Anda di halaman 1dari 21

REFRAT

BRONKIEKTASIS

Oleh:
Nindya Putri P.R.

G99122085

Caesaria Christ Haryadi

G99122025

Ema Nur Fitriana

G99122039

Syahmi Amar

G99122107

Nani Isyrofatun

G99122082

Pembimbing: dr. Sulistyani K., M.Sc., Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U RAK AR TA
2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
dan distorsi bronkus ukuran sedang (diameter jalan napas lebih dari 2 mm)
yang bersifat permanen dan irreversible. Dilatasi tersebut menyebabkan
berkurangnya aliran udara dari dan ke paru-paru. Bronkiektasis digolongkan
dalam penyakit paru obstruktif kronik yang bermanifestasi sebagai peradangan
saluran nafas lalu menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak,
gangguan pembersihan mucus yang biasanya disertai batuk dan kadang-kadang
hemoptisis. Bronkiektasis bukan merupakan penyakit tunggal, dapat terjadi
melalui berbagai cara dan merupakan akibat dari beberapa keadaan yang
mengenai dinding bronchial (Rahmatullah, 2001).
Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat penting di
negara-negara berkembang terutama negara dengan sarana medis dan terapi
antibiotika terbatas. Bronkiektasis umumnya terjadi pada penderita denan umur
rata-rata 39 tahun, terbanyak pada usia 60-80 tahun. Sebab kematian yang
terbanyak pada bronkiektasis adalah karena gagal nafas. Lebih sering terjadi
pada perempuan daripada laki-laki, dan yang bukan perokok (Rahmatullah,
2001).
B. Tujuan
Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis,
diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis pada
bronkiektasis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
bronkus yang bersifat patologis dan berlangsung kronik. Dilatasi tersebut
menyebabkan berkurangnya aliran udara dari dan ke paru-paru. Dengan alasan
ini, bronkiektasis digolongkan dalam penyakit paru obstruktif kronik, yang
bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan dan mudah kolaps, lalu
menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak, gangguan
pembersihan mukus yang biasanya disertai dengan batuk dan kadang-kadang
hemoptisis (Benditt, 2008; ORegan, 2004; Emmons, 2007).
Menurut Djojodibroto (2009), bronkiektasis adalah pelebaran bronkus
yang disebabkan oleh kelemahan dinding bronkus yang sifatnya permanen.
Diagnosis bronkiektasis dibantu dengan pemeriksaan bronkografi, tapi akhirakhir ini bronkografi jarang dilakukan dan digantikan dengan pemeriksaan
High Resoluted Computed Tomography ( HRCT ). Bronkiektasis sering
dikategorikan

penyakit

infeksi

saluran

pernapasan

dengan

diagnosis

bronkiektasis terinfeksi.
B. Insidensi
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai
penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinikklinik dan diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita
mulai sejak anak bahkan dapat berupa kelainan congenital (Alsagaff, 2006;
Hasan, 2006; Rahmatullah, 2009).
C. Epidemiologi
Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat penting pada
negara-negara berkembang. Di negara-negara maju seperti AS, bronkiektasis
mengalami penurunan seiring dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi
bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan sosioekonomi yang
rendah (Emmons, 2007; Hasan, 2006).
D. Etiologi
3

Etiologi bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Namun diduga


bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat

(Alsagaff,

2006).
1. Kelainan kongenital
Dalam hal ini, bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam
kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan
memegang peranan penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya
mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus.
Selain itu, bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit-penyakit
kongenital seperti Fibrosis kistik, Sindroma Kertagener, William Campbell
syndrome, Mounier-Kuhn syndrome, dll (Alsagaff, 2006; Emmons, 2007;
Oregan, 2004).
2. Kelainan didapat
a. Infeksi
Bronkiektasis dapat disebabkan oleh bermacam-macam infeksi
nekrosis yang tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat. Infeksi
primer merupakan penyebab umum dari bronkiektasis di negara
berkembang, dan biasanya penggunaan antibiotik juga tidak konsisten.
Ada beberapa bakteri yang dapat menyebabkan bronkiektasis, antara lain
Klebsiella species, Staphylococcus aureus, Mycobacterum tuberculosis,
Mycoplasma pneumonia, Mycobacterium nontuberculosis, measles virus,
pertussis virus, influenza virus, dan herpes simplex virus.
b. Obstruksi bronkial
Focal postobstructive bronchiectasis dapat terjadi dalam beberapa
keadaam klinis, misal right-middle lobe syndrome, yang merupakan tipe
spesifik dari obstruksi bronkial yang dapat menyebabkan bronkiektasis.

