Anda di halaman 1dari 15

Crohn Diseases dan HBO Terapi

Penggunaan HBO sebagai therapy tambahan pada tindakan pembedahan penyakit Crohns
di RSAL Dr Ramelan Surabaya
I.PENDAHULUAN
Penyakit Crohns adalah penyakit inflamasi usus yang bersifat kronis disertai proses Penyakit ini pertama
kali dilaporkan oleh Crohn, Ginzberg dan oppenheimer paada tahun 1932, dimana ditemukannya proses
radang pada segmen ileum terminalis dan diberi nama ileitis terminalis.. Di Amerika insidensi penyakit
Crohn 5 per 100.000 penduduk. Terdapat beberapa laporan dari seluruh dunia bahwa akhir-akhir ini
insidensi penyakit tersebut semakin meningkat(Wheelan 1990; Rowe 2004;Shapiro 2004 ). angka
kejadian dan prevalensi untuk Crohns disease adalah 2-3/100.000 dan 20-40/100.000 ( Kirsner 1995;
Podolsky1988;Whelan1990 ). Di Indonesia data yang dilaporkan oleh rumah sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta hanya menyebutkan 5-10 kasus kolitis ulserativa pertahun ( Manan 1990 ). Ditinjau dari jenis
kelamin, beberapa penulis menyatakan insidensi kolitis ulserativa dan Crohns lebih banyak terjadi pada
wanita dibandingkan dengan pria (Shapiro2004), namun penulis lainnya menyatakan tidak ada
perbedaan insidensi antara pria dan wanita. ( Rowe 2004). Penggunaan HBO sebagai terapi tambahan
pada penyakit crohns masih jarang dilaporkan akan tetapi beberapa penulis mempunyai anggapan
bahwa ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk meredakan fase akut penyakit Crohn. Secara
prinsip HBO adalh memberikan oksigen murni 100 % dengan tekanan tinggi, diharapkan dengan
meningkatnya aliran oksigen kejaringan akan mempercepat proses meredanya inflamasi pada penderita
penyakit Crohns.

ETIOLOGI
Penyakit Crohn disebabkan oleh karena multi faktoral pada beberapa kasuss diketahui dapat disababkan
oleh adanya suatu kerentanan factor genetic yang menyebabkan beberapa virus atau bakteri
menyebabkan terjadinya reaksi imun yang abnormal yang pada akhirnya menyebebkan respon inflamasi
pada jaringan usus, meskipun penyakit ini mempunyai gambaran yang menyerupai penyakit
aotoimmun, beberapa peneliti berpendapat dapat ditimbulkan adanya defisiensi immunitas . Respon
imun terhadap infeksi pada dasarnya dilakukan oleh Limposit dan leukosit, limposit terbagi dalam 2
subtype yaitu sek T dan sel B keduanya mempunyai kemempuan untuk mengenali antigen asing dan
mempunyai kemempuan untuk memeranginya, sel B memproduksi antibody yaitu subtansi yang dapat
memerangi antigen asing bersamaan dengan sl B atau dengan sendirinya. Sel T mempunyai reseptor
khusus yang dapat mengenali antigen spesifik. Sel T secara lebih lanjut dikelompokan sebagai killer T sel
dan T helper, killer Tsel secara langsung menyerang antigen yang dihasilkan oleh sel mana saja yang
mempunyai nucleus, sl T helper juga dapat mengenali antigen namun fungsi mereka sebenarnya ada 2
yaitu menstimulasi sel B dan sel Darah putih lainnya untuk menyerang antigen dan memproduksi
citokien sebuah factor imun yang sangat kuat mempengaruhi proses inflamasi. Pada penyakit Crohn sel
T helper berperan menstimulasi sel B untuk memproduksi antibody namun mereka cenderung
memerintahkan sel B untuk membentuk system autoantibody terhadap sel tubuh sendiri, citokin yang
diproduksi oleh sel T helper jika dalam jumlah sedikit dapat mempercepat proses penyembuhan namun
jika diproduksi terlalu banyak akan dapat menimbulkan kerusakan yang serius termasuk proses inflamasi
dan kerusakan sel, citokin yang dikenal dapat menimbulkan inflamasi pada usus adalh tumor nekrosis
factor, interferon gama dan interleukin, sel T helper secara lebih lanjut dikatagorikan menjadi Th1 dan
Th2, ketidakseimbangan diantara kedua sel ini dapt dijumpai pada penderita penyakit Crohn
Pada penderita penyakit crohn diketahui terdapat peningkatan aktifitas sel Th1 yang kemudian
mengaktifasi interleukin 2 dan interferon gama, TNF kemungkinan merupakn mediator yang paling
berperan pada penyakit ini. Interleukin 6 kemungkinan juga berperan pada penyakit crohn dengan cara
menghambat proses apoptosis. pada beberapa kasus diketahui jika sel berproliferasi lebih cepat dari
pada proses kematiannya dapat menimbulkan suatu respon imun yang sangat kuat.
Faktor genetik diduga mempunyai peranan yang penting, hampir meliputi 10%-20% penderta penyakit
Crohn mempunyai riwayat penyakit yang sama, salah satu penemuan terpenting adalah ditemukannya
gen farina yang disebut NOD2 yang diduga mengganggu system imun sehingga menimbulkan reaksi
yang berlebihan terhadap bakteri yang menimbulkan inflamasi, factor genetic ini diduga didapatkan
pada 15% penyakit Crohn, jika gen ini mampu mengalami mutasi akan meningkatkan resiko terjadinya
penyakit ini sampai 40 %.
Beberapa teori mengatakan bahwa infeksi virus dan bakteri dapat mengganggu keutuhan system traktus
intestinal yang lambat laun dapat memicu suatu respon inflamasi beberapa studi mengatakan bahwa
anak dengan penyakit crohn telah mendapat infeksi penyakit campak sebelumnya, namun menurut US
centre for Disesase control virus campak tidan menimbulkan penyakit ini. Kebanyakan publikasi
memfokuskan kepada apakah faksin MMR menyebabkan autisme atan penyakit Crohn, pada studi yang
terakhir ternyata berdasarkan fakta faksin MMR tidak meningkatkan resiko terjadinya penyakit Crohn.
Tipe bakteri lain yang dapat dikaitkan dengan penyebab penyakit crohn adalah bakteri TBC, beberapa
strein E Colli dapat melekat kuat didinding usus dan menimbulkan kerusakan mukosa hal ini dikaitkan
sebagai penebab penyakit Crohn denikian juga Cytomegalo virus .
Penderita penyakit Crohn lebih tinggi pada Negara industri maju dan dengan penghasilan yang tinggi, hal
ini dikaitkan dengan adanya factor jenis makanan ikut mempengaruhi terjadinya penyakit Crohn.

