Refrat Be
Refrat Be
BRONKIEKTASIS
Oleh:
Nindya Putri P.R.
G99122085
G99122025
G99122039
Syahmi Amar
G99122107
Nani Isyrofatun
G99122082
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U RAK AR TA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
dan distorsi bronkus ukuran sedang (diameter jalan napas lebih dari 2 mm)
yang bersifat permanen dan irreversible. Dilatasi tersebut menyebabkan
berkurangnya aliran udara dari dan ke paru-paru. Bronkiektasis digolongkan
dalam penyakit paru obstruktif kronik yang bermanifestasi sebagai peradangan
saluran nafas lalu menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak,
gangguan pembersihan mucus yang biasanya disertai batuk dan kadang-kadang
hemoptisis. Bronkiektasis bukan merupakan penyakit tunggal, dapat terjadi
melalui berbagai cara dan merupakan akibat dari beberapa keadaan yang
mengenai dinding bronchial (Rahmatullah, 2001).
Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat penting di
negara-negara berkembang terutama negara dengan sarana medis dan terapi
antibiotika terbatas. Bronkiektasis umumnya terjadi pada penderita denan umur
rata-rata 39 tahun, terbanyak pada usia 60-80 tahun. Sebab kematian yang
terbanyak pada bronkiektasis adalah karena gagal nafas. Lebih sering terjadi
pada perempuan daripada laki-laki, dan yang bukan perokok (Rahmatullah,
2001).
B. Tujuan
Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis,
diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis pada
bronkiektasis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
bronkus yang bersifat patologis dan berlangsung kronik. Dilatasi tersebut
menyebabkan berkurangnya aliran udara dari dan ke paru-paru. Dengan alasan
ini, bronkiektasis digolongkan dalam penyakit paru obstruktif kronik, yang
bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan dan mudah kolaps, lalu
menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak, gangguan
pembersihan mukus yang biasanya disertai dengan batuk dan kadang-kadang
hemoptisis (Benditt, 2008; ORegan, 2004; Emmons, 2007).
Menurut Djojodibroto (2009), bronkiektasis adalah pelebaran bronkus
yang disebabkan oleh kelemahan dinding bronkus yang sifatnya permanen.
Diagnosis bronkiektasis dibantu dengan pemeriksaan bronkografi, tapi akhirakhir ini bronkografi jarang dilakukan dan digantikan dengan pemeriksaan
High Resoluted Computed Tomography ( HRCT ). Bronkiektasis sering
dikategorikan
penyakit
infeksi
saluran
pernapasan
dengan
diagnosis
bronkiektasis terinfeksi.
B. Insidensi
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai
penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinikklinik dan diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita
mulai sejak anak bahkan dapat berupa kelainan congenital (Alsagaff, 2006;
Hasan, 2006; Rahmatullah, 2009).
C. Epidemiologi
Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat penting pada
negara-negara berkembang. Di negara-negara maju seperti AS, bronkiektasis
mengalami penurunan seiring dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi
bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan sosioekonomi yang
rendah (Emmons, 2007; Hasan, 2006).
D. Etiologi
3
(Alsagaff,
2006).
1. Kelainan kongenital
Dalam hal ini, bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam
kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan
memegang peranan penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya
mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus.
Selain itu, bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit-penyakit
kongenital seperti Fibrosis kistik, Sindroma Kertagener, William Campbell
syndrome, Mounier-Kuhn syndrome, dll (Alsagaff, 2006; Emmons, 2007;
Oregan, 2004).
2. Kelainan didapat
a. Infeksi
Bronkiektasis dapat disebabkan oleh bermacam-macam infeksi
nekrosis yang tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat. Infeksi
primer merupakan penyebab umum dari bronkiektasis di negara
berkembang, dan biasanya penggunaan antibiotik juga tidak konsisten.
