Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan
dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga, industri, pertambangan, dan sebagainya.
Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat. Di antara berbagai jenis limbah
ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun yang biasa dikenal dengan Limbah B3. Limbah-limbah tersebut perlu diolah terlebih
dahulu sebelum dilepaskan ke lingkungan, apabila limbah langsung dibuang tanpa dilakukan
pengolahan, akan berdampak negative bagi lingkungan. Dampak negative tersebut diantaranya
adalah tercemarnya ekosistem perairan dan tanah.
Pengelolaan limbah adalah kegiatan terpadu yang meliputi kegiatan pengurangan
(minimization), segregasi (segregation), penanganan (handling), pemanfaatan dan pengolahan
limbah. Dengan demikian untuk mencapai hasil yang optimal, kegiatan-kegiatan yang melingkupi
pengelolaan limbah perlu dilakukan dan bukan hanya mengandalkan kegiatan pengolahan limbah
saja. Bila pengelolaan limbah hanya diarahkan pada kegiatan pengolahan limbah maka beban
kegiatan di Instalasi Pengolahan Limbah akan sangat berat, membutuhkan lahan yang lebih luas,
peralatan lebih banyak, teknologi dan biaya yang tinggi. Kegiatan pendahuluan pada pengelolaan
limbah (pengurangan, segregasi dan penanganan limbah) akan sangat membantu mengurangi
beban pengolahan limbah.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai limbah, jenisnya, serta pengolahan limbah.
Sistem yang akan lebih ditekankan untuk dibahas pada makalah ini adalah sistem rotor disk untuk
pengolahan limbah pada gedung perkantoran. Kedepannya, makalah ini diharapkan dapat menjadi
salah satu sumber referensi mengenai limbah dan rancangan sistem pengolahan limbah dengan
metode rotor disk.

1.2 TUJUAN
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
2

Mengetahui jenis- jenis limbah.
Mengetahui macam- macam pengolahan limbah sesuai dengan jenis limbah yang
ditangani.
Mengetahui prinsip kerja pengolahan limbah.
Mengetahui proses perhitungan pengolahan limbah dengan suatu sistem


















3

BAB II
ISI
2.1 LIMBAH
Limbah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas
manusia, maupun proses-proses alam yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tidak
dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi. Klasifikasi limbah
dibutuhkan untuk membantu dalam proses pengelolaan limbah itu sendiri.
Berdasarkan wujudnya, limbah dibagi menjadi:
Limbah Padat
Limbah Cair
Limbah gas (udara)
Sementara berdasarkan sumbernya, limbah dibagi menjadi:
A. Limbah Medis
Limbah medis merupakan limbah yang dihasilkan dari instalasi kesehatan, fasilitas
penelitian, dan laboratorium, dimana limbah tersebut memiliki potensi yang cukup tinggi
memiliki infeksi. Limbah medis mencakup limbah beracun (zat kimia yang terkontaminasi
dengan zat pengotor yang dapat bersifat racun bagi sel manusia), limbah farmasi (obat-
obatan), dan benda- benda tajam yang digunakan untuk pengobatan (jarum suntik, jarum
infus, dan lain- lain yang dapat menyebabkan luka atau infeksi). Kepmenkes Republik
Indonesia No.1204/Menkes/SK/X/2004, mengatakan Limbah Rumah Sakit ada 3 macam
yakni;
1. Limbah cair artinya semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari kegiatan rumah
sakit yang kemungkinan mengandung mikrooganisme, bahan kimia beracun dan radioaktif
yang berbahaya bagi kesehatan.
2. Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari kegiatan
pembakaran di rumah sakit seperti insenerator, dapur, perlengkapan generator, anastesi,
dan pembuatan obat Sitotoksik.
3. Limbah padat adalah semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat sebagai akibat
kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis padat dan limbah padat non medis.
4


Limbah medis padat adalah limbah yang langsung dihasilkan dari tindakan diagnosis
dan tindakan medis terhadap pasien (Candra, 2007). Limbah padat non medis artinya
limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di rumah sakit di luar medis yang berasal dari
dapur, perkantoran, taman dan halaman yang dapat di manfaatkan kembali apabila ada
teknologinya. Pewadahan limbah padat non medis dipisahkan dari limbah medis padat dan
ditampung dalam kantong plastik warna hitam khusus untuk limbah medis non padat
(Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004, Depkes RI, 2004)
B. Limbah Rumah Tangga
Limbah rumah tangga adalah limbah yang berasal dari dapur, kamar mandi, cucian,
limbah bekas industri rumah tangga dan kotoran manusia. Limbah rumah tangga
dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu sampah, air limbah, dan kotoran manusia.
a. Sampah
Berdasarkan sifatnya, sampah dibedakan menjadi sampah organik dapat terurai
(degradable), dan sampah anorganik tidak terurai (undegradable). Sampah organik
yaitu sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan, sayuran, daun- daun
kering, dan sebagainya. Sampah anorganik yaitu sampah yang tidak mudah
membusuk, seperti plastik wadah pembungkus makanan, kertas, botol, kaleng, dan
sebagainya.
b. Air limbah
Air limbah adalah air buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi industri
maupun domestik yang tida dikehendaki kehadirannya. Contoh air limbah dalam
rumah tangga ialah air cucian.
c. Sampah manusia
Sampah manusia adalah istilah yang biasa digunakan terhadap hasil pencernaan
manusia, seperti feses dan urin. Sampah manusia dapat menjadi bahaya serius bagi
kesehatan karena dapat digunakan sebagai vektor (sarana perkembangan) penyakit
yang disebabkan virus, dan bakteri.
C. Limbah Industri
Salah satu unsur penting dalam meningkatkan taraf hidup suatu negara ialah
pembangunan di bidang industri. Namun dalam kegiatan industri akan diikuti dengan
dampak negatif limbah industri terhadap lingkungan hidup manusia. Limbah industri yang
5