GEJALA
Gejala yang karekteristik dikaitkan dengan penyakit Crohn adalah :
1. Timbul pada usia dewasa muda
2. dapat timbul secara mendadak ataupun perlahan-lahan
3. gejala dapat merupakn sebuah relapse setelah fase remisi
4. gejala bervariasi dari yang ringan sampai sanagat berat
5. mempunyai resiko terbesar pada musim dingin dan musim semi
Sedangkan gejala yang lebih spesifik pada penyakit Crohn adalah sebagai berikut :
1. Adanya riwayat diare yang berulang merupakan gejala yang umum terjadi
2. Diare yang kadang-kadang dapat disertai darah
3. Adanya riwayat konstipasi yang disebabkan oleh adanya obstruksi di usus halus.
4. Adanya gejala episode yang berulang berupa nyeri bagian bawah perut atau diatas tulang pelvis,
adanya riwayat nyeri perut menandakan adanya kondisi yang serius, mungkin juga sudah adanya abses
perforasi organ berongga.
5. Adanya riwayat demam ringan kadang-kadang muncul.
6. Terjadinya penurunan napsu makan disertai kehilangan berat badan dan keterlambatan pertumbuhan
pada hampir semua penderita.
7. Adanya riwayat gangguan pola defekasi kadang-kadang didapati pada penderita ini.
8. Adanya ulkus pada anus ataupun fistel peranal merupakan gejala awal pada penyakit ini
9. Adanya riwayat gangguan neurologis gejala psikiatrik merupakn gejala sebagai gejala awal .
DIAGNOSIS.
Penyakit Crohn sulit didiagnosis terutama pada anak, perlu mendapatkan riwayat penyakit secara
lengkap dan pemeriksaan fisik yang teliti, kadang kadang riwayat diare berdarah dan penurunan berat
badan tidak didapatkan , adanya keterlambatan tumbuh kembang menjadi salah satu kunci untuk
menduga terjadinya penyakit Crohn pada anak.
Laboratorium.
Pemeriksaan darah lengkap akan didapati peningkatan jumlah leukosit yang menggambarkan adanya
proses inflamasi, pemeriksaan feses untuk mengetahui adanya sumberinfeksi lain.
Standard Endoscopik
Fleksibel sigmoidoskopi dan colonoscopi diperlukan untuk menilai lumen dari usus besar juga dapat
dilakukan untuk biopsis jaringan. Sigmoidoskopi digunakan untuk menilai rektumdan kolon kiri,
memerlukan waktu sekitar 10 menit dan tanpa bantuan sedasi sedangkan colonoscopi untuk menilai
seluruh kolon dan harus dengan bantuan sedasi dan tidak memerlukan perawatan dirumah sakit.
Penggunaaan Wireless Capsule endoskopi merupakan tehnik imeging yang baru dan lebih nyaman
digunakan untuk penderita serta memberikan gambaran yang lebih menyeluruh.Penggunaan
Ultrasound intraluminer diperlukan untuk menilai berat dan luas penyakit, ditangan ahlinya dapat
digunakan untuk membedakan Crohn dan Colitis ulserative. Pemeriksaan Upper dan Lower
Gastrointestinal Barium X-Ray dapat memberikan gambaran adanya proses inflamasi, ulkus kelainan
lainnya. Pemeriksaan CT Scans dapat digunakan untuk mengevaluasi pada penderita fase akut adanya
penebalan dinding dan komplikasi lainnya dapat terlihat. Pemeriksaan MRI dapat membantu untuk
mendiagnosis adanya abses dan komplikasi lainnya yang dapat dihubungkan dengan penyakit Crohn.
Dan juga digunakan untuk membedakan dengan Kolitis Ulserative.

KLASIFIKASI
Sachar (1990) dan Dietz etal (2001) membagi Crohns disease menjadi 3 kelompok berdasarkan gejala
klinis :
1. Tipe indolent/ fibrostenotik : rekurensi terjadi perlahan, terjadi obstruksi usus
2. Tipe agresif : rekurensi terjadi cepat, perforasi usus, fistula.Pasca operasi cenderung terjadi perforasi
kembali. Rekurensi terjadi lebih cepat disbanding tipe indolent.
3. Tipe inflamasi : tidak ada komplikasi yanga memerlukan tindakan bedah, gejala klinis yang menonjol
adalah gejala malabsorbsi.
Dibandingkan dengan tipe agresif, tipe indolent lebih sering dijumpai, Ini mungkin berkaitan dengan
lokasi tersering pada Crohns disease adalah ileokolika ( 30-45%) (Shapiro 2004; Hodin 2001 ), sehingga
gejala nyeri perut kanan bawah atau proses terbentuknya masa di regio iliaka kanan yang sebenarnya
merupakan gejala Crohns disease ditafsirkan sebagai gejala apendisitis akut.
Berlainan dengan pasien Crohns disease yang datang dengan komplikasi akut abdomen, pasien yang
datang dalam masa remisi, pada operasi lebih menunjukkan kekhasannya : skip phenomena dan dinding
usus yang menebal,. Welton etal ( 2001 ) menyebutkan gambaran makros klasik bagi Crohns disease
berupa dinding usus yang menebal dan hiperemis dengan gambaran pembuluh darah seperti
corkscrewing, mesenterium menebal cenderung meliputi dinding usus seperti gambaran creeping fat
disertai pembentukan pseudopolip inflamasi dan gambaran cobble stone pada mukosa

