Anda di halaman 1dari 22

PEMAHAMAN HOLISTIK TERHADAP MANUSIA

SEBAGAI KAJIAN FENOMENOLOGIS


DALAM PSIKOLOGI HUMANISTIK

Manusia adalah organisme yang dinamis. Jadi, kita tidak akan bisa
memahami manusia bila kita melihat manusia hanya berdasarkan atribusi-atribusi
tertentu. Psikologi Humanistik mengharapkan pemahaman akan manusia yang
tidak tereduksi. Berbeda dengan Psikoanalisa yang memandang manusia sebagai
unit yang penuh dengan konflik, sementara Psikologi Humanistik berusaha
memandang manusia dari sisi positifnya (pandangan optimistik). Begitu juga
dengan Behaviorisme yang memandang manusia sebagai individu yang terbentuk
oleh lingkungan sehingga bertindak secara mekanis dan tak punya
pilihan/kebebasan dalam berperilaku (manusia dianggap seolah-olah sebagai
’robot’ yang akan selalu taat pada perintah, merespon stimulus tertentu dengan
respon tertentu pula), sedangkan dalam Psikologi Humanistik manusia dipandang
sebagai individu yang aktif dan bebas menentukan pilihan untuk berperilaku
sesuai dengan kesadarannya atau otonomi dirinya.
Psikologi Humanistik mengambil istilah “humanisme” yang pengertiannya
dapat ditinjau dari dua sisi. Sisi yang pertama adalah sisi historis. Dari sisi ini,
humanisme berarti suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali
muncul di Italia pada paruh abad ke-14 Masehi. Gerakan ini boleh dikatakan
sebagai motor penggerak kebudayaan modern, khususnya kebudayaan Eropa. Dari
sisi yang kedua yaitu sisi aliran-aliran dalam filsafat, humanisme sering diartikan
sebagai paham yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sedemikian
rupa sehingga manusia menempati posisi yang sangat sentral dan penting, baik
dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari.
Dalam arti ini, manusia dipandang sebagai ukuran ‘baku’ bagi setiap penilaian,
dan referensi utama dari setiap kejadian di alam semesta.
Wujud gerakan mahzab ketiga yang dikenal dengan “Psikologi Humanistik”
adalah kelompok ekletik psikolog Amerika yang mendukung beragam interpretasi
kepribadian manusia. Istilah humanistik mencerminkan fokus pada penggambaran
psikologi manusia dengan penekanan pada eksistensi dan variabilitas individual,

1
yang sangat berbeda dengan dasar biologis behaviorisme. Pada tahun 1962,
sekelompok ahli psikologi mendirikan Association of Humanistic Psychology.
Mereka menawarkan psikologi humanistik sebagai “kekuatan ketiga” setelah
Psikoanalisa dan Behaviorisme, suatu asumsi dan perhatian alternatif bagi dua
pendekatan lainnya.
Untuk menjelaskan misinya, Association of Humanistic Psychology
membentuk empat prinsip :
1. Orang yang mengalaminya adalah pusat perhatian. Manusia bukan
semata-mata objek penelitian. Mereka harus dideskripsikan dan dipahami
dalam pengertian pandangan subjektifnya terhadap dunia, persepsi diri
mereka, dan perasaan kegunaan diri mereka. Pertanyaan sentral yang harus
dihadapi tiap orang adalah “Siapa saya?” Setiap individu harus mencari
dan memahami makna eksistensialnya.
2. Pilihan, kreativitas, dan aktualisasi diri manusia adalah topik yang
disukai dalam penelitian humanistik. Ahli psikologi humanistik menolak
pendekatan psikoanalitik, dengan berpendapat bahwa suatu psikologi yang
didasarkan pada kepribadian yang timpang hanya menghasilkan psikologi
yang timpang. Mereka juga menolak behaviorisme, suatu psikologi yang
sama sekali tidak memiliki kesadaran yang berasal terutama dari penelitian
organisme lebih rendah. Manusia tidak semata-mata termotivasi oleh
dorongan dasar seperti seks dan atau agresi atau kebutuhan fisiologis
seperti rasa lapar dan haus. Mereka perlu mengembangkan potensi dan
kemampuannya. Pertumbuhan dan aktualisasi diri harus menjadi kriteria
kesehatan psikologis, bukan semata-mata pengendalian ego atau
penyesuaian diri dengan lingkungan.
3. Kepenuh-artian harus mendahului objektivitas dalam memilih
masalah riset. Ahli psikologi humanistik percaya bahwa seringkali riset
psikologi dibimbing oleh metode yang tersedia ketimbang oleh
kepentingan masalah yang akan diteliti. Para ahli berpendapat bahwa yang
harus dipelajari adalah masalah manusia dan sosial yang penting.
Sementara para ahli psikologi harus mengejar objektivitas dalam

2
mengumpulkan dan menginterpretasikan pengamatan, pilihan tentang
topik riset dapat dan harus ditentukan oleh nilai-nilai. Dalam pengertian
ini, para peneliti tidak bebas dari nilai; nilai bukan sesuatu yang harus
diabaikan atau pura-pura tidak dimilikinya.
4. Nilai tertinggi terletak pada martabat manusia. Manusia pada
dasarnya baik. Tujuan psikologi adalah memahami, bukan
memprediksikan atau mengendalikan manusia. Bahkan menyebut manusia
sebagai ”subjek” dianggap oleh banyak ahli psikologi humanistik sebagai
merendahkan martabat manusia sebagai mitra penuh dalam upaya
memahami kepribadian manusia.

Memahami manusia menurut Psikologi Humanistik tidak lepas dari


memahami self. Dan apakah makna dari self itu sendiri? Untuk memahaminya kita
harus memperhatikan tanda-tanda awal dan melihat diri itu sebagai perspektif dari
rangka kehidupan, dimana ini merupakan kunci untuk menemukan jawabannya.
Diri atau self yang akhirnya berkembang, ialah komposisi pikiran dan
perasaan yang menjadi kesadaran seseorang mengenai eksistensi
individualitasnya, pengamatannya tentang apa yang merupakan miliknya,
pengertiannya mengenai siapakah dirinya, dan perasaannya tentang sifat-sifatnya,
kualitasnya, dan segala miliknya. Diri atau self dari seseorang ialah akumulasi
dari apa yang bisa disebut kepunyaannya. (James 1902, dalam Jersild,1954)
Menurut DeVito (1997:57), jika individu harus mendaftarkan berbagai
kualitas yang ingin dimiliki, kesadaran diri pasti menempati prioritas tertinggi.
Setiap individu ingin mengenal diri sendiri secara lebih baik karena individu
mengendalikan pikiran dan perilaku sebagian besar sampai batas memahami diri
sendiri-sebatas individu itu menyadari siapa dirinya. Karena itu, cukup beralasan
apabila kemudian DeVito menegaskan bahwa dari semua komponen tindak
komunikasi, yang paling penting adalah diri (self) atau yang biasanya dibahasakan
dengan ”aku” oleh filsafat. ”Siapa dan bagaimana Anda mempersepsikan diri
sendiri dan orang lain akan mempengaruhi komunikasi anda dan tanggapan Anda
terhadap komunikasi orang lain.” (DeVito,1997:56). Itu pula sebabnya Kleinke