c. Aspirasi
Pada orang dewasa, aspirasi benda asing biasanya berasal dari
lambung, seperti makanan, asam peptida dan mikroorganisme. Setelah
aspirasi, pneumonia postobstruksi dapat terjadi dengan perkembangan
4

menjadi bronkiektasis. Bronkiektasis juga dapat terjadi pada keadaan


aspirasi kronik.
d. Defisiensi -1 antitripsin
Patogenesis bronkiektasis masih belum jelas, tapi diyakini bahwa
defisiensi hormone ini dapat menyebabkan pasien lebih rentan terhadap
infeksi saluran napas dan menyebabkan rusaknya bronkus.
e. Paparan gas beracun
Paparan terhadap gas beracun dapat menyebabkan kerusakan
bronkus yang ireversibel dan bronkiektasis kistik. Agen yang terlibat
antara lain gas klorin dan ammonia.
(Emmons, 2007)
E. Patofisiologi
Berdasarkan defenisinya, bronkiektasis menggambarkan suatu keadaan
dimana terjadi dilatasi bronkus yang ireversibel (> 2 mm dalam diameter) yang
merupakan akibat dari destruksi komponen muskular dan elastis pada dinding
bronkus. Rusaknya kedua komponen tersebut adalah akibat dari suatu proses
infeksi, dan juga oleh pengaruh cytokine inflamasi, nitrit okside dan netrophilic
protease yang dilepaskan oleh system imun tubuh sebagai respon terhadap
antigen (Hassan, 2006).
Bronkiektasis dapat terjadi pada kerusakan secara langsung dari dinding
bronkus atau secara tidak langsung dari intervensi pada pertahanan normal
jalan nafas. Pertahanan jalan nafas terdiri dari silia yang berukuran kecil pada
jalan nafas. Silia tersebut bergerak berulang-ulang, memindahkan cairan berupa
mukus yang normal melapisi jalan nafas. Partikel yang berbahaya dan bakteri
yang terperangkap pada lapisan mukus tersebut akan dipindahkan naik ke
tenggorokan dan kemudian batukkan keluar atau tertelan (Benditt, 2008).
Terlepas dari apakah kerusakan tersebut diakibatkan secara langsung atau
tidak langsung, daerah dinding bronkus mengalami kerusakan dan menjadi
inflamasi yang kronik. Bronkus yang mengalami inflamasi akan kehilangan
keelastisannya, sehingga bronkus akan menjadi lebar dan lembek serta
membentuk kantung atau saccus yang menyerupai balon yang kecil. Inflamasi
juga meningkatkan sekresi mukus. Karena sel yang bersilia mengalami
5

kerusakan, sekret yang dihasilkan akan menumpuk dan memenuhi jalan nafas
dan menjadi tempat berkembangnya bakteri. Yang pada akhirnya bakteribakteri tersebut akan merusak dinding bronkus, sehingga menjadi lingkaran
setan antara infeksi dan kerusakan jalan nafas (Benditt, 2008).

