Disusun oleh :
Agriani Dua Baru Sowa
2010-21-001
2010-21-007
2010-21-009
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sanitasi dan perilaku kebersihan yang buruk serta air minum yang tidak aman
berkontribusi terhadap 88 persen kematian anak akibat diare di seluruh dunia. Bagi anakanak yang bertahan hidup, seringnya menderita diare berkontribusi terhadap masalah gizi,
sehingga menghalangi anak-anak untuk dapat mencapai potensi maksimal mereka.
Kondisi ini selanjutnya menimbulkan implikasi serius terhadap kualitas sumber daya
manusia dan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang.
Di Indonesia, diare masih merupakan penyebab utama kematian anak berusia di
bawah lima tahun. Laporan Riskesdas 2007 menunjukkan diare sebagai penyebab 31
persen kematian anak usia antara 1 bulan hingga satu tahun, dan 25 persen kematian anak
usia antara satu sampai empat tahun. Angka diare pada anak-anak dari rumah tangga yang
menggunakan sumur terbuka untuk air minum tercatat 34 persen lebih tinggi
dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang menggunakan air ledeng, Selain
itu, angka diare lebih tinggi sebesar 66 persen pada anak-anak dari keluarga yang
melakukan buang air besar di sungai atau selokan dibandingkan mereka pada rumah
tangga dengan fasilitas toilet pribadi dan septik tank.
Peran penting kebersihan sering diabaikan. Kematian dan penyakit yang
disebabkan oleh diare pada umumnya dapat dicegah. Bahkan tanpa perbaikan pada sistem
pengairandan sanitasi, mencuci tangan secara tepat dengan menggunakan sabun dapat
mengurangi resiko penyakit diare sebesar 42 sampai 47 persen.
Situasi masyarakat miskin perkotaan perlu mendapatkan perhatian segera. Di
daerah-daerah kumuh perkotaan, sanitasi yang tidak memadai, praktek kebersihan yang
buruk, kepadatan penduduk yang berlebihan, serta air yang terkontaminasi secara
sekaligus dapat menciptakan kondisi yang tidak sehat. Penyakit-penyakit terkait dengan
ini meliputi disentri, kolera dan penyakit diare lainnya, tipus, hepatitis, leptospirosis,
malaria, demam berdarah, kudis, penyakit pernapasan kronis dan infeksi parasit usus.
Selain itu, keluarga miskin yang kurang berpendidikan cenderung melakukan praktekpraktek kebersihan yang buruk, yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dan
peningkatan resiko kematian anak. Studi tentang mega-kota Jakarta (yang disebut
Jabotabek), Bandung dan Surabaya pada tahun 2000 menunjukkan bahwa penduduk
miskin yang tinggal di daerah pinggiran kota Jakarta kurang berpendidikan dibandingkan
warga Jakarta sendiri, dan memiliki tingkat tamat sekolah menengah hanya seperempat
dari mereka yang tinggal di pusat kota. Studi yang sama menghitung angka kematian
anak sampai lima kali lebih tinggi di kecamatan-kecamatan miskin di pinggiran kota
Jabotabek daripada di pusat kota Jakarta.
Saat ini, Indonesia tidak berada pada arah yang tepat untuk mencapai target MDG
untuk masalah air bersih MDG pada tahun 2015. Perhitungan dengan menggunakan
kriteria MDG nasional Indonesia untuk air bersih dan data dari sensus tahun 2010
menunjukkan bahwa Indonesia harus mencapai tambahan 56,8 juta orang dengan
persediaan air bersih pada tahun 2015. Di sisi lain, jika kriteria Program Pemantauan
Bersama WHO-UNICEF (JMP) untuk air bersih akan digunakan, Indonesia harus
mencapai tambahan 36,3 juta orang pada tahun 2015. Saat ini, bahkan di provinsiprovinsi yang berkinerja lebih baik (Jawa Tengah dan DI Yogyakarta), sekitar satu dari
tiga rumah tangga tidak memiliki akses ke persediaan air bersih (Gambar 1).
Perbandingan dengan tahun 2007 menunjukkan akses air bersih pada tahun 2010
telah mengalami penurunan kira-kira sebesar tujuh persen. Kondisi terbalik ini pada
umumnya disebabkan oleh penurunan di daerah perkotaan (sebesar 23 persen sejak tahun
2007, Gambar 2). Akses ke air bersih di Jakarta telah mengalami penurunan dari 63
persen pada 2010 menjadi 28 persen pada tahun 2007, menurut Riskesdas. Yang
mengherankan, dua kelompok kuintil tertinggi juga mengalami penurunan akses terhadap
air bersih masing-masing sebesar 8 dan 32 persen dibandingkan dengan tahun 2007.
Mereka yang berasal dari kelompok mampu membeli air minum kemasan atau botol:
sepertiga rumah tangga perkotaan di Indonesia melakukannya pada tahun 2010.
Sejak tahun 1993, Indonesia telah menunjukkan peningkatan dua kali lipat
prosentase rumah tangga dengan akses ke fasilitas sanitasi yang lebih baik, tetapi masih
berada pada arah yang belum tepat untuk mencapai target sanitasi MDG 2015. Untuk
mencapai target sanitasi nasional MDG, diperlukan pencapaian tambahan 26 juta orang
dengan sanitasi yang lebih baik pada tahun 2015. Perencanaan pada jangka panjang
memerlukan pencapaian angka-angka yang lebih besar: Data Riskesdas 2010
menunjukkan bahwa secara keseluruhan, kira-kira 116 juta orang masih kekurangan
sanitasi yang memadai.