Indikasi penanganan secara bedah pada kasus penyakit Crohn ( Welton etal 2001) :
1. Kegagalan terapi medikamentosa
Gejala tidak mereda setelah pemberian kortikosteroid selama lebih dari 6 bulan
Terjadinya rekurensi pada saat dilakukan tapering kortikosteroid dosis tinggi
Gejala klinis memburuk atau timbul komplikasi baru sekalipun dengan pemberian terapi medis secara
maksimal
Timbul komplikasi pemberian steroid ( Cushingoid,katarak,glaukoma,hipertensi sistemik,aseptik
nekrosis pada kaput femur,myopati,fraktur korpus vertebra )
2. Terjadi komplikasi intraluminal : striktura yang menyebabkan obstruksi
3. Terjadi komplikasi sepsis
Masa inflamasi atau abses ( intraabdominal,pelvis,perineal )
Fistula yang menyebabkan :

ang berhubungan dengan sistem genitourinaria ( entero atau kolovesikal )
malabsorbsi atau diare hebat ( fistula duodenokolik atau enterorektosigmoid )
4. Perdarahan
5. karsinoma
6. retardasi pertumbuhan
7. kolitis fulminan dengan atau tanpa toksik megakolon

Pada penyakit Crohn dapat terjadi fistula enteroenterik, enterokutaneus, enterovesikal atau
enterovaginal. Selama fistel ini tidak menyebabkan sepsis intra abdominal harus diupayakan terapi
medikamentosa. Terapi pembedahan ditujukan untuk mengatasi sepsis intra abdominal. Pilihan jenis
tindakan bedah dapat berupa prosedur by pass atau reseksi usus disertai anastomosis. Tindakan terakhir
lebih dianjurkan banyak ahli karena sekaligus menghilangkan penyebab terjadinya fistel dan
kemungkinan terjadinya carcinoma di kemudian hari. ( Hodin,2001 ).
Perforasi usus yang besar jarang terjadi pada penyakit Crohn. Pada umumnya perforasi yang terjadi
berukuran kecil atau mikroperforasi. Perforasi jenis ini dapat menyebabkan abses intra abdominal,
fistula enteroenterik atau enterokutan dengan gejala klinis demam, nyeri perut, masa intraabdominal,
abses intraabdominal dan peritonitis ( Judge2003). Kebanyakan pasien dengan gejala ini dapat diatasi
dengan pemberian antibiotika intravena dan nutrisi parenteral. Pada abses intraabdominal, terapi
drainase perkutan dengan tuntunan CT scan tenyata efektif dengan keuntungan berupa morbiditas yang
lebih rendah dan lama tinggal di rumah sakit lebih singkat dibandingkan terapi pembedahan.Tindakan
pembedahan definitif hendaknya ditunda beberapa minggu hingga seluruh abses telah terdrainase
dengan baik dan proses radang telah terkontrol dengan pemberian immunosupressan dan atau
infliximab. Tindakan laparotomi dilakukan bila terapi konservatif mengalami kegagalan atau pada pasien
dengan perforasi berukuran besar dengan gejala klinis peritonitis generalisata (Hodin 2001). Kasus
perforasi pada penyakit Crohn dapat ditangani dengan reseksi segmen usus yang sakit dan dilakukan
stoma temporer, atau bila keadaan pasien begitu jelek dapat dilakukan stoma pada tempat perforasi.
Kesulitan pada pasien kami adalah perforasi timbul pada beberapa segmen kolon dan seluruh segmen
usus mengalami proses peritonitis ( pasien no 1dan 3. ) sehingga sulit untuk mengenali batas segmen
usus yang sehat, sehingga terjadi perforasi kembali pada segmen usus yang tidak dilakukan reseksi.Pada
ke empat pasien kami yang mengalami perforasi, seluruhnya kami lakukan reseksi segmen usus yang
sakit dan pembuatan stoma proksimal. Dari ke empat pasien ini, 3 pasien mengalami kematian. Rowe (
2004 ) menyebutkan angka kematian diatas 50 % pada pasien yang mengalami perforasi.
Pemberian kortikosteroid pada kasus terjadinya mikroperforasi masih menjadi bahan yang
kontroversial. Beberapa ahli mengkhawatirkan pemberian kortikosteroid akan memperburuk kondisis
pasien, namun Feder etal (1991) membuktikan pemberian kortikosteroid pada 24 pasien dengan masa
intraabdominal yang teraba dari dinding abdomen memberikan perbaikan gejala klinis pada 15 pasien.
Striktura usus yang diakibatkan penyakit Crohn dapat berupa striktura tunggal atau multiple. Karena
striktura ini jarang menimbulkan obstruksi usus komplikata, penanganan secara konservatif harus selalu
dicoba terlebih dahulu. Penanganan secara bedah untuk kasus striktura ditujukan untuk kasus obstruksi