Ada beberapa bakteri yang dapat menyebabkan bronkiektasis, antara lain
Klebsiella species, Staphylococcus aureus, Mycobacterum tuberculosis,
Mycoplasma pneumonia, Mycobacterium nontuberculosis, measles virus,
pertussis virus, influenza virus, dan herpes simplex virus.
b. Obstruksi bronkial
Focal postobstructive bronchiectasis dapat terjadi dalam beberapa
keadaam klinis, misal right-middle lobe syndrome, yang merupakan tipe
spesifik dari obstruksi bronkial yang dapat menyebabkan bronkiektasis.
c. Aspirasi
Pada orang dewasa, aspirasi benda asing biasanya berasal dari
lambung, seperti makanan, asam peptida dan mikroorganisme. Setelah
aspirasi, pneumonia postobstruksi dapat terjadi dengan perkembangan
4
kerusakan, sekret yang dihasilkan akan menumpuk dan memenuhi jalan nafas
dan menjadi tempat berkembangnya bakteri. Yang pada akhirnya bakteribakteri tersebut akan merusak dinding bronkus, sehingga menjadi lingkaran
setan antara infeksi dan kerusakan jalan nafas (Benditt, 2008).
luas
yang
terlihat
pada
gambaran
radiologisnya
(Emmons, 2007;
ORegan, 2004).
Nyeri dada pleuritik terjadi pada 50 % pasien yang mempelihatkan adanya
saluran udara perifer buncit atau pneumonitis distal berdekatan dengan
permukaan pleura visceral (Barker, 2002).
Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasi
yang berat. Hal ini terjadi sekunder akibat peningkatan kebutuhan kalori
berkaitan dengan peningkatan kerja pada batuk dan pembersihan sekret pada
8
jalan nafas. Namun, pada umumnya semua penyakit kronik disertai dengan
penurunan berat badan. Sedangkan demam biasanya terjadi akibat infeksi yang
berulang (Emmons, 2007).
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan biasanya mengarah pada gejala-gejala klinis
yang telah disebutkan di atas. Untuk mendukung diagnosis bronkiektasis,
dilakukan pemeriksaan penunjang, baik laboratorium maupun radiologi.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Kelainan laboratorium pada pasien bronkiektasis umumnya tidak
khas. Pada kelaian lanjut dan sudah mulai ada insufisiensi paru dapat
ditemukan polisitemia sekunder. Bila penyakitnya ringan, gambaran
darahnya normal. Sering ditemukan anemia yang menunjukkan adanya
infeksi kronik atau ditemukan leukositosis yang menunjukkan adanya
infeksi supuratif.
Pemeriksaan sputum dengan pengecatan langsung dapat dilakukan
untuk menentukan kuman apa yang terdapat dalam sputum. Pemeriksaan
kultur sputum dan uji sensitivitas terhadap antibiotic perlu dilakukan,
apabila ada kecurigaan adanya infeksi sekunder. Perlu dicurigai adanya
infeksi sekunder apabila terdapat perubahan warna sputum.
b. Radiologis
1) Foto thoraks
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis dapat
ditemukan gambaran seperti dibawah ini:
a) Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran
(dapat mencapai diameter 1 cm) dengan jumlah satu atau lebih
bayangan cincin sehingga membentuk gambaran honeycomb
appearance atau bounches of grapes. Bayangan cincin tersebut
menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus (Kusuma, 2006).
bronkiektasis,
juga
dapat
meentukan
bentuk-bentuk
3) CT Scan
CT-Scan dengan resolusi tinggi (High Resolution CT-Scan / HR
CT-Scan) menjadi pemeriksaan penunjang terbaik untuk mendiagnosis
bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat
letak kelainan jalan nafas yang tidaj dapat terlihat pada foto polos
thorax. CT-Scan resolusi yinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97%
dan spesifitas sebesar 93% (Patel, 2005).
CT-Scan resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi bronkus
dan penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga mampu
mengetahui lobus mana yang terkena, terutama penting untuk
menentukan apakah perlu dilakukan operasi (Patel,2005).
