Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH EVALUASI PROGRAM GIZI

AIR BERSIH, SANITASI DAN KEBERSIHAN

Disusun oleh :
Agriani Dua Baru Sowa

2010-21-001

Irang Tala Adventus

2010-21-007

Marintan Apriani Silaen

2010-21-009

PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI


STIK Sint Carolus
Jakarta
201

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sanitasi dan perilaku kebersihan yang buruk serta air minum yang tidak aman
berkontribusi terhadap 88 persen kematian anak akibat diare di seluruh dunia. Bagi anakanak yang bertahan hidup, seringnya menderita diare berkontribusi terhadap masalah gizi,
sehingga menghalangi anak-anak untuk dapat mencapai potensi maksimal mereka.
Kondisi ini selanjutnya menimbulkan implikasi serius terhadap kualitas sumber daya
manusia dan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang.
Di Indonesia, diare masih merupakan penyebab utama kematian anak berusia di
bawah lima tahun. Laporan Riskesdas 2007 menunjukkan diare sebagai penyebab 31
persen kematian anak usia antara 1 bulan hingga satu tahun, dan 25 persen kematian anak
usia antara satu sampai empat tahun. Angka diare pada anak-anak dari rumah tangga yang
menggunakan sumur terbuka untuk air minum tercatat 34 persen lebih tinggi
dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang menggunakan air ledeng, Selain
itu, angka diare lebih tinggi sebesar 66 persen pada anak-anak dari keluarga yang
melakukan buang air besar di sungai atau selokan dibandingkan mereka pada rumah
tangga dengan fasilitas toilet pribadi dan septik tank.
Peran penting kebersihan sering diabaikan. Kematian dan penyakit yang
disebabkan oleh diare pada umumnya dapat dicegah. Bahkan tanpa perbaikan pada sistem
pengairandan sanitasi, mencuci tangan secara tepat dengan menggunakan sabun dapat
mengurangi resiko penyakit diare sebesar 42 sampai 47 persen.
Situasi masyarakat miskin perkotaan perlu mendapatkan perhatian segera. Di
daerah-daerah kumuh perkotaan, sanitasi yang tidak memadai, praktek kebersihan yang
buruk, kepadatan penduduk yang berlebihan, serta air yang terkontaminasi secara
sekaligus dapat menciptakan kondisi yang tidak sehat. Penyakit-penyakit terkait dengan
ini meliputi disentri, kolera dan penyakit diare lainnya, tipus, hepatitis, leptospirosis,
malaria, demam berdarah, kudis, penyakit pernapasan kronis dan infeksi parasit usus.

Selain itu, keluarga miskin yang kurang berpendidikan cenderung melakukan praktekpraktek kebersihan yang buruk, yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dan
peningkatan resiko kematian anak. Studi tentang mega-kota Jakarta (yang disebut
Jabotabek), Bandung dan Surabaya pada tahun 2000 menunjukkan bahwa penduduk
miskin yang tinggal di daerah pinggiran kota Jakarta kurang berpendidikan dibandingkan
warga Jakarta sendiri, dan memiliki tingkat tamat sekolah menengah hanya seperempat
dari mereka yang tinggal di pusat kota. Studi yang sama menghitung angka kematian
anak sampai lima kali lebih tinggi di kecamatan-kecamatan miskin di pinggiran kota
Jabotabek daripada di pusat kota Jakarta.

2. Tujuan dan Sasaran


Secara garis besar UNICEF memiliki tujuan yang berfokus pada anak-anak.
Badan inter-pemerintah ini diberi wewenang oleh pemerintah dunia memberikan,
mempromosikan dan melindungi hidup dan hak-hak anak. Kesejahteraan dan kesehatan
serta gizi merupakan program jangka panjang untuk kepentingan anak-anak dari tiap
negara berkembang.
1. Hasil Pencapaian Program Unicef
i. Pada dekade-dekade sebelumnya, Indonesia telah menunjukkan kemajuan
signifikan dalam meningkatkan akses terhadap persediaan air bersih dan
pelayanan sanitasi. Air bersih dan sanitasi merupakan sasaran Tujuan
Pembangunan Milenium (MDG) yang ketujuh dan pada tahun 2015
diharapkan sampai dengan setengah jumlah penduduk yang tanpa akses ke
air bersih yang layak minum dan sanitasi dasar dapat berkurang. Bagi
Indonesia, ini berarti Indonesia perlu mencapai angka peningkatan akses
air bersih hingga 68,9 persen dan 62,4 persen, untuk sanitasi.

Saat ini, Indonesia tidak berada pada arah yang tepat untuk mencapai target MDG
untuk masalah air bersih MDG pada tahun 2015. Perhitungan dengan menggunakan
kriteria MDG nasional Indonesia untuk air bersih dan data dari sensus tahun 2010
menunjukkan bahwa Indonesia harus mencapai tambahan 56,8 juta orang dengan
persediaan air bersih pada tahun 2015. Di sisi lain, jika kriteria Program Pemantauan
Bersama WHO-UNICEF (JMP) untuk air bersih akan digunakan, Indonesia harus
mencapai tambahan 36,3 juta orang pada tahun 2015. Saat ini, bahkan di provinsiprovinsi yang berkinerja lebih baik (Jawa Tengah dan DI Yogyakarta), sekitar satu dari
tiga rumah tangga tidak memiliki akses ke persediaan air bersih (Gambar 1).

Perbandingan dengan tahun 2007 menunjukkan akses air bersih pada tahun 2010
telah mengalami penurunan kira-kira sebesar tujuh persen. Kondisi terbalik ini pada
umumnya disebabkan oleh penurunan di daerah perkotaan (sebesar 23 persen sejak tahun
2007, Gambar 2). Akses ke air bersih di Jakarta telah mengalami penurunan dari 63
persen pada 2010 menjadi 28 persen pada tahun 2007, menurut Riskesdas. Yang
mengherankan, dua kelompok kuintil tertinggi juga mengalami penurunan akses terhadap
air bersih masing-masing sebesar 8 dan 32 persen dibandingkan dengan tahun 2007.
Mereka yang berasal dari kelompok mampu membeli air minum kemasan atau botol:
sepertiga rumah tangga perkotaan di Indonesia melakukannya pada tahun 2010.

Sejak tahun 1993, Indonesia telah menunjukkan peningkatan dua kali lipat
prosentase rumah tangga dengan akses ke fasilitas sanitasi yang lebih baik, tetapi masih
berada pada arah yang belum tepat untuk mencapai target sanitasi MDG 2015. Untuk
mencapai target sanitasi nasional MDG, diperlukan pencapaian tambahan 26 juta orang
dengan sanitasi yang lebih baik pada tahun 2015. Perencanaan pada jangka panjang
memerlukan pencapaian angka-angka yang lebih besar: Data Riskesdas 2010
menunjukkan bahwa secara keseluruhan, kira-kira 116 juta orang masih kekurangan
sanitasi yang memadai.

Buang air besar di tempat terbuka merupakan masalah kesehatan dan sosial yang
perlu mendapatkan perhatian segera. Sekitar 17 persen rumah tangga pada tahun 2010
atau sekitar 41 juta orang masih buang air besar di tempat terbuka. Ini meliputi lebih dari
sepertiga penduduk di Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat
dan Kalimantan Barat. Praktek tersebut bahkan ditemukan di provinsi-provinsi dengan
cakupan sanitasi yang relatif tinggi, dan pada penduduk perkotaan dan di seluruh kuintil
(Gambar 3 dan 4).