toksik akan memperburuk kondisi lingkungan dan akan meningkatkan penyakit pada
manusia dan kerusakan pada komponen lingkungan lainnya. Limbah industri dapat
menghasilkan bahan toksik terhadap lingkungannya, yang berdampak negatif terhadap
manusia dan komponen lingkungan lainnya. Limbah cair industri paling sering
menimbulkan masalah lingkungan seperti kematian ikan, keracunan pada manusia dan
ternak, kematian plankton, akumulasi dalam daging ikan dan moluska, terutama bila
limbah cair tersebut mengandung zat racun seperti: As, CN, Cr, Cd, Cu, F, Hg, Pb, atau
Zn. Limbah gas industri juga dapat menyebabkan pencemaran udara. Dampak negatif
limbah gas, debu, dan butiran- butiran halus terhadap kesehatan manusia antara lain:
Gas beracun:
CO, dapat menyebabkan gangguan fungsi otak.
SO
2
, Nitrogen Dioksida (NO
2
), Ozon, NH
3
, beberapa senyawa
aromatik, H
2
S dapat menimbulkan gangguan pernafasan, dan atau
iritasi mata.
Smog (kabut/asap)
Dapat mengganggu penglihatan serta pernafasan.
Debu:
Mengganggu pernaasan dan bila beracun (contoh Pb) dapat
menimbulkan gangguan syaraf, saluran pernafasan, dan
menyebabkan anemia.
Debu yang mengandung serat asbes dapat menimbulkan kanker.
Dampak terhadap tanaman, pencemaran yang ada di atmosfir dapat menimbulkan
pengaruh yang kronis, jauh di luar titik emisi. Yang besar pengaruhnya adalah: Ozon (O
3
),
Oksida Sulfur (SO
2
) dan Oksida Nitrogen (NO
2
) yang dapat merusakan pohon- pohonan.
Gas SO
2
dan NO
2
dapat menimbulkan hujan asam yang akan mengakibatkan:
Peningkatan leaching kation dari tanah dan permukaan daun.
Perubahan struktur dari komunitas tanaman daratan dan perairan (akuatik)
Pengaruh produktivitas hutan dan fiksasi nitrogen.
D. Limbah Radioaktif
Limbah radioaktif didefinisikan sebagai bahan radioaktif sisa atau yang sudah tidak
terpakai, atau bahan yang terkontaminasi dengan sejumlah zat radioaktif pada kadar atau
6

tingkat radioaktivitas yang melampaui nilai batas keselamatan yang ditetapkan. Limbah
radioaktif secara volumetrik jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan limbah industri
dan limbah perkotaan. Limbah radioaktif yang telah diolah disimpan sementara di gudang
penyimpanan limbah yang kedap air (10-50 tahun) sebelum disimpan secara lestari.
Tempat penyimpanan limbah lestari dipilih di tempat/lokasi khusus, dengan kondisi
geologi yang stabil.
Undang-Undang Nomor 10/1997 tentang Ketenaganukliran mengklasifikasikan
limbah radiokaktif menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Limbah Tingkat Rendah (Low Level Waste-LLW)
2. Limbah Tingkat Sedang (Intermediate Level Waste - ILW); dan
3. Limbah Tingkat Tinggi (High Level Waste - HLW)

2.2 METODE PENGOLAHAN LIMBAH CAIR
Metode dan tahapan proses pengolahan limbah cair yang telah dikembangkan sangat
beragam bergantung dengan kandungan polutan. Proses-proses pengolahan tersebut dapat
diaplikasikan secara keseluruhan berupa kombinasi beberapa proses atau hanya salah satu. Proses
pengolahan tersebut juga dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan atau faktor finansial.
1. Pengolahan Primer (Primary Treatment)
Tahap pengolahan primer limbah cair sebagian besar adalah berupa proses pengolahan secara
fisika.
A. Penyaringan (Screening)
Pertama, limbah yang mengalir melalui saluran pembuangan disaring
menggunakan jeruji saring. Metode penyaringan merupakan cara yang efisien dan murah
untuk memisahkan bahan-bahan padat berukuran besar dari air limbah.
B. Pengolahan Awal (Pretreatment)
Kedua, limbah yang telah disaring kemudian disalurkan ke suatu tangki atau bak
yang berfungsi untuk memisahkan pasir dan partikel padat teruspensi lain yang berukuran
relatif besar. Tangki ini disebut grit chamber dan cara kerjanya adalah memperlambat
aliran limbah sehingga partikel partikel pasir jatuh ke dasar tangki sementara air limbah
terus dialirkan untuk proses selanjutnya.
7


