Nilai dan Sistem Nilai Dalam berbahasa sehari-hari sering kali kita mendengar atau membaca kata penilaian, yang kata-asalnya adalah nilai. Nilai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sifat- sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Nilai (value) juga biasa diartikan sebagai harga, penghargaan, atau taksiran. Maksudnya adalah harga yang melekat pada sesuatu atau penghargaan terhadap sesuatu. Bambang Daroeso (1986) mengemukakan bahwa nilai adalah suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu, yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang. Nilai pada dasarnya disebut sebagai standar penuntun dalam menentukan sesuatu itu baik, indah, berharga atau tidak. Suatu nilai apabila sudah membudaya didalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkahlaku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari hari, misalnya nilai dalam budaya gotong royong, budaya malas, dan lain lain. Jadi, secara universal, nilai merupakan kumpulan sikap perasan ataupun anggapan terhadap sesuatu hal mengenai baik buruk, benar salah, patut tidak patut, mulia hina, penting tidak penting bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu (Fraenkel, 1977). Berkaitan dengan objek dan luaran prilakunya, nilai dikategorikan menjadi beberapa jenis, diantaranya: nilai etika yang merupakan nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran. Nilai ini berkaitan dengan benar atau salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat; nilai estetika atau nilai keindahan sering dikaitkan dengan benda, orang dan peristiwa yang dapat menyenangkan hati (perasaan); nilai agama yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan, kaitannya dengan pelaksanaan perintah dan larangannya. Terakhir, adalah nilai yang bekaitan dengan kehidupan bermasyarakat yaitu nilai sosial. Nilai umumnya tidak hanya berlaku dalam individu tapi berkembang dan berlaku secara kolektif dalam satuan masyarakat, nilai ini dikatakan bersifat nilai sosial. Nilai sosial merupakan petunjuk petunjuk umum yang telah berlangsung lama dalam suatu komunitas yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari hari (Woods, ___). Dalam pelaksanaannya nilai-nilai sosial yang berlaku dalam komunitas saling bersatu membentuk sebuah sistem yang berkaitan, yang dikenal dengan istilah sistem nilai. Sistem nilai yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat itu dikonsepsikan dengan suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat disebut sebagai pranata sosial (Koentjaraningrat, 1985).
Latar Belakang, Perkembangan dan Fungsi Nilai dalam Komunitas Nilai awalnya terbentuk dari pengalaman dan pemaknaan atas suatu fenomena atau objek, fenomena atau objek tersebut pada awalnya dikaitkan dengan kepercayaan dan mitos yang berkembang dalam komunitas tersebut yang lama kelamaan akan dikaitkan dengan logika yang kemudian berkembang menjadi nilai yang lebih universal. Nilai pula dapat terbentuk dari perbuatan alami yang berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama, sehingga kemudian timbul pengakuan dan persamaan persepsi dalam komunitas. Nilai dan sistem nilai tersebut kemudian disosialisasikan baik dalam lingkungan keluarga maupun dilingkungan sekitarnya melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 1985). Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara, alat, dan tujuan kehidupan. Nilai dan sistem nilai yang saat ini berlaku tetap bertahan karena adanya kebutuhan pokok masyarakat yang memerlukan seperangkat ukuran untuk suatu suatu situasi kehidupan sosial. Ukuran tersebut harus ada sebagai kesepakatan tidak tertulis untuk menyelesaikan perselisihan/ perbedaan pendapat sekaligus untuk membuat kesepakatan terhadap suatu objek atau fenomena dengan menyebutnya berharga-tidak berharga, baik-tidak baik, dibolehkan- dilarang dan lainnya. Berdasarkan nilai yang cenderung abstrak inilah dinamika kehidupan masyarakat berlangsung dengan terarah dan stabil. Dalam kaitannya dengan kehidupan, nilai yang berkembang dalam masyarakat sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan dan pola adaptasi masyarakat terhadap lingkungan tempat hidupnya. Dikatakan bahwa sistem nilai sosial yang langgeng akan menjadi sistem nilai budaya. Secara umum setiap kebudayaan akan memiliki sistem nilai yang berbeda dalam kaitannya dengan suprastruktur kebudayaan tersebut (Teori Cultural Materialism Harris, 1979) namun kedekatan geografis dan tingginya laju imigrasi antara dua daerah dapat menyebabkan nilai-nilai yang berlaku di daerah tersebut mirip. Salah satu kebudayaan yang memiliki nilai nyaris universal di Indonesia adalah kebudayaan di daerah pedesaan.