Cakupan sanitasi pada kelompok-kelompok yang berbeda menunjukkan


perbedaan yang jauh lebih kuat daripada cakupan untuk air bersih (Gambar 4). Proporsi
rumah tangga perkotaan dengan akses ke fasilitas sanitasi yang lebih baik hampir dua kali
lipat dari proporsi rumah tangga perdesaan. Proporsi rumah tangga yang memiliki
fasilitas sanitasi yang lebih baik pada kuintil tertinggi adalah 2,6 kali proporsi kuintil
terendah. Perbedaan geografis juga terlihat jelas. Tingkat akses ke sanitasi yang lebih
baik di provinsi yang berkinerja terbaik (69,8 persen, DKI Jakarta) adalah tiga kali lebih
tinggi daripada tingkat akses di provinsi yang berkinerja terburuk (22,4 persen, Nusa
Tenggara Timur).
Kontaminasi feses terhadap tanah dan air merupakan hal yang umum di daerahh
perkotaan, hal ini diakibatkan oleh kepadatan penduduk yang berlebihan, toilet yang

kurang sehat dan pembuangan limbah mentah ke tempat terbuka tanpa diolah. Sebagian
besar rumah tangga di perkotaan yang menggunakan pompa, sumur atau mata air untuk
persediaan air bersih mereka memiliki sumber-sumber air ini dengan jarak 10 meter dari
septik tank atau pembuangan toilet. Di Jakarta, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Daerah (BPLHD) Jakarta menunjukkan bahwa 41 persen sumur gali yang digunakan oleh
rumah tangga berjarak kurang dari 10 meter dari septik tank. Septik tank jarang disedot
dan kotoran merembes ke tanah dan air tanah sekitarnya. Laporan Bank Dunia tahun
2007 menyebutkan bahwa hanya 1,3 persen penduduk memiliki sistem pembuangan
kotoran. Sistem pipa rentan terhadap kontaminasi akibat kebocoran dan tekanan negatif
yang disebabkan oleh pasokan yang tidak teratur. Ini merupakan masalah khusus dimana
konsumen menggunakan pompa hisap untuk mendapatkan air bersih dari sistem perariran
kota.
Dibandingkan dengan kelompok kaya, kaum miskin perkotaan mengeluarkan
biaya yang lebih besar dari pendapatan mereka untuk air yang berkualitas lebih buruk.
Misalnya, sistem pipa kota Jakarta hanya mencakup sebagian kecil penduduk, karena
perluasan pelayanan tidak dapat mengimbangi perkembangan penduduk di daerah
perkotaan. Penduduk lainnya tergantung pada berbagai sumber lain, termasuk sumur
dangkal, penjual air keliling dan jaringan privat yang terhubung dengan sumur yang
dalam. Banyak dari sumber-sumber alternatif ini memerlukan biaya yang lebih besar per
satuan volume daripada pasokan air ledeng dan sering digunakan oleh masyarakat
miskin.

BAB II
HASIL

Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Faktor Budaya Dengan Kejadian Diare Pada
Anak Balita Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo
A. Siapa yang mengadakan penelitian?
Nama yang mengadakan penelitian Siti Amaliah
B. Latar belakang penelitian?
Kejadian diare pada anak balita di Puskesmas Bendosari masih tinggi, di mana 30 %
berasal dari desa Toriyo. Penyebabnya diduga karena sanitasi lingkungan yang jelek dan
factor budaya yang tidak sehat.
C. Tujuan penelitian?
Menganalisa hubungan antara sanitasi lingkungan dan faktor budaya dengan kejadian
diare di desa Toriyo.
D. Metode yang digunakan?
Penelitian ini explanatory research dengan rancangan cross sectional study, dengan
populasi ibu-ibu rumah tangga yang mempunyai anak balita, sebanyak 685 orang di desa
Toriyo dengan jumlah sampel 68 orang, dengan pengambilan sampel secara cluster
berdasarkan wilayah RT, menurut monogram Harry King.
Variabel bebas sanitasi lingkungan yang terdiri (a) sumber air bersih, (b) kepemilikan
jamban dan faktor budaya yang terdiri dari (a) penggunaan air minum, (b) kebiasaan
BAB, (c) Kebiasaan cuci tangan dengan sabun, (d) penanganan diare, variabel terikat
adalah kejadian diare.
Alat dan bahan penelitian yang dipakai yaitu kuesioner, di mana tiap variabel
menggunakan seperangkat kuesioner yang telah dibakukan Dep.Kes.untuk supervisi ke
desa, dengan survei wawancara dan observasi di lapangan. Data sekunder diperoleh dari

kepala desa dan monografi desa. Pengolahan data dengan cara editing, coding, entri data.
Analisa statistik dengan Chi Square test.
E. Hasil dari penelitian (prevalensi dan masalah gizi)?
A. Jumlah anak balita yang menderita diare dan pernah sakit diare sebanyak 64 anak
yang terdapat dalam 58 rumah tangga, dengan rincian terdapat 1 penderita diare 52 rumah
(89,7%), terdapat 2 penderita pada 6 rumah (10,3%).
1. Upaya pengobatan anak balita diare di desa Toriyo tahun 2008 masih cukup tinggi
yang mengobati sendiri (37,50%)

Tabel 1.Upaya pengobatan anak balita daire di desa Toriyo tahun 2008
Upaya pengobatan

Jumlah

Pengobatan sendiri

24

37,50

Pengobatan di Puskesmas

24

37,50

Klinik 24 jam

10

15,63

Dokter praktek swasta

9,37

Total

64

100,0

2. Sumber air bersih, sebagian besar menggunakan air sumur gali sebanyak 52 rumah
(76,47 %), yang lain menggunakan air PDAM dan campuran sumur gali dengan PDAM.
Tabel 2. Sumber air bersih
Jenis sumber air bersih

Jumlah

Sumur gali

52

76,47

Air PDAM

5,88

Umur gali & PDAM

12

17,65

Total

68

100,0

Penyimpanan tandon air bersih, 43 (63,23%) menutup tempat penampungan air,


dan 25 (36,77%) tidak pakai tutup.
3. Kepemilikan jamban, jenis, pemakaian jamban, dan kebersihan jamban; yang tidak
memiliki jamban jumlahnya lebih banyak yaitu 37 rumah (54,42 %), semua jamban tidak
memakai septic tank (100%). Meskipun dalam rumah terdapat jamban, ternyata tidak
semua penghuni rumah menggunakan untuk buang air besar, dari 31 rumah yang
memiliki jamban terdapat 14 rumah (45,16 %) yang berak di jamban terutama anak-anak,
sedang orang dewasa berak di parit sawah.
Tabel 3. Kepemilikan jamban
Kepemilikan jamban

Jumlah

Prosentase

Rumah memiliki jamban

31

45,58

Rumah tidak memiliki jamban

37

54,42

Total

68

100,0

4. Faktor Budaya: Sebagian besar masyarakat desa Toriyo mempunyai kebiasaan yang
tidak sehat atau tidak sesuai dengan syarat kesehatan, terutama kebiasaan minum air
mentah, tidak cuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah cebok. Terdapat
kepercayaan bahwa anak yang mengalami diare itu tandanya akan bertambah besar.
Gambaran lebih rinci sebagai berikut:
a). Kebiasaan minum air sehari-hari

1) Minum air yang direbus dahulu 24 (35,30 %)


2) Minum air mentah 44 (64,70%)
b). Cuci tangan dengan sabun sebelum makan
1) Cuci tangan dengan sabun 37 (54,4%)
2) Tidak cuci tangan dengan sabun 31 (45,6%)
c). Cuci tangan dengan sabun sesudah berak
1) Cuci tangan dengan sabun sesudah cebok 26 (38,23%)
2) Cuci tangan tidak pakai sabun 42 (61,77%)
d). Persepsi terhadap anaknya yang diare
1) Sebagai gejala akan cepat besar dan bertambah pandai 39 (57,35%)
2) Sebagai gejala penyakit dan diperiksakan ke tenaga kesehatan 29 (42,65%)
1. Distribusi anak balita yang rumahnya memakai air sumur gali lebih banyak yang diare
dibanding yang tidak diare, sebaliknya yang memakai air PDAM yang diare lebihn
sedikit. Hasil analisa dengan Chi square test diperoleh p= 0,007 (p< 0,05), artinya bahwa
ada hubungan yang bermakna antara pemakaian sumber air bersih dengan kejadian diare.
Tabel 4. Hubungan pemakaian sumber air bersih dengan kejadian diare anak balita
Penyediaan air bersih
Sumur gali

Air PDAM

Jumlah

Rumah dengan anak balita

Jumlah

X2

16

7,2

0,0

(17,6%)

(23,5%)

97

17

37

31

68

(54,4%)

(45,6%)

(100%)