Gambar 1. Preliminary Treatment
C. Pengendapan
Setelah melalui tahap pengolahan awal, limbah cair akan dialirkan ke tangki atau bak
pengendapan. Metode pengendapan adalah metode pengolahan utama dan yang paling
banyak digunakan pada proses pengolahan primer limbah cair. Pada tangki pengendapan,
limbah cair didiamkan agar partikel partikel padat yang tersuspensi dalam air limbah
dapat mengendap ke dasar tangki. Endapan partikel tersebut akan membentuk lumpur yang
kemudian akan dipisahkan dari air limbah ke saluran lain untuk diolah lebih lanjut. Selain
metode pengendapan, dikenal juga metode pengapungan (Floation).
D. Pengapungan (Floation)
Metode ini efektif digunakan untuk menyingkirkan polutan berupa minyak atau
lemak. Proses pengapungan dilakukan dengan menggunakan alat yang dapat menghasilkan
gelembung- gelembung udara berukuran kecil ( 30 120 mikron). Gelembung udara
tersebut akan membawa partikel partikel minyak dan lemak ke permukaan air limbah
sehingga kemudian dapat disingkirkan.

Gambar 2. Primary Treatment
8

Bila limbah cair hanya mengandung polutan yang telah dapat disingkirkan melalui proses
pengolahan primer, maka limbah cair yang telah mengalami proses pengolahan primer
tersebut dapat langsung dibuang kelingkungan (perairan). Namun, bila limbah tersebut juga
mengandung polutan yang lain yang sulit dihilangkan melalui proses tersebut, misalnya agen
penyebab penyakit atau senyawa organik dan anorganik terlarut, maka limbah tersebut perlu
disalurkan ke proses pengolahan selanjutnya.
2. Pengolahan Sekunder (Secondary Treatment)
Tahap pengolahan sekunder merupakan proses pengolahan secara biologis, yaitu dengan
melibatkan mikroorganisme yang dapat mengurai/ mendegradasi bahan organik.
Mikroorganisme yang digunakan umumnya adalah bakteri aerob. Terdapat tiga metode
pengolahan secara biologis yang umum digunakan yaitu metode penyaringan dengan tetesan
(trickling filter), metode lumpur aktif (activated sludge), dan metode kolam perlakuan
(treatment ponds / lagoons) .

Gambar 3. Secondary Treatment
A. Metode Trickling Filter
Pada metode ini, bakteri aerob yang digunakan untuk mendegradasi bahan organik
melekat dan tumbuh pada suatu lapisan media kasar, biasanya berupa serpihan batu atau
plastik, dengan dengan ketebalan 1 3 m. limbah cair kemudian disemprotkan ke
permukaan media dan dibiarkan merembes melewati media tersebut. Selama proses
perembesan, bahan organik yang terkandung dalam limbah akan didegradasi oleh bakteri
aerob. Setelah merembes sampai ke dasar lapisan media, limbah akan menetes ke suatu
wadah penampung dan kemudian disalurkan ke tangki pengendapan. Dalam tangki
pengendapan, limbah kembali mengalami proses pengendapan untuk memisahkan partikel
9

