Anda di halaman 1dari 57

TUGAS UJIAN

Disusun oleh :
Mila Widyastuti (030.08.162)






KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PERIODE 2 JUNI 2014 9 AGUSTUS 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


BTA

Mycobacterium tuberculosis pertama kali dideskripsikan pada tanggal 24 Maret 1882
oleh Robert Koch. Maka untuk mengenang jasa beliau, bakteri tersebut diberi nama baksil
Koch. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri penyebab penyakit tuberkulosa (TBC).
Bahkan penyakit TBC pada paru-paru pun dikenal juga sebagai Koch Pulmonum (KP). Besar
bakteri ini tergantung pada kondisi lingkungan. Mycobacterium tuberculosis tidak dapat
diklasifikasikan sebagai bakteri gram positif atau bakteri gram negatif, karena apabila
diwarnai sekali dengan zat warna basa, warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan
alkohol, meskipun dibubuhi iodium. Oleh sebab itu bakteri ini termasuk dalam bakteri tahan
asam.
1

Mycobacterium tuberculosis cenderung lebih resisten terhadap faktor kimia seperti
phenol 5%, asam sulfat 15%, asam sitrat 3% dan NaOH 4% dari pada bakteri yang lain
karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan pertumbuhan bergerombol.
(1,2)

a) Morfologi
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau agak bengkok dengan ukuran
0,2-0,4 x 1-4 um. Pewarnaan Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk identifikasi bakteri tahan
asam.
(1,2)
b) Penanaman.
Kuman ini tumbuh lambat, koloni tampak setelah lebih kurang 2 minggu bahkan
kadangkadang setelah 6-8 minggu. Suhu optimum 37C, tidak tumbuh pada suhu 25C atau
lebih dari 40C. Medium padat yang biasa dipergunakan adalah Lowenstein Jensen. PH
optimum 6,4-7,0.
(1,2)
c) Sifat-sifat.
Mycobacterium tidak tahan panas, akan mati pada 6C selama 15-20 menit. Biakan
dapat mati jika terkena sinar matahari lansung selama 2 jam. Dalam dahak dapat bertahan 20-
30 jam. Basil yang berada dalam percikan bahan dapat bertahan hidup 8-10 hari. Biakan basil
ini dalam suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat disimpan dalam lemari dengan suhu
20C selama 2 tahun. Basil ini dihancurkan oleh jodium tinctur dalam 5 minit, dengan
alkohol 80 % akan hancur dalam 2-10 menit.
(1,2,3)


d) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.
(1,2,3,4,5)

Pemeriksaan dahak dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Pengumpulan Dahak
(2,5)
Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan perlu diperhatikan waktu pengambilan,
tempat penampungan, waktu penyimpanan dan cara pengiriman bahan pemeriksaan.
Spesimen dahak dikumpulkan atau ditampung dalam pot dahak bermulut lebar,
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor yang
telah diberi label atau nomor urut sediaan dahak.
(2)
Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS), yaitu sebagai berikut:

a. S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB paru datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi
pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.
Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
c. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Jika pasien sulit membuang dahaknya maka edukasi yang diberikan:
1. Memperbanyak asupan cairan.
2. Kumpulkan sputum sebelum makan dan hindari kemungkinan muntah karena batuk.
3. Instruksikan ntuk berkumur dengan air sebelum mengumpulkan spesimen untuk
mengurangi kontaminasi sputum.
Pada pemeriksaan laboratorium tuberkulosis ada beberapa macam bahan pemeriksaan
yaitu:
2
Sputum(dahak), harus benar-benar dahak, bukan ingus juga bukan ludah. Paling baik
adalah sputum pagi hari pertama kali keluar. Kalau sukar dapat sputum yang dikumpulkan
selama 24 jam (tidak lebih 10 ml). Tidak dianjurkan sputum yang dikeluarkan ditempat
pemeriksaan.
Air Kemih, Urin pagi hari, pertama kali keluar, merupakan urin pancaran tengah.
Sebaiknya urin kateter.
Air kuras lambung, Umumnya anak-anak atau penderita yang tidak dapat mengeluarkan
dahak. Tujuan dari kuras lambung untuk mendapatkan dahak yang tertelan. Dilakukan pagi
hari sebelum makan dan harus cepat dikerjakan.
Bahan-bahan lain, misalnya nanah, cairan cerebrospinal, cairan pleura, dan usapan
tenggorokan.

2. Pemberian Nomor Identitas Sediaan
2
a. Kaca sediaan dipengang pada kedua sisinya untuk menghindari sidik jari pada badan
sediaan.
b. Setiap kaca sediaan diberi nomor identitas sesuai dengan identitas pada pot dahak dengan
menggunakan spidol permanen atau pensil kaca.
c. Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk mencegah kemungkinan tertukarnya
sediaan.

3. Pembuatan Preparat
Pilih bagian dahak yang kental, warna kuning kehijauan, ada pus, darah atau ada
perkejuan. Ambil sedikit bagian tersebut dengan menggunakan ose yang sebelumnya dibakar
dulu sampai pijar, kemudian didinginkan. Ratakan diatas kaca obyek dengan ukuran 2-3 cm.
Hapusan sputum yang dibuat jangan terlalu tebal atau tipis. Keringkan dalam suhu kamar.
Ose sebelum dibakar dicelupkan dulu kedalam botol berisi campuran alkohol 70% dan pasir
dengan perbandingan 2 : 1 dengan tujuan untuk melepaskan partikel yang melekat pada ose
(untuk mencegah terjadinya percikan atau aerosol pada waktu ose dibakar yang dapat
menularkan bakteri tuberculosis). Rekatkan/ fiksasi dengan cara melakukan melewatkan
preparat diatas lidah api dengan cepat sebanyak 3 kali selama 3-5 detik. Setelah itu sediaan
langsung diwarnai dengan pewarna Ziehl Neelsen.
(1,5)

4. Pembuatan Ziehl Neelsen
Pada dasarnya prinsip pewarnaan Mycobacterium yang dinding selnya tahan asam
karena mempunyai lapisan lemah atau lilin sehingga sukar ditembus cat. Oleh pengaruh
phenol dan pemanasan maka lapisan lemak dapat ditembus cat basic fuchsin. Pada
pengecatan Ziehl Neelsen setelah BTA mengambil warna dari basic fuchshin kemudian
dicuci dengan air mengalir, lapisan lilin yang terbuka pada waktu dipanaskan akan merapat
kembali karena terjadi pendinginan pada waktudicuci. Sewaktu dituang dengan asam sulfat
dan alkohol 70% atau HCI alkohol, warna merah dari basic fuchsin pada BTA tidak akan
dilepas/ luntur. Bakteri yang tidak tahan asam akan melepaskan warna merah, sehingga
menjadi pucat atau tidak bewarna. Akhirnya pada waktu dicat dengan Methylien Blue BTA
tidak mengambil warna biru dan tetap merah, sedangkan bakteri yang tidak tahan asam akan
mengambil warna biru dari Methylien Blue.
(1,5)

5. Cara Pengecatan Basil Tahan Asam
Letakkan sediaan diatas rak pewarna, kemudian tuang larutan Carbol Fuchsin sampai
menutupi seluruh sediaan. Panasi sediaan secara hati-hati diatas api selama 3 menit sampai
keluar uap, tetapi jangan sampai mendidih. Biarkan selama 5 menit (dengan memakai pinset).
Cuci dengan air mengalir, tuang HCLalkohol 3%(alcohol asam) sampai warna merah dari
fuchsin hilang. Tunggu 2 menit. Cuci dengan air mengalir, tuangkan larutan Methylen Blue
0,1% tunggu 10-20 detik. Cuci dengan air mengalir, keringkan di rak pengering.
(1,4,5)

6. Cara Melakukan Pemeriksaan dengan Mikroskop
Setelah preparat terwarnai dan kering, dilap bagian bawahnya dengan kertas tissue,
kemudian sediaan ditetesi minyak imersi dengan 1 tetes diatas sediaan. Sediaan dibaca
mikroskop dengan perbesaran kuat. Pemeriksaan dimulai dari ujung kiri dan digeser ke kanan
kemudian digeser kembali ke kiri (pemeriksaan system benteng). Diperiksa 100 lapang
pandang (kurang lebih 10 menit). Pembacaan dilakukan secara sistematika, dan setiap lapang
pandang dilihat, bakteri Mycobacterium tuberculosis berwarna merah berbentuk batang lurus
atau bengkok, terpisah, berpasangan atau berkelompok dengan latar belakang biru.
(4,5)

7. Pelaporan Hasil
Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan menggunakan skala
International Union Against Tuberculosis (IUAT) yaitu dalam 100 lapang pandang tidak
ditemukan BTA disebut negatif, namun jika ditemukan :
(1,4)
1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif
2. 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah bakteri yang ditemukan
3. 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + atau (1+)
4. 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ atau (2+)
5. > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ atau (3+)
Penulisan gradasi hasil bacaan penting, untuk menunjuk keparahan penyakit dan tingkat
penularan penderita.

EPIDEMIOLOGI
Surveilans
Surveilans adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terusmenerus dan
sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang
bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
1
Surveilans
memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan
memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya
surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat
dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit.
6

Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi
pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu
diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen
penting untuk mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika
penyakit mulai menyebar.
7

Tujuan khusus surveilans:
(7,8,9)
(1) Memonitor kecenderungan (trends) Penyakit
(2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak
(3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada
populasi
(4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi,
monitoring,
dan evaluasi program kesehatan
(5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan
(6) Mengidentifikasi kebutuhan riset
Dikenal beberapa jenis surveilans:
(1) Surveilans individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-
individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar,
tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi
institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat
tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
6
(2) Surveilans penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus
terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan
sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta
data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan
individu. Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa
dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak
terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya.
6
(3) Surveilans sindromik

Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing
penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan
individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans
sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-
gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber,
sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
7
(4) Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboratorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor
penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti
salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri
tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap
daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik.
1
(5) Surveilans terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan
surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah
pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan
personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan
untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap
memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakitpenyakit tertentu.
(8,9)
(6) Surveilans kesehatan masyarakat global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan
binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara.
Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara
maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi)
khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang
manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional
untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas
negara.
6


Case Finding
Case finding adalah penelusuran terhadap kasus yang ada untuk mencari sumber
penularan dan penderita baru. Hal ini merupakan bagian dari penanggulangan wabah. Dua
macam pencarian kasus, yaitu secara aktif, petugas terjun langsung ke masyarakat untuk
mencari sumber penularan atau kasus. Metode yang digunakan ada dua yaitu menelusur ke
belakang dan ke depan. Pada pencarian pasif, petugas mengumpulkan data dari fasilitas
pelayanan kesehatan, lalu dianalisa dan dilaporkan.
Active Case Finding (ACD) umumnya dilaksanakan dengan cara kunjungan dari rumah
ke rumah oleh petugas kesehatan biasanya setiap 1 dan 2 bulan. Semua rumah harus dapat
dikujungi dan dilakukan pemeriksaan terhadap adanya kemungkinan infeksi DBD. ACD ini
umumnya dilakukan di daerah non-endemis DBD. Umumnya di Indonesia, pencarian kasus
DBD menggunakan teknik Passive Case Finding (PCD). Pada teknik PCD si penderita
dengan gejala DBD datang ke Rumah Sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Poliklinik
untuk berobat, kemudian dilakukan pemeriksaan hingga didiagnosa penyakit DBD. PCD
biasanya diperuntukkan di daerah endemis.

Screening
Screening atau penyaringan kasus adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang
belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat
memisahkan antara orang yang mungkin menderita penyakit dengan orang yang mungkin
tidak menderita.
10
Tujuan screening
11
a. Deteksi dini penyakit tanpa gejala atau dengan gejala tidak khas terhadap orang-orang
yang tampak sehat, tetapi mungkin menderita penyakit, yaitu orang yang mempunyai
faktor resiko tinggi terkena penyakit (Population at Risk).
b. Dengan ditemukan penderita tanpa gejala dapat dilakukan pengobatan secara tuntas
sehingga tidak membahayakan dirinya atau lingkungan dan tidak menjadi sumber
penularan penyakit.