13
14
15
16
I. Terapi
1. Terapi konservatif (Rahmatullah, 2009) :
a. Pengelolaan umum
1) Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
2) Memperbaiki drainasi secret bronkus
3) Mengontrol infeksi saluran napas, misalnya dengan pemberian
antibiotik
b. Terapi simptomatik
1) Pengobatan obstruksi bronkus, misalnya dengan obat bronkodilator
2) Pengobatan hipoksia, dengan pemberian oksigen
3) Pengobatan hemoptisis, misalnya dengan obat-obat hemostatik
4) Pengobatan demam, dengan pemberian antipiretik
2. Terapi Pembedahan
Baru-baru ini bisa dilakukan pengobatan pembedahan untuk
bronkiektasis.Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat (reseksi)
segmen atau lobus yang terkena. Indikasinya pada pasien bronkiektasis yang
terbatas dan resektabel, yang tidak berespon terhadap tindakan-tindakan
konservatif yang adekuat, selain itu juga pada pasien bronkiektasis terbatas,
tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis yang berasal dari
daerah tersebut. Pasien dengan hemoptisis masif seperti ini mutlak perlu
tindakan operasi (Rahmatullah, 2001).
J. Komplikasi
Beberapa penyakit yang bisa menjadi komplikasi dari bronkiektasis antara
lain (Underwood, 2000):
1. Pneumonia
2. Empiema
3. Septicemia
4. Meningitis
5. Metastasis abses, misalnya di otak
6. Pembentukan amiloid
17
18
BAB III
SIMPULAN
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasi) dan distorsi bronkus local yang bersifat patologik dan berjalan kronik,
persisten atau irreversible. Penyebab bronkiektasis diduga dapat timbul secara
congenital maupun didapat, seperti infeksi saluran nafas yang berlangsung lama,
dan obstruksi bronkus. Pada bronkiektasis terjadi peradangan dengan destruksi
otot, jaringan elastic dan tulang rawan dinding bronkus (Rahmatullah, 2001).
Sebagai penunjang diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan spirometri,
patologi anatomi, rontgen thoraks, dan CT scan thoraks. Pada rontgen thoraks
dapat ditemukan honeycomb appearance. Sedangkan CT scan resolusi tinggi akan
memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus, serta mampu
mengetahui lobus mana yang terkena (Rahmatullah, 2001).
Penatalaksanaan bronkiektasis dengan memperbaiki drainase postural dan
pengobatan simptomatis yang meliputi pengobatan obstruksi bronkus, hipoksia,
dan hemoptisis (Rahmatullah, 2001).
19
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff H, Mukty A. 2006. Bronkiektasis. Dalam : Dasar-dasar Ilmu Penyakit
Paru. Surabaya : Airlangga University Press, pp : 256-261
Barker AF. 2002. Bronchiectasis. N Engl J Med, 346(18) : 1386-1387.
Benditt, JO. Lung and Airway Disorder: Bronchiectasis. www.merck.com last
update Januari 2008.
Djojodibroto D. 2009. Respirologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Emmons EE. Bronchiectasis. www.emedicine.com last update Januari 2007.
Hassan
I. Bronchiectasis. http://emedicine.medscape.com/article/354167overview#a01. Last update 8 December 2006. Diakses tanggal 10 Juni 2013.
Kusuma WK. 2006. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, pp : 108-115.
Koh et al. 2010. Chest Radiographic Findings in PrimaryPulmonary Tuberculosis:
Observations from High School Outbreaks. Korean J Radiol 11(6) pp: 614615.
Mu XD and Guang FW. 2010. Miliary Tuberculosis. n engl j med 363;11. pp :
1059
ORegan AW, Berman JS. 2004. Baums Textbook of Pulmonary Disease 7 th
Edition . Editor James D. Crapo, MD. Lippincott Williams & Walkins.
Philadelphia, pp : hal 255-274.
Patel PR. 2005. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga, pp : 4041.
Rahmatullah P. 2001. Bronkiektasis. Dalam: Suyono AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing.
Rahmatullah P. 2009. Bronkiektasis. Dalam: Suyono AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing. hal 1035-1039.
20
Tottenham:
Underwood, JCE. 2000. Patologi Umum dan Sistematika . Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
21