Diare

Tidak diare

33

19

52

(48,5%)

(27,9%)

(76,5%)

12

( 5,9%)

2. Hubungan kepemilikan jamban dengan kejadian diare di desa Toriyo Anak balita yang
diare lebih banyak pada rumah yang tidak memiliki jamban, sebaliknya anak yang tidak

diare lebih banyak pada rumah memiliki jamban. Hasil analisa dengan test yang sama p=
0,017 (p< 0,05) artinya ada hubungan yang bermakna antara kepemilikan jamban dengan
kejadian diare.
Tabel 5. Hubungan kepemilikan jamban dengan kejadian diare pada anak balita
Kepemilikan jamban
Tidak punya jamban

Punya jamban

Total

Rumah dengan anak balita

Jumlah

Diare

Tidak diare

25

12

17

(36,8%)

(17,62%)

(54,42%)

12

19

31

(17,6%)

(27,98%)

(45,58%)

37 31

31

68

(54,4%)

(45,6%)

(100%)

X2

5,663

0,017

3. Hubungan penggunaan air minum dengan kasus diare pada anak balita
Jumlah kasus diare pada penggunaan air minum yang direbus lebih sedikit dibanding
yang tidak diare, sebaliknya penggunaan air minum mentah jumlah kejadian diare lebih
banyak dibanding yang tidak diare. Dengan uji yang sama diperoleh p=0,000 (p<0,05)
artinya ada hubungan yang bermakna antara penggunaan air minum dengan kejadian
diare.
Tabel 6. Hubungan penggunaan air minum dengan kejadian diare pada anak balita

Air minum
Air yang direbus

Minum air mentah

Total

Rumah dengan anak balita

Jumlah

Diare

Tidak diare

23

32

(13,2%)

(33,8%)

(47,1%)

28

36

(41,2%)

(11,8%)

(52,9%)

37

31

68

(54,4%)

(45,6%)

(100%)

X2

16,838

0,000

4. Hubungan cuci tangan dengan sabun sesudah BAB dengan kejadian diare Jumlah
kejadian diare pada yang cuci tangan dengan sabun sesudah BAB lebih sedikit dibanding
yang tidak diare, sebaliknya yang tidak cuci tangan dengan sabun jumlah kejadian diare
lebih banyak dibanding yang tidak diare. Dengan uji yang sama diperoleh p=0,001
(p<0,005) artinya ada hubungan yang bermakna antara cuci tangan dengan sabun sesudah
BAB dengan kejadian diare
Tabel 7. Hubungan antara cuci tangan dengan sabun sesudah BAB dengan kejadian diare
Cuci tangan sesudah BAB
Dengan sabun

Tidak dengan sabun

Total

Rumah dengan anak balita

Jumlah

X2

41

11,0

0,00

(17,64%)

(60,3%)

87

37

31

68

(54,4%)

(45,6%)

(100%)

Diare

Tidak diare

19

27

(11,76%)

(27,94%)

(39,7%)

29

12

(42,64%)

5. Hubungan cuci tangan sebelum makan dengan kejadian diare pada anak balita. Jumlah
kejadian diare pada yang cuci tangan sebelum makan lebih sedikit disbanding yang tidak
diare, sebaliknya jumlah kejadian diare pada yang tidak cuci tangan lebih banyak
dibanding yang tidak diare. Dengan uji yang sama diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05)
artinya ada hubungan yang bermakna antara cuci tangan sebelum makan dengan kejadian
diare pada anak balita di desa Toriyo.
Tabel 8. Hubungan cuci tangan sebelum makan dengan kejadian diare pada anak balita
Rumah dengan anak
balita

Sebelum makan

Cuci tangan

Tidak cuci tangan

Jumlah

Diare

Tidak diare

13

24

37

(19,1%)

(35,3%)

(54,4%)

24

31

(35,3%)

(10,3%)

(45,6%)

37

31

68

(54,4%)

(45,6%)

(100%)

X2

12,158 0,000
Jumlah

6. Hubungan penanganan diare dengan kejadian diare pada anak balita.


Ibu-ibu yang beranggapan bahwa anaknya yang diare cukup diobati sendiri atau
dibiarkan sebanyak 27 (39,7%), dan yang dibawa ke tenaga kesehatan atau Puskesmas
ada 10 (14,7%). Sedangkan ibu-ibu yang anaknya tidak diare, yang beranggapan
bahwa diare akan cepat besar dan bertambah pandai yang cukup diobati sendiri
sebanyak 13 (19,1%) dan yang dibawa ke tenaga kesehatan/Puskesmas sebanyak 18
(26,5%).
Dengan analisa yang sama diperoleh nilai p=0,010 (p<0,05) artinya ada hubungan
yang bermakna antara cara penanganan diare dengan kejadian diare pada anak balita.
Tabel 9. Hubungan cara penanganan diare dengan kejadian diare pada anak balita
Anak diare

Rumah dengan anak


balita

Diobati sendiri/

Dibawa ke Puskesmas/ke tenaga


kesehatan
Total

Jumlah

Diare

Tidak diare

27

13

40

(39,7%)

(19,1%)

(58,8%)

10

18

28

(14,7%)

(26,5%)

(41,2%)

37

31

68

(54,4%)

(45,6%)

(100%)

X2

6,709 0,010

F. Faktor apa yang menjadi penyebab munculnya angka prevalensi dari masalah gizi
tersebut?
1. Balita yang menderita diare pada Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten
Sukoharjo mayoritas dibawa berobat ke Puskesmas hanya sebagian, yang lain berobat
diluar Puskesmas dan bahkan hanya diobati sendiri.

2. Kurang akurat karena adanya faktor lupa dari ibu-ibu yang berpendidikan rendah
sehingga tidak memperhatikan kesehatan anaknya.
3. Keadaan sanitasi lingkungan kurang memenuhi syarat kesehatan karena dengan
observasi bisa dilihat adanya tinja di saluran air di tepi jalan, hal ini didukung fakta
bahwa masih banyak yang tidak memiliki jamban sehat, karena semua jamban tanpa
septic tank. Dengan demikian prevalansi diare pada balita semakin meningkat.
4. Kedalaman sumur gali di desa tersebut rata-rata kurang dari 5 meter, hal ini
kemungkinan kontaminasi dengan faeces cukup besar. Sedangkan sebagian besar
masyarakat masih menggunakan air dari sumur gali, bahkan masih banyak yang
minum air mentah.
5. Banyaknya perilaku dan persepsi yang keliru terhadap diare, antara lain minum air
mentah, berak tidak di jamban, persepsi yang keliru terhadap diare, dan kebiasaan
tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan maupun sesudah berak.

Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Dengan Infestasi Cacing Pada Murid Sekolah
Dasar Di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa
A. Siapa yang mengadakan penelitian?
Nama yang menagadakan penelitian Friscasari Kundaian, dkk
B. Latar Belakang
Prevalensi kecacingan pada anak sekolah dasar di Indonesia masih cukup tinggi, yakni
sekitar 60-80%. Tingginya angka kecacingan tersebut pada usai anak sekolah
dikarenakan mereka sering bermain atau kontak dengan tanah yang merupakan tempat
tumbuh dan berkembangnya cacing-cacing perut.
C. Tujuan penelitian?
a. Tujuan Umum
Mengetahui apakah ada hubungan antara sanitasi lingkungan (kondisi jamban/WC,
jenis lantai rumah, ketersediaan air bersih dan sarana pembuangan sampah) dengan
infestasi cacing pada murid sekolah dasar di Desa Teling KecamatanTombariri
Kabupaten Minahasa.
b. Tujuan Khusus
1. Memberikan informasi tentang adanya infestasi cacing pada murid sekolah dasar
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga masyarakat dapat melakukan
upaya penanggulangan terhadap kecacingan.
2. Sebagai landasan dalam pengambilan kebijakan bagi instansi terkait untuk
melakukan upaya penanggulangan terhadap kecacingan pada murid sekolah dasar
di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa.