berulang , kegagalan penanganan secara konservatif atau obstruksi usus pada pasien dengan riwayat
operasi sebelumnya.Keputusan melakukan operasi harus didasari kondisi klinis adanya obstruksi usus,
bukan karena ditemukannya adanya gambaran radiologis striktura seperti string sign , karena seperti
dilaporkan oleh Goldberg etal ( 1979 ) sering tidak ada korelasi antara keadaan klinis dengan gambaran
radiologis. Untuk kasus penyakit Crohn dengan komplikasi striktura yang jelas menunjukkan gejala
obstruksi dapat dilakukan multiple reseksi pada tempat striktura dan anastomosis atau by pass internal
atau gabungan keduanya atau strikturoplasti.Keputusan melakukan reseksi atau strikturoplasti
ditentukan oleh jumlah, lokasi dan panjang striktura.Striktura yang panjangnya 8-10 cm dapat dilakukan
strikturoplasti dengan metode Heine Mikulick sedang striktura yang panjang dapat dilakukan dengan
metode Finney(Hodin 2001).Namun bila striktura terlalu panjang untuk dilakukan strikturoplasti atau
striktura multiple yang letaknya berdekatan harus dilakukan reseksi usus.Karena pada prinsipnya
penyakit Crohn tidak dapat disembuhkan dan rekurensi hampir selalu terjadi ,harus diusahakan agar
tidak melakukan reseksi usus untuk menghindari terjadinya short bowel syndrome . Selain itu,
tindakan strikturoplasti juga jarang menimbulkan komplikasi leakage karena proses perforasi di sisi
antemesenterial jarang terjadi dan daerah terjadinya striktura telah mengalami proses fibrosis dan tidak
terjadi peradangan akut( Hodin2001; Fazio1990;Korelitz1982 , Dietz 2001). Dietz dalam penelitiannya
terhadap 314 pasien yang dilakukan strikturoplasti di intestinum tenue hanya mendapatkan angka
komplikasi 5 % untuk leakage dan 2 pasien dengan perdarahan pada tempat strikturoplasi yang
membutuhkan tindakan angiografi dan 1 pasien dengan pertumbuhan proses keganasan ditempat
strikturoplasti.
Pada saat melakukan reseksi timbul masalah mengenai batas reseksi yang aman agar tempat
anastomosis kita benar-benar sehat dan tidak terjadi rekurensi pada tempat anastomosis. Hal ini masih
menjadi bahan kontroversial dikalangan para ahli.Batas reseksi yang dianjurkan Crohn pada tulisan
orisisinilnya adalah 2 feet proksimal dari bagian usus yang sakit (Hodin 2001). Pendapat lain mengenai
batas reseksi yang aman adalah 5 10 cm dari batas jaringan sehat secara makroskopis akan
menurunkan frekwensi rekurensi, namun hal ini dapat menimbulkan terjadinya short bowel syndrome
bila segmen usus yang sakit cukup panjang dan multiple ( Fazio 1990). Untuk itu Wolf(1983) dari klinik
Mayo menyarankan pemeriksaan frozen section untuk melihat batas segmen usus yang sehat dan
yang sakit.Beberapa ahli lain berpendapat tidak ada perbedaan frekwensi rekurensi antara tempat
anastomosis pada segmen usus normal dengan abnormal. Fazio etal (1990) membandingkan batas
reseksi 2 cm dan 12 cm pada 131 pasien dengan median follow up selama 56 bulan mendapatkan tidak
ada perbedaan angka rekurensi antara keduanya. Pendapat ini mendapat dukungan dari kelompok studi
Birmingham yang menyatakan bahwa rekurensi hampir selalu terjadi pasca operasi, sehingga harus
selalu diupayakan tindakan konservasi usus. Pemeriksaan endoskopis pasca operasi oleh Rutgeerts etal
(1990) mendapatkan adanya rekurensi berupa ulkus apthosa preanastomosis pada 70 % pasien dalam
tahun ke 1 dan pada 85 % bila pemeriksaan diulangi pada tahun ke 3 pasca operasi. Tempat rekurensi
tersering pasca reseksi usus kecil adalah pada neo ileum terminal sedang pada pasien ilekolitis 65 % juga
mengenai colon. Frekwensi rekurensi yang menunjukkan gejala klinis terjadi pada 35 % pasien pada
tahun ke 5 , 55 % pada tahun ke 10 dan 75 % pada tahun ke 15. Kesimpulan dari data-data ini adalah
bahwa rekurensi hampir pasti tejadi terlepas dari seberapa jauh batas reseksi kita ,sehingga tindakan
konservasi usus harus selalu dupayakan dan terapi pembedahan hanya ditujukan untuk pasien dengan
komplikasi klinis yang nyata. Untuk menghindari atau menurunkan frekwensi terjadinya rekurensi
beberapa peneliti menyarankan pemberian obat mesalamine atau metronidazole pasca operasi (
Rutgeerts 1990; Mc Leod 1995 ).