3
(1978) menyimpulkan bahwa kesadaran diri merupakan landasan bagi semua
bentuk dari komunikasi.
Bagaimana self bermula? Self dibentuk; tidaklah ada sedari mula.
Perkembangan self. Diantaranya, menyangkut suatu proses diferensiasi
(Jersild,1954). Anak memulai kehidupannya sebagai suatu bagian dari tubuh atau
badan ibunya. Beberapa waktu setelah kelahirannya, ia masih tidak berdaya dan
bergantung pada orang lain; tetapi segera setelah itu, ia mulai aktif mencoba
kapasitas-kapasitasnya. Jika ia menangis, orang akan datang. Karena itu, ia
merubah dan mendapat pandangan baru. Sementara itu, ia menyelidiki batas-
batas dirinya terhadap lingkungannnya. Ia mencoba batas-batas kesanggupannya.
Ia menunjukkan tanda-tanda kesanggupannya akan membedakan orang dan
barang, dan perbedaan dirinya sendiri dengan orang lain. Jelaslah baginya bahwa
hal-hal dari dunia luar dapat mempengaruhi dirinya; dan bahwa ada perbedaan
antara pengalamannya dan hal-hal yang khusus dan istimewa terjadi atas dirinya,
sehingga ia mempunyai perasaan tertentu mengenai dirinya.
Salah satu ciri perkembangan self adalah makin bertambahnya kesadaran
tentang milik dan kemampuan dirinya. Si anak mencapai kesadaran mengenai
bagian-bagian tubuhnya. Pada usia tertentu, ia juga mengenal kembali tekanan,
kemauan dan kebutuhannnya yang sudah dapat ia bedakan dari perasaan puas bila
kebutuhannya telah terpenuhi, atau tidak puas bila kebutuhannya tidak terpenuhi.
Lambat laun, ia akan mengetahui bahwa terdapat perbedaan-perbedaan antara
keinginan dan kemauannya sendiri dengan keinginan dan kemauan orang lain.
William James (1890, dalam Sarwono, 1997), membedakan diri menjadi dua,
yaitu “diri publik” (public self atau me) dan “diri pribadi” (private self atau I).
Diri publik adalah aku sebagaimana dipersepsikan oleh orang lain atau diri
sebagai objek (objective self), sedangkan aku adalah inti dari diri aktif,
mengamati, berpikir, dan berkehendak (subjective self). Self selalu dalam keadaan
berkembang, yang realisasinya adalah perkembangan pribadi..
Hal lain yang menjadi fokus Psikologi Humanistik adalah kesadaran. Istilah
kesadaran tentunya sudah tak asing lagi di telinga kita, terutama bagi orang yang
sehari-harinya berkecimpung di bidang Psikologi. Namun tampaknya kebanyakan

4
orang tidak pernah benar-benar memahami makna dari kesadaran itu sendiri. Bagi
orang awam, kesadaran mungkin dimaknai hanya sebagai keadaan dimana
manusia mengetahui setiap tindakan yang dilakukan dan mengerti konsekuensi
dari setiap tindakannya tersebut. Bahkan kesadaran rasional (merupakan salah
satu jenis kesadaran) hanya memahami kesadaran sebagai keadaan sadar saat
terjaga dan ketidaksadaran yang disebut dengan kesadaran yang berubah
dipahami sebagai keadaan tidak sadar ketika terhipnotis, tidur, bermeditasi, dan
keadaan ‘melayang’ alias ‘mabuk’ akibat mengonsumsi obat-obatan terlarang dan
minum-minuman keras. perubahan kesadaran tadi dapat dilakukan dengan
sengaja. Bahkan menurut hasil penelitian Andre Weil mengenai penggunaan
obat-obatan terlarang, dia menyatakan bahwa “manusia sudah dilahirkan untuk
mengubah alam kesadarannya…” Namun sebenarnya kesadaran memiliki makna
yang lebih mendalam daripada sekedar ‘mengetahui tindakan dan konsekuensi
tindakan tersebut’ atau sekedar ‘keadaan terjaga’.
Penting bagi setiap manusia untuk lebih memahami makna kesadaran.
Karena dengan memahami makna kesadaran, manusia dapat memahami pula
makna hidupnya di dunia. Selain itu juga dikarenakan kesadaran dalam diri
manusia-lah yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain, serta
membuat manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Kesadaran dalam diri
manusia jugalah yang membuat manusia dapat secara bebas memandang dunianya
berdasarkan konteks ke-aku-an masing-masing. Jadi, pada dasarnya dunia tidak
dapat dipandang secara objektif, tetapi berbeda-beda menurut masing-masing
subjektivitas manusia. Hal inilah yang disebut humanistik sebagai keunikan setiap
manusia. Pemaknaan yang berbeda mengenai dunia tersebut menjadi ciri khas
setiap manusia sebagai makhluk yang eksis dalam hidupnya. Manusia yang
memiliki self-consciousness-lah yang memiliki eksistensi dalam hidup menurut
paham eksistensialisme. Yang dimaksud dengan self-consciousness adalah
kesadaran yang memungkinkan manusia menjadi pribadi yang utuh secara
fungsional. Seperti yang dinyatakan oleh Kierkegaard bahwa semakin tinggi
kesadaran diri seseorang, maka semakin utuh pula pribadi orang tersebut. Hal ini
dapat kita jadikan pedoman agar kita memiliki kesadaran diri, sehingga kita akan