Proses pelaksanaan screening:
11
a. Tahap 1: melakukan pemeriksaan terhadap kelompok penduduk yang dianggap
mempunyai resiko tinggi menderita penyakit.
Apabila hasil negatif, dianggap orang tersebut tidak menderita penyakit.
Apabila hasil positif dilakukan pemeriksaan tahap 2
b. Tahap 2: pemeriksaan diagnostik.
Hasilnya positif maka dianggap sakit dan mendapat pengobatan
Hasilnya negatif maka dianggap tidak sakit (dilakukan pemeriksaan ulang)

Contoh screening
11
Mammografi untuk mendeteksi ca mammae
Pap smear untuk mendeteksi ca serviks
Pemeriksaan reduksi untuk mendeteksi DM
Pemeriksaan tekanan darah untuk mendeteksi hipertensi
Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi PJK

Wabah

Secara umum Wabah dapat diartikan sebagai kejadian penyakit melebihi dari normal
(kejadian yang biasa terjadi). Banyak definisi yang diberikan mengenai wabah baik kelompok
maupun para ahli diantaranya :
Wabah adalah penyakit menular yang terjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar
orang didaerah luas ( KBBI : 1989 ).
Wabah adalah peningkatan kejadian kesakitan atau kematian yang telah meluas secara
cepat, baik jumlah kasusnya maupun daerah terjangkit ( depkes RI, DirJen P2MPLP : 1981).
Wabah adalah kejadian terjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu
dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka ( UU RI No. 4 tahun 1984 ).
Wabah adalah terdapatnya penderita suatu penyakit tertentu pada penduduk suatu daerah,
yang nyata jelas melebihi jumlah biasa ( Benenson : 1985 )
Wabah adalah timbulnya kejadian dalam suatu masyarakat, dapat berupa penderita
penyakit, perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, atau kejadian lain yang berhubungan
dengan kesehatan yang jumlahnya lebih banyak dari keadaan biasa ( Last : 1981 )
Wabah penyakit menular adalah kejadian terjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan
yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan mala petaka (UU No.4,
1984)
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun
waktu tertentu (Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1989)
Tiga komponen wabah :
1. Kenaikan jumlah penduduk
2. Kelompok penduduk disuatu daerah
3. Waktu tertentu

Alasan melakukan penyelidikan adanya kemungkinan wabah :
Mengadakan penanggulangan dan pencegahan
12
a. Ganas tidaknya penyakit
b. Sumber dan cara penularan
c. Ada atau tidaknya
Kesempatan mengadakan penelitian dan pelatihan
Pertimbangan program
Kepentingan umum, politik, dan hukum
Wabah dapat digolongkan menjadi 2:
13

1. Common Source Epidemic adalah suatu letusan penyakit yang disebabkan oleh
terpaparnya sejumlah orang dalam suatu kelompok secara menyeluruh dan terjadi dalam
waktu yang relatif singkat. Adapun Common Source Epidemic itu berupa keterpaparan
umum, biasa pada letusan keracunan makanan, polusi kimia di udara terbuka,
menggambarkan satu puncak epidemi, jarak antara satu kasus dengan kasus, selanjutnya
hanya dalam hitungan jam,tidak ada angka serangan ke dua.
2. Propagated/Progresive Epidemic merupakan bentuk epidemi dengan penularan dari orang
ke orang sehingga waktu lebih lama dan masa tunas yang lebih lama pula. Propagated atau
progressive epidemic terjadi karena adanya penularan dari orang ke orang baik langsung
maupun melalui vector, relatif lama waktunya dan lama masa tunas, dipengaruhi oleh
kepadatan penduduk serta penyebaran anggota masya yang rentan serta morbilitas dari pddk
setempat, masa epidemi cukup lama dengan situasi peningkatan jumlah penderita dari waktu
ke waktu sampai pada batas minimal anggota masyarakat yang rentan, lebih memperlihatkan
penyebaran geografis yang sesuai dengan urutan generasi kasus.
Kriteria Kerja Wabah
13

Kepala wilayah / daerah setempat yang mengetahui adanya tersangka wabah (KJB
penyakit menular) diwilayahnya atau tersangka penderita penyakit yang dapat
menimbulkan wabah, wajib segera melakukan tindakan tindakan penanggulangan
seperlunya, dengan bantuan unit kesehatan setempat, agar tidak berkembang menjadi
wabah (UU No. 4 dan PerMenKes 560/ MenKes/ Per/ VIII/ 1989).
Penetapan wabah
Di Indonesia wabah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, Dinas Kesehatan
12
Langkah-langah Investigasi Wabah
Langkah melakukan investigsi wabah dilakukan dengan menggunakan pendekatan
yang sistemik yang terdiri dari :
13
1. Persiapan Investigasi di Lapangan
Persiapan dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu:
a. Investigasi : pengetahuan ilmiah perlengkapan dan alat
b. Administrasi: prosedur administrasi termasuk izin dan pengaturan perjalanan
c. Konsultasi : peran masing masing petugas yang turun kelapangan
2. Pemastian Adanya Wabah
13
Dalam menentukan apakah wabah, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dengan membandingkan jumlah yang ada saat itu dengan jumlah beberapa minggu
atau bulan sebelumnya.
b. Menentukan apakah jumlah kasus yang ada sudah melampaui jumlah yang
diharapkan.
c. Sumber informasi bervariasi bergantung pada situasinya
Catatan hasil surveilans
Catatan keluar dari rumah sakit, statistic kematian, register, dan lain-lain.
Bila data local tidak ada, dapat digunakan rate dari wilayah di dekatnya atau data
nasional.
Boleh juga dilaksanakan survey di masyarakat menentukan kondisi penyakit yang
biasanya ada.

d. Pseudo endemik (jumlah kasus yang dilaporkan belum tentu suatu wabah):
Perubahan cara pencatatan dan pelaporan penderita
Adanya cara diagnosis baru
Bertambahnya kesadaran penduduk untuk berobat
Adanya penyakit lain dengan gejala yang serupa
Bertambahnya jumlah penduduk yang rentan
3. Pemastian Diagnosis
Semua temuan secara klinis harus dapat memastikan diagnosis wabah, hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Untuk memastikan bahwa masalah tersebut telah didiagnosis dengan patut
b. Untuk menyingkirkan kesalahan laboraturium yang menyebabkan peningkatan
kasus yang dilaporkan
c. Semua temuan klinis harus disimpulakan dalam distribusi frekuensi
d. Kunjungan terhadap satu atau dua penderita

4. Pembuatan Definisi Kasus
Pembuatan definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah
seseorang harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh
waktu, tempat, dan orang. Penyelidikan sering membagi kasus menjadi pasti (
compirmed), mungkin ( probable), meragukan ( possible ), sensivitasdan spefsifitas.
5. Penemuan dan Penghitungan Kasus
Metoda untuk menemukan kasus yang harus sesuai dengan penyakit dan kejadian
yang diteliti di fasilitas kesehatan yang mampu memberikan diagnosis. Informasi
berikut ini dikumpulakan dari setiap kasus :
a) Data identifikasi ( nama, alamat, nomor telepon )
b) Data demografi ( umur, jenis kelamin, ras, dan pekerjaan )
c) Data klinis
d) Faktor risiko, yang harus dibuat khusus untuk tiap penyakit
e) Informasi pelapor untuk mendapatkan informasi tambahan atau memberi umpan
balik
6. Epidemiologi Deskriptif
a. Gambaran waktu berdasarkan waktu
Perjalanan wabah berdasarkan waktu digamabarkan dengan grafik histogram yang
berbentuk kurva epidemic, gambaran ini membantu :
1) Memberi informasi samapai dimana proses wabah itu dan bagaimana
kemungkinan kelanjutannya
2) Memperkirakan kapan pemaparan terjadi dan memusatkan penyelidikan pada
periode tersebut, bila telah diketahui penyakit dan masa inkubasinya.
3) Menarik kesimpulan tentang pola kejadian, dengan demikian mengetahui
apakah bersumber tunggal, ditularkan dari orang ke orang, atau campuran
keduanya.
Kemungkinan periode pemaparan dapat dilakukan dengan :
1) Mencari masa inkubasi terpanjang, terpendek, dan rata-rata
2) Menentukan puncak wabah atau kasus mediannya, dan menghitung mundur
satu masa inkubasi rata-rata
3) Dari kasus paling awal kejadian wabah, dihitung mundur masa inkubasi
terpendek
Gambaran wabah berdasarkan tempat:
Gambaran wabah berdasarkan tempat menggunakan gambaran grafik berbentuk Spot
map. Grafik ini menunjukkan kejadian dengan titik/symbol tempat tertentu yang
menggambarkan distribusi geografi suatu kejadian menurut golongan atau jenis kejadian
namun mengabaikan populasi.
Gambaran wabah berdasarkan ciri orang
Variable orang dalam epidemiologi adalah karakteristik individu yang ada hubungannya
dengan keterpajanan atau kerentanan terhadapa suatu penyakit.Misalnya karakteristik
inang ( umur, jenis kelamin, ras/suku, status kesehatan) atau berdasarkan pemaparan (
pekerjaan, penggunaan obat-obatan).
13

Kejadian Luar Biasa

Kejadian Luar Biasa (KLB) salah satu kategori status wabah dalam peraturan yang
berlaku di Indonesia. tatus Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 949/MENKES/SK/VII/2004.
Kejadian Luar Biasa dijelaskan sebagai timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun
waktu tertentu. Kriteria tentang KLB mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/9. Suatu
kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur:
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih
bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
Suatu kejadian penyakit dapat dikatakan KLB apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/ tidak dikenal.
2. Peningkatan kejadian penyakit/ kematian terus menerus selama tiga kurun waktu berturut
turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu).
3. Peningkatan kejadian penyakit/ kematian, dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya (jam, minggu, bulan, tahun).
4. Jumlah penderita baru dalam suatu bulan menunjukan kenaikan dua kali atau lebih
dibandingkan dengan angka rata rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
5. Angka rata rata perbulan selama satu tahun menunjukan kenaikan dua kali lipat atau
lebih dibandingkan dengan angka rata rata perbulan dari tahun sebelumnya.
6. Case fatality rate ( CFR ) suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukan
kenaikan 50% atau lebih, dibandingkan dengan CFR dari periode sebelumnya.
7. Proportional rate ( PR ) penderita dari suatu periode tertentu menunjukan kenaikan dua kali
atau lebih dibandingkan periode,
8. kurun waktu atau tahun sebelumnya.
9. Beberapa penyakit khusus menetapkan kriteria khusus : cholera dean demam berdarah
dengue.
Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya ( pada daerah endemis ).
Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode empat minggu sebelumnya,
daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan.
10. Beberapa penyakit seperti keracunan, menetapkan satu kasus atau lebih sebagai KLB.
Keracunan makanan
Keracunan pestisida
Satu kenaikan yang kecil dapat saja merupakan KLB yang perlu ditangani seperti
penyakit poliomylitis dan tetanus neonatorum kasus dianggap KLB dan perlu penanganan
khusus.
Peningkatan jumlah kasus atau penderita yang dilaporkan belum tentu suatu wabah (pseudo
epidemik) karena peningkatan penderita tersebut bisa karena :
Perubahan cara pencatatan
Ada cara cara dignosis baru
Bertambahnya kesadaran penduduk untuk berobat
Ada penyakit lain dengan gejala sama
Jumlah penduduk bertambah

Pelacakan KLB
1. Garis Besar Pelacakan KLB
a. Pengumpulan data dan informasi secara seksama langsung di lapangan tempat kejadian
b. Analisa data yang diteliti dengan ketajaman pemikiran.
c. Adanya suatu garis besar tentang sistematika langkah-langkah yang pada dasarnya harus
ditempuh dan dikembangkan dalam setiap usaha pelacakan.2. Analisis Situasi Awal
a. Penentuan atau penegakan diagnosis
b. Penentuan adanya wabah
c. Uraian keadaan wabah (waktu, tempat dan orang)
3. Analisis Lanjutan
a. Usaha Penemua kasus tambahan
1) Adakan pelacakan ke rumah sakit dan dokter praktek ntuk menemukan kemungkinan
adanya kasus diteliti yang belum ada dalam laporan.
2) Pelacakan intensif terhadap mereka yang tanpa gejala, gejala ringan tetapi mempunyai
potensi menderita atau kontak dengan penderita.
b. Analisa Data secara berkesinambungan.
c. Menegakkan Hipotesis
d. Tindakan Pemadaman wabah dan tindak lanjut.
1) Tindakan diambil sesuai dengan hasil analisis
2) Diadakan follow up sampai keadaan normal kembali.
3) Yang menimbulkan potensi timbulnya wabah kembali disusunkan suatu format
pengamatan yang berkesinambungan dalam bentuk survailans epidemiologi
terutama high risk.
Penanggulangan KLB
1. SKD KLB
2. Penyelidikan dan penanggulangan KLB
3. Pengembangan sistem surveilans termasukpengembangan jaringan informasid) Koordinasi
kegiatan surveilans : lintas program dan lintas sektoral

Pandemi
Definisi: Keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya penyakit), frekuensinya dalam
waktu singkat meningkat tinggi dan penyebarannya telah mencakup wilayah yang luas.
Endemi
Definisi: Keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya penyakit), frekuensinya pada
wilayah tertentu menetap dalam waktu lama berkenaan dengan adanya penyakit yang secara
normal biasa timbul dalam suatu wilayah tertentu.