padat yang tersuspensi dan mikroorganisme dari air limbah. Endapan yang terbentuk akan
mengalami proses pengolahan limbah lebih lanjut, sedangkan air limbah akan dibuang ke
lingkungan atau disalurkan ke proses pengolahan selanjutnya jika masih diperlukan.
B. Metode Activated Sludge
Pada metode activated sludge atau lumpur aktif, limbah cair disalurkan ke sebuah
tangki dan didalamnya limbah dicampur dengan lumpur yang kaya akan bakteri aerob.
Proses degradasi berlangsung didalam tangki tersebut selama beberapa jam, dibantu
dengan pemberian gelembung udara aerasi (pemberian oksigen). Aerasi dapat
mempercepat kerja bakteri dalam mendegradasi limbah. Selanjutnya, limbah disalurkan ke
tangki pengendapan untuk mengalami proses pengendapan, sementara lumpur yang
mengandung bakteri disalurkan kembali ke tangki aerasi. Seperti pada metode trickling
filter, limbah yang telah melalui proses ini dapat dibuang ke lingkungan atau diproses lebih
lanjut jika masih diperlukan.
C. Metode Treatment Ponds/ Lagoons
Metode treatment ponds/lagoons atau kolam perlakuan merupakan metode yang
murah namun prosesnya berlangsung relatif lambat. Pada metode ini, limbah cair
ditempatkan dalam kolam-kolam terbuka. Algae yang tumbuh dipermukaan kolam akan
berfotosintesis menghasilkan oksigen. Oksigen tersebut kemudian digunakan oleh bakteri
aerob untuk proses penguraian/degradasi bahan organik dalam limbah. Pada metode ini,
terkadang kolam juga diaerasi. Selama proses degradasi di kolam, limbah juga akan
mengalami proses pengendapan. Setelah limbah terdegradasi dan terbentuk endapan
didasar kolam, air limbah dapat disalurka untuk dibuang ke lingkungan atau diolah lebih
lanjut.
3. Pengolahan Tersier (Tertiary Treatment)
Pengolahan tersier dilakukan jika setelah pengolahan primer dan sekunder masih terdapat zat
tertentu dalam limbah cair yang dapat berbahaya bagi lingkungan atau masyarakat.
Pengolahan tersier bersifat khusus, artinya pengolahan ini disesuaikan dengan kandungan zat
yang tersisa dalam limbah cair / air limbah. Umumnya zat yang tidak dapat dihilangkan
sepenuhnya melalui proses pengolahan primer maupun sekunder adalah zat-zat anorganik
terlarut, seperti nitrat, fosfat, dan garam- garaman. Pengolahan tersier sering disebut juga
pengolahan lanjutan (advanced treatment) yang meliputi berbagai rangkaian proses kimia dan
fisika. Contoh metode pengolahan tersier yang dapat digunakan adalah metode saringan pasir,
10

saringan multimedia, precoal filter, microstaining, vacum filter, penyerapan dengan karbon
aktif, pengurangan besi dan mangan, dan osmosis bolak-balik. Metode pengolahan tersier
jarang diaplikasikan pada fasilitas pengolahan limbah. Hal ini disebabkan biaya yang
diperlukan untuk melakukan proses pengolahan tersier cenderung tinggi sehingga tidak
ekonomis.
4. Desinfeksi (Desinfection)

Gambar 4. Desinfection
Desinfeksi atau pembunuhan kuman bertujuan untuk membunuh atau mengurangi
mikroorganisme patogen yang ada dalam limbah cair. Mekanisme desinfeksi dapat secara
kimia, yaitu dengan menambahkan senyawa/zat tertentu, atau dengan perlakuan fisik. Dalam
menentukan senyawa untuk membunuh mikroorganisme, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :
Daya racun zat
Waktu kontak yang diperlukan
Efektivitas zat
Kadar dosis yang digunakan
Tidak boleh bersifat toksik terhadap manusia dan hewan
Tahan terhadap air
Biayanya murah
Contoh mekanisme desinfeksi pada limbah cair adalah penambahan klorin (klorinasi),
penyinaran dengan ultraviolet(UV), atau dengan ozon (O). Proses desinfeksi pada limbah cair
biasanya dilakukan setelah proses pengolahan limbah selesai, yaitu setelah pengolahan primer,
sekunder atau tersier, sebelum limbah dibuang ke lingkungan.


11

5. Pengolahan Lumpur (Slude Treatment)
Setiap tahap pengolahan limbah cair, baik primer, sekunder, maupun tersier, akan
menghasilkan endapan polutan berupa lumpur. Lumpur tersebut tidak dapat dibuang secara
langsung, melainkan pelu diolah lebih lanjut. Endapan lumpur hasil pengolahan limbah
biasanya akan diolah dengan cara diurai/dicerna secara aerob (anaerob digestion), kemudian
disalurkan ke beberapa alternatif, yaitu dibuang ke laut atau ke lahan pembuangan (landfill),
dijadikan pupuk kompos, atau dibakar (incinerated).

Gambar 5. Contoh Pengolahan Skala Industri

2.3 SEWAGE TREATMENT PLANT (STP)
Merujuk Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 122 tahun 2005, tentang tata cara membuang
air limbah ke saluran kota, maka pengelola gedung melakukan treatment, untuk mengolah air
limbah melalui proses recycling. Proses recycling air limbah domestik atau Sewage Treatment
Plant (STP) dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain 'Rotor disk atau
Konventional/Extended aeration.
Rotor disk adalah sistem di mana pemberian oksigen bagi bakteri dengan cara membiakan
bakteri yang menempel pada disk sehingga bakteri akan kontak dengan oksigen, sedang pada saat
12