Buang air besar di tempat terbuka merupakan masalah kesehatan dan sosial yang
perlu mendapatkan perhatian segera. Sekitar 17 persen rumah tangga pada tahun 2010
atau sekitar 41 juta orang masih buang air besar di tempat terbuka. Ini meliputi lebih dari
sepertiga penduduk di Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat
dan Kalimantan Barat. Praktek tersebut bahkan ditemukan di provinsi-provinsi dengan
cakupan sanitasi yang relatif tinggi, dan pada penduduk perkotaan dan di seluruh kuintil
(Gambar 3 dan 4).
kurang sehat dan pembuangan limbah mentah ke tempat terbuka tanpa diolah. Sebagian
besar rumah tangga di perkotaan yang menggunakan pompa, sumur atau mata air untuk
persediaan air bersih mereka memiliki sumber-sumber air ini dengan jarak 10 meter dari
septik tank atau pembuangan toilet. Di Jakarta, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Daerah (BPLHD) Jakarta menunjukkan bahwa 41 persen sumur gali yang digunakan oleh
rumah tangga berjarak kurang dari 10 meter dari septik tank. Septik tank jarang disedot
dan kotoran merembes ke tanah dan air tanah sekitarnya. Laporan Bank Dunia tahun
2007 menyebutkan bahwa hanya 1,3 persen penduduk memiliki sistem pembuangan
kotoran. Sistem pipa rentan terhadap kontaminasi akibat kebocoran dan tekanan negatif
yang disebabkan oleh pasokan yang tidak teratur. Ini merupakan masalah khusus dimana
konsumen menggunakan pompa hisap untuk mendapatkan air bersih dari sistem perariran
kota.
Dibandingkan dengan kelompok kaya, kaum miskin perkotaan mengeluarkan
biaya yang lebih besar dari pendapatan mereka untuk air yang berkualitas lebih buruk.
Misalnya, sistem pipa kota Jakarta hanya mencakup sebagian kecil penduduk, karena
perluasan pelayanan tidak dapat mengimbangi perkembangan penduduk di daerah
perkotaan. Penduduk lainnya tergantung pada berbagai sumber lain, termasuk sumur
dangkal, penjual air keliling dan jaringan privat yang terhubung dengan sumur yang
dalam. Banyak dari sumber-sumber alternatif ini memerlukan biaya yang lebih besar per
satuan volume daripada pasokan air ledeng dan sering digunakan oleh masyarakat
miskin.
BAB II
HASIL
Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Faktor Budaya Dengan Kejadian Diare Pada
Anak Balita Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo
A. Siapa yang mengadakan penelitian?
Nama yang mengadakan penelitian Siti Amaliah
B. Latar belakang penelitian?
Kejadian diare pada anak balita di Puskesmas Bendosari masih tinggi, di mana 30 %
berasal dari desa Toriyo. Penyebabnya diduga karena sanitasi lingkungan yang jelek dan
factor budaya yang tidak sehat.
C. Tujuan penelitian?
Menganalisa hubungan antara sanitasi lingkungan dan faktor budaya dengan kejadian
diare di desa Toriyo.
D. Metode yang digunakan?
Penelitian ini explanatory research dengan rancangan cross sectional study, dengan
populasi ibu-ibu rumah tangga yang mempunyai anak balita, sebanyak 685 orang di desa
Toriyo dengan jumlah sampel 68 orang, dengan pengambilan sampel secara cluster
berdasarkan wilayah RT, menurut monogram Harry King.
Variabel bebas sanitasi lingkungan yang terdiri (a) sumber air bersih, (b) kepemilikan
jamban dan faktor budaya yang terdiri dari (a) penggunaan air minum, (b) kebiasaan
BAB, (c) Kebiasaan cuci tangan dengan sabun, (d) penanganan diare, variabel terikat
adalah kejadian diare.
Alat dan bahan penelitian yang dipakai yaitu kuesioner, di mana tiap variabel
menggunakan seperangkat kuesioner yang telah dibakukan Dep.Kes.untuk supervisi ke
desa, dengan survei wawancara dan observasi di lapangan. Data sekunder diperoleh dari
kepala desa dan monografi desa. Pengolahan data dengan cara editing, coding, entri data.
Analisa statistik dengan Chi Square test.
E. Hasil dari penelitian (prevalensi dan masalah gizi)?
A. Jumlah anak balita yang menderita diare dan pernah sakit diare sebanyak 64 anak
yang terdapat dalam 58 rumah tangga, dengan rincian terdapat 1 penderita diare 52 rumah
(89,7%), terdapat 2 penderita pada 6 rumah (10,3%).
1. Upaya pengobatan anak balita diare di desa Toriyo tahun 2008 masih cukup tinggi
yang mengobati sendiri (37,50%)
Tabel 1.Upaya pengobatan anak balita daire di desa Toriyo tahun 2008
Upaya pengobatan
Jumlah
Pengobatan sendiri
24
37,50
Pengobatan di Puskesmas
24
37,50
Klinik 24 jam
10
15,63
9,37
Total
64
100,0
2. Sumber air bersih, sebagian besar menggunakan air sumur gali sebanyak 52 rumah
(76,47 %), yang lain menggunakan air PDAM dan campuran sumur gali dengan PDAM.