5
dapat pula menelaah sesuatu dengan benar-benar matang dan tidak terkesan
‘ngawur’.
Konsep kesadaran telah dikemukakan oleh beberapa tokoh. Husserl adalah
salah satu tokoh yang telah menunjukkan bahwa “kesadaran pada dasarnya adalah
suatu aktivitas mental (noetic) yang terarah pada suatu objek yang disadari
(noematic)”. Husserl juga menyatakan bahwa dunia pada dasarnya merupakan
hasil pemaknaan dari manusia sehingga dapat dikatakan bahwa setiap manusia
sebenarnya hidup dalam dunia yang telah diciptakannya sendiri. Dia menyebut
“dunia” ciptaan tersebut sebagai Lebenswelt.
Selain Husserl, Sartre juga membahas masalah kesadaran dimana dia
menjelaskan tiga karakteristik sifat dari kesadaran manusia. Pertama, bahwa
kesadaran bersifat spontan, kesadaran berdiri sendiri sehingga kesadaran tidak
dapat dimaknai dalam konteks sebab akibat (hukum kausalitas). Kedua, kesadaran
bersifat absolut, maksudnya kesadaran bukanlah objek dari kesadaran lain,
kesadaran merupakan kesadaran itu sendiri. Ketiga, kesadaran bersifat transparan.
Kesadaran adalah mampu menyadari kesadaran itu sendiri. Sifat-sifat tersebut
menunjukkan bahwa kesadaran pada hakikatnya adalah menyadari bahwa kita
memiliki kesadaran atas sesuatu hal.
Ernest Hilgard, psikolog, bahkan membedakan kesadaran berdasarkan
fungsinya, yakni kesadaran aktif dan kesadaran reseptif. Yang dimaksud dengan
kesadaran aktif disini adalah bahwa kesadaran itu menjalankan fungsi-fungsi
seperti membuat rencana, mengambil inisiatif dan memonitor kegiatan serta
mengontrol perilaku. Sedangkan yang dimaksud dengan kesadaran pasif adalah
kesadaran menjalankan fungsi-fungsi pasif seperti kesadaran secara sederhana
dari emosi, pikiran, penginderaan dan kesan dan sebagainya. Pendapat ini jika
digambarkan sebagai mekanisme tubuh manusia, menandakan bahwa kesadaran
aktif dianalogikan sebagai otak, sedangkan kesadaran pasif dianalogikan sebagai
alat gerak dan penginderaan seperti tangan, kaki, alat penginderaaan dan lain-lain.
Rollo May (1953) menyebut kesadaran diri (self consciousness) sebagai
kapasitas yang memungkinkan manusia mampu membedakan ’diri’ dan ’dunia’,
mampu mengamati dirinya sendiri, mampu menempatkan diri dalam waktu (masa

6
lampau, masa kini, masa depan) mampu melampauinya, mampu
menempatkannya, mampu menciptakan dan memahami simbol-simbol, khususnya
bahasa, dan mampu menempatkan diri dalam dunia orang lain atau mencoba
memahami orang lain.
Dengan menempatkan diri dalam waktu tersebut, manusia bisa mempelajari
kembali pengalaman-pengalaman eksistensial masa lampau, untuk merekonstruksi
kembali dan merealisasikan dalam sebuah tindakan sekarang (masa kini),
sehingga manusia dengan begitu terbuka lebar merencanakan tindakan-tindakan
yang harus diputuskan di masa mendatang. Berkembangnya kesadaran diri itu
sendiri muncul ketika individu berusaha melepaskan diri dari keterikatan, dan
memperoleh otonomi diri.
Menurut May (1953), kesadaran individu berkembang melalui beberapa
tahapan. Tahap pertama adalah tahap kepolosan, suatu tahapan dimana pada
seorang bayi yang belum memiliki kesadaran diri. Tahap kedua adalah tahap
pemberontakan dalam membangun inner strength, yang dijalani individu pada
usia dua atau tiga tahun dan pada masa remaja. Pemberontakan tersebut meliputi
penyimpangan dan penolaka secara aktif dari individu terhadap ketentua-
ketentuan dan norma-norma dari orang tua atau masyarakat. Tahap ketiga adalah
tahap kesadaran diri secara wajar, maksudnya tahap saat individu sanggup
mengakui kesalahan-kesalahan dan prasangka-prasangkanya sendiri, mampu
menggunakan rasa bersalah yang timbul daripadanya untuk memperbaiki diri dan
sanggup membuat keputusan-keputusan secara bertanggung jawab. Tahap
keempat adalah tahap kesadaran diri kreatif . Tahapan ini merupakan tahap
kesadaran diri yang paling tinggi, tetapi sulit dan jarang sekali individu mencapai
atau memenuhinya. Individu yang mampu mencapai tahap kesadaran diri kreatif
ini biasanya orang-orang besar dan kreatif, baik dalam bidang keagamaan maupun
bidang keilmuan.
Dalam Psikologi Humanistik, kita hanya dapat memahami manusia jika
kita memandang manusia secara holistik. Holistik sendiri berasal dari kata
Holisme yang secara etimologis berarti menyeluruh, totalitas. Dari pengertian
tersebut dapat diketahui bahwa istilah itu ‘meminjam’ dari paham Gestalt dimana

7
Gestalt menganggap bahwa manusia memandang sesuatu dalam konteks totalitas.
Misalnya saja sebuah mobil tidak dipandang sebagai ‘benda berjalan yang
digerakkan oleh empat roda dan mesin sebagai alat pendorong’ melainkan sebagai
sebuah mobil dalam arti yang seutuhnya dan sebagai suatu kesatuan, yaitu
‘mobil’. Dalam hal ini pemahaman akan mobil tidak dapat kita reduksi menjadi
bagian-bagian tertentu melainkan harus dipandang seutuhnya.
Salah satu tokoh yang memberi penekanan tentang holisme adalah Kurt
Goldstein. Dimana pandangan holismenya terlihat dari teorinya mengenai
organisme. Goldstein memandang organisme sebagai kesatuan yang terdiri atas
anggota-anggota tertentu yang saling berhubungan. Anggota-anggota ini tidak
dapat dipisah-pisahkan, karena bila dipisahkan maka tidak dapat disebut sebagai
‘organisme’ lagi tetapi disebut sebagai ‘bagian atau sebagian’. Goldstein
melakukan penelitian terhadap orang yang mengalami kerusakan otak dan
berusaha menggabungkan seluruh aspek kepribadian sehingga menemukan bahwa
“gross neurologi” merupakan penyebab penyakit itu.
Menurut holisme memandang manusia berarti tidak boleh memandang satu
atau beberapa aspek. Misalnya saja X memandang Y sebagai seseorang yang
berwajah ‘sangar’, anggapan X dalam memandang Y tersebut dapat mereduksi
ke-manusia-annya. Dengan demikian X akan cenderung memperlakukan Y sesuai
dengan pandangan yang hanya satu aspek tadi. Dari contoh di atas mungkin X
memperlakukan Y seperti manusia yang penuh dengan kekurangan (walau pada
kenyataannya X hanya melihat satu kekurangan saja), misalnya diperlakukan
dengan acuh dan seperti ketakutan. X tidak melihat kenyataan lain bahwa
sebenarnya Y adalah orang yang baik dan lemah lembut.
Tetapi seseorang yang menerapkan pandangan holisme dalam hidupnya, tak
akan memandang dari satu sisi, misalnya saja X memandang Y adalah Y
seutuhnya dan apa adanya, karena bila X masih memandang Y sebagai orang
yang cantik, ganteng, baik, jahat, judes dan lain-lain, itu masih menandakan dia
tidak memandang Y secara holistik. Hal ini membuat Y menjadi ter-reduksi dalam
artian Y akan dipahami hanya sebagai si ‘cantik’, ‘ganteng’, dan atau
semacamnya.