GIZI
4 Masalah Gizi di Indonesia
1. GAKY
GAKY adalah sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorag kekurangan
unsur yodium secara terus menerus dalam jangka waktu cukup lama. GAKY dapat
menyerang siapa saja baik perempuan, anak, dewasa maupun orang tua yang tinggal
di daerah kekurangan yodium.
(13,14)
Prevalensi
Menurut Organisasi Kesehatan Sedunia GAKI masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di 84 negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia.
17
Dua milyar
orang diperkirakan kekurangan asupan iodium, 35 juta diantaranya tinggal di
Indonesia mereka tersebar dari Sabang sampai Merauke, tinggal di 334 kecamatan
endemik berat (Total Goiter Rate, TGR > 30%), 278 kecamatan endemik sedang
(TGR 20-29,9%) dan 1.167 kecamatan endemik ringan (TGR 5-19,9%). Di setiap
provinsi di Indonesia terdapat daerah kantong endemik, contohnya kecamatan
Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah yang TGR-nya 29% (Kauldhar, 1996) lebih
tinggi dari rata-rata di provinsi Jawa Tengah 4,4%. Di Jawa Tengah, daerah kantong
endemik dijumpai di sekitar gunung Lawu, Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, dan
pegunungan Dieng.
13,17

Gejala Klinis
Gejala yang sering tampak sesuai dengan dampak yang ditimbulkan , seperti:

Terhadap Pertumbuhan
13

Pertumbuhan yang tidak normal.Pada keadaan yang parah terjadi kretinisme
Keterlambatan perkembangan jiwa dan kecerdasan
Tingkat kecerdasan yang rendah
Mulut menganga dan lidah tampak dari luar
Kelangsungan Hidup
13

Wanita hamil didaerah Endemik GAKY akan mengalami berbagai gangguan
kehamilan antara lain :
- Abortus
- Bayi Lahir mati
- Hipothryroid pada Neonatal
Perkembangan Intelegensia
15

- Setiap penderita Gondok akan mengalami defisit IQ Point sebesar 5 Point dibawah
normal
- Setiap Penderita Kretinisme akan mengalami defisit sebesar 50 Point dibawah
normal.
- Iodium diperlukan khususnya untuk biosintesis hormon tiroid yang beriodium.
Iodium dalam makanan diubah menjadi iodida dan hampir secara sempurna iodida
yang dikonsumsi diserap dari sistem gastrointestinal. Yodium sangat erat
kaitannya dengan tingkat kecerdasan anak. Dampak yang ditimbulkan dari
kekurangan konsumsi yodium yang berada dalamtubuh, akan sangat buruk
akibatnya bagi kecerdasan anak, karena bisa menurunkan 11-13 nilai IQ anak.. Di
antara penyakit akibat kekurangan iodium adalah gondok dan kretinisme. Ada dua
tipe terjadinya kretinisme, yaitu kretinisme neurology seperti kekerdilan yang
digolongkan dengan mental, kelumpuhan dan buta tuli. Ada pula kretinisme
hipotiroid Lokasi dan struktur tiroid (gondok) di mana kelenjar tiroid yang terletak
di bawah larynx sebelah kanan dan kiri depan trakea mengekskresi tiroksin,
triiodotironin dan beberapa hormon beriodium lain yang dihubungkan dengan
pertumbuhan yang kerdil dan retardasi mental yang lambat. Selama masa
pertumbuhan dan perkembangan, kebutuhan tubuh akan yodium memang harus
selalu dipenuhi. Karena kalau tidak, hipotiroidisme akan terus mengancam. Baik
bayi, anak, remaja, bahkan dewasa muda tetap mempunyai peluang terserang
penyakit gondok, gangguan fungsi mental dan fisik, maupun kelainan pada system
saraf. Semua penyakit dan berbagai kelainan lainnya yang disebabkan oleh
defisiensi unsur kimia berlambang I ini , kini disebut dengan GAKY (
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium ). Selain akan mempengaruhi tingkat
kecerdasan anak, yang kita tahu selama ini, kekurangan yodium akan
menyebabkan pembesaran kelenjar gondok. Padahal, banyak gangguan lain yang
juga bisa muncul. Misalnya saja, kekurangan yodium yang dialami janin akan
mengakibatkan keguguran maupun bayi lahir meninggal, atau meninggal beberapa
saat setelah dilahirkan. Bahkan, tidak sedikit bayi yang terganggu perkembangan
sistem sarafnya sehingga mempengaruhi kemampuan psikomotoriknya.
(13,14)
Pertumbuhan Sosial
14

Dampak sosial yang ditimbulkan oleh GAKY berupa terjadinya gangguan
perkembangan mental, lamban berpikir, kurang bergairah sehingga orang
semacam ini sulit dididik dan di motivasi.
Perkembangan Ekonomi
13

GAKI akan mengalami gangguan metabolisme sehingga badannya akan merasa
dingin dan lesu sehingga akan berakibatnya rendahnya produktivitas kerja, yang
akan mempengaruhi hasil pendapatan keluarga.
Pemeriksaan Penunjang
Gold standard pemeriksaan yodium penilaian konsumsi garam tingkat rumah
tangga dilakukan dengan membedakan kandungan yodium dalam garam dengan
pemeriksaan uji garam yodium cepat (iodine rapid test). Kadar iodium pada
pemeriksaan UEI:
a. Defisiensi Berat, median UEI < 20 g/L
b. Defisiensi Sedang, median UEI 20-49 g/L
c. Defisiensi Ringan, median 50-99 g/L
d. Optimal, median UEI 100-200 g/L
e. Lebih, median UEI 201-300 g/L
f. Kelebihan (excess), median EUI > 300 g/L
Berikut ini penentuan kadar yodium dalam urine dengan metode ceriumyang
diuraikan dalam buku karangan adalah:
(13,14)
1. 10 ml urine didestruksi (pengabuan basah) dengan penambahan 25 ml asam
klorat 28% dan 1 ml kalium klorat 0,5%.
2. Panaskan di atas hotplate sehingga volume larutan menjadi kurang dari 0,5
ml. Larutan ini diencerkan dengan air suling sehingga volume larutan menjadi
100 ml.
3. Dari larutan terakhir ini dipipet 3 ml, kemudian ditambahkan 2 ml asam
arsenit 0,2 N ; lalu didiamkan selam 15 menit.
4. Ke dalam tiap larutan kemudian ditambahkan 1 ml larutan cerium (4+)
ammonium sulfat 0,1 M; dikocok kembali didiamkan selama 30 menit. Absorpsi
dilakukan pada panjang gelombang 420 ml.
Kurva standart dibuat dengan cara yang sama seperti di atas pada kadar yodium
0,01, 0,02, 0,03, 0,04 dan 0,05 ppm (terlampir). Larutan standart induk yang
berkadar 100 ppm idbuat dengan melarutkan 0,0168 g K103 dalam 100 ml air
suling. Karena kadar yodium dalam urine dinyatakan dalam mg 1 per g kreatinin
maka diukur pula kadar kreatinin urine dengan cara sebagai berikut :
Penentuan Kadar Kreatinin Urine
1. 0,1 ml urine yang telah diencerkan 100 kali ditambahkan 4 ml H
2
SO
4

N dan 0,5 ml natrium tungstat.
2. Setealah itu dikocok dan didiamkan selama 15 menit lalu dipusing selama 10
menit.
3. Supernatan dipisahkan lalu ditambahkan 0,5 ml larutan campuran 1 ml asam
pikrat 10% dan 0,2 ml NaOH 10%.
4. Setelah didiamkan selam 15 menit, absorpsi larutan dibaca pada panjang
gelombang 520 nm.
Standart kreatinan dengan konsentrasi 1 mg/100 ml dikerjakan dengan cara yang
sama.
Perhitungan kadar yodium per g kreatinin: jika diketahui konsentrasi
yodium A g/Iurine dan kadar kreatinin b g/I maka kadar yodium a/b g/g
kreatinin.
14
Batasan Dan Klasifikasi Pemeriksaan Kadar Yodium Dalam Urine
Suatu daerah dianggap endemis berat bial rata-rata ekskresi yodium dalam
urine lebih rendah dari 25 g yodium/gram kreatinin, endemik sedang bila
ekskresi yodium dalam urine 25-30 g yodium/gram kreatinin. Anak sekolah
dapat digunakan sebagai target penelitian karena prevalensi GAKY pada anak
sekolah umumnya menggambarkan prevalensi yang ada dalam masyarakat.
14
Penilaian konsumsi garam tingkat rumah tangga dilakukan dengan
membedakan kandungan yodium dalam garam dengan pemeriksaan uji garam
yodium cepat (iodine rapid test).
14

Tatalaksana
Menurut beberapa literatur, termasuk diantaranya modul Peningkatan
Konsumsi Garam Beryodium Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI 2004,
di Indonesia terdapat beberapa strategi (baik jangka pendek maupun jangka
panjang) sebagai upaya penanggulangan Dampak Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium (GAKY) sebagai berikut :
Strategi jangka panjang, antara lain dengan melakukan tiga kegiatan berikut :
17
1. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), merupakan sebuah strategi pemberdayakan
masyarakat dan komponen terkait agar mempunyai visi dan misi yang sama untuk
menanggulangi GAKY melalui kegiatan pemasyarakatan informasi, advokasi,
pendidikan/penyuluhan tentang ancaman GAKY bagi kualitas sumber daya manusia.
Juga terkait pentingnya mengkonsumsi garam beryodium, law enforcement dan social
enforcement, hak memperoleh kapsul beryodium bagi daerah endemik dan
penganekaragaman konsumsi pangan.
2. Surveillans,merupakan kegiatan pemantauan yang dilakukan secara
berkesinambungan terhadap beberapa indikator untuk dapat melakukan deteksi dini
adanya masalah yang mungkin timbul agar dapat dilakukan tindakan/intervensi
sehingga keadaan lebih buruk dapat dicegah. Kegunaan surveillans yaitu mengetahui
luas dan beratnya masalah pada situasi terakhir, mengetahui daerah yang harus
mendapat prioritas, memperkirakan kebutuhan sumber daya yang diperlukan untuk
intervensi, mengetahui sasaran yang paling tepat dan mengevaluasi keberhasilan
program.
3. Iodisasi garam, merupakan kegiatan fortifikasi garam dengan Kalium Iodat (KOI3).
Tujuan kegiatan ini agar semua garam yodium yang dikonsumsi masyarakat
mengandung yodium minimal 30 ppm. Target program ini 90% masyarakat
mengkonsumsi garam beryodium yang cukup (30 ppm).
2. Anemia Defisiensi Besi
Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store)
yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.
(18,20)

Prevalensi
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik
maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta
orang menderita anemia dan sebagian besar tinggal di daerah tropik. Prevalensi
anemia di Indonesia menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2006
pada wanita tidak hamil/produktif adalah 33,1%. Menurut penelitian batas kadar Hb
remaja putri menurut World Health Organization untuk diagnosis anemia apabila
kurang dari 11 gr/dl.
(18,19,20,21)

Rumus Prevalensi Anemia:


Gejala Klinis
Gejala kinis yang terkait dengan defisiensi besi bergantung keparahan dan
kronisitas dari anemia disamping tanda-tanda anemia biasanya lemah, pucat, dan
berkurangnya kapasitas aktifitas. Pasien juga sering memiliki keinginan untuk akan-
akan yang tidak lazim (pica) seperti tanah liat, es, lem, dan lain-lain.
19
Cheilosis (disura di sudut mulut) dan koilonychia (kuku sendok) adalah tanda
dari defisiensi besi lanjut. Pasien juga dapat mengeluhkan atrofi papil lidah, atrofi
kulit pada sebagian pasien.
19
Tatalaksana
Anak
Pemberian suplemen preparat besi merupakan pencegahan primer di samping
pemberian ASI dan tidak memberikan susu sapi pada tahun pertama kehidupan, serta
edukasi atau penyuluhan secara rutin tentang pentingnya diet mengandung besi yang
adekuat sejak bayi sampai remaja.Bayi prematur dan bayi berat badan lahir rendah
yang mendapat ASI membutuhkan suplemen besi elemental sekitar 2mg/kgBB/hari
yang diberikan sejak umur 1 bulan. Pada bayi dengan berat badan 1000-1500g
membutuhkan 3 mg/kgBB/hari, sementara pada bayi dengan berat badan kurang dari
1000 g membutuhkan 4 mg/kgBB/hari.
20
Pemberian suplemen besi juga dapat ditambahkan pada bahan makanan, garam
ataupun susu forula. Pemberian garam di fortifikasi dengan iodine dan ferri fosfat
memberikan kenaikan yang bermakna terhadap hemoglobin, status besi, dan cadangan
besi tubuh. American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian
susu formula yang difortifikasi besi (berisi 4-12 g/L besi) sejak lahir sampai usia 12
Prevalensi kasus baru + Kasus lama
Jumlah populasi beresiko
bulan pada bayi-bayi yang tidak memndapat ASI, sedangkan bayi yang mendapat ASI
dianjurkan diberikan forua yang difortifikasi besi sejak usia bulan.
20
Dewasa
Tatalaksana anemia defisiensi besi pada ibu hamil:
(19,21)
1. Meningkatkan konsumsi zat besi dari sumber alami, terutama makanan
sumber hewani (hem iron) yang mudah diserap seperti hati, daging, ikan.
Selain itu perlu ditingkatkan juga, makanan yang banyak mengandung
Vitamin C dan Vitamin A (buah-buahan dan sayuran) untuk membantu
penyerapan zat besi dan membantu proses pembentukan Hb.
2. Fortifikasi bahan makanan yaitu menambahkan zat besi, asam folat, vitamin
A dan asam amino esensial pada bahan makanan yang dimakan secara luas
oleh kelompok sasaran. Penambahan zat besi ini umumnya dilakukan pada
bahan makanan hasil produksi industri pangan.
3. Suplementasi besi-folat secara rutin selama jangka waktu tertentu, bertujuan
untuk meningkatkan kadar Hb secara cepat. Dengan demikian suplementasi
zat besi hanya merupakan salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan
kurang zat besi yang perlu diikuti dengan cara lainnya.

Suplementasi tablet zat besi adalah pemberian zat besi folat yang
berbentuk tablet. Tiap tablet 60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat,
yang diberikan oleh pemerintah pada ibu hamil untuk mengatasi masalah
anemia gizi besi
21
Menurut Depkes RI (1999), tablet zat besi diberikan pada ibu hamil sesuai
dengan dosis dan cara yang ditentukan yaitu:
a. Dosis pencegahan
Diberikan pada kelompok sasaran tanpa pemeriksaan Hb. Dosisnya yaitu 1
tablet (60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat) berturut-turut selama
minimal 90 hari masa kehamilan mulai pemberian pada waktu pertama kali
ibu memeriksa kehamilannya (K1).
b. Dosis Pengobatan
Diberikan pada sasaran (Hb <ambang batas) yaitu bila kadar Hb < 11gr%
pemberian menjadi 3 tablet sehari selama 90 hari kehamilannya.

Sumber makanan yang mengandung zat besi:
1. Kulit kentang
2. Daun bayam
3. Jagung
4. Kangkung
5. Aprikot
6. Bit hijau
7. Kacang tanah, kedelai, kacang hijau
8. Beras merah
9. Roti gandum
10. Kismis
11. Sereal
12. Buah kering (contoh, kismis, apel, pir, peach)
13. Yoghurt
14. Telur
15. Daging sapi
16. Ikan

3. MEP
Definisi
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi zat energi
dan zat protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka
Kecukupan Gizi (AKG). Anak dikatakan KEP apabila berat badannya kurang dari
80% indeks berat badan menurut umur (BB/U) baku World Health Organization-
National Center for Health Statistics (WHO-NCHS). KEP ringan apabila BB/U 70%
sampai 79,9% dan KEP sedang apabila BB/U 60% sampai 69,9%.
Prevalensi
KEP merupakan saah satu masalah gizi utama di Indonesia. Berdasarkan data Susenas
tahun 1999 diketahui bahwa prevalensi gizi kurang yaitu sebesar 26,4%. Sedangkan
untuk tahun 2000 prevalensi gizi kurang yaitu sebesar 24,9% dan gizi buruk yaitu
sebesar 7,1%. Dari juta anak balita Indonesia (27,5%) yang mengalami KEP terdapat
3,6 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang dan 1,5 juta anak (8,3%) berstatus
gizi buruk.
Sementara itu menurut data Susenas tahun 2000 diketahui prevalensi gizi kurang dan
gizi buruk pada balita Indonesia adalah 17,1% dan 7,5% serta 19,% dan 8% pada
tahun 2002. Menurut Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar
27,% (5 juta balita KEP), 3,5 Juta anak gizi kurang (19,2%) dan 1,5 juta anak gizi
buruk (8,%). Sedangkan pada tahun 2005 terjadi peningkatan prevalensi gizi kurang
dan gizi buruk yaitu menjadi 19,2% dan 8,8%. Angka prevalensi KEP pada tahun
2002 sebesar 27,% menjadi 27,5% dan 28% pada tahun 2005.

Gejala Klinis
Berikut tandatanda KEP ringan dan sedang dilihat dari pertumbuhan yang terganggu
dapat diketahui melalui :
1. Pertumbuhan linier berkurang atau berhenti,
2. Kenaikan berat badan berkurang, terhenti, ada kalanya berat badan kadang menurun,
3. Ukuran lingkar lengan atas menurun,
4. Maturasi tulang terlambat,
5. Rasio berat terhadap tinggi normal atau menurun,
6. Tebal lipat kulit normal atau mengurang,
7. Anemia ringan, diet yang menyebabkan KEP sering tidak mengandung cukup zat besi
dan vitaminvitamin lainnya,
8. Aktivitas dan perhatian mereka berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat,
9. Kelainan kulit maupun rambut jarang ditemukan pada KEP ringan dan sedang,akan
tetapi adakalanya dapat ditemukan.
2

Pada KEP Berat gejala klinisnya khas sesuai dengan defisiensi zat tersebut. KEP berat
ini terdiri dari marasmus, kwashiorkor dan gabungan keduanya marasmic kwasiokor.
Secara klinis terdapat dalam 3 tipe KEP berat yaitu :
1. Kwashiorkor, ditandai dengan : edema, yang dapat terjadi di seluruh tubuh, wajah
sembab dan membulat, mata sayu, rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung,
mudah dicabut dan rontok, cengeng, rewel dan apatis, pembesaran hati, otot mengecil
(hipotrofi), bercak merah ke coklatan di kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement
dermatosis), sering disertai penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.
2. Marasmus, ditandai dengan : sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit, wajah
seperti orang tua, cengeng dan rewel, kulit keriput, jaringan lemak sumkutan
minimal/tidak ada, perut cekung, iga gambang, sering disertai penyakit infeksi dan
diare.
3.Marasmus kwashiorkor, campuran gejala klinis kwashiorkor dan marasmus.
Tatalaksana:
KEP I (KEP ringan)
- Penyuluhan gizi/ nasehat pemberian makanan di rumah (bilamana penderita rawat
jalan)
- Dianjurkan memberikan ASI eksklusif (bayi < 4 bulan) dan terus memberikan ASI
sampai 2 tahun
- Bila dirawat inap untuk penyakit lain makanan sesuai dengan penyakitnya agar
tidak jatuh menjadi KEP sedang/ berat dan untuk meningkatkan status gizi

KEP II (KEP sedang)
- Rawat jalan: Nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan ASI, selalu
pantau kenaikan BB
- Tidak rawat jalan: Dapat dirujuk ke puskesmas untuk penanganan masalah gizi
- Rawat inap: Makanan tinggi energi dan protein dengan kebutuhan energi 20-50%
diatas AKG. Diet sesuai dengan penyakitnya dan dipantau berat badannya setiap
hari, beri vitamin dan penyuluhan gizi. Setelah penderita sembuh dari penyakitnya,
tetapi masih menderita KEP ringan atau sedang rujuk ke puskesmas untuk
penanganan masalah gizinya

KEP III (KEP berat)
Pada tatalaksana rawat inap KEP berat di rumah sakit terdapat 5 aspek penting yang
perlu diperhatikan:
1. Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat (10 langkah utama)
2. Pengobatan penyakit penyerta
3. Kegagalan pengobatan
4. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas
5. Tindakan pada kegawatan
Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat (10 langkah utama)
Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah penting:
1. Atasi / cegah hipoglikemia
2. Atasi / cegah hipotermia
3. Atasi / cegah dehidrasi
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
5. Obati/ cegah infeksi
6. Mulai pemberian makanan
7. Koreksi defisiensi nutrient mikro
8. Fasilitas tumbuh- kejar (catch up growth)
9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/ mental
10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh

4. Defisiensi Vitamin A
Di Indonesia, kekurangan vitamin A merupakan salah satu di antara 4 masalah gizi
utama. Hal inilah yang menyebabkan Departemen Kesehatan mencanangkan bulan
vitamin A. Kekurangan vitamin A sebenarnya berdampak pada seluruh tubuh anak,
namun yang jelas terlihat adalah pada kulit dan mata. Kulit akan tampak kering dan
tampak penebalan di sekitar akar rambut. Kelainan ini jarang ditemukan pada anak di
bawah umur lima tahun dan dapat pula disebabkan oleh kekurangan zat gizi lainnya.
Prevalensi
Di Indonesia sekitar 10 juta balita, dari jumlah populasi target sebesar 20 juta balita,
berisiko KVA. Prevalensi KVA, menurut survei vitamin A tahun 1992, antara lain
pada xerophtalmia sebesar 0,33 persen. Namun, secara subklinis, prevalensi KVA
terutama pada kadar serum retinol dalam darah (kurang dari 20 mikrogram/DL) pada
balita sebesar 50 persen
.

Gejala Klinis
Gejala pada mata disebut sebagai xeroftalmia dan menurut WHO (1982) dibuat
kriteria kelainan sebagai berikut
a. Buta senja (night blindness,XN), yang diketahui bila anak sering jatuh atau salah
menangkap benda yang diberikan saat senja.Gangguan mata ringan ini, menurut Nani,
terutama sekali terjadi pada anak dengan status gizi kurang. Adanya rabun
ayam/rabun senja dapat dilihat pada anak-anak usia 2-3 tahun atau usia dia dapat
berjalan. Gejalanya bisa diketahui dan akan tampak menjelang sore hari, dimana anak
sering nabrak-nabrak, benda di hadapannya kalau berjalan, atau tidak fokus dalam
mengambil sesuatu. Pendek kata, matanya tak bisa beradaptasi dalam gelap atau
tempat yang kurang terang, terutama menjelang senja.
b. Kekeringan pada konjungtiva (conjungtival xerosis,XIA) merupakan proses
perubahan bulbus, yaitu kering, tebal, keriput dan terjadi penimbunan pigmen.
Konjungtiva atau selaput lendir mata atau bagian putih mata merupakan pelindung
bola mata. Seharusnya, pada mata yang sehat, selaput lendir ini tampak bening, tidak
merah, tidak berlendir dan transparan.
Jika mengalami gangguan, warna mata anak akan berubah menjadi keabu-abuan, mata
tampak kering, kusam dan tak lagi berkilau. Juga mulai timbul kekeringan pada
bagian luar mata. Kelainan ini dapat diketahui dengan pemeriksaan sederhana,
menggunakan senter dan kaca pembesar. Di tempat prakter dokter mata, pasien akan
diperiksa degan alat yang disebut biomikroskop.
Pada stadium awal, gejalanya ada yang disertai bercak (Bitot spot) dan tidak. Bercak
yang tampak terutama di celah mata sisi luar atau di pinggir kornea (daerah limbus),
yaitu suatu bintik seperti busa sabun, yang terdiri atas sel-sel keratin (sel tanduk).
Stadium ini bisa diobati dengan pemberian kapsul vitamin A. Mata akan membaik
dalam 2-3 hari dan kelainan akan menghilang dalam waktu dua minggu. Selain itu,
untuk membantunya akan diberikan pula tetesan air mata buatan agar matanya tidak
kering.
c. Bercak bitot (Bitot spot,XIB), berupa bercak berwarna putih berbuihdan terdiri dari
penimbunan sel epitel.
d. Kekeringan pada kornea (corneal ulceration/keratomalacia) < 1/3 permukaan
(X3A), akibat keringnya epitel sehingga kejernihan korne berkurang.
e. Ulkus pada kornea (corneal ulceration/keratomalacia 1/3 permukaan (X3B)
f. Jaringan parut pada kornea (corneal scar,XS)
g. Xeroftalmia fundus (XF).
Gejala di luar mata adalah nafsu makan berkurang dan gangguan
pertumbuhan. Sering disertai dengan mudahnya terserang penyakit infeksi,
berkurangnya nafsu makan, dan pertumbuhan yang mengalami hambatan. Beberapa
penelitian pada binatang percobaan memperlihatkan defisiensi vitamin A dapat
mempengaruhi fungsi keseimbangan, menimbulkan perubahan pada tekanan
serebrospinal, menimbulkan kelainan metabolisme zat besi sehingga menyebabkan
anemia dan mudahnya terserang penyakit.
Kelainan pada kulit biasanya terdapat pada paha sisi anterior dan lengan atas
sisi posterior berupa kulit yang kering dengan papula keatin sekitar folikel rambut dan
terdapat gumpalan keratin dalam folikel.