3. Penelitian ini merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti, karena
dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang kecacingan yang pada
akhirnya akan sangat membantu peneliti untuk melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan bidang ilmu yang diminati, yakni kesehatan lingkungan.
D. Metode yang digunakan?
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan
rancangan Cross Sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Teling Kecamatan
Tombariri Kabupaten Minahasa pada bulan Mei-Juli 2011. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh murid sekolah dasar yang ada di Desa Teling Kecamatan Tombariri
Kabupaten Minahasa, yakni murid sekolah dasar dari SD INPRES dan SD GMIM Teling
dengan total populasi sebanyak 99 orang murid. Sampel diambil berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi, sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi:
1) Terdaftar sebagai murid sekolah dasar di dua sekolah yang ada di Desa Teling
Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa.
2) Hadir pada saat penelitian dilaksanakan.
3) Bersedia menjadi responden.
b. Kriteria eksklusi:
1) Murid yang berdomisili di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa
kurang dari 6 bulan.
2) Murid yang mengkonsumsi obat cacing dalam waktu 6 bulan
Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi di atas, maka jumlah sampel yang diteliti
adalah 90 orang murid sekolah dasar.
A.Variabel Penelitian
a) Variabel bebas adalah sanitasi lingkungan yang terdiri dari:
1. Kondisi jamban/WC
2. Jenis lantai rumah
3. Ketersediaan air bersih

4. Sarana pembuangan sampah


b) Variabel terikat adalah infestasi cacing.
B. Definisi Operasional
1. Sanitasi lingkungan adalah kondisi lingkungan rumah yang berhubungan dengan
infestasi cacing berdasarkan indikator: kondisi jamban/WC, jenis lantai rumah,
ketersediaan air bersih, sarana pembuang sampah.
2. Infestasi cacing adalah ditemukannya satu atau lebih telur cacing perut (Ascaris
lumbricoides, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichura pada murid sekolah
dasar melalui pemeriksaan feaces secara mikroskopis dengan indikator positif atau
negatif.
3. Kondisi jamban/WC adalah keadaan jamban/WC yang digunakan oleh responden
setiap kali buang air besar dengan indikator tidak memenuhi syarat atau memenuhi
syarat.
4. Jenis lantai rumah adalah keberadaan lantai rumah yang dimiliki oleh responden
dengan indikator tanah atau papan/plester/keramik.
5. Ketersediaan air bersih adalah tersedianya air untuk memenuhi kebutuhan sehariHari dengan indikator tidak cukup atau cukup.
6. Sarana pembuangan sampah adalah tempat yang digunakan untuk membuang dan
menampung sampah sementara dengan indikator tidak memenuhi syarat dan
memenuhi syarat.
C. Teknik Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan cara:
1. Observasi dan wawancara dengan menggunakan kuesioner
2. Uji laboratorium
D. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan program Statistical
Product and Service Solutions (SPSS) Versi 16.0. Analisis data dilakukan

menggunakan uji chi square pengambilan keputusan didasarkan pada derajat


signifikan () 0,05 sebagai berikut:
1) Hipotesis diterima jika diperoleh p-value < (0,05)
2) Hipotesis ditolak jika diperoleh p-value > (0,05)
E. Hasil dari penelitian (prevalensi dan masalah gizi)?
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten
Minahasa pada murid-murid sekolah dasar yang ada di Desa tersebut, yakni murid
dari SD INPRES dan SD GMIM Teling. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 90
orang murid yang diambil berdasarkan kriteria inklusi.
A. Proporsi Infestasi Cacing
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap feaces responden diperoleh
bahwa dari 90 orang responden, 11 orang (12,2) diantaranya dinyatakan positif
terinfestasi cacing, sedangkan 79 orang (87,8%) lainnya dinyatakan negatif. proporsi
infestasi cacing pada murid sekolah dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri
Kabupaten Minahasa.
Gambar 1.

Positif
Negatif
Gambar 1. Proporsi Infestasi Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa Teling
Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa

B. Proporsi Infestasi Cacing Berdasarkan Jenisnya


Berdasarkan hasil pemeriksaan pada sampel yang positif terinfestasi cacing diketahui
bahwa dari 11 murid sekolah dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten
Minahasa yang positif cacingan, terdapat infestasi Ascaris lumbricoides dan
Ancylostoma duodenale dengan jumlah yang sama, yakni 4 orang (36,4%). Angka ini
lebih tinggi dibandingkan infestasi Trichuris trichura dan Oxyuris vermicularis dengan
jumlah masing-masing 1 orang (9,0%) dan 2 orang (18,2%). Proprsi infestasi cacing
berdasarkan jenisnya pada murid sekolah dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri
Kabupaten Minahasa.

Gambar 2.

Gambar 2. Proporsi Infestasi Cacing Berdasarkan Jenisnya pada Murid Sekolah


Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa
C. Hubungan antara Sanitasi Lingkungan dengan Infestasi Cacing
Kondisi sanitasi lingkungan responden diukur berdasarkan hasil observasi dan
wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap indikator kondisi jamban/WC,
jenis lantai rumah, ketersediaan air bersih dan sarana pembuangan sampah responden.
Pengukuran tersebut didasarkan pada kriteria objektif dari masing-masing indikator.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa antara sanitasi lingkungan dan
infestasi cacing pada murid sekolah dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri
Kabupaten Minahasa tidak terdapat hubungan secara bermakna. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 1, yang menunjukkan bahwa indikator kondisi jamban/WC (pvalue=0,869), Jenis lantai rumah (p-value=0,077), ketersediaan air bersih (pvalue=0,618) dan sarana pembuangan sampah (p-value=0,612) memiliki nilai
probabilitas (p-value) lebih besar dari derajat signifikan () 0,05.

Tabel 1. Hubungan antara Sanitasi Lingkungan dengan Infestasi Cacing pada Murid
Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa Sanitasi
Lingkungan
Sanitasi Lingkungan
F.

Positif

Infeksi Cacing
% Negatif

Kondisi jamban/WC
tidak memenuhi syarat
5
11,6 38
88,4 43 100 0,869
memenuhi syarat
6
12,8 41
87,2 47 100
Jenis lantai rumah
Tanah
8
18,6 35
81,4 43 100 0,077
papan/plester/keramik
3
6,4 44
93,6 47 100
Ketersediaan air bersih
tidak cukup
2
11,1 16
88,9 18 100 0,618
Cukup
9
12,5 63
87,5 72 100
Sarana pembuangan sampah
tidak memenuhi syarat 10
12
73
88
83 100 0,612
memenuhi syarat
1
14,3 6
85,7 7 100
menjadi penyebab munculnya angka prevalensi dari masalah gizi tersebut?
1. Upaya pencegahan dan pemberantasan cacing di Sekolah Dasar tersebut

Fakt
or
apa
yang

belum

dilakukan secara maksimal ditandai dengan keadaan lingkungan yang buruk,


kurangnya sanitasi yang memadai menyebabkan lingkungan tercemar dengan tinja
yang mengandung telur cacing. Hal ini dikarenakan masuknya telur cacing pada
manusia dapat terjadi melalui beberapa cara, yakni dengan memasukkan tangan dan
barang/mainan yang terkontaminasi dengan telur cacing ke mulut pada waktu makan.
2. Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa kurang
menggunakan alas kaki sewaktu berjalan di tanah yang terkontaminasi dengan tinja
sehingga mengakibatkan masuknya cacing tambang ke dalam tubuh anak.
3. Mengkonsumsi makanan dan minuman yang tercemar telur cacing. Berdasarkan hal
ini, maka dapat diketahui bahwa selain sanitasi lingkungan, faktor kebersihan diri
(higiene perorangan), seperti kebisaan mencuci tangan, kebiasaan makan, mandi
kurang maksimal.
4. Ditemukannya bahwa sebagian besar anak-anak terutama murid Sekolah Dasar tidak
menggunakan alas kaki sewaktu bermain di tanah dan mempunyai kuku yang panjang
serta kotor. Keadaan tersebut menandakan bahwa higiene perorangan anak,
khususnya murid Sekolah Dasar masih kurang baik, sehingga dapat juga
mempengaruhi terjadinya infestasi cacing.