Resiko terjadinya proses keganasan pada penyakit Crohns telah diteliti oleh banyak pakar. Insidensi
terjadinya karsinoma kolon pada penyakit Crohns kurang lebih 270 per 100.000, 6 kali dari resiko pada
populasi normal, sedang untuk kolitis ulserativa 700 per 100.000 ( Korelitz 1990). Namun terjadinya
proses karsinoma pada pasien penyakit Crohns terjadi pada proses penyakit yang telah berlangsung 15-
20 tahun. Welton etal ( 2001) menyebutkan lebih dari 70 % dari pasien pasien ini akan mengalami
kelainan yang signifikan pada rektum dan 50% diantaranya akan membutuhkan protektomi.
KOMPLIKASI
Penyakit Crohn adayang mempunyai manifestasi yang jinak sampai dengan sangat berat,beberapa
penderita mengalami suatu epsode tunggal ada juga yang mengalami episode yang terus berulang,
meskipun kekambuhan itu dianggap suatu fenomena yang normal tetapi pada beberapa penderita ada
yang bebas dari penyakit ini dalam waktu yang sangat lama. Meskipun penyakit Crohn tidak dapat
disembuhkan walaupun dengan intervensi pembedahan, saat ini medikamentosa dapat menjadi pilihan
pada sebagian besar penderita penyakit ini, penyakit Crohn jarang menjadi penyebab langsung
kematian, sebagian besar penderita dapat hidup normal dengan penyakit ini.
Pada penderita Crohn yang ringan semakin sedikit pergerakan pada usus semakin ringan gejala yang
muncul, pada penderita ini didapatkan nyeri perut yang sangat ringan bahkan tidak ada keluhan nyeri
perut, penderita secara klinis menyerupai orang normal, sedikit komplikasi yang muncul adalah keluhan
diluar traaktus intestinal, tidak didapatkan massa pada pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium
menbdekati normal.
Pada penyakit Crohn yang berat sering berupa peningkatan mobilitas usus hingga memerlukan obat
opiat ataupun antidiare yang poten, didapatkan keluhan nyeri perut yang sangat hebat dan biasanya
berupa nyeri dikwadran kanan bawah, lokasi nyeri tidak mengidentifikasikan tempat sumber masalah,
yang sekarang dikenal dengan referred pain, jumlah ereitrosit rendah, penderita mengalami komplikasi
berupa kehilangan berat badan, nyeri sendi, inflamasi pada mata, kulit merah atau ulserasi pada kulit,
fistel, abses dan demam, pengobatan secara pembedahan dan non pembedahan pada kasus Crohn
dengan kolitis ulserative mempunyai komplikasi yang bisa menjadi berat.
Komplikasi di saluran cerna berupa malabsorbsi dan malnutisi yang disebabkan krena perdarahan dan
diare sebagai efek samping dari obat dan tindakan pembedahan, terjadinya fistel karena adanya ulkus
yang dalam yang dat terbentuk bersama penyakit Crohn, kalau fistel berada di antara usus halus dan
kolon, dapat terjadi gangguan penyerapan nutrisi, fistel sering membentuk kantong abses yang dapat
membahayakan bila tidak diterapi,. Perdarahan massif dapat terjadi pada 1 sd 2% kasus dan dapat
kambuh, perdarahn itu biasanya berasal dari area yang terlokalisir dari usus, dengan pembedahan
perdarahan itu bisa diatasi. Terjadinya kanker Kolorektal lerpotensi pada penderita kolitis ulcerativ
dibandingkan penyakit Crohn, tetapi penyakit Crohn mempunyai resiko 40 kali lipat menderita kanker
usus nhalus , Obstruksi intestinal terjadi karena adanya jaringan parut yang dikenal sebagai striktur
akibat inflamasi penyakit Croh, hal ini dapat terjadinya obstruksi usus dengan kolik yang sangat hebat
disertai muntah yang profuse, striktur biasanya muncul pada usus halus akan tetapi bisa juga terjadi
pada kolon
Komplikasi siluar usus :
1. Penderta penyakit ini mempunyai resiko lebih tinggi terpapar penyakit inflamasi lain yang menyeran
paru-paru dan sistem saraf pusat
2. Menurut studi tahun 2005 penerita memiliki resiko lebih tinggi mengidap asma juga bronkitis dan
inflamasi lainnya.
3. Inflamasi pada mata merupakn tanda awal pada penyakit Crohn pada beberapa kasus, penyakit retina
dapat terjadi tetapi jarang, dengan komplikasi artritis memiliki resiko penyakit mata yang lebih tinggi.
4. Kekakuan pada sendi disebabkan adanya artritis oleh karena inflamasi, juga disertai nyeri sendi
dipunggung serta beresiko terjadinya klubbing finger.
5. Pada tulang bisa terjadi osteppenia dan osteoporosis.
6. Terjadinya anemi disebabkan adanya ulkus di usus
7. Gangguan pada hepar dan sistem bilier berupa kolelitiasis.
8. Candidasis pada mulut merupakan komplikasi terapi.
9. Gangguan kulit berupa pembengkan pada kulit berupa ulkus.
10. Tromboembolis pembuluh darah dat terjadi pada tungkai bawah dan daerah pelvis.
11. Infeksi tartus urinarius sering terjadi dan kemungkinan terbentuknya batu salauran kencing lebih
tinggi.
12. Keterlambatan tumbuh kembang bisa terjadi bila penyakit ini mengenai anak-anak.
13. kemungkinan terjadinya prematuritas dapat terjadi pada kehamilan.
14. Gangguan siklus haid serinh terjadi pada penyakit ini.
15. Gangguan neurologis berupa dementia , gangguan pola pikir dan stroke serta kemungkinan
terjadinya multiple sclerosis dan ganngguan nervus optikus.
16. Gangguan emosi sering terjadi pada penderita dewasa muda.

IV.KESIMPULAN
Gejala klinis dari penyakit Crohn sangat beragam tergantung dari lokasi dan gradasi penyakitnya, oleh
karena itu proses menegakan diagnosa bukan hal yang mudah, apalagi bila pasien datang dalam
keadaan akut abdomen akibat komplikasi perforasi usus dimana gambaran klasik dari segmen usus yang
terkena sering tidak tampak akibat tumpang tindih dengan gambaran peritonitis. Kecurigaan akan
adanya proses penyakit Crohn perlu dipikirkan dalam hal adanya perforasi usus pada usia muda yang
tidak jelas kausanya.
Komplikasi perforasi pada crohn's disease mempunyai tingkat mortilitas yang tinggi, hal ini sering
disebabkan adanya perforasi ulangan pada segmen usus yang sebelumnya tidak mengalami perforasi.
Pada pasien kami tingkat mortalitas pada pasien dengan komplikasi perforasi sebesar 75 %.