Tatalaksana
Umumnya kebutuhan sehari-hari vitamin A dapat dipenuhi dengan pemberian diet
yang mengandung telur, susu, mentega, hati, sayuran berupa daun atau yang berwarna
kuning (wortel dan sebagainya), buah-buahan yang berwarna kuning (tomat, pepaya,
dan sebagainya).
Pemberian vitamin A dengan tujuan mengobati defisiensi vitamin A dan menambah
persediaan vitamin A dalam hepar. Preparat yang dianjurkan adalah :
a. Oral : oil based solution retinol palmitat atau asetat sebagai kapsul sengan/tanpa
tambahan vitamin E.
b. Intramuskular : water miscible retinol palmitat
Pengobatan xeroftalmia :
a. setelah dibuat diagnosa
110 mg retinol palmitat atau 66 mg retinol asetat (200.000 SI) per oral atau 55 mg
retinol palmitat ( 100.000 SI) intravena
b. Hari berikutnya
110 mg retinol palmitat atau 66mg retinol asetat (200.000 SI) per oral
c. Sebelum dipulangkan/klinis memburuk/2-4 minggu kemudian
110 mg retinol palmitat atau 66mg retinol asetat (200.000 SI) per oral



Fortifikasi Makanan
Kekurangan akan tiga jenis zat gizimikro (micronutrient)-iodium, besi,dan vitamin A- secara
luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia. Konsekuensi serius dari kekuarangan
tersebut terhadap individu dan keluarga termasuk ketidakmampuan belajar secara baik,
penurunan produktivitas kerja, kesakitan, dan bahkan kematian.
Definisi
Fortifikasi pangan adalah penambahan satan atan lebih zat gizi (nutrien) kepangan. Tujuan
utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk
meningkatkan status gizi populasi.
Makanan yang sering di fortifikasi adalah tepung terigu, minyak goreng dan mie
instant. Pada tepung terigu ditambahkan mikronutrient berupa Vitamin A, Vitamin B1,
Vitamin B2, Vitamin B3, Vitamin D3, Asam Folat, Zat besi, Seng. Pada minyak Goreng
ditambahkan mikronutrient berupa vitamin A, D, dan E. Pada mie instant ditambahkan
mikronutrient berupa Vitamin A, Vitamin B1, Vitamin B6, Vitamin B12, Niasin, Asam Folat,
Asam Pantotenat, zat besi.
Tujuannya adalah;
Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi akan zat
gizi yang ditambahkan).
-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang siquifikan dalam
pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan.
ntuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan
sebagai sumber pangan bergizi misal : susu formula bayi.
dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan
lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega .







EBOLA VIRUS
Definisi
Ebola adalah sejenis virus dari genus Ebolavirus, familia Filoviridae, dan juga nama dari
penyakit yang disebabkan oleh virus tersebut.
Gejala
Gejala infeksi virus ebola diantaranya adalah demam secara tiba-tiba, kelemahan,
nyeri otot, sakit kepala dan tenggorokan kering. Kemudian diikuti dengan muntah, diare,
ruam pada kulit, gangguan fungsi ginjal dan hati serta pada beberapa kasus terjadi
pendarahan internal dan eksternal. demam, sakit kepala, sakit sekitar persendian dan otot,
sakit tenggorokan dan tubuh lemah. Gejala ini diikuti juga oleh diare, sakit perut dan muntah-
muntah. Ruam-ruam, mata memerah, tersedak, serta adanya pendarahan luar dan dalam
ditemukan pada beberapa pasien.
Penyakit ebola menyebar dan masuk ke dalam tubuh host melalui berbagai macam cara
antara lain melalui jarum suntik , donor darah , dan melalui kontak lanmgsung tangan.

Tahapan penularan virus ebola dari penderita satu ke penderita lainnya antara lain :
1. virus Ebola menginfeksi subjek melalui kontak dengan cairan tubuh atau sekret dari
pasien yang terinfeksi dan didistribusikan melalui sirkulasi. melalui lecet di kulit
selama perawatan pasien, ritual penguburan dan mungkin kontak dengan daging
secara terinfeksi, atau di permukaan mukosa.Terkadang jarum suntik merupakan rute
utama dari eksposur kerja.
2. target awal dari replikasi adalah sel-sel retikuloendotelial, dengan replikasi tinggi
dalam beberapa tipe sel di dalam hati, paru-paru dan limpa.
3. sel Dendritic, makrofag dan endotelium tampaknya rentan terhadap efek cytopathic
produk gen virus Ebola in vitro dan mungkin in vivo melalui gangguan jalur sinyal
seluler dipengaruhi oleh mengikat, fagositosis serapan virus atau keduanya.
Kerusakan tidak langsung juga dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor yang beredar
seperti faktor tumor nekrosis dan oksida nitrat
sehingga kontak langsung antara setiap individu sangat memegang peranan penting
dalam penyebaran dan penularan penyakit ebola di dalam masyarakat. Karena kita tidak
bias menghindari kontak secara individu .sebab, hal itu terjadi tanpa kita tahu kondisi dan
sifat yang sebenarnya.
Pencegahan
Virus Ebola mampu menular dari satu manusia ke manusia lain hanya dengan kontak
langsung saja. Untuk itu pencegahan terhadap penyakit infeksi Ebola ini pun cukup
sulit.Yang paling terutama adalah menghindari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi
virus Ebola sebisa mungkin. Apabila ada anggota keluarga terinfeksi virus ini sangat
dianjurkan agar orang tersebut dirawat di rumah sakit. Begitu juga apabila ada teman anda
yang meninggal akibat penyakit ini, usahakan jangan ada kontak langsung dengannya.
Adapun 5 tahapan pencegahan penyakit ebola dalam lingkungan masyarakat antara lain :
a. Health Promotion
Pendidikan kesehatan pada masyarakat untuk melakukan perubahan prilaku untuk
hidup bersih dan sehat serta meningkatkan higien pribadi dan sanitasi lingkungan
dalam lingkungan masyarakat dan sekitarnya
b. Early Diagnosis
Program penemuan penderita melalui survey pada kelompok kelompok yang
berisiko atau pada populasi umum dan peda pelaporan kasus.
c. Spesifik protection
Menghindari diri dari gigitan serangga ,berusaha untuk tidak pergi ke daerah yang
kurang penyinaran matahari dan terdapat binatang ataupun serangga yang menjadi
sumber penularan penyakit tersebut untuk menghindari terjadinya komplikasi
penyakit dan penyebar luasnya penyakit tersebut dalam masyarakat.
d. Disability limitation
Terapi kompleks pada penderita ebola agar tidak terjadi kematian dengan menambah
konsentrasi minum penderita agar tidak terjadi dehidrasi serta upaya peningkatan
kekebalan tubuh kelompok.
e. Rehabilitation
Pendidikan kesehatan kepada para penderita beserta keluarga serta dilakukannya
rehabilitasi fisik dan psikologis pada kasus dan penderita penyakit ebola

H1N1 (Swine Flu)
Definisi
Flu babi (swine flu) adalah penyakit saluran pernapasan akut pada babi yang
disebabkan oleh virus influenza tipe A. Penyakit ini menyebabkan tingkat morbiditas
yang tinggi tetapi memiliki tingkat mortalitas yang rendah. Virus flu babi dapat
berjangkit dalam suatu populasi babi sepanjang tahun, namun kebanyakan
penyebarannya terjadi pada musim gugur dan musim dingin
Epidemiologi
Masuknya virus flu babi di Indonesia terjadi setelah merebaknya kasus avian
influenza (AI) pada unggas yang disebabkan virus H5N1 sejak bulan Agustus tahun 2003,
yang didahului dengan dilaporkannya influenza pada itik. Virus AI kemudian menyerang
kelompok unggas lain dan juga menular ke babi.
Tabel 1. Data Kasus H1N1 di Indonesia
No Propinsi Konfirm Meninggal Jumlah
1 DKI Jakarta 170 1 171
2 Banten 87 0 87
3 Jawa Barat 42 0 42
4 Jawa Tengah 6 0 6
5 Jawa Timur 25 0 25
6 Kalimantan Selatan 11 0 11
7 Kep. Riau 3 0 3
8 Sumatera Selatan 1 0 1
9 Sumatera Utara 9 0 9
10 Kalimantan Timur 4 0 4
11 Sulawesi Selatan 2 0 2
12 Jambi 1 0 1
13 DIY Jogjakarta 5 0 5
14 Sulawesi Utara 4 0 4
15 Bali 28 0 28
TOTAL 398

Cara Penularan
Penyebaran virus H1N1 sama dengan penyebaran flu musiman. Penularan flu babi
dapat terjadi dalam 2 cara (Syamsi, 2009):
1. Melaui kontak dengan babi yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi
dengan virus flu babi
2. Melalui kontak dengan orang yang menderita flu babi, sama seperti flu musiman.
Penyebarab influenza menyebar terutama melalui batuk atau bersin dari orang
yang terinfeksi.
Orang yang menderita flu babi menurut para ahli akan tetap menularkan penyakitnya
sampai hari ke tujuh. Jika sampai hari ke tujuh ternyata penyakitnya belum membaik maka
dianggap orang tersebut masih dapat menularkan penyakitnya sampai gejala flu itu benar-
benar hilang. Anak-anak pada khususnya balita memiliki potensi waktu penularan yang
lebih panjang. Flu babi belum diketahui dapat menular ke manusia melalui konsumsi
daging babi atau produk babi yang diolah dan di masak dengan benar. Virus flu babi dapat
dimatikan dengan memasak daging babi hingga mencapai temperature internal 70
o
.
Pada penyakit flu babi, virus masuk melalui saluran pernapasan atas melalui udara.
Virus menempel pada trakea dan bronkus kemudian berkembang secara cepat yaitu dari 2
jam dalam sel epitel bronkus hingga 24 jam setelah terinfeksi. Hampir semua sel terinfeksi
virus dan menimbulkan eksudat pada bronkus. Infeksi dapat mereda pada hari ke 9. Lesi
akibat infeksi sekunder dapat terjadi pada paru-paru karena aliran eksudat yang berlebihan
pada bronkus dan lesi akan menghilang tanpa menimbulkan kerusakan.
Gejala Klinis
Berdasarkan tanda-tanda klinis H1N1 dibagi menjadi :
1. Kriteria ringan :
Tanpa gejala
Demam tanpa sesak
Batuk pilek, tanpa pneumonia
Tidak ada komorbid ( Misalnya : Asma, Diabetes Mellitus, PPOK, Obesitas, Kurang
gizi )
Usia Muda
-> terapi untuk kriteria ringan adalah rawat jalan dengan pengawasan
2. Kriteria Sedang :
Gejala ringan dengan komorbid
Sesak nafas
Pneumonia
Usia Tua dan Bayi
Hamil
Keluhan mengganggu : Diare, muntah-muntah
-> terapi untuk kriteria sedang adalah rawat di ruang isolasi
3. Kriteri berat :
Pneumonia berat
Gagal Nafas
Sepsis
Syok
Kesadaran Menurun
ARDS ( Aspirasi Respiratory Deseases Syndrom )
Kegagalan Multi organ
-> terapi untuk kriteria berat adalah rawat di ICU