Faktor Faktor Sanitasi Yang Berpengaruh Terhadap Timbulnya Penyakit Diare Di Desa
Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo
A. Siapa yang mengadakan penelitian?
Nama yang mengadakan penelitian Nilton Do C Da Silva, S.Ked, dkk
B. Latar belakang penelitian?
Berdasarkan data yang di dapat dari Puskesmas Sukodono, penderita diare pada bulan
Januari-Maret menunjukkan jumlah yang cukup tinggi khususnya Desa Klopo Sepuluh

termasuk salah satu desa yang cukup tinggi jumlah penderita yang menderita diare,
tercatat 16,11 % yang datang berobat antara bulan Januari-Maret 2008 karena menderita
diare. Hal ini disebabkan kebiasaan penduduk desa yang suka membuang kotoran
disungai, tidak mencuci tangan dengan air sabun sebelum memberi makan pada anak,
tidak menjaga kebersihan makanan, serta perilaku yang tidak mencerminkan pola hidup
sehat.
C. Tujuan penelitian?
Mengetahui gambaran pengaruh faktor faktor sanitasi terhadap timbulnya penyakit
diare di Desa Klopo sepuluh, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo.
D. Metode yang digunakan?
Penelitian ini bersifat deskriptif yang menggambarkan tentang faktor sanitasi yang
berhubungan dengan kejadian diare di Desa Klopo Sepuluh, Kecamatan Sukodono,
Kabupaten Sidoarjo. Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah kepala keluarga (KK)
yang ada di Desa Klopo Sepuluh, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo pada
periode bulan Januari Maret 2008 yang berjumlah 1273 KK.
Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang mewakili populasi, yang
daripadanya diambil data. Sampel diambil dengan cara simple random sampling. Besar
sample di tentukan menurut formula sebagai berikut :
n = N x p.q
(N-1)D+p.q
Keterangan :
n = Jumlah sample
N = Besar populasi
p = Proporsi populasi yang kemungkinan terkena diare = 0,1611
q = Proporsi populasi yang kemungkinan tidak terkena diare 0,8389
D = Penyimpangan = B2/4
B = Penyimpangan yang dikehendaki = 0,05
n=

1273 X 0,1611. 0,8389


(1273 1)0,000625+ 0,1611. 0,8389

n = 184

Cara Mengolah Data


1. Editing Data
Meneliti lengkap tidaknya koesioner yang sudah diisi, kejelasan jawabannya,
kesesuaian antara jawaban yang satu dengan yang lainnya, serta relevansi jawaban dan
keseragaman satuan data.
2. Coding
Mengklasifikasikan jawaban responden menurut macamnya.
3. Tabulasi Data
Memasukkan data-data yang terkumpul kedalam tabel sehingga menghasilkan tabel
distribusi frekuensi secara manual.

E. Hasil dari penelitian (prevalensi dan masalah gizi)?


Tabel 1. Tingkat Pendidikan Responden Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono
Kabupaten Sidoarjo
Tingkat Pendidikan Responden Jumlah

Persentase (%)

SD

37

20,10

SMP

48

26,08

SMA

65

35,33

Perguruan Tinggi

65

35,33

Tidak Sekolah

22

11,96

Total

184

100

Sumber : Hasil Survei


Kelompok responden yang berpendidikan SMA ke atas 41,86%, hal ini menunjukan
bahwa cukup banyak tingkat pendidikan responden sekolah menengah atas dan perguruan
tinggi, responden yang berpendidikan SMP ke bawah masih tinggi (58,14%). Hal ini akan
berpengaruh terhadap tingkat pemahaman penularan penyakit diare.
Tabel 2. Tingkat Pendapatan Responden Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono
Kabupaten Sidoarjo.
Tingkat Pendapatan (Rp / bulan) Total Persentase (%)
< 500 ribu

64

34,78

500 ribu 750 ribu

84

45,65

750 ribu-1 juta

26

14,14

>1 juta

10

5,43

Total

184

100

Sumber : Hasil Survei


Apabila UMR berkisar antara Rp. 500.000 750.000 maka tingkat pendapatan responden
di bawah UMR masih 35,78% sementara yang diatas UMR hasilnya 19,57%. Hal ini
akan berpengaruh terhadap penyediaan sarana dan prasarana sanitasi sehingga akan
mempengaruhi timbulnya penyakit diare.
1. Penyediaan Air Bersih
a. Gambaran penyediaan air bersih untuk keperluan sehari-hari (untuk minum dan
memasak).
Tabel 3. Penyediaan air bersih untuk keperluaan sehari-hari (untuk minum dan memasak)
masyarakat Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo.
Penyediaan Air Bersih Jumlah Persentase (%)
PDAM

83

45,11

Air Sumur

101

54,89

Total

184

100

Sumber : Hasil Survei


Sebagian besar responden (54,89%) menggunakan air sumur sebagai sumber air minum
yang berarti harus di olah lebih dulu (di rebus sampai mendidih) sebelum di manfaatkan
sebagai air minum, sementara PDAM baru menjangakau 45,11% responden. Dimana air
sumur memiliki kualitas air yang lebih rendah di bandingkan dengan air PDAM, karena
air sumur memiliki kemungkinan untuk tercemar lebih besar di bandingkan dengan air
PDAM sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap timbulnya penyakit diare.
b. Kebiasaan masyarakat untuk selalu memasak air bersih sampai mendidih sebelum di
minum.

Tabel 4. Kebiasaan responden untuk selalu memasak air bersih sampai mendidih sebelum
di minum di Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo.
Memasak Air bersih sampai
mendidih sebelum di minum
Memasak air
Tidak memasak air
Total

Jumlah

Persentase (%)

150

81,52

34

18,47

184

100

Sumber : Hasil Survei


Ternyata masih ada responden yang tidak memasak air bersih untuk menjadi air minum
(18,47%), dimana air bersih yang tidak di masak sebelum di minum memiliki kualitas air
yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan. Hal tersebut dapat mempengaruhi
penularan penyakit diare.
c. Gambaran jarak sumur dengan sumber pencemaran.
Tabel 5. Jarak sumur dengan sumber pencemaran di Desa Klopo Sepuluh Kecamatan

Sukodono Kabupaten Sidoarjo


Jarak Sumur dengan
Jumlah Persentase (%)
Sumber pencemaran
< 10 meter

72

39,13

10 meter

112

60,87

Total

184

100

Sumber : Hasil Survei


Masih cukup banyak (39,13%) responden yang memiliki sumur yang belum memenuhi
syarat ditinjau dari kemungkinan terjadinya diare. Hal ini menunjukkan bahwa
kemungkinan air sumur terkontaminasi sehingga akan berpengaruh terhadap timbulnya
penyakit diare.
2. Jamban Keluarga
a. Gambaran Kepemilikan Jamban.
Tabel 6. Kepemilikan Jamban pada kepala keluarga di Desa Klopo Sepuluh Kecamatan
Sukodono Kabupaten Sidoarjo.
Kepemilikan jamban Total Persentase (%)
Punya Jamban

65

35,33

Tidak Punya Jamban

119

64,67

Total

184

100

Sumber : Hasil Survei


Ternyata sebagian besar responden 64,67% tidak memiliki jamban sendiri. Sehingga
tinja tidak di kelola dengan baik, dimana tinja merupakan sumber penyakit terutama
penyakit diare.
b. Gambaran Kebiasaan masyarakat untuk selalu menggunakan jamban untuk buang air
besar.
Tabel 7. Kebiasaan masyarakat untuk selalu menggunakan jamban untuk buang air besar
di Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo.