Gambar1: Pada bronkiektasis, produksi mukus meningkat, silia mengalami


kerusakan dan daerah bronkus mengalami inflamasi kronik dan
mengalami kerusakan

Gambar 2. Patofisiologi Bronkiektasis


Sumber ( Barker, 2002 ).
F. Gejala klinis
Hampir semua pasien dengan bronkiektasis memiliki batuk dan produksi
sputum kronis. Dahak bersifat lendir, mukopurulen, tebal, ulet, atau kental.
hemoptisis berlebihan juga dapat diakibatkan oleh kerusakan saluran napas
erosif yang disebabkan infeksi akut (Barker, 2002).
Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol. Terjadi
hampir 90% pasien. Beberapa pasien hanya menghasilkan sputum dengan
infeksi saluran pernafasan atas yang akut. Tetapi sebaliknya, pasien-pasien itu
mengalami infeksi yang diam. Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam,
tergantung berat ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum
dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi infeksi
berulang, sputum menjadi purulen dengan bau yang tidak sedap. Dahulu,
jumlah total sputum harian digunakan untuk membagi karakteristik berat

ringannya bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml digolongkan sebagai


bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan
sebagai bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan
sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya bronkiektasis
dikalsifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien fibrosis kistik,
volume sputum pada umumnya lebih banyak dibanding penyakit penyebab
bronkiektasis lainnya (Emmons, 2007; Barker, 2002; O Regan, 2004).
Hemoptisis terjadi pada 56-92% pasien dengan bronkiektasis. Homoptisis
mungkin terjadi masif dan berbahaya bila terjadi perdarahan pada arteri
bronkial. hemoptisis biasanya terjadi pada bronkiektasis kering, walaupun
angka kejadian dari bronkiektasis tipe ini jarang ditemukan (Emmons, 2007;
ORegam, 2004).
Gejala sistemik lain yang ditemukan antara lain dyspnea, nyeri dada
pleuritik, wheezing, demam, mudah lelah dan berat badan menurun. Pasien
relatif mengalami episode berulang dari bronkitis atau infeksi paru, yang
merupakan eksaserbasi dari bronkiektasis dan sering membutuhkan antibiotik
(Emmons, 2007).
Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien bronkiektasis tapi bukan
merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi pada pasien dengan
bronkiektasis

luas

yang

terlihat

pada

gambaran

radiologisnya

(Emmons, 2007; ORegan, 2004).


Wheezing sering dilaporkan dan mungkin akibat obstruksi jalan nafas yang
diikuti oleh destruksi dari cabang bronkus. Seperti dyspnea, ini juga mungkin
merupakan kondisi yang mengiringi, seperti asma

(Emmons, 2007;

ORegan, 2004).
Nyeri dada pleuritik terjadi pada 50 % pasien yang mempelihatkan adanya
saluran udara perifer buncit atau pneumonitis distal berdekatan dengan
permukaan pleura visceral (Barker, 2002).
Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasi
yang berat. Hal ini terjadi sekunder akibat peningkatan kebutuhan kalori
berkaitan dengan peningkatan kerja pada batuk dan pembersihan sekret pada
8

jalan nafas. Namun, pada umumnya semua penyakit kronik disertai dengan
penurunan berat badan. Sedangkan demam biasanya terjadi akibat infeksi yang
berulang (Emmons, 2007).

G. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan biasanya mengarah pada gejala-gejala klinis
yang telah disebutkan di atas. Untuk mendukung diagnosis bronkiektasis,
dilakukan pemeriksaan penunjang, baik laboratorium maupun radiologi.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Kelainan laboratorium pada pasien bronkiektasis umumnya tidak
khas. Pada kelaian lanjut dan sudah mulai ada insufisiensi paru dapat
ditemukan polisitemia sekunder. Bila penyakitnya ringan, gambaran
darahnya normal. Sering ditemukan anemia yang menunjukkan adanya
infeksi kronik atau ditemukan leukositosis yang menunjukkan adanya
infeksi supuratif.
Pemeriksaan sputum dengan pengecatan langsung dapat dilakukan
untuk menentukan kuman apa yang terdapat dalam sputum. Pemeriksaan
kultur sputum dan uji sensitivitas terhadap antibiotic perlu dilakukan,
apabila ada kecurigaan adanya infeksi sekunder. Perlu dicurigai adanya
infeksi sekunder apabila terdapat perubahan warna sputum.
b. Radiologis
1) Foto thoraks
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis dapat
ditemukan gambaran seperti dibawah ini:
a) Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran
(dapat mencapai diameter 1 cm) dengan jumlah satu atau lebih
bayangan cincin sehingga membentuk gambaran honeycomb
appearance atau bounches of grapes. Bayangan cincin tersebut
menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus (Kusuma, 2006).