Tabel 2. Sumber air bersih
Jenis sumber air bersih
Jumlah
Sumur gali
52
76,47
Air PDAM
5,88
12
17,65
Total
68
100,0
Jumlah
Prosentase
31
45,58
37
54,42
Total
68
100,0
4. Faktor Budaya: Sebagian besar masyarakat desa Toriyo mempunyai kebiasaan yang
tidak sehat atau tidak sesuai dengan syarat kesehatan, terutama kebiasaan minum air
mentah, tidak cuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah cebok. Terdapat
kepercayaan bahwa anak yang mengalami diare itu tandanya akan bertambah besar.
Gambaran lebih rinci sebagai berikut:
a). Kebiasaan minum air sehari-hari
Air PDAM
Jumlah
Jumlah
X2
16
7,2
0,0
(17,6%)
(23,5%)
97
17
37
31
68
(54,4%)
(45,6%)
(100%)
Diare
Tidak diare
33
19
52
(48,5%)
(27,9%)
(76,5%)
12
( 5,9%)
2. Hubungan kepemilikan jamban dengan kejadian diare di desa Toriyo Anak balita yang
diare lebih banyak pada rumah yang tidak memiliki jamban, sebaliknya anak yang tidak
diare lebih banyak pada rumah memiliki jamban. Hasil analisa dengan test yang sama p=
0,017 (p< 0,05) artinya ada hubungan yang bermakna antara kepemilikan jamban dengan
kejadian diare.
Tabel 5. Hubungan kepemilikan jamban dengan kejadian diare pada anak balita
Kepemilikan jamban
Tidak punya jamban
Punya jamban
Total
Jumlah
Diare
Tidak diare
25
12
17
(36,8%)
(17,62%)
(54,42%)
12
19
31
(17,6%)
(27,98%)
(45,58%)
37 31
31
68
(54,4%)
(45,6%)
(100%)
X2
5,663
0,017
3. Hubungan penggunaan air minum dengan kasus diare pada anak balita
Jumlah kasus diare pada penggunaan air minum yang direbus lebih sedikit dibanding
yang tidak diare, sebaliknya penggunaan air minum mentah jumlah kejadian diare lebih
banyak dibanding yang tidak diare. Dengan uji yang sama diperoleh p=0,000 (p<0,05)
artinya ada hubungan yang bermakna antara penggunaan air minum dengan kejadian
diare.
Tabel 6. Hubungan penggunaan air minum dengan kejadian diare pada anak balita
Air minum
Air yang direbus
Total
Jumlah
Diare
Tidak diare
23
32
(13,2%)
(33,8%)
(47,1%)
28
36
(41,2%)
(11,8%)
(52,9%)
37
31
68
(54,4%)
(45,6%)
(100%)
X2
16,838
0,000
4. Hubungan cuci tangan dengan sabun sesudah BAB dengan kejadian diare Jumlah
kejadian diare pada yang cuci tangan dengan sabun sesudah BAB lebih sedikit dibanding
yang tidak diare, sebaliknya yang tidak cuci tangan dengan sabun jumlah kejadian diare
lebih banyak dibanding yang tidak diare. Dengan uji yang sama diperoleh p=0,001
(p<0,005) artinya ada hubungan yang bermakna antara cuci tangan dengan sabun sesudah
BAB dengan kejadian diare
Tabel 7. Hubungan antara cuci tangan dengan sabun sesudah BAB dengan kejadian diare
Cuci tangan sesudah BAB
Dengan sabun
Total
Jumlah
X2
41
11,0
0,00
(17,64%)
(60,3%)
87
37
31
68
(54,4%)
(45,6%)
(100%)
Diare
Tidak diare
19
27
(11,76%)
(27,94%)
(39,7%)
29
12
(42,64%)
5. Hubungan cuci tangan sebelum makan dengan kejadian diare pada anak balita. Jumlah
kejadian diare pada yang cuci tangan sebelum makan lebih sedikit disbanding yang tidak
diare, sebaliknya jumlah kejadian diare pada yang tidak cuci tangan lebih banyak
dibanding yang tidak diare. Dengan uji yang sama diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05)
artinya ada hubungan yang bermakna antara cuci tangan sebelum makan dengan kejadian
diare pada anak balita di desa Toriyo.
Tabel 8. Hubungan cuci tangan sebelum makan dengan kejadian diare pada anak balita
Rumah dengan anak
balita
Sebelum makan
Cuci tangan
Jumlah
Diare
Tidak diare
13
24
37
(19,1%)
(35,3%)
(54,4%)
24
31
(35,3%)
(10,3%)
(45,6%)
37
31
68
(54,4%)
(45,6%)
(100%)
X2
12,158 0,000
Jumlah
Diobati sendiri/
Jumlah
Diare
Tidak diare
27
13
40
(39,7%)
(19,1%)
(58,8%)
10
18
28
(14,7%)
(26,5%)
(41,2%)
37
31
68
(54,4%)
(45,6%)
(100%)
X2
6,709 0,010
F. Faktor apa yang menjadi penyebab munculnya angka prevalensi dari masalah gizi
tersebut?
1. Balita yang menderita diare pada Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten
Sukoharjo mayoritas dibawa berobat ke Puskesmas hanya sebagian, yang lain berobat
diluar Puskesmas dan bahkan hanya diobati sendiri.
2. Kurang akurat karena adanya faktor lupa dari ibu-ibu yang berpendidikan rendah
sehingga tidak memperhatikan kesehatan anaknya.
3. Keadaan sanitasi lingkungan kurang memenuhi syarat kesehatan karena dengan
observasi bisa dilihat adanya tinja di saluran air di tepi jalan, hal ini didukung fakta
bahwa masih banyak yang tidak memiliki jamban sehat, karena semua jamban tanpa
septic tank. Dengan demikian prevalansi diare pada balita semakin meningkat.