bakteri ada di dalam cairan , bakteri akan memakan kotoran yang ada pada cairan tersebut.
Sementara Konventional/Extended aeration, suatu sistem di mana pemberian oksigen dilakukan
dengan cara menyemburkan oksigen ke dalam cairan dengan mengunakan blower. Pada sistem ini
diperlukan area yang luas.
Tahap Pengolahan
1. Pre treatment. Pada tahap ini dilakukan pemisahan padatan berukuran besar ataupun grease,
agar tidak terbawa pada unit pengolahan selanjutnya, agar tercipta performa pengolahan yang
optimal. Air dialirkan lewat inlet chamber di mana ada screen yang dapat menyaring benda
padat. Selanjutnya air masuk ke grease trap yang berguna untuk memisahkan lemak yang
dapat mengganggu proses biologi. Kemudian air akan menuju ke primary clarifier.
2. Primary clarifier. Pada proses ini terjadi pemisahan partikel yang mengendap secara gravitasi
(suspended solid) sehingga mengurangi beban pengolahan pada unit selanjutnya. Pada proses
ini berguna untuk membuat aliran jadi lebih tenang dan aliran dapat stabil.
3. Rotating Biological Contactor (RBC). Proses pengolahan yang di lakukan adalah untuk
menurunkan BOD (bio-chemical oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand) yang
ada pada air limbah, sehingga dapat memenuhi kualitas air yang layak untuk dibuang ke
saluran kota. Pengolahan polutan dilakukan oleh mikroorganisme yang melekat pada
permukaan disk yang berputar. Perputaran ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan oksigen
untuk kehidupan mikroorganisme dan mencegah terjadinya kondisi anaerob yang dapat
menimbulkan bau. Pada saat disk berputar terjadi kontak biomass yang dengan oksigen pada
saat disk menyembul di permukaan dan terjadi kontak pada material organik yang ada pada
air limbah untuk menjadi makanan pada saat disk terendam. Jadi bila disk terlihat kotor
jangan dibersihkan karena sebenarnya itu adalah bakteri.
4. Final Clarifier. Unit ini berfungsi sebagai clarifier akhir untuk mengendapkan partikel-
partikel yang masih belum terendapkan, serta biomass yang telah mati.
5. Disinfeksi. Pada proses ini dilakukan penginjeksian chlorine yang bertujuan membunuh
bakteri-bakteri patogen yang ada.
6. Effluent Tank. Air yang telah kita olah akan dialirkan menuju effluent tank untuk selanjutnya
dibuang pada saluran kota. Sebagian air ini dapat kita proses lagi untuk
keperluan recycling yang dapat digunakan untuk menyiram taman dan air cuci kendaraan.
13

7. Sand Filter. Air dari effluent tank kita alirkan ke sand filter menggunakan pompa, pada
proses ini air akan di saring oleh pasir silika yang berfungsi menyaring padatan yang masih
terbawa pada sistem, dan juga untuk menurunkan kekeruhan yang ada. Pada proses ini yang
harus di perhatikan adalah perbedaan tekanan aliran masuk dan keluar. Bila tekanan lebih
dari tekanan yang ditentukan, maka perlu kita lakukan proses back washing yang berfungsi
untuk mencuci kembali sand filter yang ada.
8. Chlorination System.
9. Ultimate Disposal. Tahapan ini diperlihatkan oleh gambar berikut.

Gambar 6. Ultimate disposal
Setelah melewati proses di atas maka diharapkan kadar BOD dan COD dapat memenuhi
standar air buang yang telah ditetapkan pemerintah, sehingga air buangan tidak mencemari
lingkungan. Sedangkan proses pengolahan kembali akan membuat kita ikut menjaga kelestarian
alam dengan melakukan penghematan air, dengan demikian akan ikut melestarikan lingkungan
hidup kita.
Chemical Conditioning
Tujuan chemical conditiong adalah:
1. Menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur.
2. Mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur.
3. Mendestruksi organisme pathogen.
4. Memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioningyang masih memiliki nilai
ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion mengkondisikan agar
lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan
14


Tahapan Chemical Conditioning
1. Concentration Thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara
meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah
gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan
awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun
tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah
menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
2. Treatment, Stabilization, dan Conditioning
Tahapan ini bertujuan menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen.
Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan pembentukan ikatan bahan bahan kimia
dengan partikel koloid. Sedangkan pengkondisian secara fisika dilakukan dengan memisahkan
bahan bahan kimia dengan partikel koloid melalui pencucian dan destruksi. Pengkondisian
secara biologi berlangsung dengan proses destruksi oleh enzim dan reaksi oksidasi. Proses ini
melibatkan tahap lagoonin, aerobic, digestion, heat treatment, polyeclectrolite flocculation,
chemical conditiong dan elutriation.
3. Dewatering dan Drying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan
sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah
pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge,
vacuum filter, dan belt press.
4. Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum
limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan
akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.