Gambar 3. Gambaran foto thoraks penderita bronkiektasis


Sumber : Sutton, 2003

Gambar 4. Gambaran foto thoraks penderita bronkiektasis


Tampak Ring Shadow yang pada bagian bawah paru yang
menandakanadanyadilatasi bonkus
Sumber : Sutton, 2003

Gambar 5. Gambaran foto thoraks penderita bronkiektasis


Tampak dilatasi bronkus
Sumber : Kusuma, 2006
b) Tramline shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru-paru.
Bayangan ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih dan
tebal yang dipisahkan oleh daerah berwarna hitam. Gambaran
seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada daerah parahilus
10

( Kusuma, 2006 ). Tramline shadow yang sebenarnya terlihat lebih


tebal dan bukan pada daerah parahilus.
c) Tubular shadow
Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya
mencapai 8 mm. Gambaran ini sebenarnya menunjukkan bronkus
yang penuh dengan sekret. Gambaran ini jarang ditemukan, namun
gambaran ini khas untuk bronkiektasis (Sutton, 2003).
d) Glove Finger shadow
Gambaran ini menunjukkan bayangan sekelompok tubulus
yang terlihat seperti jari-jari pada sarung tangan (Sutton,2003).
2) Bronkografi
Bronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian
media kontras ke dalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi
( AP, Lateral, Oblik ). Pemeriksaan ini selain dapat menentukan
adanya

bronkiektasis,

juga

dapat

meentukan

bentuk-bentuk

bronkiektasis yang dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus,


fusiformis), sakuler (kistik), dan varikosis (Kusuma, 2006).
Pemeriksaan bronkografi juga dilakukan pada penderita
bronkiektasis yang akan dilakukan pembedahan pengangkatan yang
menentukan luasnya paru yang mengalami bronkiektasis yang akan
diangkat ( Kusuma, 2006 ).
Pemeriksaan bronkogradi saat ini mulai jarang dilakukan oleh
karena prosedurnya yang kurang nyaman terutama bagi pasien dengan
gangguan ventilasi, alergi dan reaksi tubuh terhadap kontras media
(Hassan, 2006 ).

Gambar 6. Bronkografi Pasien Bronkiektasis


Sumber : Hassan, 2006
11

3) CT Scan
CT-Scan dengan resolusi tinggi (High Resolution CT-Scan / HR
CT-Scan) menjadi pemeriksaan penunjang terbaik untuk mendiagnosis
bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat
letak kelainan jalan nafas yang tidaj dapat terlihat pada foto polos
thorax. CT-Scan resolusi yinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97%
dan spesifitas sebesar 93% (Patel, 2005).
CT-Scan resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi bronkus
dan penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga mampu
mengetahui lobus mana yang terkena, terutama penting untuk
menentukan apakah perlu dilakukan operasi (Patel,2005).

Gambar 7. CT Scan penderita bronkiektasis


Sumber : Patel, 2005

Gambar : Bronkiektasis pada lobus tengah


Gambar 8. Bronkiektasis pada lobus tengah
Sumber : Barker, 2002
Selain penebalan dan dilatasi dinding bronkus, pada HR CT-Scan
dapat ditemukan gambaran berkurangnya aliran udara ke paru, serta
gambaran-gambaran khas yang menunjukkan tipe bronkiektasis,
12

seperti varicose bronchiectasis (perubahan bentuk bronkus yang


menyerupai pembuluh vena) maupun bronkiektasis tipe kistik.

