Anda di halaman 1dari 3

Nama : Wilda Fitri Rahmadhani

Kelas : XII IPA 2


No.absen : 30


Tragedi Solo

Tanggal 14-15 Mei 1998, menjadi peristiwa kelam dalam sejarah yang tidak
terlupakan bagi warga Solo dan sekitarnya. Sejumlah bangunan terbesar dan penting
dihancurkan hingga luluh lantak oleh kobaran api akibat dibakar massa atau orang-
orang tak bertanggung jawab.
Tidak sedikit bangunan yang menjadi korban, yakni gedung perbankan, dealer
mobil, pabrik, pertokoan, perkantoran, rumah, mal dan banyak bangunan lain yang juga
hangus dilalap si jago merah. Kejadian itu membuat banyak orang yang menyebut Solo
hancur, atau Solo luluh lantak.

Salah satunya Singosaren Plaza, atau 15 tahun lalu dikenal bernama Matahari
Department Store. Bangunan itu terletak di simpang Jalan Honggowongso dan Jalan dr
Radjiman, Serengan, Solo, Jawa Tengah.

Bangunan yang sudah berganti bernama menjadi Singosaren Plaza ini, sudah
berdiri sejak zaman kolonial Belanda dan masih terus berbenah. Singosaren Plaza
awalnya merupakan pasar tradisional. Sekitar 20 tahun silam, pasar itu dikontrak dan
dikelola pihak ketiga.

Pasar tradisional kemudian disulap menjadi pusat perbelanjaan modern yang
diberi bernama Matahari Department Store. Meski telah mengalami perubahan besar,
masih terselip pedagang tradisional.
Hendra Saputra, warga Jayengan RT 01 RW 09, merupakan saksi hidup
penghancuran dan pembakaran Matahari Department Store oleh massa.

"Dulu itu seingat saya, sekitar jam dua siang ada segerombolan orang yang
melakukan perusakan. Memecah kaca Matahari dengan dilempar batu sampai hancur.
Tak lama banyak orang menjarah barang-barang," ujar Hendra kepada merdeka.com,
Sabtu (11/5).
Hendra, yang saat itu masih bersekolah di SMP Al Islam 1 Solo, menambahkan,
setelah puas menjarah, massa kemudian membakar Matahari. Tak hanya itu, mereka
berteriak-teriak mengajak warga lainnya untuk ikut membakar. Bangunan-bangunan
yang berdiri di sekitarnya pun ikut dijarah, dan dibakar.

"Setelah membakar Matahari, saya lihat gerombolan orang banyak lari ke
selatan, dan membakar dealer Ramayana," kenangnya.

Hendra bersyukur pasar kebanggaan warga Solo tersebut kembali berdiri gagah.
Dia berharap, kejadian Mei 1998 tak akan terulang lagi. Sehingga, warga Solo bisa
hidup tenang, tanpa dibayang-bayangi kerusuhan lainnya.

Lain lagi dengan Watik, saksi hidup hancur dan pembangunan kembali
Singosaren Plaza itu, meski sudah berpindah ke Pasar Kadipolo yang posisinya tidak
berjauhan, perempuan yang sudah puluhan tahun berdagang di Pasar Singosaren itu,
tahu persis bagaimana perubahan wajah Pasar Singsosaren dari pasar tradisional
menjadi supermarket.
Setelah dibangun menjadi Matahari, seluruh pedagang dipindah ke pasar
Kadipolo, tapi ada juga yang tetap bertahan dengan membeli kios yang sudah
disediakan.
"Saya berjualan di Singosaren sudah 25 tahun. Ketika pasar Singosaren
dibangun menjadi pasar modern, para pedagang yang ada saat itu dipindahkan ke
Pasar Kadipolo. Tapi saya masih bertahan, karena saya jual buah-buahan, jadi tetap di
sana. Tapi karena sepi saya pindah ke pasar Kadipolo," ujarnya.

Watik mengisahkan ketika terjadi kerusuhan pada tahun 1998 aktivitas ekonomi
benar-benar lumpuh. Kini, Singosaren Plaza, atau Matahari Department Store telah
berubah wajah seiring banyaknya mal dan pusat perbelanjaan. Matahari tetap mengisi
tenant yang disediakan, ditambah pusat sandang, toko emas, pusat handphone dan
sebagainya.

Saat ini pasar yang terletak di kawasan Kelurahan Kemlayan, Kecamatan
Serengan, Solo tetap dikelola pihak ketiga, untuk lantai dasar dikelola Dinas Pengelola
Pasar (DPP) Kota Solo yang berisi 254 kios dan 17 los pasar tradisional.

Selain Matahari Department Store, Atrium 21 Solo Baru juga menjadi korban
dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998 lalu. Bangunan yang menjadi pusat hiburan
terbesar dan termegah di Solo kala itu, hancur dibakar massa. Kini hanya tersisa semak
belukar dan sebuah pintu gerbang.

Tak jauh dari Atrium 21, terdapat rumah yang sempat ditinggali Harmoko,
mantan Menteri Penerangan era Soeharto. Bangunan berbentuk Joglo Jawa di Jalan
Rambutan, Solo Baru tersebut juga luluh lantak tak berbekas.

Bahkan di dalam rumah tersebut terdapat seperangkat gamelan yang terbuat dari
kuningan yang juga hancur terbakar. Kondisinya tak beda jauh dengan Atrium 21.
Menurut beberapa tetangga, pemilik tanah sudah berganti.

"Setahu saya sudah bukan milik pak Harmoko lagi, sudah ada yang beli. Senin
besok malah akan dibangun rumah," ujar Husein yang tinggal di Jalan Mangga itu.

Anda mungkin juga menyukai