Kasus 1. Tn. S 51 tahun datang ke UGD dengan keluhan utama perut kembung panas badan dan nyeri
serta muntah-muntah sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit, sebelumnya sudah berobat ke dokter
disarankan untuk MRS tapi px tidak mau, riwayat diare kronis sejak 6 bulan yang lalu, diare hilang
timbul, riwayat DM tapi terkontrol. Saat datang ke RS kesadaran menurun. T 90/50 N 132 RR 32 Suhu
39,8 .
PD Dispneu, abdomen Distended, defans muskuler, pekak hati hilang, bising usus negatif. RT TSA lemah
nyeri diseluruh permukaan, dipasang NGT keluar cairan hijau 1200 cc,
BOF/LLD tampak udara bebas.
Diagnosa Peritonitis generalisata suspek perforasi organ berongga. Sepsis
Dlikakukan explorasi Laparotomi didapatkan multiple perforasi pada ilium distal sampai denagan kolon
ascenden, sebagian mengalami nekrosis, spilege faeces 2000 cc bercampur pus Dilakukan
hemikolektomi kanan dan iliostomi dengan mukus fistel pada kolon.
Post operasi kondisi px tidak membaik dengan tanda peritonitis ulang , sepsis dan gula darah sulit
dikontrol ( > 600}, setelah dilakukan therapi oleh penyakit dalam dilakukan relaparotomi dengan tujuan
kontrol sumber infeksi pada hari ke 2, paske operasi ke 2 kondisi px mulai membaik akan tetapi gula
darah tetap sulit dikontrol. Hasil Patologi jaringan suatu Crohns disease. Hari ke 10 px mulai membaik
gula darah mulai terkontrol, disamping pemberian antibiotika dan anti dibet serta nutrisi suport px
mendapat therapi sulkolon 3x2 tablet. Hari ke 20 px keluar rumah sakit dalam keadaan baik, gula darah
terkontrol dan luka operasi terawat baik, px mendapat therapi sulkolon dan OAD. Setelah 6 bulan
keadaan px baik kemudian dilakukan pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi dengan hasil baik dan tidak
ada tanda cronh lagi. Satu bulan kemudian diputuskan dilakukan tutup kostomi, setelah dilakukan
penutupan hari ke2 px panas badan dan mulai timbul tanda peritonitis dan sepsis, diputuskan dilakukan
explorasi laparotomi ulang pada hari ke 4, didapatkan , pus sekitar 200 cc putih, tidak ada perforasi usus,
anastomosis baik, usus oedema dan dilatasi pada seluruh usus, penjahitan dinding perut hanya pada
kulit, dua hari kemudian kondisi semakin memburuk dan kemudian terjadi fistel enterokutan mula mula
1 buah kemudian bertambah menjadi 6 buah, total cairan fitel hampir 1000 cc dengan kwlitas faeces
cair, karena tidak ada tanda peritonitis dan gula darah sulit diturunkan diputuskan untuk terapi
konservatip, dengan pengaturan nutrisi TPN kombinasi dengan oral, serta perawatan fistel, hari ke 14
setelah operasi terakhir penderita mendapat therapi tambahan HBO therapi selain obat yang sudah
diberikan, HBO diberikan 10 kali, dengan cara 5 kali setiap minggu. Setelah Hbo yang ke5 kondisi
semakin membaik dan jumlah cairan yang keluar melalui fistel berkurang dan px bisa bab melalui anus,
setelah pemberian ke 10 fistel mulai menutup tinggal 2 fistel yang masih pruduktif, dengan cairan
perhari berkisar 150 cc kwalitas faeces cair, berdasarkan pertimbangan tersebut progranm therapi HBO
dilanjutkan 10 kali lagi, setelah pemberian ke 15 tinggal 1 buah fistel yang masih produktif sekitar 20
30 cc kwalitas pus, hasil norit test negatif, px dipulangkan dilanjutkan perawatan poliklinis, kemudian
therapi dilanjutkan sampai HBO ke 20. Dengan hasil seluruh fistel dapat menutup.

Kasus 2. Tn. B. 44 tahun MRS dengan keluhan diare kronis disertai berak berdarah dan cair, sejak 1 hari
sebelum MRS perut kembung nyeri, muntah muntah dan panas badan serta lemah, pertama kali
dirawat oleh sejawat penyakit dalam kemudian dikonsulkan ke bagian bedah. Saat datang kondisi px
dengan KU lemah dan anemis,
PD T 80/40 N 146 RR 36 S 40 C anemis
Thorax dbn
Abdomen Distended, defans muskuler, pekak hati negatif, Bising usus negatif
RT TSA kolaps, Nyeri diseluruh permukaan. Faeces bercampur darah .
Lab Hb 4,2 L 28000, Bun 48 SC 2,8 Albumin 2,4
Bof/LLD tampak udara bebas, USG abdomen massa besar disekitar sigmoid ukuran 10x 10 x 8 cm.
Diagnosa Peritonitis Generalisata suspek perforasi organ berongga . Sepsis. Anemi Gravis, Dehidrasi
berat, hipo albumin.
Setelah dilakukan perbaikan keadaan umum selama 20 jam diputuskan dilakukan eksplorasi laparotomi
pada tanggal 2008.
Durante Operasi didapatkan adanya massa di Sigmoid berukuran 14 x10 cm yang mengalami perforasi
dengan ulkus berukuran 2x 2 cm ada 3 buah, spilage faeces 1000 cc bercampur darah, dan pada kolon
descenden terdapat penebalan pada seluruh dindingnya, diputuskan dilakukan sigmoidektomi dan
hemikolektomi kiri, dilakukan anastomosis kolon transversum dengan rektum dengan menggunakan
CDH 33, dan iliostomi untuk proteksi, setelah sebelumnya hasil vrees scope tidak ditemukan keganasan.
Paska operasi kondisi penderita membaik hasil PA suatu Crohns Disease, kemudian dlanjutkan therapi
dengan sulcolon 3x2 tablet sesuai saran sejawat Penyakit Dalam.dan HBO therapi selama 20 kali. Setelah
3 bulan paska therapi dilakukan Colonoscopi dan ilioscopi serta biopsi untuk persiapan penutupan
iliostomi dengan hasil dalam batas normal, biopsi tidak ditemukan tanda penyakit Crohns , kemudian
dilakukan pemeriksaan lopografi distal dengan kontras water soluble, dengan hasil dalam batas normal.
Kemudian dilakukan penutupan iliostomi. Dua bulan setelah operasi penderita sering demam dan nyeri
perut, beberapa hari kemudian terjadi fistel enterokutan dari bekas iliostomi dengan kwalitas faeces cair
berjumlah sekitar 300 cc. Penderita diberi therapi Salofalk 2x2 tablet sesuai saran Penyakit Dalam.
Disamping obat tersebut juga diberi HBO sebanyak 20 kali, setelah pemberian ke10 fistel sudah tidak
produksi dan keluhan nyeri serta demam menghilang, HBO dilanjutkan sampai 20 kali dengan hasil
bekas fistel sudah tertutup kulit.