Gambar 9. Dilatasi dan penebalan bronkus


Sumber : Barker, 2002

Gambar 10. Berkurangnya aliran udara ke paru-paru


Sumber : Barker, 2002

Gambar 11. varicose bronkiektasis (perubahan bentuk bronkus yang menyerupai


pembuluh vena)
Sumber : Barker, 2002

13

Gambar 12. Bronkiektasis tipe kistik dan sakus


Sumber : Barker, 2002
H. Diagnosis Banding
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis aktif biasanya ditandai dengan gambaran kavitas.

Gambar 13 . Tuberkulosis primer pada pasien laki-laki


berusia 18 tahun. Tampak gambaran kavitas pada kedua
apeks paru ( anak panah )
Sumber : Koh et al, 2010.

14

Gambar 14. Gambaran HRCT scan pada pasien laki-laki 20 tahun


dengan TB Milier. Tampak gambaran nodul milier pada kedua
lapang paru. Nodul terdistribusi merata dengan diameter 1-3 mm.
Sumber : Mu XD and Guang FW, 2010
2. Fibrosis Kistik
Kelainan yang ditemukan dapat bervariasi dari pasien yang satu ke
pasien yang lain, namun banyak individu yang memiliki gambaran
radiografi yang memperlihatkan bronkiektasis kronis disertai fibrosis kistik
yang meliputi: hiperinflasi, penebalan dan dilatasi bronkus, peribronkial
cuffing, mucoid impaction, kistik radiolusen, peningkatan tanda interstisial
dan penyebaran nodul-nodul.

15

Gambar 15. Gambaran radiologis pasien perempuan 12 tahun


dengan fibrosis kistik.
Sumber : Steyern KV et al, 2012.
Gambar a. Pada foto AP terlihat fibrosis kistik pada lobus kanan
bagian bawah.
Gambar b,c. Tampak bronkiektasis kistik anterior pada hilus kanan
(lingkaran) dan varicose bronchiectasis pada kedua
perihiler (anak panah putih) dan gambaran fluid level
(anak panah hitam). Tampak pula gambaran penebalan
bronkus di kedua lapang paru.
Gambar d. Pada HRCT tampak gambaran bronkiektasis di bagian
tengah lobus (anak panah putih). Tampak pula gambaran
mucus di lobus kanan bagian bawah (anak panah hitam)
3. Bronkitis kronis
Gambaran radiologi bronchitis berbeda dengan bronkiektasis. Pada
bronchitis tampak peningkatan corakan bronkovaskuler.

16

Gambar 16 . Pada pasien bronchitis kronis,


terjadi peningkatan corakan bronkovaskuler.

I. Terapi
1. Terapi konservatif (Rahmatullah, 2009) :
a. Pengelolaan umum
1) Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
2) Memperbaiki drainasi secret bronkus
3) Mengontrol infeksi saluran napas, misalnya dengan pemberian
antibiotik
b. Terapi simptomatik
1) Pengobatan obstruksi bronkus, misalnya dengan obat bronkodilator
2) Pengobatan hipoksia, dengan pemberian oksigen
3) Pengobatan hemoptisis, misalnya dengan obat-obat hemostatik
4) Pengobatan demam, dengan pemberian antipiretik
2. Terapi Pembedahan
Baru-baru ini bisa dilakukan pengobatan pembedahan untuk
bronkiektasis.Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat (reseksi)
segmen atau lobus yang terkena. Indikasinya pada pasien bronkiektasis yang
terbatas dan resektabel, yang tidak berespon terhadap tindakan-tindakan
konservatif yang adekuat, selain itu juga pada pasien bronkiektasis terbatas,
tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis yang berasal dari
daerah tersebut. Pasien dengan hemoptisis masif seperti ini mutlak perlu
tindakan operasi (Rahmatullah, 2001).
J. Komplikasi
Beberapa penyakit yang bisa menjadi komplikasi dari bronkiektasis antara
lain (Underwood, 2000):
1. Pneumonia
2. Empiema
3. Septicemia
4. Meningitis
5. Metastasis abses, misalnya di otak
6. Pembentukan amiloid