4. Kedalaman sumur gali di desa tersebut rata-rata kurang dari 5 meter, hal ini
kemungkinan kontaminasi dengan faeces cukup besar. Sedangkan sebagian besar
masyarakat masih menggunakan air dari sumur gali, bahkan masih banyak yang
minum air mentah.
5. Banyaknya perilaku dan persepsi yang keliru terhadap diare, antara lain minum air
mentah, berak tidak di jamban, persepsi yang keliru terhadap diare, dan kebiasaan
tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan maupun sesudah berak.
Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Dengan Infestasi Cacing Pada Murid Sekolah
Dasar Di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa
A. Siapa yang mengadakan penelitian?
Nama yang menagadakan penelitian Friscasari Kundaian, dkk
B. Latar Belakang
Prevalensi kecacingan pada anak sekolah dasar di Indonesia masih cukup tinggi, yakni
sekitar 60-80%. Tingginya angka kecacingan tersebut pada usai anak sekolah
dikarenakan mereka sering bermain atau kontak dengan tanah yang merupakan tempat
tumbuh dan berkembangnya cacing-cacing perut.
C. Tujuan penelitian?
a. Tujuan Umum
Mengetahui apakah ada hubungan antara sanitasi lingkungan (kondisi jamban/WC,
jenis lantai rumah, ketersediaan air bersih dan sarana pembuangan sampah) dengan
infestasi cacing pada murid sekolah dasar di Desa Teling KecamatanTombariri
Kabupaten Minahasa.
b. Tujuan Khusus
1. Memberikan informasi tentang adanya infestasi cacing pada murid sekolah dasar
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga masyarakat dapat melakukan
upaya penanggulangan terhadap kecacingan.
2. Sebagai landasan dalam pengambilan kebijakan bagi instansi terkait untuk
melakukan upaya penanggulangan terhadap kecacingan pada murid sekolah dasar
di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa.
3. Penelitian ini merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti, karena
dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang kecacingan yang pada
akhirnya akan sangat membantu peneliti untuk melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan bidang ilmu yang diminati, yakni kesehatan lingkungan.
D. Metode yang digunakan?
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan
rancangan Cross Sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Teling Kecamatan
Tombariri Kabupaten Minahasa pada bulan Mei-Juli 2011. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh murid sekolah dasar yang ada di Desa Teling Kecamatan Tombariri
Kabupaten Minahasa, yakni murid sekolah dasar dari SD INPRES dan SD GMIM Teling
dengan total populasi sebanyak 99 orang murid. Sampel diambil berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi, sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi:
1) Terdaftar sebagai murid sekolah dasar di dua sekolah yang ada di Desa Teling
Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa.
2) Hadir pada saat penelitian dilaksanakan.
3) Bersedia menjadi responden.
b. Kriteria eksklusi:
1) Murid yang berdomisili di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa
kurang dari 6 bulan.
2) Murid yang mengkonsumsi obat cacing dalam waktu 6 bulan
Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi di atas, maka jumlah sampel yang diteliti
adalah 90 orang murid sekolah dasar.
A.Variabel Penelitian
a) Variabel bebas adalah sanitasi lingkungan yang terdiri dari:
1. Kondisi jamban/WC
2. Jenis lantai rumah
3. Ketersediaan air bersih
Positif
Negatif
Gambar 1. Proporsi Infestasi Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa Teling
Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa
Gambar 2.
Tabel 1. Hubungan antara Sanitasi Lingkungan dengan Infestasi Cacing pada Murid
Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa Sanitasi
Lingkungan
Sanitasi Lingkungan
F.
Positif
Infeksi Cacing
% Negatif
Kondisi jamban/WC
tidak memenuhi syarat
5
11,6 38
88,4 43 100 0,869
memenuhi syarat
6
12,8 41
87,2 47 100
Jenis lantai rumah
Tanah
8
18,6 35
81,4 43 100 0,077
papan/plester/keramik
3
6,4 44
93,6 47 100
Ketersediaan air bersih
tidak cukup
2
11,1 16
88,9 18 100 0,618
Cukup
9
12,5 63
87,5 72 100
Sarana pembuangan sampah
tidak memenuhi syarat 10
12
73
88
83 100 0,612
memenuhi syarat
1
14,3 6
85,7 7 100
menjadi penyebab munculnya angka prevalensi dari masalah gizi tersebut?
1. Upaya pencegahan dan pemberantasan cacing di Sekolah Dasar tersebut
Fakt
or
apa
yang
belum
Faktor Faktor Sanitasi Yang Berpengaruh Terhadap Timbulnya Penyakit Diare Di Desa
Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo
A. Siapa yang mengadakan penelitian?
Nama yang mengadakan penelitian Nilton Do C Da Silva, S.Ked, dkk
B. Latar belakang penelitian?
Berdasarkan data yang di dapat dari Puskesmas Sukodono, penderita diare pada bulan
Januari-Maret menunjukkan jumlah yang cukup tinggi khususnya Desa Klopo Sepuluh
termasuk salah satu desa yang cukup tinggi jumlah penderita yang menderita diare,
tercatat 16,11 % yang datang berobat antara bulan Januari-Maret 2008 karena menderita
diare. Hal ini disebabkan kebiasaan penduduk desa yang suka membuang kotoran
disungai, tidak mencuci tangan dengan air sabun sebelum memberi makan pada anak,
tidak menjaga kebersihan makanan, serta perilaku yang tidak mencerminkan pola hidup
sehat.