2.4 PARAMETER PERENCANAAN SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH
15

Parameter perencanaan yang umum digunakan dalam proses pengolahan air limbah dengan
sistem yang dibahas pada makalah ini yaitu sistem lumpur aktif (Davis dan Cornwell, 1985:
verstraete dan van vaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut:
1. Rasio volume reaktor terhadap luas permukaan media (disk) yang disebut G. Harga G
dapat dihitung dengan rumus: G = (V/A) (liter/m
2
)
Dimana V = Volume reaktor (m
3
)
A = luas permukaan media (m
2
)
Harga G biasanya berkisar antara 5-9 liter/m
2
.
2. Beban BOD. Beban BOD adalah jumlah massa BOD di dalam air limbah yang masuk
dibagi dengan volume reaktor atau luas permukaan disk. Beban BOD dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
Beban BOD =

kg/m
3
.hari atau

kg/m2 . hari
Dimana : Q = Debit air limbah yang masuk (m
3
/hari)
So = Konsentrasi BOD di dalam air limbah yang masuk (kg/m
3
)
V = Volume reactor (m
3
)
A = luas permukaan media (m
2
)
3. Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi di dalam bak aerasi pada proses pengolahan air
limbah dengan sistem lumpur aktif disebut sebagai mixed liquor yang merupakan
campuran antara air limbah dengan biomassa mikroorganisme serta padatan tersuspensi
lainnya. MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa material organik
dan mineral, termasuk di dalamnya adalah mikroorganisme. MLLS ditentukan dengan cara
menyaring lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan
pada temperature 105
o
C, dan berat padatan dalam contoh ditimbang.
4. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik pada MLSS
diwakili oleh MLVSS yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan
mati, dan hancuran sel (Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan memanaskan
16

terus sampel filter yang telah kering pada 600 650
o
C, dan nilainya mendekati 65-75%
dari MLSS.
5. Food-to-microorganism ratio atau food-to-mass ratio atau rasio F/M. Parameter ini
menunjukkan jumlah zat organik (BOD) yang dihilangkan dibagi dengan jumlah massa
mikroorganisme di dalam bak aerasi atau reaktor. Besarnya nilai rasio F/M umumnya
ditunjukkan dalam kilogram BOD per kilogram MLSS per hari. (Curds dan Hawkes, 1983;
Nathanson, 1986). F/M dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut
F/M =



Dimana:
Q = Laju alir limbah m
3
per hari
So = Konsentrasi BOD di dalam air limbah yang masuk ke bak aerasi (kg/m
3
)
S = Konsentrasi BOD di dalam effluent (kg/m
3
)
MLSS = Mixxed liquor suspended solid (kg/m
3
)
V = volume reactor atau bak aerasi (m
3
)
Rasio F/M dapat dikontrol dengan cara mengatur laju sirkulasi lumpur aktid dari bak
pengendapan akhir yang disirkulasi ke bak aerasi. Lebih tinggi laju sirkulasi lumpur aktif
lebih tinggi pula rasio F/M-nya. Untuk pengolahan air limbah dengan system lumpur aktid
konvensional atau standar, rasio F/M adalah 0.2 0.5 kg BOD
5
per kg MLSS per hari,
tetapi dapat lebih tinggi hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni (Hammer, 1986). Rasio
F/M yang rendah menunjukkan bahwa mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam tangki
aerasi dalam kondisi lapar, semakin rendah ratio F/M pengolahan limbah semakin efisien.
6. Beban hidrolik (Hidraulic Loading). Beban hidrolik adalah jumlah air limbah yang diolah
per satuan luas permukaan media per hari. Jika beban hidrolik terlalu besar maka dapat
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yang melekat pada permukaan media dan
membuat mikroorganisme terkelupas. Beban hidrolik dihitung dengan persamaan:
H
L
= (Q/A) (liter/m
2
. hari)
17

7. Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik adalah waktu rata-rata yang
dibutuhkan oleh larutan influent masuk dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif,
nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (dilution rate, D) (Sterritt dan
Lester, 1988).
HRT = 1/D = V/Q
Dimana:
V = Volume reaktor (m
3
)
Q = Debit air limbah yang masuk ke dalam tangki aerasi (m
3
/jam)
D = Laju pengenceran (jam
-1
)
8. Umur lumpur (sludge age) atau sering disebut waktu tinggal rata-rata sel (mean cell
residence time). Parameter ini menunjukkan waktu tinggal rata-rata mikroorganisme dalam
sistem lumpur aktif. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam, maka waktu tingga sel
microba dalam bak aerasi dapat dalam hitungan haru. Parameter ini berbanding terbalik
dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur lumpur dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut (Hammer 1986; Curds dan Hawkes, 1983):
Umur Lumpur (Hari) =



