Anda di halaman 1dari 20

BAB II

PENGATURAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM


PERLINDUNGAN ANAK

A. Pengertian Anak Secara Umum


Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah
keturunan kedua. Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa,
yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri
dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan.29 Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung
jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan
berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya
serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.30
Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa pembuat undang-undang
(DPR dan Pemerintah) memiliki politik hukum yang responsif terhadap
perlindungan anak. Anak ditempatkan pada posisi yang mulia sebagai amanah
Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki peran strategis dalam menjamin
kelangsungan eksistensi negara ini. Melalui UU No. 23 Tahun 2002 tersebut,
29

30

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk DiHukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 8
Ibid, hlm. 9.

jaminan hak anak dilindungi, bahkan dibentuk Komisi Perlindungan Anak


Indonesia (KPAI) yang memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan efektivitas
perlindungan anak.31
Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus
bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Apabila kita melihat definisi anak sebagaimana diungkapkan di
atas, kita dapat bernafas lega karena dipahami secara komprehensif. Namun,
untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka kita akan
mendapatkan berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya definisi
batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya:32
1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16
tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
2. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefinisikan anak
berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.
3. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefiniskan anak adalah
orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi
belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.
4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.
5. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja
15 tahun.

31
32

Ibid
Ibid

6. 6. UU0 No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan Wajib Belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7
sampai 15 tahun.
Berbagai macam definisi tersebut, menunjukkan adanya disharrnonisasi
perundang-undangan yang ada. Sehingga, pada praktiknya di lapangan, akan
banyak kendala yang terjadi akibat dari perbedaan tersebut.33
Sementara itu, mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak
(Convention on the Right of the Child), maka definisi anak: "Anak berarti setiap
manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku
pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal". Untuk itu, UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak memberikan definisi anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan betas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.34
Hadi Supeno mengungkapkan bahwa semestinya setelah lahir UU
Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan sebagai lex specialist,

33

Pasal 330 KUH Perdata:


"Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dulu telah
kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi
dalam kedudukan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan orang tua,
berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur di dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima,
dan ke enam bab ini." Penentuan arti istilah "belum dewasa" yang dipakai dalam beberapa peraturan perundang
undangan terhadap bangsa Indonesia. Berdasarkan ordonatie 31 Januari 1931, L.N. 19311954, untuk menghilangkan
segala keraguraguan yang timbul karena ordonatie 21 September 1917, L.N. 19171938, dengan mencabut ordonatie ini
ditentukan sebagai berikut:
1. Apabila peraturan perundangundangan memakai istilah "belum dewasa" maka, sekadar mengenai bangsa
Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan: segata orang yang belum mencapai umur dua putuh tahun dan
tidak lebih dulu telah kawin.

2.
34

Apabila perkawinan itu dibubarkan sebalum mulai dua puiuh satu tahun, maka tidaklah mereka kembali lagi dalam
istilah "belum dewasa". Dalam paham parkawinan tidaklan terrnasuk perkawinan anakanak,"

Op.Cit, hlm. 10

semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus disesuaikan, termasuk


kebijakan yang dilahirkan serta berkaitan dengan pemenuhan hak anak.35
Terhadap hal tersebut, karena memang sudah seha-rusnya peraturan
perundang-undangan yang ada memiliki satu (mono) de-finisi sehingga tidak akan
menimbulkan tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang pada tataran
praktis akan membuat repot penyelenggaraan pemerintahan. Untuk itu, UU
Perlindungan Anak memang seyogianya menjadi rujukan dalam menentukan
kebijakan yang berhubungan dalam pemenuhan hak anak.36
1. Hak-Hak dan Kewajiban Anak
Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa
depan bangsa tergantung pula pada baik buruknya kondisi anak saat ini. Berkaitan
dengan hal tersebut, maka perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah
kewajiban kita bersama, agar ia bisa tumbuh berkembang dengan baik dan dapat
menjadi pengemban risalah peradaban bangsa ini.
Berkaitan dengan perlakuan terhadap anak tersebut, maka penting bagi
kita mengetahui hak-hak anak dan kewajiban anak.
a. Hak-Hak Anak
Anak sebagai sebuah pribadi yang sangat unik dan memiliki ciri yang
khas. Walaupun dia dapat bertindak berdasarkan perasaan, pikiraan dan
kehendaknya sendiri, ternyata lingkungan sekitar mempunyai pengaruh yang
cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. Untuk itu bimbingan,