8
Pada kenyataan sehari-hari masih sangat banyak orang yang mereduksi orang
lain, sehingga sangat jarang ada orang yang menerima apa adanya orang lain.
Memandang hal secara holistik memang hal yang tidak mudah, namun sebagai
manusia yang ingin dihargai orang lain hendaknya setiap manusia menempatkan
diri sebagaimana orang yang ‘dipandang’ sehingga kita akan bisa melihat hal-hal
positif dari orang tersebut walau yang terlihat jelas kekurangannya, dalam segi
fisik misalnya.
Dalam teori kepribadian, konsep holisme bisa disebut juga sebagai konsep
organismik. Dalam paham ini manusia atau organisme itu sendiri selalu
berperilaku sebagai satu keseluruhan dan bukan rangkaian bagian-bagian yang
terpisah. Jiwa dan badan bukan merupakan dua entitas yang terpisah, jiwa tidak
terdiri dari kemampuan-kemapuan yang berdiri sendiri dan badan bukan pula
terdiri dari organ-organ dan proses-proses yang berdiri sendiri. Manusia sebagai
organisme adalah satu kesatuan. Apa yang terjadi pada suatu bagian dapat
mempengaruhi keseluruhan. Misalnya, ketika seseorang sedang makan, kita tidak
bisa memahami manusia hanya dengan kita memperhatikan dan memahaminya
sewaktu ia mengambil makanan dengan sendok di tangannya ataupun ketika ia
sedang memasukkan beberapa potong daging ke dalam mulutnya. Namun kita
dapat memahami manusia dengan semua yang ada di dalam dirinya; fisiknya,
perilakunya, dan lain-lain. Satu gerakan dari bagian tubuh dapat mempengaruhi
perilaku atau tubuh secara keseluruhan. Dengan pemahaman manusia secara
menyeluruh inilah kita akan mendapatkan pemahaman tentang manusia dalam arti
yang sebenarnya. Tanpa mereduksi satu bagian dan mementingkan bagian yang
lain.
Dalam teori kepribadian, dijelaskan beberapa ciri utama teori organismik
atau holistik untuk dapat memahami kepribadian diri manusia. diantaranya adalah:
1. Penekanan pada kesatuan, integrasi, konsistensi dan koherensi pada
kepribadian yang normal.
2. Bertolak dari organisme sebagai sistem yang terorganisasi, baru kemudian
dilanjutkan dengan analisis mengenai bagian yang membentuk
keseluruhan tersebut. Setiap bagian tidak dapat kita pisahkan dari

9
keseluruhannya dan juga tidak dapat kita pahami sebagai kesatuan yang
terdiri dari bagian-bagian (potongan-potongan). Tetapi bagian-bagian
tersebut selalu dilihat sebagai sesuatu yang satu dan utuh dalam diri
manusia.
3. Teori ini berasumsi bahwa individu hanya dimotivasi oleh satu dorongan
utama, dan bukan dari beberapa dorongan. Goldstein menamakan motif
ini sebagai dorongan untuk ’aktualisasi diri’ atau realisasi diri. Dengan
kata lain individu akan terus menerus berusaha merealisasikan potensi
serta kemampuan yang dimilikinya dalam setiap kesempatan yang terbuka
baginya. Dan tujuan ini memberikan arah dan kesatuan pada diri seorang
individu.
4. Teori ini meminimalkan pengaruh-pengaruh yang datang dari lingkungan
sekitar individu (faktor eksternal) terhadap perkembangan normal
individu. Penekanan pada teori ini adalah bahwa manusia berkembang
karena dipengaruhi faktor internalnya, yaitu keseluruhan dari potensi-
potensinya. Meskipun demikian bukan berarti individu adalah organisme
yang tertutup, tidak membuka diri pada lingkungannya. Hanya saja
individu berhak memilih segi-segi lingkungan yang akan direaksinya.
Lingkungan tidak dapat memaksa individu untuk bertingkah laku sesuai
keinginan lingkungan. Pada umumnya, teori ini berpendapat bahwa
berbagai potensi organisme, apabila diberi kesempatan untuk berkembang
secara optimal oleh lingkungan yang cocok (normal), maka akan
menghasilkan kepribadian yang sehat dan terintregrasi, meskipun
pengaruh-pengaruh lingkungan yang tidak normal setiap saat bisa
’membinasakan’ individu. Dalam hal ini teori holistik yakin bahwa
individu pada hakikatnya adalah baik, namun dikarenakan lingkungan
yang ’buruk’ individu tidak dapat berkembang sesuai dengan kodratnya
(manusia yang secara inheren baik) dan jadilah individu seorang manusia
yang ’buruk’.
5. Teori holistik atau organismik seringkali menggunakan prinsip-prisnsip
psikologi Gestalt. Namun bagi teori ini prinsip-prinsip Gestalt terlalu

10
sempit untuk memahami individu secara keseluruhan dan cenderung
membatasi pehatiannya pada gejala-gejala kesadaran indrawi (persepsi).
Dengan ini teori holistik berusaha memahami individu sebagai satu
kesatuan.
6. Teori ini berpendapat bahwa kita akan mendapat banyak pelajaran dengan
menyelidiki seorang individu secara komperehensif daripada menyelidiki
secara ekstensif fungsi psikologis khusus atau tertentu yang diabstraksikan
dari banyak individu. Dari pengertian ini teori organismik atau holistik
cenderung lebih populer dikalangan para psikolog klinis yang
perhatiannya tertuju pada individu secara keseluruhan daripada di
kalangan psikolog eksperimental yang terutama tertarik pada proses-
proses atau fungsi-fungsi khusus, seperti persepsi dan belajar.