Kebiasaan masyarakat untuk


selalu menggunakan jamban

Total

Persentase (%)

Menggunakan

58

86,57

Tidak menggunakan

13,43

Total

65

100

untuk buang air besar

Sumber : Hasil Survei


Sekalipun responden memiliki jamban, ternyata sebagian dari mereka (13,43 %) tidak
mempergunakannya. Sehingga tinja tidak di kelola dengan baik, dimana tinja merupakan
sumber penyakit terutama penyakit diare.
c. Gambaran Kebiasaan Buang Air Besar jika tidak mempunyai jamban.
Tabel 8. Kebiasaan Buang Air Besar jika tidak mempunyai jamban di Desa Klopo
Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo.
Kebiasaan Buang Air Besar
jika tidak mempunyai

Total

Persentase (%)

Jamban Umum

45

37,82

Sungai

74

62,18

Total

119

100

jamban

Sumber : Hasil Survei


Berdasarkan dari responden yang tidak memiliki jamban sebesar 62,18% diantaranya
membuang kotoran disungai. Hal ini akan berdampak pencemaran sungai yang akan
berpengaruh terhadap penularan penyakit diare.
d.Gambaran Keadaan Jamban.
Tabel 9. Keadaan Jamban Keluarga di Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono
Kabupaten Sidoarjo

Keadaan Jamban

Total Persentase (%)

Bersih dan Tidak berbau

58

94,11

Tidak bersih dan Berbau

5,88

Total

65

100

Sumber : Hasil Survei


Umumnya responden yang memiliki jamban dijaga kebersihanya sehingga bersih dan
tidak berbau (94,11%). Tetapi masih ada responden yang memiliki jamban tidak bersih
dan berbau (5,88%), dimana hal ini dapat mempermudah timbulnya vektor sehingga
dapat berpengaruh terhadap penularan penyakit diare.
e.Gambaran Kebiasaan selalu mencuci tangan dengan sabun setelah Buang Air Besar.
Tabel 10. Kebiasaan selalu mencuci tangan dengan sabun setelah Buang Air Besar di
Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo.
Selalu

mencuci

tangan

dengan sabun setelah Buang

Total

Persentase (%)

Mencuci

169

91,58

Tidak mencuci

15

8,15

Total

184

100

Air Besar

Sumber : Hasil Survei


Ternyata masih terdapat responden yang tidak mencuci tangan dengan sabun (8,15 %).
Sehingga kemungkinan terdapat kuman penyebab diare yang dapat mempengaruhi
timbulnya penyakit diare.
3. Fasilitas Sanitasi
a. Gambaran kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan
Tabel 11. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan di Desa Klopo
Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo.
Kebiasaan mencuci tangan
dengan sabun sebelum

Total

Persentase (%)

makan
Mencuci

138

75

Tidak mencuci

46

25

Total

184

100

Sumber : Hasil Survei


Tetapi masih ada responden yang tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan
(25%), dimana hal tersebut kemungkinan mengandung kuman penyebab diare, Sehingga
akan memudahkan terjadinya penyakit diare.
F. Faktor apa yang menjadi penyebab munculnya angka prevalensi dari masalah gizi
tersebut?
1.
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Klopo Sepuluh Kecamatan
Sukodono Kabupaten Sidoarjo. Dengan demikian, tingkat pemahaman mengenai
persyaratan sanitasi masih perlu di tingkatkan untuk mencengah meningkatnya penyakit
diare.
2.

Tingkat pengetahuan masih rendah maka tingkat pemahaman mengenai


persyaratan sanitasi masih perlu di tingkatkan. Apalagi masih ditemuinya masyarakat
yang buang air besar di sungai dan keadaan jamban yang tidak bersih.
Tingkat pendapatan masyarakat yang umumnya masih rendah dilihat dari

3.

pendapatan dibawah UMR yang mempengaruhi ketersediaan fasilitas sanitasi terutama


tempat untuk mencuci tangan.

Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
A. Siapa yang mengadakan penelitian?
Nama yang mengadakan penelitian Umiati
B. Latar belakang penelitian?
Survey Kesehatan Nasional menunjukkan bahwa diare merupakan penyebab kematian
nomor dua yaitu sebesar 23,0% pada balita dan nomor tiga yaitu sebesar 11,4% pada
bayi. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali pada tahun 2007
jumlah penderita diare sebanyak 16.489 kasus, untuk diare pada balita sebesar 4.259
kasus khususnya Puskesmas Nogosari merupakan salah satu wilayah yang jumlah
penderita diarenya mengalami peningkatan dari tahun 2007-2008 yaitu sebanyak 660
orang menjadi 837 orang. Berdasarkan data Puskesmas Nogosari, jumlah penderita diare
pada balita di Kecamatan Nogosari tahun 2007 sebanyak 181 balita, tahun 2008 sebanyak
293 balita, sedangkan pada tahun 2009 sebanyak 328 balita.
Penyakit diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan. Beberapa faktor yang
berkaitan dengan kejadian diare yaitu tidak memadainya penyediaan air bersih, air
tercemar oleh tinja, kekurangan sarana kebersihan (pembuangan tinja yang tidak
higienis), kebersihan perorangan dan lingkungan yang jelek, penyiapan makanan kurang
matang dan penyimpanan makanan masak pada suhu kamar yang tidak semestinya.
C. Tujuan penelitian?
Mengetahui hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009.
D. Metode yang digunakan?

Penelitian ini merupakan penelitian dalam bentuk survey yang bersifat observasional
dengan metode pendekatan cross-sectional, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan
pengamatan sesaat atau dalam suatu periode waktu tertentu dan setiap subjek studi hanya
dilakukan satu kali pengamatan selama penelitian. Subjek penelitian ini adalah seluruh
rumah yang di dalamnya terdapat balita dan pernah menderita diare di wilayah kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan
Simple Random Sampling, yaitu metode pengambilan sampel secara acak di mana
masing-masing populasi mempunyai peluang yang sama besar untuk terpilih sebagai
sampel
E. Hasil dari penelitian (prevalensi dan masalah gizi)?
A. Karakteristik Responden
1. Umur
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Umur Responden

(%)

< 20 tahun

1,7

20-35 tahun

> 35 tahun

54
Total

60

90
8,3
100

Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa umur responden paling banyak berumur antara 2035 tahun, yaitu sebanyak 54 responden (90%), dan paling sedikit berumur kurang dari 20
tahun, yaitu sebanyak satu responden (1,7%).

2. Jenis pekerjaan
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009

Pekerjaan

Responden
f

(%)

PNS

Wiraswasta

11

Swasta

12

18

Petani

Ibu Rumah Tangga

34

56

Buruh

60

100

Total

Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa jenis pekerjaan responden paling banyak adalah
ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 34 responden (56,7%) dan paling sedikit bekerja
sebagai PNS, yaitu sebanyak satunresponden (1,7%).
3. Pendidikan
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Wilayah
Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Pendidikan

Responden
f

(%)

SD

13

SMP

16

26

SMA

34

56

Sarjana

Total

60

100

Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa tingkat pendidikan responden paling banyak


adalah SMA, yaitu sebanyak 34 responden (56,7%) dan paling sedikit berpendidikan
sarjana, yaitu sebanyak dua responden (3,3%).
4. Umur balita
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Umur balita

Responden
f

(%)

30

50

24

40

>3

10

60

100

Total

Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa responden paling banyak mempunyai anak umur
0,5-1,5 tahun, yaitu sebanyak 30 responden (50%), dan paling sedikit umur balita di atas
3,5 tahun, yaitu sebanyak enam responden (10%).

5. Jenis kelamin balita


Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Jenis kelamin

Responden

(%)

Laki-laki

28

46

Perempuan

32

53

60

100

Total

Berdasarkan Tabel 6. diketahui bahwa responden paling banyak mempunyai balita


berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 32 responden (53,3%) dan paling sedikit
berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 28 responden (46,7%).
B. Analisis Univariat
1. Sumber air minum
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Sumber Air Minum Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Responden

Sumber Air Minum

(%)

Terlindung

16

26

Tidak terlindung

44

73

Total

60

100

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa sumber air minum responden paling banyak
diperoleh dari mata air yang tidak terlindung, yaitu sebanyak 73,3% dan paling sedikit
diperoleh dari mata air terlindung, yaitu sebanyak 26,7%.
2. Kualitas fisik air bersih
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Kualitas Fisik Air Bersih Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Kualitas fisik air bersih

Responden
f

(%)

Memenuhi syarat

29

48

Tidak memenuhi syarat

31

51

60

100

Total

Berdasarkan Tabel 8. diketahui bahwa kualitas fisik air bersih pada responden paling
banyak belum memenuhi syarat, yaitu sebanyak 51,7% dan paling sedikit sudah
memenuhi syarat baru, yaitu sebanyak 48,3%.
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Fisik Air Bersih Responden di Wilayah Kerja Puskesmas
Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Fisik air bersih

