit.Jakarta: EGC
Organisation, W. G. (2012). Acute diarrhea in adults and children a global perspective:
http://www.worldgastroenterology.org/assets/export/userfiles/Acute%20Diarrhea_long_F
INAL_120604.pdf.
Rathaur, V. K., Pathania, M., Jayara, A., & Yadav, N. (2014). Clinical Study of Acute Childhood
Diarrhoea Caused by Bacterial Enteropathogens. Journal of clinal and Diagnostic
Research, 8(5), 1-5. doi: 10.7860/JCDR/2014/6677.4319
Razak, N. (2013). Sekitar 150.000 anak Indonesia meninggal pada tahun 2012 [internet],
UNICEF Indonesia. Available from:
<http://www.unicef.org/indonesia/id/media_21393.html> [Accessed 12 September 2014].
S.A. Qazi,1 G.N. Rehman,' & M.A. Khan2. 1996. Standard management of acute
respiratoryinfections in a children's hospital in Pakistan: impact on antibiotic use and
case fatality* Bulletin of the World Health Organization, 1996, 74 (5): 501-507.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2486861/pdf/bullwho00403-0052.pdf,
diunduh pada 4 september 2014
Simoes, et al. 2006.Acute Respiratory Infections in Children.Disease Control Priorities in
Developing Countries.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11786/pdf/ch25.pdf,
diunduh pada 4 september 2014
Suraatmaja.(2007). Gastroenterologi anak.Jakarta: Sagung Seto
Thielman, N. M., & Guerrant, R. L. (2004). Acute Infectious Diarrhea. The NEW ENGLAND
JOURNAL of MEDICINE, 350(1), 38-47.
Wardah, F. (2013).Kasus Malaria di Indonesia Masih Tinggi [internet], Voice of Indonesia.
Available from: <http://www.voaindonesia.com/content/kasus-malaria-di-indonesia-
masih-tinggi/1648507.html> [Accessed 12 September 2014].
WHO Indonesia. (2008). Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Pertama
di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.
WHO.(2013). World Malaria Report 2013. Available from <www.who.int> [Accessed 13
September 2014]
WHO.(2014). Malaria [internet], Fact sheet. Available from:
<http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs094/en/> [Accessed 13 September 2014]
WHO. 1993. The Management of Fever in Young Children with Acute Respiratory Infections in
Developing Countries.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/58266/1/WHO_ARI_93.30.pdf?ua=1, diunduh
pada 4 september 2014

Daftar pustaka ANDRA

Abdulrahman, Y., Ismaeel, Khalid, A. J., Khaja, A., & H.H, A. (2007). Management of Acute
Diarrhoea in Primary Care in Bahrain: Self-reported Practice of Doctors. J HEALTH
POPULL NUTR, 2, 206-211.
Boonstra, E., Lindbaek, M., & Ngome, E. (2005). Adherence to management guidelines in acute
respiratory infections and diarrhoea in children under 5 years old in primary health care
in Botswana. International Journal for Quality in Health Care, 17(3), 221-227.
Elliot, E. J., & Dalby-Payne, J. R. (2004). Acute infectious diarrhoea dehydration in children.
MJA PRACTICE ESSENTIALS - PAEDIATRICS, 181(10), 565-570.
Jones, R., White, P., Armstrong, D., Asworth, M., & Peters, M. (2010). Managing acute illness.
The King's Found: Department of Primary Care and Public Health Science King's
College London.
Koletzko, S., & Osterrieder, S. (2009). Acute infectious diarrhea in children. [Review]. Dtsch
Arztebl Int, 106(33), 539-547; quiz 548. doi: 10.3238/arztebl.2009.0539
Lamberti, L. M., Walker, C. L., Chan, K. Y., Jian, W. Y., & Black, R. E. (2013). Oral zinc
supplementation for the treatment of acute diarrhea in children: a systematic review and
meta-analysis. [Meta-Analysis Research Support, Non-U.S. Gov't Review]. Nutrients,
5(11), 4715-4740. doi: 10.3390/nu5114715
Rathaur, V. K., Pathania, M., Jayara, A., & Yadav, N. (2014). Clinical Study of Acute Childhood
Diarrhoea Caused by Bacterial Enteropathogens. Journal of clinal and Diagnostic
Research, 8(5), 1-5. doi: 10.7860/JCDR/2014/6677.4319
Thielman, N. M., & Guerrant, R. L. (2004). Acute Infectious Diarrhea. The NEW ENGLAND
JOURNAL of MEDICINE, 350(1), 38-47.

Anda mungkin juga menyukai