Dimana :
MLSS = Mixed Liqour suspended solids (mg/l)
V = Volume bak aerasi (L)
SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l)
SSw = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l)
Qe = Laju effluent limbah (m
3
/hari)
Qw = Laju influent limbah (m
3
/hari)
Umur lumpur dapat bervariasi antara 5-15 hari untuk sistem lumpur aktif konvensional.
Parameter penting yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah beban organik atau
18

beban BOD, suplay oksigen, dan pengendalian dan operasi bak pengendapan akhir. Bak
pengendapan akhir ini mempunyai dua fungsi yakni untuk penjernihan (clarification) dan
pemekatan lumpur (thickening).
Campuran air limbah dan lumpur dipindahkan dari tangki aerasi ke bak pengendapan
akhir. Di dalam bak pengendapan akhir ini, lumpur yang mengandung mikroorganisme
yang masih aktif dipisahkan dari air limbah yang telah diolah. Sebagian dari lumpur yang
masih aktif ini dikembalikan ke bak aerasi dan sebagian lagi dibuang dan dipindahkan ke
pengolahan lumpur. Sel-sel mikroba terjadi dalam bentuk agregat atau flok, densitasnya
cukup untuk mengendap dalam tangki penjernih.
Pengendapan lumpur tergantung ratio F/M dan umur lumpur. Pengendapat yang baik dapat
terjadi jika lumpur mikroorganisme berada dalam fase endogeneous, yang terjadi jika
karbon dan sumber energy terbatas dan jika pertumbuhan bakteri rendah. Pengendapan
lumpur yang baik dapat terjadi pada rasio F/M rendah.
Dalam air limbah domestic, ratio F/M yang optimum antara 0,2-0,5 (Gaudy, 1988;
Hammer, 1986). Rata-rata waktu tinggal sel yang diperlukan untuk pengendapan yang
efektif adalah 3-4 hari (Metcalf dan Eddy, 1991). Pengendapan yang tidak baik dapat
terjadi akibat gangguan yang tiba-tiba pada parameter fisik (suhu dan pH), kekurangan
makanan (contoh N, suhu, mikro-nutrien), dan kehadiran zat racu (seperti logam berat)
yang dapat menyebabkan hancurnya sebagian flok yang sudah terbentuk (Chudoba, 1989).
Untuk operasi rutin, operator harus mengukur laju pengendapan lumpur dengan
menentukan indeks volume lumpur (sludge volume index, SVI) Voster dan Johnston,
1987).
Cara konvensional untuk mengamati kemampuan pengendapan lumpur adalah dengan
mennetukan indeks volume sludge (sludge volume indeks = SVI). Caranya adalah sebagai
berikut; campuran lumpur dan air limbah (mied liquor) dari bak aerasi dimasukkan dalam
silinder kerucut 1 liter dan dibiarkan selama 30 menit. Volume sludge dicatat, SVI adalah
menunjukan besarnya volume dengan ditempati 1 gram lupur (sludge), SVI dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
SVI (ml/g) =


19

Dimana :
SV = volume endapan lumpur di dalam silinder kerucut setelah 30 menit
pengendapan (ml)
MLSS = Mixed liquor suspended solid (mg/l)
Didalam unit pengolahan air limbah dengan system lumpur aktif konvensional dengan
MLSS < 3500 mg/l nilai SVI yang normal berkisar antara 50-150 ml/g.
9. Jumlah stage (tahap). Pada sistem STP khususnya RTP, reaktornya dapat dibuat beberapa
tahap tergantung dari kualitas air olahan yang diharapkan.
10. Diameter media (disk). Luas permukaan media yang kecil akan lebih efisien pada jumlah
stage yang lebih banyak dibanding luas permukaan media yang besar dengan jumlah stage
yang sedikit.
11. Kecepatan putaran. Apabila kecepatan putaran tinggi maka transfer oksigen dari udara di
dalam air limbah menjadi lebih besar dan membutuhkan energy yang lebih besar pula.
Selain itu, pembentukan lapisan mikroorganisme pada permukaan media menjadi kurang
optimal. Umumnya, kecepatan putaran yang digunakan sebesar 1-2 rpm.
12. Temperatur. Sistem pengolahan limbah ini relative sensitive terhadap adanya perubahan
suhu. Suhu optimal untuk sistem ini berkisar antara 15-40
o
C.

2.5 RANCANGAN SISTEM ROTOR DISK
Secara garis besar proses pengolahan air limbah dengan sistem ini terdiri dari bak pemisah
pasir, bak pengendap awal, bak control aliran, dan reaktor. Diagram proses pengolahan air limbah
dengan sistem ini adalah sebagai berikut.
20


Gambar 7. Diagram proses rotor disk

Pada rancangan sistem ini, dilakukan perhitungan terhadap variabel sistem yang
dibutuhkan. Variabel-variabel tersebut diuraikan dibawah ini.
Diketahui Kandungan BOD5 influent (So) = 300 ppm = 300 mg/L
Kandungan BOD effluent (S) = 30 ppm = 30 mg/L
Kandungan SS influent = 200 ppm = 200 mg/L
Kandungan SS effluent = 20 ppm = 20 mg/L
Volume limbah influent (Q) = 100 m
3

Karena masih banyak variabel yang tidak diketahui, penulis membuat asumsi untuk
variabel-variabel yang belum diketahui tersebut. Asumsi yang dibuat adalah:
Volume reaktor (V) = 500 m
3