Teori holistik selanjutnya dapat kita jelaskan melalui pandangan-pandangan


Maslow. Berbeda dengan teori Goldstein yang meletakkan dasar pandangannya
pada penelitian tentang orang-orang yang mendapat cedera otak dan gangguan
jiwa. Maslow menggunakan hasil-hasil penelitiannya tentang orang-orang yang
sehat dan kreatif untuk sampai pada perumusan tertentu tentang kepribadian. Dari
penelitian tersebut Maslow berusaha menyajikan sisi lain dari gambar, yakni
paruh bagian yang lebih terang dan lebih baik, untuk memberikan suatu potret
keseluruhan pribadi secara utuh.
Sebagaimana kita ketahui, Psikologi Humanistik berusaha memandang
manusia secara utuh. Padahal untuk melakukannya kita seringkali mengalami
kesulitan. Hal ini terutama dikarenakan pemikiran kita yang selalu ’mengkotak-
kotakkan’ sesuatu (mudah memberi label tertentu pada suatu objek). Namun hal
itu sebenarnya dapat diatasi bila kita memandang manusia secara holistik. Dan
pandangan yang demikian itu dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu
pendekatan yaitu pendekatan fenomenologi. Dimana fenomenologi selalu
memandang suatu fenomena secara apa adanya tanpa menambahkan suatu nilai
tertentu.
Secara sekilas istilah fenomenologi dapat diartikan sebagai suatu cara yang
dapat digunakan untuk melihat suatu fenomena atau objek. Bila dikaji lebih lanjut,

11
fenomenologi itu sendiri memiliki pengertian yaitu, salah satu pendekatan atau
disebut juga metode yang berfungsi untuk melihat, mengkaji, serta memahami
suatu fenomena. Sedangkan fenomena sendiri memiliki pengertian suatu gejala
atau objek yang real, nyata dan memang benar-benar nampak, sebagaimana yang
manusia alami di dunia ini. Objek tersebut haruslah nyata dan realistis yang
kemudian hadir dalam kesadaran diri manusia dan menjadi suatu pengalaman
sadar baginya. Dengan menyadari akan hadirnya sesuatu, manusia semakin yakin
bahwa dirinya memang benar-benar ada di dunia ini. Bukan sebagai objek
melainkan sebagai manusia yang berdiri sendiri dan dapat melihat serta
memahami suatu objek. Jadi dapat kita simpulkan bahwa fenomenologi adalah
suatu bentuk pemahaman manusia dengan cara mendeskripsikan pengalaman-
pengalaman manusia sebagaimana adanya.
Gejala-gejala yang akan diselidiki dan juga dipahami manusia haruslah
berupa suatu gejala yang murni dan asli serta suatu gejala yang memang langsung
dirasakan oleh manusia. Gejala-gejala tersebut tidak boleh berbaur dengan gejala
yang lain, yaitu yang tidak ada campur tangannya atau kaitannya dengan gejala
asli (yang tampak). Bahkan sebisa mungkin terlepas dari intervensi-intervensi
unsur kebudayaan dan juga kepercayaan. Sehingga tujuan dari fenomenologis
akan tercapai, yaitu realitasnya sendiri. Realitas yang dimaksud adalah gejala
pertama yang langsung, murni dan juga asli. Pada mulanya, apa yang disebut
dengan “realitasnya sendiri” tidak lain adalah realitas dalam arti yang
“sebenarnya”, yakni realitas yang bersifat obejektif (objek). Dalam hal ini Husserl
menyebutnya dengan “Wende zum Gegenstand” (kembali kepada objek). Namun,
dalam proses menggali sumber pada objek itu, ia menyadari akan dominasi subjek
dalam memberi bentuk dan nilai pada objek. Husserl menemukan fakta bahwa
sumber yang asli (realitasnya sendiri) bukan terdapat pada objek, melainkan pada
subjek, yang oleh Husserl disebut disebut “subjek transendental). Oleh sebab itu
kembali kepada objek pada akhirnya kembali menjadi kembali kepada subjek.
Realitas tidak begitu saja dapat manusia pahami secara langsung, namun
dibutuhkan beberapa tahapan untuk sampai pada realitas, diantaranya; tahap
intuisi, tahap analisis serta deskripsi atau realitas dan tahap analisis hasil

12
keseluruhan berupa deskripsi atau realitas fenomenologis. Pada tahap intuisi,
gejala muncul secara mendadak (tiba-tiba), langsung dan juga bersifat spontan
dari pemusatan perhatian manusia dari suatu gejala. Gejala-gejala tersebut
kemudian dianalisis unsur-unsurnya. Setelah dianalisis gejala tersebut
dideskripsikan, yaitu penjabaran dari apa yang manusia tangkap, apa yang
manusia ungkap serta apa yang manusia pahami dari intuisi dan analisis yang
dilakukan terhadap gejala.
Husserl dalam pandangannya menjelaskan bahwa untuk sampai pada suatu
gejala tidaklah mudah, namun menurutnya ada satu bentuk prosedur yang harus
dilalui manusia untuk mencapai suatu gejala. Perjuangannya untuk kembali pada
suatu yang benar (realitas), yakni kembali kepada sumber, kepada landasan awal,
kepada akar, atau kepada permulaan dari semua jenis dan pengetahuan yang
selama ini kita anggap benar. Prosedur yang telah diajukannya, yaitu reduksi
(menyimpan dalam tanda kurung). Yang dimaksud dengan reduksi sendiri adalah
tidak mengikutsertakan gejala-gejala yang tidak esensial (tidak penting) dalam
proses pemahaman yang manusia lakukan. Sebagai contoh, ketika seseorang
membaca koran (yang mana koran terdiri atas beberapa klasifikasi berdasar tema
pokoknya, misal Jawa Pos terdiri dari 3 bagian besar, yakni, Jawa Pos,
Metropolis, dan Sport), biasanya individu hanya akan membaca bagian yang
memang ingin diketahuinya saja, sehingga mengabaikan bagian-bagian lain yang
tidak relevan dengan apa yang ingin dibaca. Bukan berarti bagian-bagian yang
tidak dibacanya itu adalah hal yang tidak penting, sehingga walaupun luput dari
perhatian, kita tetap harus ‘menyimpannya’. Jadi gejala-gejala yang kurang
relevan tadi tidak dibuang begitu saja.
Dalam memahami manusia kita harus memandang secara utuh. Dengan
pandangan yang utuh tadi kita akan dapat mencapai tingkatan gejala murni. Tiga
langkah yang dianjurkan Husserl agar manusia sampai pada gejala murni, yaitu
reduksi fenomenologis, reduksi eiditis, dan reduksi transendental. Pada langkah
awal, yaitu reduksi fenomenologis, manusia menyimpan semua konsep yang
berkenaan dengan gejala yang diselidiki, jadi pusat perhatian manusia hanya
tertuju pada gejala-gejala murni atau gejala yang memang akan diselidiki. Sebagai