17

Infeksi yang berulang dan radang menyebabkan berlanjutkan nekrosis


saluran nafas dan destruksi jaringan paru. Tergantung pada perluasan
pertumbuhan penyakit, dapat terjadi kor-pulmonale. Amiloidosis sekunder
dapat terjadi sistemik.
K. Prognosis
Prognosisnya tergantung dari berat ringannya serta luasnya penyakit waktu
pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat (konservati
ataupun pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit (Rahmatullah,
2001).
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek,
survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian karena penyakit
tersebut biasanya karena pneumonia, payah jantung kanan, empiema,
hemoptisis dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronchitis kronik
berat dan difus biasnya disabilitasnya yang ringasn (Rahmatullah, 2001).

18

BAB III
SIMPULAN
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasi) dan distorsi bronkus local yang bersifat patologik dan berjalan kronik,
persisten atau irreversible. Penyebab bronkiektasis diduga dapat timbul secara
congenital maupun didapat, seperti infeksi saluran nafas yang berlangsung lama,
dan obstruksi bronkus. Pada bronkiektasis terjadi peradangan dengan destruksi
otot, jaringan elastic dan tulang rawan dinding bronkus (Rahmatullah, 2001).
Sebagai penunjang diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan spirometri,
patologi anatomi, rontgen thoraks, dan CT scan thoraks. Pada rontgen thoraks
dapat ditemukan honeycomb appearance. Sedangkan CT scan resolusi tinggi akan
memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus, serta mampu
mengetahui lobus mana yang terkena (Rahmatullah, 2001).
Penatalaksanaan bronkiektasis dengan memperbaiki drainase postural dan
pengobatan simptomatis yang meliputi pengobatan obstruksi bronkus, hipoksia,
dan hemoptisis (Rahmatullah, 2001).

19

DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff H, Mukty A. 2006. Bronkiektasis. Dalam : Dasar-dasar Ilmu Penyakit
Paru. Surabaya : Airlangga University Press, pp : 256-261
Barker AF. 2002. Bronchiectasis. N Engl J Med, 346(18) : 1386-1387.
Benditt, JO. Lung and Airway Disorder: Bronchiectasis. www.merck.com last
update Januari 2008.
Djojodibroto D. 2009. Respirologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Emmons EE. Bronchiectasis. www.emedicine.com last update Januari 2007.
Hassan
I. Bronchiectasis. http://emedicine.medscape.com/article/354167overview#a01. Last update 8 December 2006. Diakses tanggal 10 Juni 2013.
Kusuma WK. 2006. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, pp : 108-115.
Koh et al. 2010. Chest Radiographic Findings in PrimaryPulmonary Tuberculosis:
Observations from High School Outbreaks. Korean J Radiol 11(6) pp: 614615.
Mu XD and Guang FW. 2010. Miliary Tuberculosis. n engl j med 363;11. pp :
1059
ORegan AW, Berman JS. 2004. Baums Textbook of Pulmonary Disease 7 th
Edition . Editor James D. Crapo, MD. Lippincott Williams & Walkins.
Philadelphia, pp : hal 255-274.
Patel PR. 2005. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga, pp : 4041.
Rahmatullah P. 2001. Bronkiektasis. Dalam: Suyono AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing.
Rahmatullah P. 2009. Bronkiektasis. Dalam: Suyono AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing. hal 1035-1039.

20

Steyern KV et al. 2012. Tomosynthesis in pulmonary cystic fibrosis with


comparison to radiography and computed tomography: a pictorial review.
Insights Imaging 3, pp. 85-86
Sutton D. 2003. Textbook of Radiology and Imaging Volume 1.
Churchillliving stone, pp : 45, 163, 164 & 168.

Tottenham:

Underwood, JCE. 2000. Patologi Umum dan Sistematika . Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

21

Anda mungkin juga menyukai