PEMBAHASAN
Komplikasi perforasi pada crohn's disease mempunyai tingkat mortilitas yang tinggi, hal ini sering
disebabkan adanya perforasi ulangan pada segmen usus yang sebelumnya tidak mengalami perforasi.
Pada pasien kami tingkat mortalitas pada pasien dengan komplikasi perforasi sebesar 75 %. Pada saat
melakukan reseksi timbul masalah mengenai batas reseksi yang aman agar tempat anastomosis kita
benar-benar sehat dan tidak terjadi rekurensi pada tempat anastomosis. Hal ini masih menjadi bahan
kontroversial dikalangan para ahli.Batas reseksi yang dianjurkan Crohn pada tulisan orisisinilnya adalah 2
feet proksimal dari bagian usus yang sakit (Hodin 2001). Pendapat lain mengenai batas reseksi yang
aman adalah 5 10 cm dari batas jaringan sehat secara makroskopis akan menurunkan frekwensi
rekurensi, namun hal ini dapat menimbulkan terjadinya short bowel syndrome bila segmen usus yang
sakit cukup panjang dan multiple ( Fazio 1990). Untuk itu Wolf(1983) dari klinik Mayo menyarankan
pemeriksaan frozen section untuk melihat batas segmen usus yang sehat dan yang sakit.Beberapa
ahli lain berpendapat tidak ada perbedaan frekwensi rekurensi antara tempat anastomosis pada segmen
usus normal dengan abnormal. Fazio etal (1990) membandingkan batas reseksi 2 cm dan 12 cm pada
131 pasien dengan median follow up selama 56 bulan mendapatkan tidak ada perbedaan angka
rekurensi antara keduanya. Pendapat ini mendapat dukungan dari kelompok studi Birmingham yang
menyatakan bahwa rekurensi hampir selalu terjadi pasca operasi, sehingga harus selalu diupayakan
tindakan konservasi usus. Pemeriksaan endoskopis pasca operasi oleh Rutgeerts etal (1990)
mendapatkan adanya rekurensi berupa ulkus apthosa preanastomosis pada 70 % pasien dalam tahun ke
1 dan pada 85 % bila pemeriksaan diulangi pada tahun ke 3 pasca operasi. Tempat rekurensi tersering
pasca reseksi usus kecil adalah pada neo ileum terminal sedang pada pasien ilekolitis 65 % juga
mengenai colon. Frekwensi rekurensi yang menunjukkan gejala klinis terjadi pada 35 % pasien pada
tahun ke 5 , 55 % pada tahun ke 10 dan 75 % pada tahun ke 15. Kesimpulan dari data-data ini adalah
bahwa rekurensi hampir pasti tejadi terlepas dari seberapa jauh batas reseksi kita ,sehingga tindakan
konservasi usus harus selalu dupayakan dan terapi pembedahan hanya ditujukan untuk pasien dengan
komplikasi klinis yang nyata. Untuk menghindari atau menurunkan frekwensi terjadinya rekurensi
beberapa peneliti menyarankan pemberian obat mesalamine atau metronidazole pasca operasi (
Rutgeerts 1990; Mc Leod 1995 ).
Pemanfaatan HBO pada penyakit Crohns sebagai terapi tambahan dapat diberikan dengan
pertimbangan therapi ini akan membantu meningkatkan kemampuan tubuh untuk menyerap oksigen
yang akan menyokong sistem imun dengan merusak substansi yang bersifat toksik, secara umum bakteri
anaerob, jamur dan virus pada umumnya intoleran terhadap oksigen, karena tidak tahan terhadap
lingkungan yang kaya akan oksigen, selain itu akan mempercepat pembentukan pembuluh darah baru
yang akan membantu pembentukan jaringan epitel yang diperlukan untuk memperkecil ukuran fistel
enterokutan dan penyembuhan luka. Pemanfaatan HBO pada Crohn s disease daerah perineum berupa
fistel perianal yang membandel sudah sering digunakan dan efeknya dapat terlihat, sedangkan untuk
terapi fistel enterokutan atau fase akut belum banyak dilakukan di Indonesia, karena pertimbangan
fasilitas HBO yang masih terbatas.
Pada kedua kasus ini kami mencoba memberikan terapi tambahan HBO selain terapi yang digunakan
dengan harapan akan memcegah terjadinya komplikasi lebih lanjut dari penyakit Crohns yang
mengalami perforasi dan mencegah atau menghambat rekurensi penyakit ini. Pada perawatan fistel
enterokutan terjadi perbaikan klinis yang sangat baik terutama dalam hal pencegahan komplikasi fistel
yang sudah terjadi