13
contoh, ketika manusia menangkap objek rumah, maka dalam pengamatan dan
juga pemahamannya, maka arti rumah adalah rumah itu sendiri dari gejala-gejala
atau fenomena yang tertangkap oleh indera kita, bukan rumah seperti yang
terdapat dalam konsep pemikiran kita bahwa rumah haruslah memiliki pintu,
jendela, tembok dan genteng.
Langkah kedua, yaitu reduksi eiditis, manusia menyimpan gejala-gejala yang
tidak berhubungan secara penting dengan gejala yang dimaksud ke dalam tanda-
tanda kurung. Seperti pembahasan Husserl di awal, bahwa gejala-gejala yang
kurang penting perlu dsimpan oleh manusia. Dapat diambil contoh dari contoh
sebelumnya, yaitu ketika manusia memahami rumah, maka dalam langkah reduksi
eiditis ini, maknanya adalah bahwa rumah tidak berdiri dengan sendirirnya,
namun terdapat beberapa bahan yang menjadikan rumah tersebut berdiri seperti
adanya. Misalnya, tembok-batu bata dari sebuah rumah berhubungan dengan
rumah itu, tetapi kita tahu bahwa banyak rumah yang temboknya tidak berasal
dari batu bata (misalnya dari bambu, batako, dan sebagainya) sehingga tembok-
batu bata tidak berhubungan secara esensial dengan rumah. Oleh sebab itu, dalam
mendeskripsikan rumah, misalnya perhatian kita tertuju hanya pada hal – hal
esensial sehingga kita bisa menangkap esensi (eidos) dari gejala rumah yang
dimaksud seperti misalnya rumah dengan fungsi identitas pemiliknya, dengan
sarana mengekspresikan diri para penghuninya, dengan makna histories dan
eksistensial bagi pemiliknya, dan lain-lain. Langkah selanjutnya, reduksi
transendental, yaitu, manusia bertindak sangat radikal, karena manusia harus
menyimpan konsep (yang ada pada reduksi fenomonologis) dan juga gejala-gejala
yang diamati (dalam reduksi eiditis). Jadi dapat dipahami bahwa reduksi
transendental merupakan gabungan antara reduksi fenmenolgis dan reduksi
eiditis.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa yang tersisa dari tiga langkah
reduksi di atas?. Kesadaran manusia dan aktivitas-akvitasnyalah yang tersisa.
Kesadaran manusia sendiri yang selanjunya menjadi kajian penyelidikan, yaitu
menjadi kajian dalam fenomenologis. Dalam penyelidikannya, Husserl
menemukan hasil atas gejala kesadaran, yaitu bahwa kesadaran pada hakekatnya

14
adalah suatu aktivitas mental yang tearah pada suatu objek yang disadari. Inti dari
kesadaran sendiri adalah intensionalitas, yaitu bergerak atau terarah pada sesuatu
yang disadari. Kesadaran merupakan gabungan antara tindakan yang menyadari
dengan objek yang disadari.
Psikologi Humanistik juga menggunakan pendekatan Eksistensialisme untuk
memahami manusia. Eksistensialisme merupakan suatu filsafat yang secara
khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan
menggunakan metode fenomenologi. Eksistensialisme adalah filsafat yang
memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Pada umumnya kata
eksistensi berarti keberadaan, tetapi dalam filsafat eksistensialisme ungkapan
eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di
dalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada
benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu berada
di samping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikianlah cara manusia berada.
Manusia berada bersama-sama dengan benda-benda tersebut. Benda-benda itu
menjadi berarti karena manusia. Di samping itu, manusia berada bersama-sama
dengan sesama manusia. Untuk membedakan kedua cara berada ini, di dalam
filsafat eksistensialisme dikatakan bahwa benda-benda “berada” sedangkan
manusia “bereksistensi”. Jadi, hanya manusialah yang bereksistensi.
Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan
dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu, kata eksistensi
diartikan manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia
sadar bahwa dirinya ada. (Harun Hadiwijono,1990 ; 148)
Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah
suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang terjelma dalam berbagai macam
sistem, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada juga ciri –
ciri yang sama, yang menjadikan sistem itu dapat dicap sebagai eksistensialisme.
Ciri yang dimiliki bersama itu di antaranya menurut Harun Hadiwijono (1990)
adalah sebagai berikut :
1. Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara
manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah

15
cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh
karena itu, bersifat humanistis.
2. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi
berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat,
menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari
keadaannya.
3. Di dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai
organisme yang terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang
masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia
sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesama manusia.
4. Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang
konkret, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda
– beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan
segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman – pengalaman yang bermacam
– macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan.

Eksistensi manusia adalah suatu proses yang dinamis, suatu ”menjadi” atau
”mengada”. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni existere, yang
arinya ”keluar dari”,”melampaui” atau ”mengatasi”dirinya sendiri. Jadi eksistensi
tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau fleksibel dan megalami
perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan
Eksistensialisme pertama kali dikemukakan oleh seorang filsuf Jerman
bernama Heidegger (1889-1976). Menurut Heidegger (1927; 1960), eksistensial
merupakan kajian filosofis untuk mengungkap gejala Ada (Sein), sebagaimana
mengekspresikan dirinya dalam eksistensi manusia (Dasein). Bereksistensi
menurut Heidegger disebut Dasein, dari kata da (di sana) dan sein (berada)
sehingga kata ini berarti berada di sana, yaitu di tempat. Manusia senantiasa
menempatkan diri di tengah – tengah dunia sekitanya sehingga ia terlibat dalam
alam sekitarnya dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama
dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda – benda, sebab manusia sadar
akan keberadaannya itu.