C. Tujuan penelitian?
Mengetahui gambaran pengaruh faktor faktor sanitasi terhadap timbulnya penyakit
diare di Desa Klopo sepuluh, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo.
D. Metode yang digunakan?
Penelitian ini bersifat deskriptif yang menggambarkan tentang faktor sanitasi yang
berhubungan dengan kejadian diare di Desa Klopo Sepuluh, Kecamatan Sukodono,
Kabupaten Sidoarjo. Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah kepala keluarga (KK)
yang ada di Desa Klopo Sepuluh, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo pada
periode bulan Januari Maret 2008 yang berjumlah 1273 KK.
Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang mewakili populasi, yang
daripadanya diambil data. Sampel diambil dengan cara simple random sampling. Besar
sample di tentukan menurut formula sebagai berikut :
n = N x p.q
(N-1)D+p.q
Keterangan :
n = Jumlah sample
N = Besar populasi
p = Proporsi populasi yang kemungkinan terkena diare = 0,1611
q = Proporsi populasi yang kemungkinan tidak terkena diare 0,8389
D = Penyimpangan = B2/4
B = Penyimpangan yang dikehendaki = 0,05
n=
n = 184
Persentase (%)
SD
37
20,10
SMP
48
26,08
SMA
65
35,33
Perguruan Tinggi
65
35,33
Tidak Sekolah
22
11,96
Total
184
100
64
34,78
84
45,65
26
14,14
>1 juta
10
5,43
Total
184
100
83
45,11
Air Sumur
101
54,89
Total
184
100
Tabel 4. Kebiasaan responden untuk selalu memasak air bersih sampai mendidih sebelum
di minum di Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo.
Memasak Air bersih sampai
mendidih sebelum di minum
Memasak air
Tidak memasak air
Total
Jumlah
Persentase (%)
150
81,52
34
18,47
184
100
72
39,13
10 meter
112
60,87
Total
184
100
65
35,33
119
64,67
Total
184
100
Total
Persentase (%)
Menggunakan
58
86,57
Tidak menggunakan
13,43
Total
65
100
Total
Persentase (%)
Jamban Umum
45
37,82
Sungai
74
62,18
Total
119
100
jamban
Keadaan Jamban
58
94,11
5,88
Total
65
100
mencuci
tangan
Total
Persentase (%)
Mencuci
169
91,58
Tidak mencuci
15
8,15
Total
184
100
Air Besar
Total
Persentase (%)
makan
Mencuci
138
75
Tidak mencuci
46
25
Total
184
100
3.
Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
A. Siapa yang mengadakan penelitian?
Nama yang mengadakan penelitian Umiati
B. Latar belakang penelitian?
Survey Kesehatan Nasional menunjukkan bahwa diare merupakan penyebab kematian
nomor dua yaitu sebesar 23,0% pada balita dan nomor tiga yaitu sebesar 11,4% pada
bayi. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali pada tahun 2007
jumlah penderita diare sebanyak 16.489 kasus, untuk diare pada balita sebesar 4.259
kasus khususnya Puskesmas Nogosari merupakan salah satu wilayah yang jumlah
penderita diarenya mengalami peningkatan dari tahun 2007-2008 yaitu sebanyak 660
orang menjadi 837 orang. Berdasarkan data Puskesmas Nogosari, jumlah penderita diare
pada balita di Kecamatan Nogosari tahun 2007 sebanyak 181 balita, tahun 2008 sebanyak
293 balita, sedangkan pada tahun 2009 sebanyak 328 balita.
Penyakit diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan. Beberapa faktor yang
berkaitan dengan kejadian diare yaitu tidak memadainya penyediaan air bersih, air
tercemar oleh tinja, kekurangan sarana kebersihan (pembuangan tinja yang tidak
higienis), kebersihan perorangan dan lingkungan yang jelek, penyiapan makanan kurang
matang dan penyimpanan makanan masak pada suhu kamar yang tidak semestinya.
C. Tujuan penelitian?
Mengetahui hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009.
D. Metode yang digunakan?
Penelitian ini merupakan penelitian dalam bentuk survey yang bersifat observasional
dengan metode pendekatan cross-sectional, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan
pengamatan sesaat atau dalam suatu periode waktu tertentu dan setiap subjek studi hanya
dilakukan satu kali pengamatan selama penelitian. Subjek penelitian ini adalah seluruh
rumah yang di dalamnya terdapat balita dan pernah menderita diare di wilayah kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan
Simple Random Sampling, yaitu metode pengambilan sampel secara acak di mana
masing-masing populasi mempunyai peluang yang sama besar untuk terpilih sebagai
sampel
E. Hasil dari penelitian (prevalensi dan masalah gizi)?
A. Karakteristik Responden
1. Umur
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Umur Responden
(%)
< 20 tahun
1,7
20-35 tahun
> 35 tahun
54
Total
60
90
8,3
100
Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa umur responden paling banyak berumur antara 2035 tahun, yaitu sebanyak 54 responden (90%), dan paling sedikit berumur kurang dari 20
tahun, yaitu sebanyak satu responden (1,7%).
2. Jenis pekerjaan
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Pekerjaan
Responden
f
(%)
PNS
Wiraswasta
11
Swasta
12
18
Petani
34
56
Buruh
60
100
Total
Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa jenis pekerjaan responden paling banyak adalah
ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 34 responden (56,7%) dan paling sedikit bekerja
sebagai PNS, yaitu sebanyak satunresponden (1,7%).
