Anda di halaman 1dari 5

Faktor risiko terjadinya Bakterial vaginosis pada wanita di Indonesia

(Risk Factor For Bacterial Vaginosis Among Indonesian Women)


Abstrak
Tujuan Untuk mengetahui faktor-faktor resiko bakterial vaginosis (BV) pada perempuan
Indonesia.
Metode penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang yang melibatkan 492
perempuan yang berusia 15-50 tahun. Sekret vagina diambil kemudian dilakukan tes Whiff dan
tes Nugent untuk mengetahui ada atau tidaknya BV. Tempat penelitian adalah puskesmas
karawang, Pedes, Cikampek, tempuran, klinik Bataliyon 201 cijantung, Fakultas Kedokteran
Univesitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Hasil subjek memiliki usia 15-22 tahun (268%), 26-40 tahun (59,1%), 40 tahun(14%) usia ratarata adalah 30.9 tahun. Status pernikahan subjek adalah belum menikah (16,9%), menikah 1x
(76,4%), dan menikah >1x (OR=3,15 95% CI=1,15-1,48) dan Pasangan Yang Tidak
Disirkumsisi (OR=6,25, 95% CI=2,54-15,38) merupakan faktor determinan yang secara
signifikan berpengaruh terhadap kejadian BV (p<0,05).
Kesimpulan Prevalensi BV pada penelitian ini adalah 30,7%. Faktor resiko BV adalah usia dan
pasangan yang tidak disirkumsisi.
Bakterial vaginosis adalah salah satu masalah ginekologi yang paling sering ditemukan.
BV disebabkan oleh ketidakseimbangan flora normal vagina sehingga meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi bakteri pada daerah vagina. Lactobacillus sp yang merupakan flora normal
dalam vagina, digantikan oleh bakteri anaerob fakultatif yaitu spesies Mobiluncus, spesies
Bacteroides khususnya Gardnerella vaginalis.
Prevalensi dan distribusi BV bervariasi disetiap populasi di dunia. Pada beberapa
penelitian dilaporkan bahwa prevalensi kejadian BV lebih tinggi pada ras afrika, afro-amerika
dan afro-caribian. Penelitian terhadap wanita asia yang dilakukan di India dan Indonesia
menunjukkan bahwa prevalensi BV adalah sekitar 32%.

BV dihubungan dengan beberapa penyakit yang dapat menyerang wanita yaitu infeksi
saluran kencing (ISK), pelvic inflamatory disease (PID), kelahiran premature, ketuban pecah
dini, dan peningkatan resiko transmisi HIV. Strategi pencegahan khusus dibutuhkan untuk
mengurangi insiden BV. Usaha pencegahan yang paling utama yaitu dengan mengidentifikasi
faktor resiko terjadi BV.
Faktor resiko sosialekonomi yang diukur adalah pendapatan dan tingkat pendidikan
yang berhubungan dengan BV. Penelitian tentang faktor-faktor resiko lain yang terkait dengan
BV telah dilakukan dibeberapa negara. Jumlah populasi yang diteliti sedikit dan sangat selektif
sehingga tidak bisa menggambarkan populasi pada umumnya. Di Indonesia, tidak ada data
mengenai studi faktor resiko BV. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
resiko BV pada perempuan Indonesia, sehingga strategi pencegahan dapat dibuat.
Metode penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah studi deskriptif. Penelitian ini dilakukan di
Puskesmas Karawang Pedes Cikampek Tempurang (kab. Karawang), klinik Batalyon 201
Cijantung dan Laboratorium mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia selama
kurun waktu Mei 2008 - Februari 2009. Dengan menggunakan teknik pengambilan sampel
secara konsekutif. 429 sampel diperoleh dari populasi wanita di Indonesia antara usia 15-50
tahun. 100 sampel diperoleh dari setiap lokasi penelitian, akan tetapi 8 orang dieksekusi dari
penelitian ini sebab hasil laboratoriumnya tidak dapat dibaca. Mekanisme pengumpulan data
pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Wawancara dan kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data demografi dan
karakteristik medis.

Data demografi yang dimaksud seperti umur, pendidikan, pekerjaan, dan status
perkawinan.

Data karakteristik medis yang dimaksud adalah paritas, riwayat gangguan


ginekologi, riwayat penyakit menular seksual, riwayat diabetes melitus,
penggunaan antibiotik, penggunaan kontrasepsi, status sirkumsisi mitra seksual,
penggunaan pantyliner dan penggunaan sabun pembersih vagina.