V..DAFTAR PUSTAKA

1. Dietz, D.W., Laureti, S., Strong, S.A., Hull, T. L., etal 2001 . Safety and longterm efficacy of
strictureplasty in 314 patients with obstructing small bowel Crohns disease. J.American college of
Surgeons, 192 (3) : 330-338.
2. Fazio, V.W.,1990. Conservative surgery for Crohns disease of the small bowel : the role of
strictureplasty. The Medical Clinics Of North America ;72 : 169-180.
3. Felder, J., Adler, D., Korelitz, B.,1991 . The Safety of Corticosteroid therapy in Crohns disease with an
abdominal mass. Am J Gastroenterol ;86 : 1450-1455.
4. Goldberg, H., Caruthers, S.j., Singleton J.,1979 . Radiographic findings of the national cooperative
Crohns Disease study. Gastroenterology ;77 : 925-937.
5. Hodin, R.A., Matteus, J.B.,2001.Small intestine. In :Norton etal,eds. Surgery, Basic Science and Clinical
Evidence. Newyork:Springer-verlag, 6286630.
6. Jagelman, D.G.,1990. Surgical Alternatives for Ulcerative Colitis. The Medical clinics of North
America;74:155-167.
7. Judge, T.A., Lichenstein, G.R.,2003 . Inflamatory bowel disease .In : Current Diagnosis and Treatment
in Gastroenterology. Friedman,S.l.,McQuaid, K.R.,Gremdell, J.H., Eds. Singapore :McGrawHill , 109-130.
8. Kirsner, J.B.,1995. Overview of etiology, pathogenesis, and epidemiology of inflammatory bowel
disease. In : Haubrich WS, Schaffner F, Berk JW,eds. Bockus gastroenterology. 5 th ed. Philadelphia :
W.B.Saunders company ,1293-1295.
9. Korelitz, B.I., Present, D.H., Alpert, L.I., et al 1982 . Recurrent regional enteritis after ileostomy and
colectomy for granulomatous colitis. N England J Med ,287 : 110-115
10. Korelitz, B.I.,1990.Considerations of surveillance,Dysplasia, and carcinoma of the Colon in the
Management of Ulcerative Colitis and Crohns disease
11. Manan C.,1990 .Kolitis ulseratif dalam : Soeparman, ed . Ilmu penyakit dalam . jilid II.Edisi kedua. ,
Jakarta: Balai penerbit FKUI,137.
12. Mc Leod,R.,Wolf,B.,Steinhart,A.,etal 1995.Mesalamine treatment decreases post operative
recurrences of crohns disease. Gastroenterology;109:404-413.
13. Podolsky, D.K,1988. Ulcerative colitis and Crohns disease In : : GL Bongiovianni ,ed. Essential of
clinical Gastroenterology. Newyork: Mc.Graw Hill, 315=319
14. Rowe WA. Inflamatory Bowel Disease. http://www.emedicine.com/emerg/topic 109 htm
15. Rutgeerts, P.,Hiele ,M.,Geboes, K., et al.1990 . Controlled trial of Metronidazole treatment for
prevention of Crohns Recurrence after Ileal resection. Gastroenterology ,109 : 404-413.
16. Sachar, D.B.,1990. The problem of post operative Recurrence Of Crohns Disease. The Medical Clinics
Of North America ,72 : 183-188
17. Shapiro, W.,2004 Inflamatory Bowel Disease. http://www.emedicine.com/emerg/topic 106 htm
18. Welton, M.L.,Varma, M.G.,Amerhauser .A.,2001. Colon, Rectum, and Anus. In Norton etal, eds .
Surgery Basic Science and Clinical evidence. Newyork :Springer-verlag,672-684.
19. Whelan, G.,1990. Epidemiologi Of Inflamatory Bowel Disease. The Medical clinics of North America
;74:1-11.
20. Wolf,B.G.,Beart,R.j.,Frydenberg, etal.,1983.The importance of disease free margins in resecting for
crohns disease. Dis Rectum;26:239-243



Data 8 pasien dengan inflamatory bowel disease
No Jenis kelamin Umur
Th Diagnosa awal Jenis operasi awal Jenis operasi berikutnya. keterangan Hasil PA
1 laki 30 Appendiks perforasi Laparotomi, apendektomi Relaparotomi, reseksi kolon tranversum-
sigmoid, prosedur Hartman.
Relaprotomi,hemikolektomi D,ileostomi Crohns
2 laki 49 Ca caecum DD: TB intestinal Hemikolektomi kanan Relaparotomi, kolostomi Crohns
3 laki 26 High outputenterokutan fistel post apendektomi Relaparotomi, reseksi ileum,ileostomi
Relaparotomi, reseksi ileum, pembuatan ileostomi baru Kiriman RS.kabupaten
Crohns
4 Laki 21 Post laparotomi ec Ca Sigmoid ?, kolostomi. MRS untuk tutup kolostomi. FAP Total
kolektomi,ileorrektal anastomose Kiriman RS.kabpaten
Pulang sehat Crohns
5 Laki 21 Periapendikular mass DD : TB intestinal Laparotomi,reseksi ileum, end ileostomi Crohns
6 laki 45 Peritonitis ec apendiks perforasi Laparotomi, tranversokolektomi,divided kolostomi Pulang
sehat Kolitis ulsertativa
7 wanita 32 Obstruksi sigmoid ec Crohns disease Sigmoidektomi, end to end anastomosis Pulang sehat
Crohns
8 laki 39 Kolelithiasis, kolesistitis Laparotomi, drainase abses subhepatal Relaparotomi. Reseksi ileum &
caecum, ileostomi. Pulang sehat Crohns

Anda mungkin juga menyukai