3. Pendidikan
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Wilayah
Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Pendidikan
Responden
f
(%)
SD
13
SMP
16
26
SMA
34
56
Sarjana
Total
60
100
Responden
f
(%)
30
50
24
40
>3
10
60
100
Total
Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa responden paling banyak mempunyai anak umur
0,5-1,5 tahun, yaitu sebanyak 30 responden (50%), dan paling sedikit umur balita di atas
3,5 tahun, yaitu sebanyak enam responden (10%).
Responden
(%)
Laki-laki
28
46
Perempuan
32
53
60
100
Total
(%)
Terlindung
16
26
Tidak terlindung
44
73
Total
60
100
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa sumber air minum responden paling banyak
diperoleh dari mata air yang tidak terlindung, yaitu sebanyak 73,3% dan paling sedikit
diperoleh dari mata air terlindung, yaitu sebanyak 26,7%.
2. Kualitas fisik air bersih
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Kualitas Fisik Air Bersih Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Kualitas fisik air bersih
Responden
f
(%)
Memenuhi syarat
29
48
31
51
60
100
Total
Berdasarkan Tabel 8. diketahui bahwa kualitas fisik air bersih pada responden paling
banyak belum memenuhi syarat, yaitu sebanyak 51,7% dan paling sedikit sudah
memenuhi syarat baru, yaitu sebanyak 48,3%.
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Fisik Air Bersih Responden di Wilayah Kerja Puskesmas
Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Fisik air bersih
Responden
F
(%)
Air berbau
8.3%
Air berasa
8.3%
Air berwarna
10%
Air keruh
30
50%
46
76,6
Total
Berdasarkan Tabel 9. diketahui bahwa fisik air bersih pada responden paling banyak air
keruh, yaitu sebanyak 50% dan paling sedikit air berbau dan berasa, yaitu sebanyak
8,3%.
3. Kepemilikan jamban
Tabel 10. Distribusi Frekuensi Kepemilikan Jamban Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Kepemilikan jamban
Responden
F
(%)
Memiliki
35
58
Tidak memiliki
25
41
60
100
Total
Berdasarkan Tabel 10. diketahui bahwa kepemilikan jamban responden paling banyak
sudah memiliki jamban, yaitu sebanyak 58,3% dan paling sedikit belum memiliki
jamban, yaitu sebanyak 41,7%.
4. Jenis lantai rumah
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Jenis Lantai Rumah pada Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Jenis lantai rumah
Responden
f
(%)
Kedap air
33
55
27
45
Total
60
100
Berdasarkan Tabel 11. diketahui bahwa jenis lantai rumah responden paling banyak telah
memiliki lantai yang kedap air, yaitu sebanyak 55% dan paling sedikit memiliki lantai
yang tidak kedap air, yaitu sebanyak 45%.
5. Kejadian diare pada balita
Tabel 12. Distribusi Frekuensi Kejadian Diare pada Balita Responden di Wilayah
Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Kejadian diare
Responden
f
(%)
Diare
43
71
Tidak diare
17
28
60
100
Total
Berdasarkan Tabel 12. diketahui bahwa kejadian diare pada responden, yaitu sebanyak 43
balita (71,7%) dan yang tidak mengalami diare, yaitu sebanyak 28,3%.
C. Analisis Bivariat
1. Hubungan antara sumber air minum dengan kejadian diare pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Nogosari tahun 2009
Tabel 13. Hasil Hubungan antara Sumber Air Minum dengan Kejadian Diare pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Kejadian Diare
Diare
Total
Tidak Diare
Terlindung
10
10
16,6
16
26,7
Tidak terlindung
37
61,7
11,
7 44
73,3
43
71,7
17
28,3
60
100
Total
0,001
Berdasarkan Tabel 13. diketahui bahwa sumber air minum yang tidak terlindung pada
responden dengan kejadian diare pada balita sebanyak 44 responden (73,3%). Hasil
analisis statistik menunjukkan nilai p-value = 0,001 0,05 berarti disimpulkan ada
hubungan antara sumber air minum yang dikonsumsi dengan kejadian diare pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali tahun 2009.
2. Hubungan antara kualitas fisik air bersih dengan kejadian diare pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Nogosari tahun 2009
Tabel 14. Hasil Hubungan antara Kualitas Fisik Air Bersih dengan Kejadian Diare pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Kejadian Diare
Kualitas Fisik
Air Bersih
Diare
Total
Tidak Diare
Memenuhi
19
31,7
10
16,6
29
48,3
Tidak memenuhi
24
40
11,7
31
51,7
Total
48
17
71,7
28,3
60
100
0,307
Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa kualitas fisik air bersih yang memenuhi syarat
pada responden dengan kejadian diare sebanyak 29 orang (48,3 %) dan yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 31 orang (51,7%). Hasil statistik menunjukkan nilai p-value =
0,307 0,05 berarti kesimpulan yang diambil adalah tidak ada hubungan antara kualitas
fisik air bersih dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari
Kabupaten Boyolali tahun 2009.
3. Hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Nogosari tahun 2009
Tabel 15. Hasil Hubungan antara Kepemilikan Jamban dengan Kejadian Diare pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Kejadian Diare
Kepemilikan
Jamban
Diare
Total
Tidak Diare
Memiliki
21
35
14
23,3
35
58,3
Tidak memiliki
22
36,7
25
41,7
43
71,7
17
28,3
60
100
Total
0,018
Kejadian Diare
Jenis Lantai
Rumah
Kedap air
Tidak kedap air
Total
Diare
Total
Tidak Diare
33,3
13
21,7
33
55
23
38,4
6,6
27
45
43
71,7
17
28,3
60
100
0,036
Berdasarkan Tabel 16 diketahui bahwa jenis lantai rumah pada responden yang kedap air
sebanyak 55% dan yang tidak kedap air sebanyak 45%. Hasil statistik menunjukkan nilai
p-value = 0,036 0,05 berarti kesimpulannya adalah ada hubungan antara jenis lantai
rumah dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari
Kabupaten Boyolali Tahun 2009.