35

36

Ibid

Ibid, hlm. 11

pembinaan dan perlindungan dari orang tua, guru, serta orang dewasa lainnya
sangat dibutuhkan oleh anak di dalam perkembangannya.37
Pasal 16 ayat (3) Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM)
menentukan bahwa keluarga adalah kesatuan alamiah dan mendasar dari
masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara. DUHAM
adalah instrumen internasional HAM yang memiliki sifat universal, dalam arti
setiap hak-hak yang diatur di dalamnya berlaku untuk semua umat manusia di
dunia tanpa kecuali. Dengan demikian sudah pasti pemenuhannya tidak tentukan
oleh batas usia. Anak, sebagai bagian dari keluarga memerlukan pemeliharaan dan
perlindungan khusus dan tergantung pada bantuan dan pertolongan orang dewasa,
terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya.38
Terlebih

dalam

pemenuhan

haknya,

seorang

anak

tidak

dapat

melakukannya sendiri disebabkan kemampuan dan pengalamannya yang masih


terbatas. Orang dewasa, khususnya orang tua memegang peranan penting dalam
memenuhi hak-hak anak.39
Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah
menggariskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.40
Dengan dicantumkannya hak anak tersebut dalam batang tubuh konstitusi, maka
bisa diartikan bahwa kedudukan dan perlindungan hak anak merupakan hal

37

Di dalam Naskah Akademis RUU tentang Sistern Peradilan Pidana Anak


Op.Cit, hlm. 12.
39
Ibid
40
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
38

penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kenyataan seharihari.41
Di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dirumuskan
15 pasal42 yang khusus merumuskan hak-hak anak, karena pembentuk UU
menyadari bahwa anak merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran
HAM.43
Lebih lanjut pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini, juga diatur
secara khusus dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak
Anak. Dalam Pasal 1 butir 12 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak,
disebutkan, bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara". UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sendiri merupakan bentuk konkretisasi dari pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak
yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Dengan peratifikasian Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan keputusan
Pr44esiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights
of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak/KHA), maka sejak Tahun 1990
tersebut Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang
termaktub di dalam Konvensi Hak-Hak Anak.45

41

Op.Cit, hlm. 12
42

Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, hak anak terdapat dalam Pasal 52-66.

43

Ibid
44
Ibid, hlm. 13
45

Ibid

Menurut Ema Sofyan Syukrie, Negara-negara pihak (yang telah


meratifikasi KHA) wajib menerapkan dengan melakukan harmonisasi hukum:46
a) Memeriksa dan menganalisis perundang-undangan yang ada dan yang masih
dalam proses perencanaan/pembentukannya;
b) Meninjau ulang lembaga-lembaga yang ada hubungannya dengan pelaksanaan
Konvensi Hak Anak;
c) Mengusulkan langkah-langkah pintas penyelerasan ketentuan Konvensi Hak
Anak dengan perundang-undangan Indonesia;
d) Meninjau ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku tetapi perlu
penyempurnaan atau pelaksanaan yang tepat; dan
e) Memprioritaskan acara pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk
mengefektifkan pelaksanaan Konvensi Hak Anak / penyelerasan Konvensi
Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia.
Maka sebagaimana telah disebutkan, upaya perlindungan hak-hak anak di
Indonesia telah diakomodir dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (2) sebagaimana
telah disebutkan di atas, juga dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.47
Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, hak-hak anak secara umum dapat
dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, antara lain48:
a) Hak untuk kelangsungan hidup (The Right To Survival) yaitu hak-hak untuk
melestarikan dan mempertahankan hidup (The Right of Live) dan hak untuk

46

Ibid, hlm. 13
Ibid
48
Mohammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dala
Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 35.
47

memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.