Nilai dan Sistem Nilai di Komunitas Pedesaan Pendekatan yang sesuai dengan kondisi pedesaan Indonesia adalah definisi yang dikeluarkan oleh Bintaro. Pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat antarwarga desa, yaitu perasaan setiap warga atau anggota masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, seorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau anggota masyarakat, perasaan batin yang kuat inilah yang menyebabkan nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat desa jauh lebih jelas ada dan terlihat dibandingkan dengan masyarakat yang sisi individualitasnya sudah lebih tinggi. Selain dari ikatan yang masih sangat kuat, ciri lain dari komunitas desa dalah terdapatnya homogenitas terutama dalam bidang mata pencaharian dan ekonomi, di Indonesia sendiri secara umum terdapat desa dengan mayoritas petani dan nelayan, Adapun pekerjaan yang bukan pertanian atau nelayan merupakan pekerjaan komplementer sebagai pengisi waktu luang. Berdasarkan homogenitas ini, nilai yang dianut oleh komunitas desa lebih mudah dijabarkan, nilai ini berupa petuah dari tetua desa yang diteruskan ke para orang tua hingga keturunannya. Nilai yang berlaku di kehidupan desa umumnya adalah nilai sosial dan nilai religious atau spiritual, sehingga setiap tindakan dan aktivitas akan direfleksikan terhadap keduanya. Cotoh yang paling nyata dari nilai yang berlaku dapat terlihat pada komunitas pedesaan yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Kehidupan sehari-hari penduduk didasarkan pada nilai yang berlaku secara individu maupun kelompok, nilai yang berlaku sebagian besar akan sama dalam komunitas desa petani lainnya. Nilai-nilai dominan yang terdapat dalam masyarakat pedesaan antara lain: 1. Nilai Pelestarian dan Kecintaan terhadap Alam Masyarakat pedesaan berhubungan kuat dengan alam, disebabkan oleh lokasi geografi dan kebergantungan hidupnya terhadap alam. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan-kepercayaan dan hukum-hukum alam, seperti dalam pola berpikir dan falsafah hidupnya yang menyebabkan terdapat nilai kesadaran pelestarian alam dan perasaan ingin melindungi keseimbangan yang ada. Nilai ini diimplementasikan dalam kehidupan seperti keengganan untuk menebang pohon secara sembarangan, kebijaksanaan dalam pengelolaan air dan tindakan lainnya. 2. Nilai Empati, Kekeluargaan dan Kebersamaan Masyarakat pedesaan jumlahnya cenderung tidak terlalu banyak dengan kesejahteraan terbatas sehingga tingkat mobilitas sosialnya rendah. Demikian pula kontak melalui radio, televisi, majalah, poster, koran, dan media-media lain. Di desa kontak sosial lebih banyak melalui tatap muka, ramah-tamah (informal) dan pribadi. Keterbatasan mobilitas sosial menimbulkan nilai kekeluargaan antara warga di pedesaan yang erat sehingga kepatutan yang diakui oleh semua individu adalah keharusan untuk saling membantu, menganggap sebagai satu kesatuan keluarga sehingga nilai kebersamaan sangat terasa. Selain itu nilai kekeluargaan mengarahkan adanya rasa setara sehingga semua elemen komunitas merasa sejajar sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih. 3. Nilai Kesetiakawanan Sosial Kesetiakawanan sosial (social solidarity) atau kepaduan dan kesatuan, pada masyarakat pedesaan merupakan akibat dari homogenitas, persamaan dalam pengalaman, tujuan yang sama, dimana bagian dari masyarakat pedesaan hubungan pribadinya bersifat informal dan tidak bersifat kontrak sosial (perjanjian). Pada masyarakat pedesaan ada kegiatan tolong-menolong, gotong-royong dan musyawarah yang pada saat sekarang masih banyak dirasakan. Nilai kesetiakawanan sosial ini masih sangat terasa di kalangan petani karena keterkaitan dengan pengelolaan lahan dan pembagian sumberdaya, tanpa adanya nilai kesetiakawanan akan berpotensi memunculkan konflik dan penurunan hasil produksi. Nilai kesetiakawanan sosial diaplikasikan dalam kehidupan melalui aktivitas gotong-royong dan tolong menolong yang masih kental dalam kehidupan komunitas