Luas permukaan media/disk (A) = 100.000 m
2

Kecepatan putaran = 1 rpm
Suhu = 25
o
C
Volume limbah effluent = 10 m
3

21

Jumlah mikroorganisme = 200 ppm = 200 mg/liter
Volume limbah dianggap untuk satuan per hari
Perhitungan parameter untuk rancangan sistem rotor disk adalah sebagai berikut:
1. Rasio volume reaktor terhadap luas permukaan media
G = V/A = 500.000 liter / 100.000 m2 = 5 liter/m
2

2. Beban BOD
BOD
loading
per luas =


BOD
loading
per volume =


3. Rasio F/M
F/M =





4. Beban hidrolik
H
loading
=


5. Waktu tinggal rata-rata
HRT = V/Q= (500/100)m3 = 5 hari
6. Umur lumpur
Umur lumpur =


4,95 5 hari
7. Kuantitas lumpur terbuang (Px)
M = massa BOD5 yang terbuang per unit waktu = So-S = 270 ppm = 270 mg/liter
M = net growth rate
M = M-Kd(So-S)
Kd (koefisien Decay) diasumsikan sebesar 0,06/hari
M = 0,27 0,06(0,3-0,03) = 0,27-0,0162 = 0,2538
Yobs (koefisien yield observasi) = M/M = 0,2538/0,27 = 0,94
Px = YobsQ(So-S) = 0,94 x 100 x (0,3-0,03) = 25,38 kg/hari
8. Kebutuhan oksigen
Kg O2 =


22

f (faktor konversi BOD
5
ke BOD ultimate) = 0,7
Kg O2 =

2,53 kg/hari

2.6 PERAWATAN SISTEM
Agar sistem pengolahan limbah dalam kondisi baik maka perlu dilakukan perawatan
dengan cara sebagai berikut:
1. Periksa harian kondisi basket screen dan bila ada kotoran bersihkan, hal ini agar aliran air
limbah dapat lancar ke proses STP.
2. Bersihkan grease trap dari lemak. Apabila terlalu lama maka lemak akan mengeras. Dan
bisa menyebabkan bau, jika pemakaian atau kapasitas air limbah besar maka bisa kita
lakukan pengangkutan lemak secara harian.
3. Pengangkutan lumpur kita lakukan setahun sekali atau dua kali tergantung beban limbah.
4. Pemeriksaan dan pemeliharaan rutin pompa, pompa submersible, gearbox, penambahan
pelumas pada bearing kita lakukan rutin 3 bulan sekali.
5. Pengecekan rantai dan komponen transmisi yang ada tiap 3 bulan sekali.
6. Backwash sand filter dan karbon filter setiap minggu atau menurut kondisi filter yang ada,
hal ini dapat kita lihat dari tekanan pada pressure gauge.
7. Pengecekan air limbah ke BPLH tiap 3 bulan sekali.








23

BAB III
PENUTUP
Proses pengolahan limbah dapat dilakukan dengan berbagai sistem tergantung dengan
jenis limbah. Untuk mengolah air limbah misalnya, dapat diterapkan sistem rotor disk atau
extended aeration. Prinsip sistem rotor disk yang lebih dibahas pada makalah ini adalah
dengan pemberian oksigen bagi bakteri dengan cara membiakan bakteri yang menempel pada
media (disk) sehingga bakteri akan kontak dengan oksigen, sedang pada saat bakteri ada di
dalam cairan , bakteri akan memakan kotoran yang ada pada cairan tersebut.
Untuk membuat rancangan sistem pengolahan limbah, terdapat berbagai parameter
yang harus dipenuhi dan dihitung. Besarnya variabel yang dihitung diasumsikan sesuai dengan
kebutuhan. Dengan begitu, sistem pengolahan limbah diharapkan dapat beroperasi dengan
baik. Agar sistem sealu dalam kondisi baik diperlukan perawatan pada sistem.












24

DAFTAR REFERENSI
Supraptini. 2002. Pengaruh Limbah Industri Terhadap Lingkungan di Indonesia. [Online].
Available at: <http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/1063>.
Accesed at: 05/04/14
Putra, Yulesta. 2004. Pengelolaan Limbah Rumah Tangga. Sumatera Utara. [Online]. Available
at: <http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1314/1/arsitektur-yulesta.pdf>. Accesed
at: 05/04/14
Department of Environment, Climate Change and Water NSW. 2009. Water Classification
Guidelines. Sydney. [Online]. Available at: <http://www.epa.nsw.gov.au/resources/waste
/091216classifywaste.pdf>. Accesed at: 05/04/14
http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/10/21/limbah-radioaktif-601044.html . Accesed at:
06/04/14
Said, Nusa Idaman. 2005. Pengolahan Air Limbah dengan Sistem Reaktor Biologis Putar
(Rotating Biological Contractor) dan Parameter Disain. JAI Vol.1 No. 2.
Hermana, Joni. 2010. Modul 5-Pengolahan Biologis Aerobik Sistem Tersuspensi dan Terlekat.
Jurusan Teknik Lingkungan FTSP ITS.

Anda mungkin juga menyukai