16
Para eksistensialis seperti Heidegger dan Merleau-Ponty menggunakan
reduksi fenomenologis dan eidetik untuk mengungkap eksistensi dan pengalaman,
tetapi mereka menolak reduksi transdental karena dinilai tidak realistik. Meski
demikian, mereka setuju dengan hasil reduksi transdental, yakni bahwa kesadaran
pada dasarnya adalah intensional dan dunia manusia pada dasarnya merupakan
hasil penciptaan (pemaknaan) manusia dan manusia hidup dalam dunia yang telah
”diciptakan” atau dimaknakannya itu (Lebenswelt).
Para eksistensialis sangat dekat dengan pemikiran Kierkegaard. Melalui
proses pemikiran yang panjang, Kierkegaard menemukan jawaban dari
pertanyaannya, ”Bagaimana caranya aku bisa menjadi seorang individu yang
autentik?” yakni bahwa ”aku” (manusia) bisa menjadi individu yang autentik, jika
memiliki gairah (passion), keterlibatan dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Tanpa memiliki hal-hal itu, ”aku” (manusia) hanya akan menjadi ”aku” (manusia)
yang tidak autentik, menjadi manusia massa, gerombolan manusia yang anonim.
Yang khas dari filsafat Kierkgaard adalah upayanya untuk menempatkan
subjektivitas atau pengalaman subjektif manusia sebagai faktor penting yang
harus diberi tempat dalam setiap kajian tentang manusia. Kierkegaard memandang
manusia adalah khas, sebagaimana tampak dari pengalaman sehari-hari yang
dialami. Pengungkapan manusia tidak bisa menggunakan metode positivistik,
melainkan metode kualitatif, yang menghargai keberadaan manusia sebagai
makhluk subjektif. Kedekatan pemikiran ini disebabakan oleh ketertarikan yang
sama pada masalah eksistensi, subjektivitas, keautentikan hidup dan pengalaman
manusia. Yang membedakan eksistensialisme dari pemikiran Kierkgaard adalah
penggunaan metode fenomenologi, sedangkan Kierkgaard tidak.
Menurut Binswanger (dalam May,1961), analisis eksistensial adalah kajian
psikologis untuk mengungkap eksistensi manusia pada taraf empiris. Kajian ini
sangat bermanfaat bukan hanya untuk memahami gejala eksistensi manusia secara
mendalam (fungsi teoritis), tetapi juga untuk praktik teurapitis yang dilakukan
oleh psikiater dan psikolog klinis terhadap pasien – pasien yang mengalami
gangguan patologis (fungsi aplikatif).

17
Untuk lebih memahami manusia dalam dimensi kesadarannya, psikologi
banyak menggunakan analisis eksistensial pada tingkat empiris (ilmiah), bukan
filosofis. Meski demikian, analisis eksistensial berbeda dengan metode penelitian
pada umumnya yang bercorak kuantitatif , atau yang lebih menekankan pada
perhitungan statistik atau pendekatan medis. Pendekatan eksistensial lebih
menekankan pada pendekatan intersubjektif dimana analisis eksistensial
berasumsi bahwa manusia, yang menjadi subjek kajian analisisnya, merupakan
makhluk yang tidak bisa direduksikan atau disubordinasikan pada angka – angaka
(statistik) dan pengukuran fisik-mekanistik (biologi) saja, karena dalam dirinya
terkandung makna atau nilai personal yang tidak bisa dikuantifikasi dan tidak bisa
dijelaskan secara biologis. Manusia bukan hanya dilihat sebagai manusia, karena
dalam diri manusia terdapat ”aku” atau self. Dengan perkataan lain, ada unsur –
unsur subjektif pada manusia yang harus didekati bukan secara ”objektif”,
melainkan secara intersubjektif.
Fenomenologi-eksistensial adalah suatu filsafat yang merupakan gabungan
dari fenomenologi dan eksistensialisme. Eksistensialisme adalah aliran filsafat
yang berusaha memahami kondisi manusia sebagai mana memanifestasikan
dirinya di dalam situasi-situasi konkret. Kondisi manusia yang dimaksud bukan
hanya berupa ciri-ciri fisiknya (misalnya tubuh orang dan tempat tinggalnya)
tetapi juga seluruh momen yang hadir pada saat itu (misalnya perasaan senangnya,
absurditasnya, kecemasannya, kegelisahannya, kebebasnnya, dan banyak lagi
gejala eksistensial lainnya).
Jika fenomenologi dan eksistensialisme digabungkan, maka jadilah
fenomenologi-eksistensial. Fenomenoligi-eksistensial merupakan disiplin filsafat
yang berusaha memahami peristiwa-peristiwa eksistensi manusia dalam suatu cara
yang bebas dari asumsi-asumsi budaya warisan nenek moyang, baik yang berasal
dari dualisme dalam filsaat (jiwa dan tubuh) dan dalam psikologi (perilaku dan
pengalaman), maupun dari saintisme dan positivisme. Jika diterapkan pada gejala-
gejala psikologis manusia, maka fenomenologi-eksistensial menjadi psikologi
fenomenologi eksistensial. Sebagai suatu disiplin psikologi. Ia berusaha untuk
mengungkap atau mengekplisitkan esensi, styktur, atau bentuk baik

18
pengalaman ,maupun perilaku manusia melalui teknik deskriptif, termasuk
refleksi yang terdisiplinkan.
Kajian Psikologi Humanistik yang optimitis berpendapat bahwa kunci dari
pemahaman tentang manusia sebagai individu adalah memahami dimensi
kesadarannya. Pemahaman tersebut harus disertai dengan pendekatan penelitian
dan kajian yang bersifat holistik, yang salah satunya ditunjukkan oleh pendekatan
fenomenologi. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah pemahaman akan
manusia dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan yang holistik sesuai
dengan harapan Psikologi Humanistik?
Titik tolak Pendekatan humanistik adalah memahami manusia dari dimensi
kesadarannya. Pandangan humanistik sangat berbeda dari psikoanalisis dan
behavioris yang memandang manusia dari dimensi ketidaksadaran-instingtual dan
determinasi lingkungan-proses pembelajaran. Humanistik memandang manusia
sebagai pribadi yang utuh, dimana manusia sadar akan segala tindakan yang
dilakukannya. Manusia berespon karena kesadaran dirinya, atas otonomi dirinya.
Humanistik mencoba memahami dan menghargai setiap keunikan dari manusia,
memahami manusia dengan semua kelebihan yang dimilikinya dan menghargai
keterbatasannya. Humanistik lebih menyoroti pada bagaimana individu bisa
mengeksplor dirinya, mengkonstruksikan dunianya dan menghargai cara pandang
individu yang berbeda-beda antara individu satu dengan individu lain. Ketika
humanistik berbicara tentang kesadaran, keunikan dan keutuhan manusia, maka
humanistik meninggalkan reduksionisme dan lebih mengarah pada kajian yang
bersifat holistik, yang diharapkan bisa benar-benar memahami manusia tanpa
mereduksinya dalam bagian-bagian yang sederhana.
Kesadaran manusia tidak hanya terpusat pada kesadaran dirinya sendiri
akan keberadaannya di dunia, tetapi juga mengenai kesadaran diri kita bahwa
orang lain juga memiliki kesadaran dan kesadaran penuh dengan dirinya dalam
konteks hubungan dengan orang lain. Kesadaran diri merupakan kapasitas
dinamis yang memungkinkan manusia hidup sebagai pribadi dalam pengertian
sesungguhnya, yaitu pribadi yang utuh dan penuh. Semakin tinggi kesadaran
seseorang, maka akan semakin utuh pribadi orang tersebut. Kesadaran diri