desa. Gotong royong dan tolong menolong mempunyai pengertian yang berbeda. Seperti dikemukakan Bung Karno gotong royong lebih pada bentuk kerja bakti yaitu mengerjakan suatu pekerjaan untuk kepentingan bersama (dalam Marzali, 2005). Tolong menolong, yaitu saling membantu baik berupa pinjam meminjam alat maupun dalam bentuk jasa. Tolong menolong dibidang pertanian, dalam bentuk sistem pengerahan tenaga kerja dalam pengolahan lahan, penanaman dan penanaman yang memerlukan tenaga kerja tambahan dari luar anggota keluarga. Sistem ini dimaksudkan untuk mengisi kekurangan tenaga kerja pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam di sawah. Kerjasama seperti ini tidak ada kompensasi, tetapi dilakukan dengan balas jasa. Jadi tolong menolong suatu bentuk kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau secara individual bukan untuk kepentingan bersama, melainkan untuk kepentingan perseorangan. Nilai-nilai dominan yang berlaku di pedesaan tadi dapat berkembang dan saling berkaitan membentuk suatu sistem nilai. Sistem nilai yang dianut suatu masyarakat kemudian diwujudkan dalam suatu kegiatan baik untuk kepentingan individual maupun kepentingan kolektif. Kegiatan-kegiatan yang merupakan konsepsi dari nilai yang berlaku tersebut dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga merupakan suatu aktivitas-aktivitas yang terlembagakan (Suwartapradja, 2005). Sebagai contoh kongkrit pelembagaan dari nilai pada sistem nilai yang berkembang manjadi sebuah pranata adalah sistem Subak di Bali yang mengacu pada sistem nilai dan kepercayaan Tri Hita Karana. Pranata subak tersebut merapkan suatu sistem nilai yang terdiri atas nilai-nilai dominan yang tadi telah disampaikan ditambah nilai spiritual dalam kaitannya dengan kepercayaan hindu setempat. Nilai dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat pedesaan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang perlu dipertahankan karena keluhuran nilai ideal yang dianut. Namun di sisi lain terkadang dari sistem nilai yang berlaku dapat menjadikan masyarakat petani memiliki mental-mental yang kurang mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia, misalnya seseorang selalu berusaha untuk tidak menonjol melebihi yang lain dalam masyarakat. Dari sinilah yang membuat masyarakat petani kurang berinisiatif untuk mencoba membuat inovasi-inovasi baru ataupun mencoba merencanakan sesuatu yang lebih dari sekedar memikirkan hari ini saja. Selain itu, nilai dan kepercayaan akan takhayul juga pemikiran religio-magis yang masih kuat juga menjadi faktor mental yang kurang mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia. Referensi: Abdulkadir, Muhammad. 2008. Ilmu Sosial Budaya Dasar. PT Citra Aditya Bakti, Bandar Lampung. Ahmadi, Abu, Drs. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineke Cipta. Boedhi santoso, Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan , Lokakarya Penyusunan Kumpulan Minimal Peragaan Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar Universitas Brawijaya, Malang 21-27 Januari 1985. Daroeso, Bambang. 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Aneka Ilmu, Semarang. Fraenkel, Jack, R. 1977. How to teach about Values: An Analytic Approach. Practice Hall, Inc., New Jersey. Harris, Marvin. (1979). Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. Random House, New York. Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Gramedia, Jakarta. Koentjaraningrat, 1985, Pokok-pokok Antropologi Sosial. Aksara Baru, Jakarta. Marwanto, 12 November 2006. Jangan bunuh desa kami. Jakarta:Kompas Marzali, Amri. 2005, Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Kencana, Jakarta. Pranadji, Tri. 2010. Perspektif Perkembangan Nilai-nilai Sosial Budaya Bangsa. [Online] http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART02-4a.pdf , 9 Juli 2014 Suwartapradja, Opan S,. 2005. Pranata Sosial Dalam Pertanian (Studi Tentang Pengetahuan Lokal Pada Masyarakat Petani Di Jawa Barat). PPSDAL, LP-UNPAD, Bandung.