5. Rangkuman hasil analisis bivariat
Tabel 17. Rangkuman Hasil Analisis Bivariat Hubungan Sumber Air Minum, Kualitas
Fisik Air Bersih, Kepemilikan Jamban dan Jenis Lantai Rumah dengan
Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten
Boyolali Tahun 2009
No
Variabel
Nilai p
Hipotesis
1.
0,001
Ada hubungan
2.
0,307
3.
Kepemilikan jamban
0,018
Ada hubungan
4.
0,036
Ada hubungan
Dari empat variabel penelitian menunjukkan bahwa variabel kualitas fisik air bersih
dengan kejadian diare pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten
Boyolali Tahun 2009 tidak ada hubungan, dimana hasil pengujian secara statistik
menunjukkan nilai p = 0,307.
F. Faktor apa yang menjadi penyebab munculnya angka prevalensi dari masalah gizi
tersebut?
BAB III
HASIL
1. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Faktor Budaya Dengan Kejadian Diare Pada Anak
Balita Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo
Hasil perbandingan:
Pada penilitian Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Faktor Budaya Dengan
Kejadian Diare Pada Anak Balita Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten
Sukoharjo distribusi anak balita yang rumahnya memakai air sumur gali lebih banyak
yang diare dibanding yang tidak diare, sebaliknya yang memakai air PDAM yang diare
lebi sedikit. Sumber air bersih, sebagian besar menggunakan air sumur gali sebanyak 52
rumah (76,47 %), yang lain menggunakan air PDAM dan campuran sumur gali dengan
PDAM.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010 hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Tengah 70% prosentasi
rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian
yang dilakuakan pada tahun 2008 untuk daerah Sukoharjo yang merupakan salah satu
kabupaten yang terdapat di provinsi Jawa Tengah yang menunjukan hasil mencapai
76,47% menggunakan air sumur gali.
Faktor yang menjadi penyebab dari masalah angka kejadian diare pada Anak
Balita Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo adalah Kedalaman
sumur gali di desa tersebut rata-rata kurang dari 5 meter, hal ini kemungkinan
kontaminasi dengan faeces cukup besar. Sedangkan sebagian besar masyarakat masih
menggunakan air dari sumur gali, bahkan masih banyak yang minum air mentah.
2. Faktor Faktor Sanitasi Yang Berpengaruh Terhadap Timbulnya Penyakit Diare Di Desa
Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo
Hasil perbandingan:
Sebagian besar responden (54,89%) menggunakan air sumur sebagai sumber air
minum yang berarti harus di olah lebih dulu (di rebus sampai mendidih) sebelum di
manfaatkan sebagai air minum, sementara PDAM baru menjangakau 45,11% responden.
Dimana air sumur memiliki kualitas air yang lebih rendah di bandingkan dengan air
PDAM, karena air sumur memiliki kemungkinan untuk tercemar lebih besar di
bandingkan dengan air PDAM sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap timbulnya
penyakit diare.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Timur 70% prosentasi
rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian
yang dilakukan pada tahun 2008 untuk daerah Sidoarjo yang merupakan salah satu
kabupaten di provinsi Jawa Timur, yang menunjukan hasil mencapai 60% menggunakan
air sumur sebagai sumber air minum.
Gambaran Kebiasaan Buang Air Besar jika tidak mempunyai jamban yaitu
berdasarkan dari responden yang tidak memiliki jamban sebesar 62,18% diantaranya
membuang kotoran disungai. Hal ini akan berdampak pencemaran sungai yang akan
berpengaruh terhadap penularan penyakit diare.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Tengah 58% prosentase
rumah tangga yang menggunakan cara-cara lain pembuangan kotoran. Sedangkan untuk
daerah Sidoarjo yang merupakan salah satu kabupaten di
berdasarkan dari responden yang tidak memiliki jamban sebesar 62,18% diantaranya
membuang kotoran disungai. Hal ini akan berdampak pencemaran sungai yang akan
berpengaruh terhadap penularan penyakit diare.
Faktor faktor yang menjadi penyebab Sanitasi Yang Berpengaruh Terhadap
Timbulnya Penyakit Diare Di Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono Kabupaten
Sidoarjo adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Klopo Sepuluh
Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo. Dengan demikian, tingkat pemahaman
mengenai persyaratan sanitasi masih perlu di tingkatkan untuk mencengah meningkatnya
penyakit diare. Tingkat pengetahuan masih rendah maka tingkat pemahaman mengenai
persyaratan sanitasi masih perlu di tingkatkan. Apalagi masih ditemuinya masyarakat
yang buang air besar di sungai dan keadaan jamban yang tidak bersih.