Responden
F

(%)

Air berbau

8.3%

Air berasa

8.3%

Air berwarna

10%

Air keruh

30

50%

46

76,6

Total

Berdasarkan Tabel 9. diketahui bahwa fisik air bersih pada responden paling banyak air
keruh, yaitu sebanyak 50% dan paling sedikit air berbau dan berasa, yaitu sebanyak
8,3%.
3. Kepemilikan jamban
Tabel 10. Distribusi Frekuensi Kepemilikan Jamban Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Kepemilikan jamban

Responden
F

(%)

Memiliki

35

58

Tidak memiliki

25

41

60

100

Total

Berdasarkan Tabel 10. diketahui bahwa kepemilikan jamban responden paling banyak
sudah memiliki jamban, yaitu sebanyak 58,3% dan paling sedikit belum memiliki
jamban, yaitu sebanyak 41,7%.
4. Jenis lantai rumah
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Jenis Lantai Rumah pada Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Jenis lantai rumah

Responden
f

(%)

Kedap air

33

55

Tidak kedap air

27

45

Total

60

100

Berdasarkan Tabel 11. diketahui bahwa jenis lantai rumah responden paling banyak telah
memiliki lantai yang kedap air, yaitu sebanyak 55% dan paling sedikit memiliki lantai
yang tidak kedap air, yaitu sebanyak 45%.
5. Kejadian diare pada balita
Tabel 12. Distribusi Frekuensi Kejadian Diare pada Balita Responden di Wilayah
Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Kejadian diare

Responden
f

(%)

Diare

43

71

Tidak diare

17

28

60

100

Total

Berdasarkan Tabel 12. diketahui bahwa kejadian diare pada responden, yaitu sebanyak 43
balita (71,7%) dan yang tidak mengalami diare, yaitu sebanyak 28,3%.
C. Analisis Bivariat

1. Hubungan antara sumber air minum dengan kejadian diare pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Nogosari tahun 2009
Tabel 13. Hasil Hubungan antara Sumber Air Minum dengan Kejadian Diare pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Kejadian Diare

Sumber Air Minum

Diare

Total

Tidak Diare

Terlindung

10

10

16,6

16

26,7

Tidak terlindung

37

61,7

11,

7 44

73,3

43

71,7

17

28,3

60

100

Total

0,001

Berdasarkan Tabel 13. diketahui bahwa sumber air minum yang tidak terlindung pada
responden dengan kejadian diare pada balita sebanyak 44 responden (73,3%). Hasil
analisis statistik menunjukkan nilai p-value = 0,001 0,05 berarti disimpulkan ada
hubungan antara sumber air minum yang dikonsumsi dengan kejadian diare pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali tahun 2009.
2. Hubungan antara kualitas fisik air bersih dengan kejadian diare pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Nogosari tahun 2009
Tabel 14. Hasil Hubungan antara Kualitas Fisik Air Bersih dengan Kejadian Diare pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Kejadian Diare

Kualitas Fisik
Air Bersih

Diare

Total

Tidak Diare

Memenuhi

19

31,7

10

16,6

29

48,3

Tidak memenuhi

24

40

11,7

31

51,7

Total

48

17

71,7

28,3

60

100

0,307

Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa kualitas fisik air bersih yang memenuhi syarat
pada responden dengan kejadian diare sebanyak 29 orang (48,3 %) dan yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 31 orang (51,7%). Hasil statistik menunjukkan nilai p-value =

0,307 0,05 berarti kesimpulan yang diambil adalah tidak ada hubungan antara kualitas
fisik air bersih dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari
Kabupaten Boyolali tahun 2009.
3. Hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Nogosari tahun 2009
Tabel 15. Hasil Hubungan antara Kepemilikan Jamban dengan Kejadian Diare pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Kejadian Diare

Kepemilikan
Jamban

Diare

Total

Tidak Diare

Memiliki

21

35

14

23,3

35

58,3

Tidak memiliki

22

36,7

25

41,7

43

71,7

17

28,3

60

100

Total

0,018

Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa responden yang mempunyai jamban pada


kejadian diare pada balita sebanyak 35 orang (58,3%) lebih banyak dibandingkan yang
tidak memiliki jamban 25 orang (41,7%). Hasil pengujian dengan Chi Square
menunjukkan nilai p-value = 0,018 0,05 berarti kesimpulannya adalah ada hubungan
antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare pada balita di wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali tahun 2009.
4. Hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian diare pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Nogosari tahun 2009
Tabel 16. Hasil Hubungan antara Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian Diare pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009

Kejadian Diare

Jenis Lantai
Rumah

Kedap air
Tidak kedap air
Total

Diare

Total

Tidak Diare

33,3

13

21,7

33

55

23

38,4

6,6

27

45

43

71,7

17

28,3

60

100

0,036

Berdasarkan Tabel 16 diketahui bahwa jenis lantai rumah pada responden yang kedap air
sebanyak 55% dan yang tidak kedap air sebanyak 45%. Hasil statistik menunjukkan nilai
p-value = 0,036 0,05 berarti kesimpulannya adalah ada hubungan antara jenis lantai
rumah dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari
Kabupaten Boyolali Tahun 2009.
5. Rangkuman hasil analisis bivariat
Tabel 17. Rangkuman Hasil Analisis Bivariat Hubungan Sumber Air Minum, Kualitas
Fisik Air Bersih, Kepemilikan Jamban dan Jenis Lantai Rumah dengan
Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten
Boyolali Tahun 2009
No

Variabel

Nilai p

Hipotesis

1.

Sumber air minum

0,001

Ada hubungan

2.

Kualitas fisik air bersih

0,307

Tidak ada hubungan

3.

Kepemilikan jamban

0,018

Ada hubungan

4.

Jenis lantai rumah

0,036

Ada hubungan

Dari empat variabel penelitian menunjukkan bahwa variabel kualitas fisik air bersih
dengan kejadian diare pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten
Boyolali Tahun 2009 tidak ada hubungan, dimana hasil pengujian secara statistik
menunjukkan nilai p = 0,307.

F. Faktor apa yang menjadi penyebab munculnya angka prevalensi dari masalah gizi
tersebut?

BAB III
HASIL

1. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Faktor Budaya Dengan Kejadian Diare Pada Anak
Balita Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo
Hasil perbandingan:
Pada penilitian Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Faktor Budaya Dengan
Kejadian Diare Pada Anak Balita Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten
Sukoharjo distribusi anak balita yang rumahnya memakai air sumur gali lebih banyak
yang diare dibanding yang tidak diare, sebaliknya yang memakai air PDAM yang diare
lebi sedikit. Sumber air bersih, sebagian besar menggunakan air sumur gali sebanyak 52
rumah (76,47 %), yang lain menggunakan air PDAM dan campuran sumur gali dengan
PDAM.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010 hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Tengah 70% prosentasi
rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian
yang dilakuakan pada tahun 2008 untuk daerah Sukoharjo yang merupakan salah satu
kabupaten yang terdapat di provinsi Jawa Tengah yang menunjukan hasil mencapai
76,47% menggunakan air sumur gali.
Faktor yang menjadi penyebab dari masalah angka kejadian diare pada Anak
Balita Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo adalah Kedalaman
sumur gali di desa tersebut rata-rata kurang dari 5 meter, hal ini kemungkinan
kontaminasi dengan faeces cukup besar. Sedangkan sebagian besar masyarakat masih
menggunakan air dari sumur gali, bahkan masih banyak yang minum air mentah.