Pencegahan
Virus flu babi H1N1 sangat berbeda dengan virus influenza biasa pada manusia, maka
vaksin untuk flu musiman pada manusia tidak akan memberi perlindungan terhadap virus
flu babi H1N1.
Anggota masyarakat hendaknya mematuhi tindakan pencegahan berikut:
Jaga kebersihan tangan dan cuci tangan dengan benar. Pencuci tangan berbahan dasar
alkohol juga efektif apabila tangan tidak tampak kotor.
Hindari menyentuh mulut, hidung dan mata
Segera cuci tangan dengan sabun cair jika tangan kotor karena terkena sekresi
pernapasan, misalnya setelah bersin atau batuk
Tutup hidung dan mulut bila bersin dan batuk
Hindari pergi ke tempat berventilasi buruk.
Kenakan masker penutup hidung dan mulut bila muncul gejala penyakit pernapasan
dan demam
Menjaga dengan seksama kesehatan diri dan lingkungan sangat diperlukan bagi
pencegahan flu babi. Kementrian Kesehatan mengingatkan mereka yang berpergian untuk
waspada terhadap perkembangan terkini wabah flu babi ketika merencanakan perjalanan.
Seseorang yang berpergian ke daerah endemik harus menggunakan masker penutup
hidung dan mulut serta pencuci tangan berbahan dasar alkohol yang memadai dan
melaksanakan tindakan pencegahan berikut:
Selama perjalanan: menjaga kesehatan diri, mencuci tangan dengan baik dan
menggunakan pencuci tangan berbahan dasar alkohol dan menghindari kontak dengan
orang yang terinfeksi flu H1N1.
Sebelum kembali: menghindari berpergian dengan pesawat terbang jika timbul gejala
seperti influenza. Kenakan masker dan diharap mendatangi pusat pelayanan medis
setempat.
Setelah pulang: hindari berpergian ke tempat dengan ventilasi buruk dan segera
mendatangi pusat pelayanan medis bila terdapat gejala seperti influenza.
Terapi
Terapi pada flu H1N1 dibedakan berdasarkan pembagian klinis yaitu:
- Kriteri ringan : terapi simptomatis dan edukasi pasien untuk istirahat di rumah
- Kriteria sedang : Rawat isolasi diberi Oseltamivir 2 x 75 mg
- Kriteria berat : rawat ICU
Oseltamivir 2 x 75 mg
Bila ada infeksi sekunder diberi antibiotika spektrum luas
Penatalaksanaan sepsis, apabila ditemukan sepsis
Penyulit pada penanganan flu H1N1 antara lain :
- Gagal Nafas
- Sepsis
- Gagal Multi Organ
- Pneumotoraks

H5N1 (Avian Flu)
Avian influenza (AI) adalah penyakit virus menular dari burung (terutama
unggas air liar seperti bebek dan angsa), sering menyebabkan tidak ada tanda-tanda
nyata dari penyakit

Etiologi
Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk
famili Orthomyxoviridae, yang terbagi atas (1) Virus influenza tipe A yang secara
antigenik sangat bervariasi dan dapat berubah-rubah bentuk (Drift, Shift) dan
merupakan penyebab dari sebagian besar kasus epidemi dan pandemi. (2) Virus
influenza tipe B dapat juga memperlihatkan perubahan antigenik dan kadang-kadang
menyebabkan epidemi. (3) Virus influenza tipe C yang secara antigenik bersifat
stabil dan hanya menyebabkan penyakit ringan.
Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2,
H7N7.Sedangkan pada hewan terdapat jenis H1-H5 dan N1-N9.Strain yang sangat
virulen adalah dari subtipe A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air
sampai 4 hari pada suhu 22 C dan lebih dari 30 hari pada 0 C. Virus akan mati pada
pemanasan 60 C selama 30 menit atau 56 C selama 3 jam, dengan detergen dan
dengan desinfektan misalnya formalin, serta cairan yang mengandung iodine.

Infeksi Avian Influenza pada manusia
Infeksi pada manusia pertama kali ditemukan di Hongkong pada tahun 1997,
dimana virus H5N1 menyebabkan penyakit pernafasan yang berat pada 18 orang, 6
orang diantaranya meninggal. Infeksi yang terjadi pada manusia bersamaan dengan
terjadinya epidemi pada virus influenza yang mempunyai patogenitas yang tinggi,
yang disebabkan oleh strain yang sama pada peternakan di Hongkong.
Pada penelitian lebih lanjut pada kejadian ini, tergantung dari kontak langsung
dengan unggas hidup yang terinfeksi (sumber infeksi).Pada penelitian genetika,
ditemukan virus berpindah secara langsung dari burung ke manusia.
Dengan adanya pemusnahan yang dilakukan secara cepat dalam waktu 3 hari
terhadap sekitar 5.000.000 burung pada peternakan di Hongkong, mengurangi
kesempatan lebih jauh infeksi ke manusia dan mencegah terjadinya pandemi.

Penularan
Flu burung menular dari unggas ke unggas, dari unggas ke manusia, melalui udara
yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari air liur, sekret hidung dan feses yang menderita
flu burung. Penularan juga dapat terjadi jika bersinggungan langsung atau kontak dengan
unggas yang terinfeksi flu burung. Kelompok resiko tinggi tertular penyakit ini, yaitu :
pekerja dipeternakan unggas, pemotong unggas dan penjamah produk unggas lainnya.
Sampai saat ini belum ada bukti yang menyatakan bahwa virus flu burung dapat menular dari
manusia ke manusia atau menular melalui makanan.

Masa Inkubasi
Pada unggas masa inkubasi berlangsung kurang lebih 1 minggu, sedangkan pada
manusia berkisar 1-3 hari.Masa infeksi 1 hari sebelum timbul gejala sampai 3-5 hari timbul
gejala.Pada anak-anak berlangsung sampai 21 hari.

Manifestasi Klinis
a) Gejala pada unggas
Jengger berwarna biru
Borok dikaki
Kematian mendadak
Bulu mengkerut
Kepala bengkak
Bersin
Diare
Bertingkah seperti depresi

b) Gejala pada manusia
Demam (suhu badan diatas 38 C)
Batuk dan nyeri tenggorokan
Pilek
Myalgia
Infeksi mata
Radang saluran pernafasan atas
Pneumonia
Respiratory distress

Kriteria Diagnosis
a. Kasus Observasi
Panas badan diatas 38 C disertai lebih dari 1 gejala berikut :
Batuk
Radang tenggorokan
Pilek
Napas pendek / Sesak nafas dimana belum jelas ada atau tidaknya
kontak dengan unggas sakit / mati mendadak yang belum diketahui
penyebabnya dan produk mentahnya.
Pasien masih dalam observasi klinis, epidemiologis dan pemeriksaan
laboratorium.



b. Kasus Tersangka
Panas badan diatas 38 C disertai lebih dari 1 gejala berikut :
Batuk
Radang tenggorokan
Pilek
Sesak nafas / napas pendek
pneumonia
Disertai tanda dibawah ini :
Pernah kontak dengan unggas (ayam, itik, burung) sakit / mati mendadak
yang belum diketahui penyebabnya dan produk mentahnya dalam 7 hari
terakhir sebelum timbul gejala diatas
Pernah tinggal di daerah yang terdapat kematian unggas yang tidak biasa
dalam 14 hari terakhir sebelum timbul gejala diatas
Pernah kontak dengan penderita AI konfirmasi dalam 7 hari terakhir
sebelum timbul gejala diatas
Pernah kontak dengan spesimen AI H5N1 dalam 7 hari terakhir sebelum
timbul gejala diatas (bekerja di laboratorium untuk AI)
Ditemukan leukopeni 3000 / l atau mm
Ditemukan adanya titer antibody terhadap H5 dengan pemeriksaan HI test
menggunakan eritrosit kuda atau tes ELISA untuk influenza A tanpa
subtipe, atau

Kematian akibat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dengan satu
atau lebih keadaan dibawah ini :
Leukopenia atau limfopenia (relatif / diff count) dengan atau tanpa
trombositopenia (trombosit < 150.000)
Foto thorax menggambarkan pneumonia atipikal atau infiltrat dikedua sisi
paru yang makin meluas pada serial

c. Kasus Probable
Kasus tersangka ditambah dengan satu atau lebih keadaan dibawah ini :
Ditemukan adanya kenaikan titer antibody minimum 4 kali terhadap H5
dengan pemeriksaan HI test menggunakan eritrosit kuda atau ELISA test.
Hasil laboratorium terbatas untuk positif influenza H5 (dideteksi antibody
spesifik H5 dalam spesimen serum tunggal)menggunakan neutralisasi tes
Dalam waktu singkat menjadi pneumonia berat/ gagal napas/ meninggal dan
terbukti tidak ada penyebab lain.
d. Kasus Pasti
Kasus suspek atau probable dengan satu atau lebih keadaan dibawah ini :
- Hasil biakan virus influnza A (H5N1) positif atau
- Hasil dengan pemeriksaan PCR untuk H5 positif
- Peningkatan titer antibodi spesifik H5 sebesar >4x
- Hasil dengan IFA untuk antigen H5 positif

Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Uji Konfirmasi
- Kultur dan identifikasi virus H5N1. Sample dapat diambil dari swab tenggorok, cairan
dari trakea, aspirat saluran hidung tenggorok, cairan bronkoalveolar.
- Uji Real Time Nested PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk H5. Spesimen yang
diambil yaitu bilasan hidung atau usapan tenggorokan, ini merupakan bahan terbaik
untuk isolasi virus dan harus didapatkan dalam 3 hari setelah timbul gejala.
- Pemeriksaan Serologi:
o Imunofluorescence (IFA) test : ditemukan antigen positif dengan
menggunakan antibody monoklonal influenza A H5N1
o Uji netralisasi : didapatkan kenaikan titer antibody spesifik influenza A /
H5N1 sebanyak 4x dalam paired serum dengan uji netralisasi
o Uji penapisan :
Rapid test : untuk mendeteksi influenza A
HI test : dengan darah kuda untuk mendeteksi H5N1
Enzyme imunoassay (ELISA) untuk mendeteksi H5N1
Pemeriksaan Lain
- Hematologi :
o Darah lengkap (Hb, leukosit, hitung jenis leukosit dan LED) umumnya
ditemukan leukopeni, limfositopeni, atau limfositosis relatif dan
trombositopeni
- Kimia
o Penurunan Albumin / Globulin
o Peningkatan SGOT / SGPT
o Peningkatan Ureum, kreatinin
o Keratin kinase meningkat
o Analisis gas darah normal atau abnormal
o Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang
ditemukan
- Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto thoraks PA dan Lateral dapat ditemukan gambaran pnemonia
berupa infiltrat yang tersebar di paru

Penanganan
- Penderita dirawat diruang isolasi selama 7 hari (masa penularan), karena ditakutkan
adanya transmisi melalui udara.
- Oksigenasi, jika terdapat sesak nafas dan apabila terdapat kecendrungan adanya gagal
nafas, dengan cara mempertahankan saturasi 0
2
> 90%
- Hidrasi, yaitu pemberian cairan parenteral (infus) atau minum yang banyak
- Terapi simptomatis untuk gejala flu, seperti analgetik, antipiretik, dekongestan dan
antitusif
- Amantadine / Rimantadine yang berfungsi menghambat hemaglutinin diberikan pada
awal infeksi, sedapat mungkin dalam 48 jam pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Bila BB > 45kg diberikan 100 mg dua kali
sehari. Pada orang lanjut usia dan penderita dengan penurunan fungsi hari atau ginjal,
dosis harus diturunkan.
- Oseltamivir yang berfungsi menghambat neuramidase diberikan untuk anak sebanyak
45 mg dua kali sehari; BB 23-40 kg sebanyak 60 mg dua kali sehari; BB > 40 kg
sebanyak 75 mg dua kali sehari. Dosis pada penderita dengan usia> 13 tahun
sebanyak 75 mg dua kali sehari. Harus diberikan dalam waktu 36 jam setelah onset
influenza. Pemberian dilakukan selama 5 hari.

Pencegahan
Pada unggas :
- Pemusnahan unggas atau burung yang terinfeksi flu burung
- Vaksinasi pada unggas atau burung yang sehat

Pada manusia :
- Kelompok beresiko tinggi (pekerja peternakan dan pedagang)
- Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja
- Hindari kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi
- Gunakan alat pelindung seperti masker dan pakaian kerja
- Meninggalkan pakaian kerja di tempat kerja
- Membersihkan kotoran unggas setiap hari

Masyarakat Umum
- Menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi dan istirahat yang
cukup
- Mengolah unggas dengan cara yang benar yaitu: pilih unggas yang sehat (tidak
terdapat gejala-gejala penyakit dalam tubuhnya)
- Memasak daging unggas sampai suhu 80 C selama 1 menit dan pada telur sampai
suhu 64 C selama 4.5 menit

Petugas laboratorium dan petugas kesehatan
- Dianjurkan pemberian vaksin influenza, penyediaan obat antivirus, dan pengamatan
perubahan secara serologi pada pekerja ini.