3.Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009
Hasil perbandingan:
Sebagian besar responden menggunakan sumber air minum paling banyak
diperoleh dari mata air yang tidak terlindung, yaitu sebanyak 73,3% dan paling sedikit
diperoleh dari ir minum mata air terlindung, yaitu sebanyak 26,7%. Dimana juga kualitas
fisik air bersih pada responden paling banyak belum memenuhi syarat, yaitu sebanyak
51,7% dan paling sedikit sudah memenuhi syarat baru, yaitu sebanyak 48,3%. Dengan
demikian, sumber air minum akibat tidak terlindungi dapat mengakibatkan persentasi
diare semakin meningkat pada balita.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Timur 70% prosentasi
rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian
yang dilakukan pada tahun 2009 untuk daerah Boyolali yang merupakan salah satu
kabupaten di provinsi Jawa Timur, yang menunjukan hasil mencapai 73 % menggunakan
sumber air bersih yang tidak terlindungi dan fisik air yang belum memenuhi syarat
sebanyak 51 %.
Faktor faktor yang menjadi penyebab Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian
Diare Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun
2009 adalah tidak memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekurangan
sarana kebersihan (pembuangan tinja yang tidak higienis), kebersihan perorangan dan
lingkungan yang jelek. Dan juga ditemukan membunag sampah yang sembarangan,
4. Faktor Risiko Diare Pada Bayi Dan Balita Di Indonesia: Systematic Review Penelitian
Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat
Hasil perbandingan:
Pada aspek pendidikan ibu dari sebelas penelitian, lima penelitian13,16,17,19,24
menunjukkan hasil yang signifikan sedangkan enam penelitian11,20,21,22,25,26 lainnya
menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Aspek status kerja ibu ternyata tidak
menunjukkan hasil yang signifikan dalam menyebabkan penyakit diare pada bayi dan
balita. Dari empat penelitian yang menghubungkan aspek status kerja ibu dengan
kejadian diare menunjukkan hanya satu penelitian yang menunjukkan hasil yang
signifikan 24 dalam menyebabkan penyakit diare pada bayi.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Timur 70% prosentasi
rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian
yang dilakukan pada tahun 2010 oleh Kesehatan Masyarakat UI yang merupakan salah
menunjukan hasil mencapai hanya 5 penelitian yang signifikan menggunakan sumber air
bersih yang tidak memenuhi syarat.
Faktor faktor yang menjadi penyebab Faktor Risiko Diare Pada Bayi Dan Balita
Di Indonesia faktor lingkungan yaitu sarana air bersih dan jamban yang tidak memadai
dan tidak memenuhi syarat, tempat pembuangan sampah yang tidak baik, kualitas
bakteriologis air bersih dan kepadatan penduduk yang tidak memada
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Perbandingan dengan tahun 2007 menunjukkan akses air bersih pada tahun 2010
telah mengalami penurunan kira-kira sebesar tujuh persen. Akses ke air bersih di
Jakarta telah mengalami penurunan dari 63 persen pada 2010 menjadi 28 persen
pada tahun 2007, menurut Riskesdas.
Program Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun 2007 & 2010 hasil penilitian
menunjukan bahwa provinsi Jawa Tengah 70% prosentasi rumah tangga dengan
akses ke sumber air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian yang dilakuakan
pada tahun 2008 untuk daerah Sukoharjo yang merupakan salah satu kabupaten
yang terdapat di provinsi Jawa Tengah yang menunjukan hasil mencapai 76,47%
menggunakan air sumur gali.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Timur 70%
prosentasi rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik.
Sedangkan penilitian yang dilakukan pada tahun 2008 untuk daerah Sidoarjo yang
merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur, yang menunjukan hasil
mencapai 60% menggunakan air sumur sebagai sumber air minum.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Tengah 58%
prosentase rumah tangga yang menggunakan cara-cara lain pembuangan kotoran.
Sedangkan untuk daerah Sidoarjo yang merupakan salah satu kabupaten di
provinsi Jawa Timur, berdasarkan dari responden yang tidak memiliki jamban
sebesar 62,18% diantaranya membuang kotoran disungai. Hal ini akan berdampak
pencemaran sungai yang akan berpengaruh terhadap penularan penyakit diare.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Timur 70%
prosentasi rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik.
Sedangkan penilitian yang dilakukan pada tahun 2009 untuk daerah Boyolali yang
merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur, yang menunjukan hasil
mencapai 73 % menggunakan sumber air bersih yang tidak terlindungi dan fisik
air yang belum memenuhi syarat sebanyak 51 %.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 dalam UNICEF tahun
2007 & 2010, hasil penilitian menunjukan bahwa provinsi Jawa Timur 70%
prosentasi rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik.
Sedangkan penilitian yang dilakukan pada tahun 2010 oleh Kesehatan Masyarakat
UI yang merupakan salah menunjukan hasil mencapai hanya 5 penelitian yang
signifikan menggunakan sumber air bersih yang tidak memenuhi syarat.
Dapat disimpulkan bahwa program Riskesdas dalam Unicef tahun 2007 & 2010
mengenai penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan, yang mencapai
keberhasilan dalam program yaitu provinsi Jawa Tengah 70% prosentasi rumah
tangga dengan akses ke sumber air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian
yang dilakukan pada tahun 2008 untuk daerah Sukoharjo yang merupakan salah
satu kabupaten yang terdapat di provinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan
yang menunjukan hasil mencapai 76,47% menggunakan air sumur gali.
Pada provinsi Jawa Timur 70% prosentasi rumah tangga dengan akses ke sumber
air bersih yang lebih baik. Sedangkan penilitian yang dilakukan pada tahun 2008
untuk daerah Sidoarjo yang merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa
Timur mengalami penurunan yang menunjukan hasil mencapai
menggunakan air sumur sebagai sumber air minum.
60%
DAFTAR PUSTAKA
Friscasari Kundaian, dkk. 2007. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Infestasi
Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri
Kabupaten Minahasa. [skripsi]. Manado.