2. Whiff test untuk mendeteksi VB


Prosedur whiff test yaitu dengan mengambil sekret vagina 1-2 tetes lalu
menempatkannya pada objek glas dan dicampur dengan 1-2 tetes KOH 5-10% dengan
menggunakan batang pengaduk. Pemeriksa kemudian mencium bau yang timbul. Whiff
test dikatakan positif apabila tercium bau amis (fishy-like odor). Untuk subjek yang
belum menikah, sekret vagina diambil dengan menggunakan kapas lidi pada daerah 2/3
distal dari portio vagina, dibagian luar himen
3. Nugent Scoring System untuk mendiagnosis BV
Preparat pewarnaan gram dinilai dan di skoring berdasarkan Nugent criteria (tabel 1).
Kriteria diagnostik dengan menggunakan Nugent criteria dibuat berdasarkan penilaian
kuantitas (A+B+C). Interpretasinya yaitu normal (skor 0-3 ), indeterminate (skor 4-6),
dan bakterial vaginosis (skor 7). Pada penelitian ini, bakterial vaginosis dikategorikan
positif bila memenuhi skor 7 dan dikategorikan negatif bila skornya memenuhi kriteria
normal atau indeterminate.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS 16. Pada analisis bivariat
digunakan uji chi square dan uji fischer untuk mengetahui perbedaan prevalensi masingmasing variabel. Selanjutnya, analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan uji
regresi logistik untuk mengetahui faktor yang paling berhubungan dengan kejadian
bakterial vaginosis.
Hasil
Karakteristik demografi
Terdapat 492 wanita yang terlibat dalam penelitian ini. Rata-rata usia mencakup 30,2 + 0,27
tahun yang terdiri dari usia 15 25 tahun (26,8 %), usia 26 40 tahun (59,1 %), dan usia > 40
tahun (14 %). Status perkawinan subjek dibedakan menjadi belum menikah (16,9 %), menikah
(76,4 %), dan menikah lebih dari satu kali (6,7 %). Dari seluruh subjek penelitian yang berumur
> 40 tahun, telah menikah atau telah menikah lebih dari satu kali. Sebagian besar subjek adalah
ibu rumah tangga (69,2 %) dan sebanyak 46,3 % tingkat pendidikan subjek adalah SMA.
Bakterial vaginosis ditemukan pada 151 subjek (30,7 %). Diantara karakteristik demografi
tersebut faktor yang terkait dengan prevalensi BV adalah usia, pendidikan, dan pekerjaan (p <

0,05). Status perkawinan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian bakterial
vaginosis.
Karakteristik Medis
Wanita dengan paritas >5 lebih mudah terkena BV jika dibandingkan dengan nulipara
(50% vs 2,4%, p=0,005) dan paritas 1-5 (36,9%, p=0,000). Prevalensi BV lebih tinggi pada
wanita dengan pasangan yang tidak disirkumsisi (36,9% vs 6,8%, p=0,000). Prevalensi BV juga
meningkat pada wanita yang menggunakan panty liner (p=0,012) (tabel 2). Walaupun tidak
signifikan secara statistik, namun didapatkan bahwa secara prevalensi BV pun meningkat pada
wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi. Riwayat diabetes mellitus (DM) infeksi menular
seksual (IMS), penggunaan antibiotik, dan penggunaan sabun pembersih vagina tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian BV.
Analisis Multivariat
Umur, pendidikan, pekerjaan, paritas, riwayat sirkumsisi pasangan, dan penggunaan
panty liner dimasukkan dalam analisis multivariate (tabel 4). Berdasarkan hasil analisis
ditemukan wanita pada umur > 40 tahun (OR=3,15, p=0,003) dan pasangan yang tidak
disirkumsisi (OR=0,00) merupakan faktor independen yang berhubungan dengan BV. Faktor lain
dalam analisis multivariate ini tidak memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian BV.
Diskusi
Berdasarkan hasil analisis multivariat, faktor risiko determinan untuk BV adalah usia diatas 40
tahun dan pasangan yang tidak disirkumsisi.
Pasangan yang tidak di sirkumsisi merupakan faktor risiko independen untuk BV (OR = 6.55, 95
% CI : 2.54-15.38). Sirkumsisi sangat berkaitan dengan kebersihan penis yang dikaitkan dengan
transmisi infeksi. Membran mukosa pada preputium penis memiliki lebih sedikit lapisan keratin
dibandingkan dengan kulit pada bagian tubuh lain sehingga sangat rentan terhadap trauma
selama berhubungan intim dan dapat menjadi tempat masuknya berbagai mikroorganisme
patogen ke dalam tubuh. Ruang antara preputium dan glans penis memiliki suasana lembab dan
hangat yang sangat kondusif untuk deposit berbagai mikroorganisme patogen.

Gary, dkk melaporkan bahwa pasangan yang telah disirkumsisi dapat mengurangi risiko ulkus
kelamin, Trichomonas, dan bakterial vaginosis pada pasangannya. Yang, dkk juga menyatakan
bahwa sirkumsisi mengurangi risiko infeksi menular seksual (IMS) seperti HIV, HPV, HSV tipe
II dan sifilis.
Usia > 40 tahun merupakan faktor risiko BV (OR = 3.15, p = 0.003). Hal ini dihubungkan
dengan konsisi premenopausal hypoestrogenic yang biasanya terjadi pada usia > 40 tahun.
Menurunnya kadar estrogen menyebabkan peningkatan pH vagina. Kondisi ini tidak optimal
untuk pertumbuhan Lactobacillus sp sebagai flora normal vagina, sebaliknya sangat kondusif
untuk pertumbuhan mikroorganisme penyebab bakterial vaginosis. Penelitian pada wanita usia >
40 tahun sebelumnya telah dilakukan oleh Cauci, dkk. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa
wanita premenopause memiliki prevalensi lebih tinggi untuk terkena BV dibandingkan dengan
wanita usia produktif dan wanita post-menopause, dan bahwa jumlah Lactobacillus sp semakin
berkurang seiring bertambahnya usia.
Terdapat penemuan menarik terkait dengan penggunaan kontrasepsi. Meskipun bermakna
signifikan secara statistik, wanita yang sedang menggunakan kontrasepsi memiliki risiko lebih
rendah untuk terkena BV dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi atau
steril. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengidentifikasi kontrasepsi
sebagai faktor risiko terjadinya bakterial vaginosis.
Sebagai kesimpulan, prevalensi bakterial vaginosis berdasarkan Nugent criteria pada penelitian
ini adalah 30.7 %. Faktor yang berhubungan dengan insidensi BV adalah usia, pendidikan,
pekerjaan, paritas, mitra seksual yang tidak disirkumsisi, dan penggunaan panty liner.
Berdasarkan hasil analisis multivariat, faktor risiko determinan untuk terjadinya bakterial
vaginosis adalah faktor usia dan mitra seksual yang tidak disirkumsisi.

Anda mungkin juga menyukai