Chapter II
Chapter II
30
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk DiHukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 8
Ibid, hlm. 9.
31
32
Ibid
Ibid
6. 6. UU0 No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan Wajib Belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7
sampai 15 tahun.
Berbagai macam definisi tersebut, menunjukkan adanya disharrnonisasi
perundang-undangan yang ada. Sehingga, pada praktiknya di lapangan, akan
banyak kendala yang terjadi akibat dari perbedaan tersebut.33
Sementara itu, mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak
(Convention on the Right of the Child), maka definisi anak: "Anak berarti setiap
manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku
pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal". Untuk itu, UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak memberikan definisi anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan betas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.34
Hadi Supeno mengungkapkan bahwa semestinya setelah lahir UU
Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan sebagai lex specialist,
33
2.
34
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebalum mulai dua puiuh satu tahun, maka tidaklah mereka kembali lagi dalam
istilah "belum dewasa". Dalam paham parkawinan tidaklan terrnasuk perkawinan anakanak,"
Op.Cit, hlm. 10
35
36
Ibid
Ibid, hlm. 11
pembinaan dan perlindungan dari orang tua, guru, serta orang dewasa lainnya
sangat dibutuhkan oleh anak di dalam perkembangannya.37
Pasal 16 ayat (3) Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM)
menentukan bahwa keluarga adalah kesatuan alamiah dan mendasar dari
masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara. DUHAM
adalah instrumen internasional HAM yang memiliki sifat universal, dalam arti
setiap hak-hak yang diatur di dalamnya berlaku untuk semua umat manusia di
dunia tanpa kecuali. Dengan demikian sudah pasti pemenuhannya tidak tentukan
oleh batas usia. Anak, sebagai bagian dari keluarga memerlukan pemeliharaan dan
perlindungan khusus dan tergantung pada bantuan dan pertolongan orang dewasa,
terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya.38
Terlebih
dalam
pemenuhan
haknya,
seorang
anak
tidak
dapat
37
penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kenyataan seharihari.41
Di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dirumuskan
15 pasal42 yang khusus merumuskan hak-hak anak, karena pembentuk UU
menyadari bahwa anak merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran
HAM.43
Lebih lanjut pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini, juga diatur
secara khusus dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak
Anak. Dalam Pasal 1 butir 12 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak,
disebutkan, bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara". UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sendiri merupakan bentuk konkretisasi dari pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak
yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Dengan peratifikasian Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan keputusan
Pr44esiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights
of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak/KHA), maka sejak Tahun 1990
tersebut Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang
termaktub di dalam Konvensi Hak-Hak Anak.45
41
Op.Cit, hlm. 12
42
Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, hak anak terdapat dalam Pasal 52-66.
43
Ibid
44
Ibid, hlm. 13
45
Ibid
46
Ibid, hlm. 13
Ibid
48
Mohammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dala
Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 35.
47
anak-anak
penyandang
cacat
(disabled)
untuk
memperoleh
hak
untuk
menyatakan
pendapat
dalam
segala
hal
yang
mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views freely in all
matters affecting the child). Hak untuk berpartisipasi juga merupakan hak
anak mengenai identitas budaya mendasar bagi anak, masa kanak-kanak dan
pengembangan keterlibatannya di dalam masyarakat luas. Hak ini memberi
makna bahwa anak-anak ikut memberikan sumbangan peran, antara lain:
1) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas
pendapatnya;
49
Op.Cit, hlm. 16
7) Bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar
biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak
mendapatkan pendidikan khusus;
8) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan
kepatutan;
9) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;
10) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;
11) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun
seksual,
penelantaran,
kekejaman,
kekerasan,
dan
penganiayaan,
50
Op.Cit, hlm. 20
51
Kewajiban berasal dari kata wajib mendapat awalan ke dan akhiran an, yang artinya
mesti diamalkan (dilakukan), perlu atau tidak boleh tidak, harus, ataupun sudah sepatutnya harus
dilakukan. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005), hlm. 1359
52
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak
di Indonesia,( Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 26.
53
Pasal 19 UU No. 23 Tahun 2002.
diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak
belum dibebani kewajiban.54
Pengaturan mengenai perlindungan anak dalam instrument hukum
nasional dapat kita jumpai pada beberapa peraturan perundnag-undangan, bidang
hukum
perdata,
bidang
hukum
pidana
dan
bidang
hukum
menjamin
kesejahteraan
tiap-tiap
warga
negaranya,
termasuk
perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia seperti yang
termuat dalam Undang-Udang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang hak anak.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak
dari janin dalam kandungan sampai anak berusia delapan belas tahun.55 Bertitik
tolak pada konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif
maka undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada
anak berdaasrkan asas-asas:
1. Asas nondiskriminasi;
2. Asas kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. Asas hak untuk Hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
54
55
56
Ibid, hlm.27.
hukuman penjara lima tahun dan/atau denda 100 juta rupiah (Pasal 77). Kemudian
apabila memperdagangkan, menjual, atau menculik anak dapat dipidana 3-15
dan/atau denda 60-300 juta rupiah (Pasal 83).
Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan efektibilitas penyelenggaraan
perlindungan
anak
maka
melalui
undang-undang
ini
dibentuk
Komisi
dalam
pornografi.Selain
itu,
Negara
wajib
mencegah
penjualan/penyeludupan dan penculikan anak dan wajib menjamin agar anak yang
menjadi korban konflik bersenjata, penganiayaan, penelantara, perlakuan salah,
atau eksploitasi memperoleh perawatan yang layak.Kesemuaan hak ini diatur
dalam Pasal 34, 35, dan 36 Konvensi Hak Anak.
Pasal 34 Konvensi Hak Anak menyatakan:
juga
memberikan
rumusan
prinsip
dasar restorative
terjadi
akhir-akhir
ini,
meskipun
bukan
gambaran
utuh
dari
penerapan restorative justice baik pelaku dan korban, tetapi keluarga pelaku dan
keluarga korban dapat bertemu muka untuk sama-sama mencapai suatu
kesepakatan, misalnya menikahkan putra putrinya.
Dibutuhkan suatu usaha sosialisasi dari pemerintah dan pejabat/pemangku
kepentingan tentang restorative justice kepada masyarakat luas, sebagai cara
alternatif (tetapi diutamakan) dalam penyelesaian masalah-masalah yang terkait
hal-hal domestik, karena mekanisme ini lebih nyata mengedepankan hak-hak
korbannya. Restorative
justice merupakan
suatu
mekanisme
yang
mutlak
diperlukan, terlebih lagi, pada dasarnya mekanisme ini telah mengakar dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang kental dengan sistem norma dan nilai adat
dari nenek moyang.
2. Manfaat Restorative Justice:
1. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;
2. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang
ada akibat terjadinya tindak kejahatan;