Kewaspadaan Universal Standard
- Cuci tangan dilakukan dibawah air mengalir dengan menggunakan sabun dan sikat
selam kurang lebih 5 menit, yaitu dengan menyikat seluruh permukaan telapak tangan
maupun punggung tangan.Hal ini dilakukan sebelum dan sesudah memeriksa
penderita.
- Pakaian yang digunakan adalah pakaian bedah atau pakaian sekali pakai.
- Memakai masker N95 atau minimal masker bedah.
- Menggunakan pelindung wajah/ kaca mata goegle (bila diperlukan)
- Menggunakan pakaian pelindung
- Menggunakan sarung tangan
- Menggunakan sepatu bot pelindung kaki

Neglected Disease

Neglected disease adalah penyakit tropik infeksi yang endemik didaerah yang
penghasilan rendah dan negara berkembang yang sering tidak diperhatikan oleh
tenaga kesehatan.
Macam macam neglected diseases :
a) Soil transmitted helminthiases
Sekelompok cacing parasit (kelas nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi
pada manusia melalui kontak dengan telur atau larva parasit itu sendiri yang
berkembang ditanah yang lembab yang terdapat dinegara beriklim tropis
maupun subtropis.
Jenis-jenis soil transmitted helminthiases :
Ascaris lumbricoides
Trichuris trichiura
Hookworm, yaitu ancylostoma duodenale dan necator americanus
Strongyloides stercoralis
Gejala Klinis :
- Manifestasi usus (diare dan sakit perut)
- Malaise
- Dapat mengganggu pertumbuhan fisik
- Pada keadaan kronis dapat menyebabkan anemia
Gold standar : Pemeriksaan tinja : menemukan telur dan larva dalam tinja segar
b) Penyakit Kaki Gajah (Filariasis atau Elephantiasis)
Golongan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing Filaria yang
ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Setelah tergigit nyamuk, parasit
(larva) akan menjalar dan ketika sampai pada jaringan sistem lympa maka
berkembanglah menjadi penyakit tersebut. Penyakit ini bukanlah penyakit
yang mematikan, akan tetapi penyakit ini merupakan penyakit kronis dan
dapat mengakibatkan kecacatan yang menetap berupa pembengkakan yang
sangat besar pada bagian kaki, lengan, dan alat kelamin, dan pembengkakan
tersebut bentuknya menyerupai kaki gajah.

Etiologi :
Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial : Wuchereria Bancrofti,
Brugia Malayi, Brugia Timori. cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh
manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan darah. Cacing ini dapat hidup
dalam kelenjar getah bening manusia selama 4 6 tahun dan dalam tubuh manusia
cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar
dalam darah terutama malam hari.

Cara Penularan :
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut digigit
nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam tubuhnya mengandung larva
(L3). Nyamuk sendiri mendapat mikrofilaria karena menghisap darah penderita atau
dari hewan yang mengandung mikrofilaria. Nyamuk sebagai vector menghisap darah
penderita (mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa mikrofilaria ikut terhisap
bersama darah dan masuk dalam lambung nyamuk. Dalam tubuh nyamuk mikrofilaria
tidak berkembang biak tetapi hanya berubah bentuk dalam beberapa hari dari larva 1
sampai menjadi larva 3, karenanya diperlukan gigitan berulang kali untuk terjadinya
infeksi. Di dalam tubuh manusia larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh
menjadi cacing dewasa jantan atau betina serta bekembang biak.

Manifestasi Klinis :
Seseorang yang terinfeksi penyakit kaki gajah umumnya terjadi pada usia
kanak-kanak, dimana dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) mulai dirasakan
perkembangannya.
Gejala akut yang dapat terjadi antara lain :
a. Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan
muncul lagi setelah bekerja berat.
b. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha,
ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit.
c. Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar
dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis).
d. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening,
dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
e. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan
dan terasa panas (early lymphodema).

Gejala kronis dari penyakit kaki gajah yaitu berupa pembesaran yang menetap
(elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).

Cara Penularan :
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut digigit
nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam tubuhnya mengandung larva
(L3). Nyamuk sendiri mendapat mikro filarial karena menghisap darah penderita atau
dari hewan yang mengandung mikrofolaria. Nyamuk sebagai vector menghisap darah
penderita (mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa microfilaria ikut terhisap
bersama darah dan masuk dalam lambung nyamuk. Dalam tubuh nyamuk microfilaria
tidak berkembang biak tetapi hanya berubah bentuk dalam beberapa hari dari larva 1
sampai menjadi larva 3, karenanya diperlukan gigitan berulang kali untuk terjadinya
infeksi. Didalam tubuh manusia larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh
menjadi cacing dewasa jantan atau betina serta bekembang biak

Pencegahan :
1. Menghindari gigitan nyamuk (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya :
a. Menggunakan kelambu sewaktu tidur.
b. Menutup ventilasi dengan kasa nyamuk.
c. Menggunakan obat nyamuk.
d. Mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk.
e. Menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit.
2. Tidak memakai pakaian berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk
3. dan memberikan obat anti-filariasis (DEC dan Albendazol) secara berkala pada
kelompok beresiko tinggi terutama di daerah endemis.
4. Dari semua cara diatas, pencegahan yang paling efektif tentu saja dengan
memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara 3M.
5. Membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan
nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat
perindukan nyamuk, membersihkan semak-semak disekitar rumah, dan melakukan
pengurasan air ditempat-tempat yang dapat mendukung perkembangbiakan larva
menjadi nyamuk.

Pemeriksaan Diagnostik :
1. Diagnosis Immunologi dengan ELISA dan Immunochromatographic Test ( ICT ).
Kedua teknik ini pada dasarnya menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik
untuk mendeteksi anti gen filarial dalam sirkulasi. Hasil tes yang positif menunjukan
adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah dan juga
digunakan untuk monitor keefektifan terapi. Pada stadium opstruktif mikrofilaria
sering tidak dijumpai dalam darah, tetapi ada didalam cairan hidrokel atau cairan
chyluria.
2. Pemeriksaan urin dan mikroskopis
Jika diduga filariasis limfatik, pemeriksaan urin secara makroskopis untuk chyluria
kemudian dipusatkan untuk mikrofilaria.
3. CBC (Complete Blood Count)
Eosinofilia terjadi pada semua bentuk infeksi filariasis yang jelas.
4. Penilaian serum imunoglobulin
Peningkatan serum Ige dan IgG4 dapat terlihat pada filariasis aktif.
5. Uji laboratorium
Seseorang dinyatakan sebagai penderita falariasis apabila di dalam darahnya positif
ditemukan mikrofilaria. Untuk uji laboratorium sebaiknya gunakan darah jari yang
diambil pada malam hari (pukul 20.00 02.00).

Pengobatan
Tujuan utama dalam penanganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah adalah
membasmi parasit atau larva yang berkembang dalam tubuh penderita, sehingga tingkat
penularan dapat ditekan dan dikurangi.
1. Pengobatan Massal
Dilakukan di daerah endemis (mf rate > 1%) dengan menggunakan obat
Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombilansikan dengan Albendazole sekali
setahun selama 5 tahun berturut-turut. Untuk mencegah reaksi pengobatan seperti
demam atau pusing dapat diberikan Paracetamol.
Pengobatan massal diikuti oleh seluruh penduduk yang berusia 2 tahun ke atas, yang
ditunda selain usia 2 tahun, wanita hamil, ibu menyusui dan mereka yang menderita
penyakit berat.
Dietilkarbamasin {diethylcarbamazine (DEC)} adalah satu-satunya obat
filariasis yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat
makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini tergolong murah, aman dan tidak ada
resistensi obat. Dietilkarbamasin tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis.
Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai
konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih.
Namun pada kasus penyakit kaki gajah yang cukup parah (sudah membesar) karena
tidak terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan tentunya memerlukan langkah
lanjutan seperti tindakan operasi.
2. Pengobatan Selektif
Dilakukan kepada orang yang mengidap mikrofilaria serta anggota keluarga
yang tinggal serumah dan berdekatan dengan penderita di daerah dengan hasil survey
mikrofilaria < 1% (non endemis)

3. Pengobatan Individual (penderita kronis)
Semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari selama 10 hari sebagai
pengobatan individual serta dilakukan perawatan terhadap bagian organ tubuh yang
bengkak
Penyakit kaki gajah atau filariasis limfatik selama tiga dekade ini disangka telah
terberantas, ternyata tidak lebih dari keberadaannya yang neglected. Pemberitaan di media
massa, terlebih media elektronik terutama aspek pengendaliannya dan atensi pemerintah akan
dampak penyakit ini yang dapat mempengaruhi anggota tubuh kaki atau tangan yang
membesar (elephantiasis), hidrokel, mempengaruhi payu dara, kiluria. Singkatnya penyakit
ini menyebabkan kecacatan bahkan WHO mencatat filariasis sebagai penyebab kecacatan
kedua setelah kusta. Selain itu menurut studi yang dilakukan oleh ahil ekonomi kesehatan,
penyakit ini juga berdampak pada economic loss. Kumulatif data mencatat 11,699 orang
berkembang menjadi kronis filariasis di Indonesia. Bahkan diperkirakan penyakit ini telah
menyebar di 337 dari total 472 kabupaten/ kota di Indonesia (Depkes RI, 2010).
Penyakit kaki gajah atau filariasis limfatik disebabkan oleh cacing kelas nematoda
jaringan yang ditularkan melalui nyamuk. Cacing penyebabnya antara lain Brugia malayi,
Brugia timori dan Wuchereria bancrofti. Sedangkan vektor atau nyamuk penular ada 23 jenis
spesies. Jadi resiko penularan sangat dimungkinkan apalagi topografi daerah di Indonesia
yang cukup homogen berdasarkan pendekatan kepulauan. Strategi pengendalian yang
direkomendasi WHO berdasarkan studi di lapangan adalah dengan memutus transmisi
melalui mass drug administration (MDA) dan mencegah dan membatasi kecacatan melalui
penatalaksanaan kasus klinis. Strategi yang direkomendasikan sangat jelas dan terukur
dampaknya. Global Programme to Eliminate Lympahtic Filariasis adalah program yang
bertujuan mengeliminasi filariasis limfatik di tahun 2020. Di Indonesia masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat.
c) Trakoma
Trakoma adalah suatu bentuk keratokonjungtivitis kronis yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Chlamydia trachomatis (Solomon, 2010).

Etiologi :
Trakoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotipe A, B, Ba
dan C. Chlamydia adalah gram negatif, yang berbiak intraseluler. Spesies C
trachomatis menyebabkan trakoma dan infeksi kelamin ( serotipe D-K) dan
limfogranuloma venerum ( serotipe L1-L3). (Solomon et al, 2004).