2. Faktor Faktor Sanitasi Yang Berpengaruh Terhadap Timbulnya Penyakit Diare Di Desa
Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo
Hasil perbandingan:
Sebagian besar responden (54,89%) menggunakan air sumur sebagai sumber air
minum yang berarti harus di olah lebih dulu (di rebus sampai mendidih) sebelum di
manfaatkan sebagai air minum, sementara PDAM baru menjangakau 45,11% responden.
Dimana air sumur memiliki kualitas air yang lebih rendah di bandingkan dengan air
PDAM, karena air sumur memiliki kemungkinan untuk tercemar lebih besar di
bandingkan dengan air PDAM sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap timbulnya
penyakit diare.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Timur 70% prosentasi
rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian
yang dilakukan pada tahun 2008 untuk daerah Sidoarjo yang merupakan salah satu
kabupaten di provinsi Jawa Timur, yang menunjukan hasil mencapai 60% menggunakan
air sumur sebagai sumber air minum.
Gambaran Kebiasaan Buang Air Besar jika tidak mempunyai jamban yaitu
berdasarkan dari responden yang tidak memiliki jamban sebesar 62,18% diantaranya
membuang kotoran disungai. Hal ini akan berdampak pencemaran sungai yang akan
berpengaruh terhadap penularan penyakit diare.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Tengah 58% prosentase
rumah tangga yang menggunakan cara-cara lain pembuangan kotoran. Sedangkan untuk
daerah Sidoarjo yang merupakan salah satu kabupaten di

provinsi Jawa Timur,

berdasarkan dari responden yang tidak memiliki jamban sebesar 62,18% diantaranya

membuang kotoran disungai. Hal ini akan berdampak pencemaran sungai yang akan
berpengaruh terhadap penularan penyakit diare.
Faktor faktor yang menjadi penyebab Sanitasi Yang Berpengaruh Terhadap
Timbulnya Penyakit Diare Di Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten
Sidoarjo adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Klopo Sepuluh
Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo. Dengan demikian, tingkat pemahaman
mengenai persyaratan sanitasi masih perlu di tingkatkan untuk mencengah meningkatnya
penyakit diare. Tingkat pengetahuan masih rendah maka tingkat pemahaman mengenai
persyaratan sanitasi masih perlu di tingkatkan. Apalagi masih ditemuinya masyarakat
yang buang air besar di sungai dan keadaan jamban yang tidak bersih.
3.Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Hasil perbandingan:
Sebagian besar responden menggunakan sumber air minum paling banyak
diperoleh dari mata air yang tidak terlindung, yaitu sebanyak 73,3% dan paling sedikit
diperoleh dari ir minum mata air terlindung, yaitu sebanyak 26,7%. Dimana juga kualitas
fisik air bersih pada responden paling banyak belum memenuhi syarat, yaitu sebanyak
51,7% dan paling sedikit sudah memenuhi syarat baru, yaitu sebanyak 48,3%. Dengan
demikian, sumber air minum akibat tidak terlindungi dapat mengakibatkan persentasi
diare semakin meningkat pada balita.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Timur 70% prosentasi
rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian
yang dilakukan pada tahun 2009 untuk daerah Boyolali yang merupakan salah satu
kabupaten di provinsi Jawa Timur, yang menunjukan hasil mencapai 73 % menggunakan
sumber air bersih yang tidak terlindungi dan fisik air yang belum memenuhi syarat
sebanyak 51 %.
Faktor faktor yang menjadi penyebab Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian
Diare Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun

2009 adalah tidak memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekurangan
sarana kebersihan (pembuangan tinja yang tidak higienis), kebersihan perorangan dan
lingkungan yang jelek. Dan juga ditemukan membunag sampah yang sembarangan,

4. Faktor Risiko Diare Pada Bayi Dan Balita Di Indonesia: Systematic Review Penelitian
Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat
Hasil perbandingan:
Pada aspek pendidikan ibu dari sebelas penelitian, lima penelitian13,16,17,19,24
menunjukkan hasil yang signifikan sedangkan enam penelitian11,20,21,22,25,26 lainnya
menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Aspek status kerja ibu ternyata tidak
menunjukkan hasil yang signifikan dalam menyebabkan penyakit diare pada bayi dan
balita. Dari empat penelitian yang menghubungkan aspek status kerja ibu dengan
kejadian diare menunjukkan hanya satu penelitian yang menunjukkan hasil yang
signifikan 24 dalam menyebabkan penyakit diare pada bayi.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Timur 70% prosentasi
rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian
yang dilakukan pada tahun 2010 oleh Kesehatan Masyarakat UI yang merupakan salah
menunjukan hasil mencapai hanya 5 penelitian yang signifikan menggunakan sumber air
bersih yang tidak memenuhi syarat.
Faktor faktor yang menjadi penyebab Faktor Risiko Diare Pada Bayi Dan Balita
Di Indonesia faktor lingkungan yaitu sarana air bersih dan jamban yang tidak memadai
dan tidak memenuhi syarat, tempat pembuangan sampah yang tidak baik, kualitas
bakteriologis air bersih dan kepadatan penduduk yang tidak memada

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil pencapain dari program Unicef, Indonesia telah menunjukkan kemajuan


signifikan dalam meningkatkan akses terhadap persediaan air bersih dan
pelayanan sanitasi. Bagi Indonesia, ini berarti perlu mencapai angka peningkatan
akses air bersih hingga 68,9 persen dan 62,4 persen, untuk sanitasi.

Perbandingan dengan tahun 2007 menunjukkan akses air bersih pada tahun 2010
telah mengalami penurunan kira-kira sebesar tujuh persen. Akses ke air bersih di
Jakarta telah mengalami penurunan dari 63 persen pada 2010 menjadi 28 persen
pada tahun 2007, menurut Riskesdas.

Program Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun 2007 & 2010 hasil penilitian
menunjukan bahwa provinsi Jawa Tengah 70% prosentasi rumah tangga dengan
akses ke sumber air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian yang dilakuakan
pada tahun 2008 untuk daerah Sukoharjo yang merupakan salah satu kabupaten
yang terdapat di provinsi Jawa Tengah yang menunjukan hasil mencapai 76,47%
menggunakan air sumur gali.

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Timur 70%
prosentasi rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik.
Sedangkan penilitian yang dilakukan pada tahun 2008 untuk daerah Sidoarjo yang
merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur, yang menunjukan hasil
mencapai 60% menggunakan air sumur sebagai sumber air minum.

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Tengah 58%
prosentase rumah tangga yang menggunakan cara-cara lain pembuangan kotoran.
Sedangkan untuk daerah Sidoarjo yang merupakan salah satu kabupaten di
provinsi Jawa Timur, berdasarkan dari responden yang tidak memiliki jamban

sebesar 62,18% diantaranya membuang kotoran disungai. Hal ini akan berdampak
pencemaran sungai yang akan berpengaruh terhadap penularan penyakit diare.

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Timur 70%
prosentasi rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik.
Sedangkan penilitian yang dilakukan pada tahun 2009 untuk daerah Boyolali yang
merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur, yang menunjukan hasil
mencapai 73 % menggunakan sumber air bersih yang tidak terlindungi dan fisik
air yang belum memenuhi syarat sebanyak 51 %.

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Timur 70%
prosentasi rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik.
Sedangkan penilitian yang dilakukan pada tahun 2010 oleh Kesehatan Masyarakat
UI yang merupakan salah menunjukan hasil mencapai hanya 5 penelitian yang
signifikan menggunakan sumber air bersih yang tidak memenuhi syarat.

Dapat disimpulkan bahwa program Riskesdas dalam Unicef tahun 2007 & 2010
mengenai penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan, yang mencapai
keberhasilan dalam program yaitu provinsi Jawa Tengah 70% prosentasi rumah
tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian
yang dilakukan pada tahun 2008 untuk daerah Sukoharjo yang merupakan salah
satu kabupaten yang terdapat di provinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan
yang menunjukan hasil mencapai 76,47% menggunakan air sumur gali.

Pada provinsi Jawa Timur 70% prosentasi rumah tangga dengan akses ke sumber
air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian yang dilakukan pada tahun 2008
untuk daerah Sidoarjo yang merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa
Timur mengalami penurunan yang menunjukan hasil mencapai
menggunakan air sumur sebagai sumber air minum.

60%

DAFTAR PUSTAKA

Friscasari Kundaian, dkk. 2007. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Infestasi
Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri
Kabupaten Minahasa. [skripsi]. Manado.

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sam Ratulangi Manado.


Siti Amaliah. 2010. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Faktor Budaya Dengan
Kejadian Diare Pada Anak Balita Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari
Kabupaten Sukoharjo [jurnal]. Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Semarang.

Anda mungkin juga menyukai