19
bukanlah sesuatu yang sudah terbentuk secara otomatis, melainkan terjadi proses
atau dinamisasi psikologis seseorang.
Humanistik lebih menekankan pada proses manusia menuju kebahagiaan.
Demi pencapaian kebahagiaan tersebut, manusia selalu berproses dan selalu
mengalami perubahan dan perkembangan. Bagaimana individu (manusia) berada
dalam suatu proses dapat dijelaskan secara singkat, yang diawali dari personal
growth yang bermula dari tingkat kesadaran reflektif yang mengarah pada tingkat
eksistensi diri. Dalam berproses tersebut, manusia ingin mencapai kepada
Human-being dan ingin menemukan makna hidup yang sesungguhnya. Untuk
mencapai tujuan tersebut, manusia memerlukan peran self, dimana pada self
terkandung schema dan nilai (value) yang mejadi kontrol dalam kehidupannya
dan mengarahkan pada tujuan mencari makna hidup. Makna inilah yang menjadi
dasar perilaku manusia.
Dari apa yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat kita lihat bahwa
Psikologi Humanistik yang menganut pandangan eksistensialisme dengan
pendekatan fenomenologis mampu memberikan pemahaman yang utuh dan apa
adanya manusia tersebut. Hal ini dapat dilihat dari eksistensialisme yang
menekankan bahwa manusia dikatakan eksis bila dirinya mampu memiliki
kesadaran diri (self-consciousness). Untuk dapat memahami self-consciousness,
manusia harus dipandang secara holistik. Hal tersebut dapat dicapai dengan
menggunakan pendekatan Fenomenologi. Dimana Fenomenologi merupakan
salah satu pendekatan yang bisa membantu kita untuk mendekati gejala
sebagaimana kita menghayati, menghidupi, atau mengalami gejala secara
sebenarnya. Karena pendekatan ini sangat ’pas’ dengan eksistensialisme, maka
pendekatan fenomenologis sendiri dapat menjadi pelengkap dan penyempurna
eksistensialisme.
Memahami manusia dalam kerangka eksistensialisme dapat membuat kita
mampu memandang aspek-aspek tertentu dari manusia atau individu tanpa
membuat kita ‘buta’ akan keutuhan individu tersebut. Misalnya seandainya kita
memandang seseorang, kita dapat melihat bahwa orang tersebut cantik, pintar dan
lain-lain, tetapi pandangan kita tidak hanya terbatas sampai di situ saja, kita juga

20
melihat hal-hal lain dalam diri individu. Dengan demikian kita dapat memandang
aspek tertentu dari individu tanpa mereduksi individu tersebut. Cara yang
demikian dapat digunakan dalam mencari solusi tertentu atas masalah tertentu dari
individu. Seperti yang dicontohkan oleh Cindy S. Spillers dalam artikelnya, yang
menekankan pentingnya kerangka yang demikian dalam menganalisa kebutuhan
seorang klien ketika melakukan konseling. Sehingga klien dapat menemukan apa
masalahnya dan bagaimana solusi terbaik untuk mengatasi masalahnya.
Pemahaman yang demikian nampaknya hingga saat ini masih belum dapat
diterapkan sepenuhnya. Hal ini dapat dimaklumi karena ibarat peribahasa
mengatakan ’tak ada gading yang tak retak’ dan tak ada sesuatu yang sempurna di
dunia ini. Meskipun pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa
pendekatan fenomenologis dan eksistensialis merupakan salah satu pendekatan
yang paling sesuai dengan harapan Psikologi Humanistik yang ingin memandang
manusia seutuhnya, namun bagaimanapun juga manusia hidup di dunia ini juga
sebagai seorang individu (selain sebagai makhluk sosial), sehingga sangat
mungkin bila manusia akan memunculkan keindividualan tersebut. Dan dalam
Psikologi Humanistik pun keindividualan itu dipandang sebagai keunikan dari
setiap manusia. Dengan bermacam-macam subjektivitas tersebut, kita dapat
menyimpulkan bahwa setiap manusia itu berbeda, bahkan sepasang kembar
identik sekalipun.
Pemahaman manusia melalui pendekatan yang holistik, baik dari
fenomenologis maupun eksistensial, memang bisa dikatakan hampir sempurna
dalam memahami manusia, tetapi pasti tetap ada keterbatasannya. Manusia adalah
makhluk yang sangat-sangat kompleks dimana masih banyak sekali ’rahasia-
rahasia’ tentang manusia yang belum terungkap, jadi hingga saat ini belum ada
yang benar-benar sempurna dalam memahami manusia. Cara yang bisa kita
lakukan untuk memahami manusia saat ini adalah dengan menggabungkan
kebaikan dan kelebihan dari berbagai pendekatan yang sudah ada. Mulai dari
psikoanalisis, behaviorisme, humanistik, holistik, fenomenologis dan
eksistensialisme. Menurut kami, manusia tidak bisa dipahami secara sempurna
dan benar-benar melihat secara holistik, karena ketika kita mencoba untuk

21
memahami manusia, sebenarnya kita telah mereduksinya dalam pemahaman kita.
Hal ini terjadi karena diri kita sebagai manusia memiliki keterbatasan tertentu
yang tidak bisa benar-benar mampu untuk menangkap fenomena dan
menjelaskannya secara murni. Manusia pasti tetap memasukkan persepsi dan
interpretasi serta pengalamannya ketika melihat suatu fenomena dan manusia juga
terkungkung dalam bahasa yang merupakan suatu second expression yang tidak
bisa menjelaskan suatu fenomena secara tuntas dan seringkali manusia
terperangkap dalam dominasi indera penglihatannya tanpa memfungsikan indra
lainnya, apalagi dalam kajian ini yang coba kita pahami adalah manusia yang
notabene merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.

22

Anda mungkin juga menyukai