Perjalanan Penyakit dan Tanda Klinis :
Secara klinis, trakoma dapat dibagi menjadi fase akut dan fase kronis ,
tetapi tanda akut dan kronis dapat muncul dalam waktu yang bersamaan dalam
satu individu. Derajat keparahan dari infeksi mata oleh Chlamydia trachomatis
dapat ringan sampai dengan berat. Banyak infeksinya bersifat asimtomatis.
Sesuai dengan masa inkubasinya yaitu 5-10 hari, infeksi konjungtiva
menyebabkan iritasi, mata merah, dan discharge mukopurulen. Keterlibatan
kornea pada proses inflamasi akut dapat menimbulkan nyeri dan fotofobia.
Secara umum, gejala lebih ringan dari tampilan mata.
Tanda awal infeksi yang kurang spesifik adalah vasodilatasi dari
pembuluh darah konjungtiva. Perubahan spesifik terjadi beberapa minggu
setelah infeksi, yaitu dengan munculnya folikel-folikel pada konjungtiva
fornics, konjungtiva tarsal dan limbus. Folikel adalah adalah limfoid germinal
dan ditemukan dibawah lapisan epitel. Folikel terlihat sebagai massa abu-abu
atau creamy dengan diameter 0,2-3,0 mm. Tidaklah normal bila ditemukan
satu atau dua folikel pada mata yang sehat, tertama di canthi lateral atau
medial. Karena lapisan superfisial dari stroma konjungtiva memiliki sedikit
jaringan limfoid sampai kurang lebih 3 bulan setelah lahir, neonatus tidak
mampu menahan respon folijular terhadap infeksi mata oleh Chlamydia. Papil
juga dapat terlihat pada fase ini :pada kasus ringan terlihat titik-titik merah
kecil dengan mata telanjang. Dengan bantuan slit lamp, papil terlihat sebagai
pembengkakan kecil konjungtiva, dengan vaskularisasi di tengahnya. Ketika
inflamasi bertambah berat, reaksi papilar pada konjungtiva tarsal diasosiasikan
dengan penebalan konjungtiva, pertambahan vaskularisasi pembuluh tarsal,
dan kadang kadang edema palpebra. Bila kornea terlibat pada proses
inflamasi, keratitis punctata superficialis dapat dideteksi dengan tes
flouresensi. Infiltrat superficial atau pannus (infiltrasi subepitel dari jaringan
fibrovaskular ke perifer kornea) mengindikasikan inflamasi kornea. Folikel,
papil dan tanda kornea lain adalah tanda dari fase aktif, namun pannus dapat
bertahan setelah fase aktif.
Resolusi dari folikel ditandai dengan terjadinya scarring pada subepitel
konjungtiva. Deposisi dari skar biasanya di konjungtiva tarsal atas, walaupun
konjungtiva fornces, konjungtiva bulbi dan daerah atas kornea dapat terkena.
Di daerah endemis trakoma, sikatrik pada daerah tarsal karena episode infeksi
berulang menjadi dapat terlihat secara makroskopis dengan mengeversi
palpebra atas, nampak seperti plester putih dengan latar konjungtiva yang
eritematous. Di limbus, pergantian folikel menjadi scar mengahasilkan formasi
depresi translusen pada corneoscleral junction yang disebut Herberts pits.
Bila scar pada konjungtiva tarsal cukup banyak berkumpul,
menyebabkan kelopak mata atas menekuk ke dalam dan menyebabkan bulu
mata mengenai bola mata, hal ini disebut trikiasis. Ketika semua bagian
kelopak mengarah ke dalam disebut entropion. Trikiasis sangat mengiritasi.
Penderita kadang mencabut sendiri bulu mata atau memplester kelopak mata
agar mengahadap ke luar.
Selain nyeri, trikiasis juga mencederai kornea, sebagai efek abrasi
kornea dapat terjadi infeksi sekunder oleh jamur atau bakteri. Karena sikatrik
bersifat opak maka penglihatan dapat terganggu bila mengenai daerah sentral
kornea (Solomon et al, 2004)

Grading Trakoma :
Pembagian menurut WHO Simplified Trachoma Grading Scheme :
1. Trakoma Folikular (TF)
2. Trakoma Inflamasi berat (TI)
3. Sikatrik Trakoma (TS)
4. Trikiasis (TT)
5. Opasitas Kornea (CO)

Diagnosa :
1. Riwayat Penyakit
Trakoma aktif biasanya ditemukan pada anak anak, dan penduduk pada daerah
endemis, hanya menimbulkan sedikit keluhan. Penderita dengan trikiasis bisa
simtomatis. Beratnya keluhan bergantung pada banyaknya bulu mata yang menyentuh
bola mata, ada atau tidaknya abrasi kornea, dan ada tidaknya blefarospasme.
2. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan mata untuk tanda-tanda klinis dari trakoma meliputi pemeriksaan
yang teliti terhadap bulu mata, kornea dan limbus, kemudian eversi palpebra atas, dan
inspeksi konjungtiva tarsal. Binocular Loupes (x2,5) dan pencahayaan yang cukup
dibutuhkan, bila memungkinkan slit lamp dapat digunakan.
3. Pemeriksaan laboratorium
Mikroskopis, kultur sel, direct fluorescent antibody, enzyme immunoassay,
serology, PCR, direct hybridization probe test, Ligasse chain reaction, Strand
displacement assay, quantitative PCR (Salomon et al, 2004).
4. Penegakkan Diagnosa
Diagnosa trakoma ditegakkan berdasarkan:
a) Gejala Klinik :
Bila terdapat 2 dari 4 gejala klinik yang khas, sebagai berikut :
- Adanya prefolikel di konjungtiva tarsalis superior
- Folikel di konjungtiva forniks superior dan limbus kornea 1/3 bagian atas
- Panus aktif di 1/3 atas limbus kornea
- Sikatrik berupa garis-garis atau bintang di konjungtiva palpebra/ forniks
superior, Herberts pit di limbus korne 1/3 bagian atas
b) Kerokan konjungtiva, yang dengan pewarnaan giemsa dapat ditemukan badan
inklusi Halbert staedter Prowazeki. Diagnosa trakoma juga dapat ditegakkan
bila terdapat satu gejala klinis yang khas ditambah dengan kerokan
konjungtiva yang menghasilkan badan inklusi.
c) Biakan kerokan konjungtiva dalam yolk sac, menghasilkan badan inklusi dan
badan elementer dengan pewarnaan giemsa.
d) Tes serologis dengan :
- Tes fiksasi komplemen, untuk menunjukkan adanya antibodi terhadap
trakoma,dengan menggunakan antigen yang murni. Melakukannya mudah, tak
memerlukan peralatan canggih, cukup mempergunkan antigen yang stabil,
mudah didapat di pasaran. Mempunyai nilai diagnostik yang tinggi.
- Tes mikro-imunofluoresen, menentukan antibodi antichlamydial yang spesifik,
beserta sifat-sifatnya (IgM,IgA,IgG). Lebih sukar dan memerlukan peralatan
canggih.
Penatalaksanaan :
Kunci pentalaksanaan trakoma yang dikembangkan WHO adalah strategi SAFE
(Surgical care, Antibiotics, Facial cleanliness, Environmental improvement).
1) Terapi antibiotik
WHO merekomendasikan dua antibiotik untuk trakoma yaitu azitromisisn oral dan
salep mata tetrasiklin.
Azitromisin lebih baik dari tetrasiklin namun lebih mahal.
Program pengontolan trakoma di beberapa negara terbantu dengan donasi azitromisin.
Konsentrasi azitromisin di plasma rendah, tapi konsentrasi di jaringan tinggi,
menguntungkan untuk mengatasi organisme intraselular.
Azitromisin adalah drug of choice karena mudah diberikan dengan single dose.
Pemberiannya dapat langsung dipantau. Karena itu compliance nya lebih tinggi
dibanding tetrasiklin.
Azitromisin memiliki efikasi yang tinggi dan kejadian efek samping yang rendah.
Ketika efek samping muncul, biasanya ringan; gangguan GI dan rash adalah efek
samping yang paling sering.
Infeksi Chlamydia trachomatis biasanya terdapat juga di nasofaring, maka bisa terjadi
reinfeksi bila hanya diberi antibiotik topikal.
Keuntungan lain pemberian azitromisin termasuk mengobati infeksi di genital, sistem
respirasi, dan kulit.
Resistensi C. trachomatis terhadap azitromisin dan tetrasiklin belum dikemukakan.
Azitromisin : dewasa 1gr per oral sehari; anak anak 20 mg/kgBB per oral sehari
Salep tetrasiklin 1% : mencegah sintesis bakteri protein dengan binding dengan unit
ribosom 30S dan 50S. Gunakan bila azitromisin tidak ada. Efek samping sistemik
minimal. Gunakan di kedua mata selama 6 minggu
2) Tindakan bedah
Pembedahan kelopak mata untuk memperbaiki trikiasis sangat penting pada penderita
dengan trikiasis, yang memiliki resiko tinggi terhadap gangguan visus dan
penglihatan.
Rotasi kelopak mata membatasi perlukaan kornea. Pada beberapa kasus, dapat
memperbaiki visus, karena merestorasi permukaan visual dan pengurangan sekresi
okular dan blefarospasme
3) Kebersihan wajah
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa kebersihan wajah pada anak- anak
menurunkan resiko dan juga keparahan dari trakoma aktif.
Untuk mensukseskannya, pendidikan dan penyuluhan kesehatan harus berbasis
komunitas dan berkesinambungan
4) Peningkatan sanitasi lingkungan
Penyuluhan peningkatan sanitasi rumah dan sumber air, dan pembuangan feses
manusia yang baik.
Lalat yang bisa mentransmisikan trakoma bertelur di feses manusia yang ada di
permukaan tanah. Mengontrol populasi lalat dengan insektisida cukup sulit.



1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia, 2006; 1-66.
2. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiadi S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Edisi ke-
4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006; 988-993.
3. McNerney R, Maeurer M, Abubakar I, Marais B, McHugh TD, et al. Tuberculosis
diagnostics and biomarkers: needs, challenges, recent advances, and opportunities. J
Infect Dis 205 Suppl 2. 2012; S147158.
4. Weinberger, S.E, Cockrill, B.A., Mandel J., 2008. Tuberculosis and Nontuberculous
Mycobacteria. In : Weinberger, S.E, Cockrill, B.A., Mandel J.Principles of
Pulmonary Medicine. 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 306 315.
5. Smith, I., 2003. Mycobacterium Tuberculosis Pathogenesis and Molecular
Determinants of Virulence. Clinical Microbiology Reviews 2003; 16(3): 463-496.
6. DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics.
Disease Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf
7. Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University
Press, Inc.
8. Pavlin JA (2003). Investigation of disease outbreaks detected by syndromic
surveillance systems. Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy
of Medicine, 80 (Suppl 1): i107-i114(1).
9. WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance.
Weekly epidemiological record, 75: 1-8.
10. The Free Medical Dictionary. www.
Medicaldictionary.thefreedictionary.com/case+finding
11. Differences between screening and - diagnostic tests, case finding.
http://www.healthknowledge.org.uk/public-health-textbook/disease-causation-
diagnostic/2c-diagnosis-screening/screening-diagnostic-case-finding
12. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIANOMOR
1501/MENKES/PER/X/2010
13. Departemen Kesehatan (DEPKES RI). (2000). Iodine Deficiency Disorders (IDD)
Control Program in Indonesia.
14. Atmarita. (2005). Nutrition Problems in Indonesia. Paper presented at An Integrated
Seminar and Workshop on Lifestyle Related Disease, Gadjah Mada University,
19-20 March, 2005.
15. Bernal J and Nunes J. (1995). Thyroid hormones and brain development. European
Jounal 0f Endocrinology, pp 390-398.
16. Dunn JT. Iodine Should Be Routinely Added to Complementary Foods. Journal of
Nutrition, 2003. 133:3008S-3010S.
17. Zimmerman. i 2009, p 376)
18. Benoist B. McLean E. Egli I. Cogswell M. Worldwide prevalence of anaemia 1993-
2005. Switzerland: WHO press; 2008
19. Bakta IM. Hematologi Klinik. Jakarta: EGC. H26-39
20. Permono, B. Ugrasena, IDG. 2002. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak.
Surabaya: SIC.
21. Permono,B. Ugrasena, IDG.2004. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya: FK
Unair.
22. Mansjoer, Arif, dkk. Kurang Vitamin A. Kapita Selekta. Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2000; hal.520-22
23. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak 2. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI. 1985. hal.906-11
24. WHO. 1995. Global prevalence of vitamin A deficiency. WHO Micronutrient
Deficiency
25. Onformation Systems: Working Paper Number 2. WHO, Geneva, Switzernland.
26. Bauernd, JC. 1994. Nutrification of Foods. In Shils, MD.; Olsm, JA.; Shike, M.
Ed.Modern nutrition in health an disease. Lea and Febiger, 8th Edition, Chaper
27. INNAG. 1993. Iron EDTA for food fortifikation. A report of the INAAG.
Wahongton,DC. USA.
28. Jahrling PB, et al. Preliminary report. Isolation of Ebola virus from monfilovirus
keys imported to USA.Lancet,1990;335:502-505,
29. Murphy FA, Kiley MP, Fisher-HochS. Filoviridae. Marburg and Ebola Viruses. In:
Fields BN, Knipe DM, et.al., ed. Virology,second edition. NewYork;RavenPress,
1990
30. Dirjen Bina Pelayanan Medik.2009.Kebijakan Nasional Ditjen Bina Yanmed
Dalam Penanganan Influenza A Baru (H1N1) di Rumah Sakit.
31. Salaam, Tiaji. 2009. The Influenza 2009 Pandemic: US responses to Global Human
Cases. www.crs.gov. diakses tanggal 18 Januari 2011.
32. Abdel-Ghafar, Abdel-Ghafar, dkk. 2008. Update on Influenza A (H5N1) Virus
Infection in Humans. The New England Journal of Medicine; N Engl Med
2008;358:261-73. Diakses tanggal 7 Maret 2010
33. WHO. 2005. Responding to The Avian Influenza Pandemic Threat; Recomended
Strategic Action. WHO/CDS/CSR/GIP/2005.8. Diakses tanggal 7 Maret 2010

Anda mungkin juga menyukai