Hak ini antara lain termuat dalam pasal-pasal berupa:
1) Hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak
dilahirkan;
2) Hak anak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali kalau hal ini
dianggap tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya;
3) Kewajiban Negara untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk salah
perlakuan (abuse);
4) Hak

anak-anak

penyandang

cacat

(disabled)

untuk

memperoleh

pengasuhan, pendidikan, dan latihan khusus;


5) Hak anak untuk menikmati standar kehidupan yang memadai, dan
tanggung jawab utama orang tua, kewajiban negara untuk memenuhinya;
6) Hak anak atas pendidikan dan kewajiban negara untuk menjamin agar
pendidikan dasar disediakan secara cuma-cuma dan berlaku wajib;
7) Hak anak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkotika;
8) Hak anak atas perlindungan eksploitasi dan penganiayaan seksual,
termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi;
9) Kewajiban Negara untuk menjajagi segala upaya guna mencegah
penjualan, penyelundupan, dan penculikan anak.
b) Hak terhadap perlindungan (Protection Rights) yaitu hak-hak dalam konvensi
hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan
dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak
pengungsi. Hak ini terdiri atas 2 (dua) kategori, antara lain:
1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu nondiskriminasi terhadap hakhak anak, hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan, dan hak anak
penyandang cacat;
2) Larangan eksploitasi anak, misalnya hak berkumpul dengan keluarganya,
kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah
perlakuan oleh orang tua atau orang lain, perlindungan bagi anak yatim,
kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam

pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan atau perkembangan


anak, larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, pidana
mati, seumur hidup, dan penahanan semena-mena.
c) Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights) yaitu hak-hak anak dalam
Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan
nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak (the rights of
standart of living). Beberapa hak-hak untuk tumbuh kembang ini, yaitu:
1) Hak untuk memperoleh infomiasi (the rights to information);
2) Hak memperoleh pendidikan (the rights to education);
3) Hak bermain dan rekreasi (the rights to play and recreation);
4) Hak berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to participation in
cultural activities);
5) Hak untuk kebebasan berpikir (conscience), dan beragama (the rights to
thought and religion);
6) Hak untuk pengembangan kepribadian (the rights to personality
development);
7) Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity);
8) Hak memperoleh kesehatan dan fisik (the rights to health and physical
development);
9) Hak untuk didengar pendapatnya (the rights to be heard);
10) Hak untuk/atas keluarga (the rights to family).
d) Hak untuk berpartisipasi (Participation Rights), yaitu hak-hak anak yang
meliputi

hak

untuk

menyatakan

pendapat

dalam

segala

hal

yang

mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views freely in all
matters affecting the child). Hak untuk berpartisipasi juga merupakan hak
anak mengenai identitas budaya mendasar bagi anak, masa kanak-kanak dan
pengembangan keterlibatannya di dalam masyarakat luas. Hak ini memberi
makna bahwa anak-anak ikut memberikan sumbangan peran, antara lain:
1) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas
pendapatnya;

2) Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk


berekspresi;
3) Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk bergabung;
4) Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindung
dari informasi yang tidak sehat.
Sementara itu, hak-hak anak di Indonesia secara umum ditentukan dalam
Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, antara lain:49
1) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
2) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan;
3) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan
orang tua;
4) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri;
5) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial;
6) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya;

49

Op.Cit, hlm. 16

7) Bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar
biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak
mendapatkan pendidikan khusus;
8) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan
kepatutan;
9) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;
10) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;
11) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun
seksual,

penelantaran,

kekejaman,

kekerasan,

dan

penganiayaan,

ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya;


12) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan
terakhir;
13) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: penyalahgunaan
dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam

kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur


kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan;
14) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;
15) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum;
16) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir;
17) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang
dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri serta
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum;
18) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan; dan
19) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
b. Kewajiban Anak
Selain berbicara mengenai hak-hak anak, maka tidak afdhal rasanya apabila tidak
berbicara mengenai kewajiban. Karena antara hak dan kewajiban adalah suatu hal
yang beriringan selalu.50

50

Op.Cit, hlm. 20

Kewajiban berarti sesuatu yang wajib diamalkan (dilakukan), keharusan,


tugas yang harus dilakukan.51 Menurut Setya Wahyudi, anak melakukan
kewajiban bukan semata-mata sebagai beban, tetapi justru dengan melakukan
kewajiban-kewajiban menjadikan anak tersebut berpredikat anak yang baik.52
Anak yang baik tidak hanya meminta hak-haknya saja, tetapi akan melakukan
kewajiban-kewajibannya.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada lima
hal kewajiban anak di Indonesia yang mestinya dilakukan, antara lain:53
a) Menghormati orang tua, wali dan guru;
b) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c) Mencintai tanah air, bangsa dan negara;
d) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan melaksanakan etika
dan akhlak yang mulia
2. Hukum Perlindungan Anak
Menurut Arif Gosita, bahwa hukum perlindungan anak sebagai hukum
(tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak-anak benar-benar dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya. Kemudian Bisman Siregar menyebutkan
aspek hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang

51

Kewajiban berasal dari kata wajib mendapat awalan ke dan akhiran an, yang artinya
mesti diamalkan (dilakukan), perlu atau tidak boleh tidak, harus, ataupun sudah sepatutnya harus
dilakukan. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005), hlm. 1359
52
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak
di Indonesia,( Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 26.
53
Pasal 19 UU No. 23 Tahun 2002.

diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak
belum dibebani kewajiban.54
Pengaturan mengenai perlindungan anak dalam instrument hukum
nasional dapat kita jumpai pada beberapa peraturan perundnag-undangan, bidang
hukum

perdata,

bidang

hukum

pidana

dan

bidang

hukum

ketatanegaraan.Berkaitan dengan karya ilmiah ini, maka penulis mencoba meneliti


dari salah satu aturan yang berlaku yakni UU No.23 Tahun 2002.
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
Latar belakang dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2002 karena Negara
Indonesia

menjamin

kesejahteraan

tiap-tiap

warga

negaranya,

termasuk

perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia seperti yang
termuat dalam Undang-Udang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang hak anak.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak
dari janin dalam kandungan sampai anak berusia delapan belas tahun.55 Bertitik
tolak pada konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif
maka undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada
anak berdaasrkan asas-asas:
1. Asas nondiskriminasi;
2. Asas kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. Asas hak untuk Hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
54
55

Irma Setyowati, Op.cit., hlm. 48.


Rika Saraswati, Op.Cit., hlm.25.

4. Asas penghargaan terhadap pandangan/pendapat anak.


Perlindungan terhadap anak sangat diperlukan karena banyak faktor yang
menyebabkan anak beresiko mengalami kekerasan, pengabaian, eksploitasi, dan
perlakuan salah lainnya, seperti:56
1. Cara pengasuhan menggunakan kekerasan yang diterapkan lintas generasi;
2. Kemiskinan yang berdampak urbanisasi, perubahan gaya hidup, dan
perubahan harapan terhadap kualitas hidup;
3. Nilai-nilai di masyarakat yang eksploitatif (nilai anak sebagai komoditas)
dan diskriminatif;
4. Sistem hukum yang tidak mendukung perlindungan anak.
Menurut Pasal 3 UU No.23 tahun 2002 bahwa:
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia, dan sejahtera.
Udang-Undang ini juga mewajibkan pemerintah dan Negara (Pasal 14-20),
masyarakat (Pasal 25), serta keluarga dan Orang Tua (Pasal 26) untuk
bertanggungjawab dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Selain itu
undang-Undang ini juga memuat sanksi bagi mereka yang melakukan kekerasan,
eksploitasi, dan melakukan penelantaran. Apabila melakukan diskriminasi dan
penelantaran anak sehingga mengakbatkan kerugian/penderitaan, akan dikenai

56

Ibid, hlm.27.

hukuman penjara lima tahun dan/atau denda 100 juta rupiah (Pasal 77). Kemudian
apabila memperdagangkan, menjual, atau menculik anak dapat dipidana 3-15
dan/atau denda 60-300 juta rupiah (Pasal 83).
Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan efektibilitas penyelenggaraan
perlindungan

anak

maka

melalui

undang-undang

ini

dibentuk

Komisi

Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen (Pasal 74).Komisi ini


bertugas melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundnag-undangan
yang berkaitan dengan perlindungan anak; mengumpulkan data dan informasi;
menerima pengaduan masyarakat; serta melakukan penelaahan, pemantauan,
pengevaluasian, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak
(Pasal 76).
Pada tahun 1989 Konvensi Hak Anak atau KHA (Convention on the right
of the child) disetujui oleh Majelis Umum PBB.Konvensi ini mempertegas hakhak dan perlindungan terhadap anak karena mereka merupakan generasi penerus,
tetapi rentan terhadap berbagai ancaman, perlakuan salah, dan eksploitasi dalam
berbgai aspek kehidupan.Konvensi ini mengatur bahwa setiap anak berhak atas
perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual termasuk pelacuran dan
keterlibatan

dalam

pornografi.Selain

itu,

Negara

wajib

mencegah

penjualan/penyeludupan dan penculikan anak dan wajib menjamin agar anak yang
menjadi korban konflik bersenjata, penganiayaan, penelantara, perlakuan salah,
atau eksploitasi memperoleh perawatan yang layak.Kesemuaan hak ini diatur
dalam Pasal 34, 35, dan 36 Konvensi Hak Anak.
Pasal 34 Konvensi Hak Anak menyatakan:

Negara-negara peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk


eksploitasi seks dan penyalahgunaan seksual. Untuk maksud ini, Negara-negara
peserta khususnya akan mengambil semua langkah-langkah nasional, bilateral,
dan multilateral yang tepat untuk mencegah:
(a) Bujukan atau pemaksaan anak untuk melakukan semua bentuk kegiatan sekual
yang tidak sah;
(b) Penggunaan anak-anak secara ekspliotasi dalam pelacuran atau praktik-praktik
seksual lainnya yang tidak sah
(c) Penggunaan anak-anak secara ekploitasi dalam pertunjukan-pertunjukan dan
bahan-bahan pornografi.
Pasal 35 Konvensi Hak Anak menyatakan:
Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah nasional, bilateral, dan
multilateral; yang tepat untuk mencegah penculikan, penjualan, atau perdagangan
anak untuk tujuan apa pun atau dalam bentuk apa pun.
Pasal 36 Konvensi Hak Anak menyatakan:
Negara-negara peserta akan melindungi anak terhadap semua bentuk eksploitasi
yang merugikan setiap aspek kesejahteraan anak.
B. Mekanisme Restorative Justice Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Anak.
1. Prinsip Restorative Justice
Liebmann

juga

memberikan

rumusan

prinsip

justice sebagai berikut:


1. Meprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban

dasar restorative

2. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan


3. Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman
4. Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan
5. Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara menghindari
kejahatan di masa depan
6. Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak,
baik korban maupun pelaku.
Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara
mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali segala
hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua
belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim awareness
work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).
Kita masih ingat kasus-kasus yang terjadi di negeri ini, contoh kasus yang
menimpa nenek Rasminah yang dihukum 130 hari penjara karena dituduh
mencuri 6 piring, kemudian kasus pengambilan 3 biji kakao senilai Rp 2.100 yang
dilakukan oleh nenek Minah yang harus dibawa ke pengadilan, saya tidak tahu
apakah Polisi dan Jaksa kita kekurangan pekerjaan. Begitu pula dengan kasus
pencurian satu buah semangka, di mana kedua tersangka disiksa dan ditahan
Polisi selama 2 bulan dan terancam hukuman 5 tahun penjara, belum lagi barubaru ini kasus pencurian sandal yang dilakukan oleh seorang siswa di kota Palu
berinisial AAL harus berakhir di meja hijau. Sebaliknya, untuk kasus hilangnya
uang rakyat senilai Rp 6,7 trilyun di Bank Century, Polisi dan Jaksa nyaris tidak
ada geraknya. Hal ini yang kemudian di nilai tidak memenuhi rasa keadilan. Ini

juga menunjukkan kelemahan penyelesaian perkara dalam sistem peradilan


pidana.
Seharusnya contoh kasus diatas, seperti pencurian piring yang dilakukan
nenek Rasminah tidak perlu sampai pengadilan. Pertemuan antara pelaku dan
korban ataupun antara keluarga pelaku dan korban dapat dilakukan sepanjang hal
ini dapat di fasilitasi oleh mediator. Demikian juga pada kasus perkosaan yang
marak

terjadi

akhir-akhir

ini,

meskipun

bukan

gambaran

utuh

dari

penerapan restorative justice baik pelaku dan korban, tetapi keluarga pelaku dan
keluarga korban dapat bertemu muka untuk sama-sama mencapai suatu
kesepakatan, misalnya menikahkan putra putrinya.
Dibutuhkan suatu usaha sosialisasi dari pemerintah dan pejabat/pemangku
kepentingan tentang restorative justice kepada masyarakat luas, sebagai cara
alternatif (tetapi diutamakan) dalam penyelesaian masalah-masalah yang terkait
hal-hal domestik, karena mekanisme ini lebih nyata mengedepankan hak-hak
korbannya. Restorative

justice merupakan

suatu

mekanisme

yang

mutlak

diperlukan, terlebih lagi, pada dasarnya mekanisme ini telah mengakar dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang kental dengan sistem norma dan nilai adat
dari nenek moyang.
2. Manfaat Restorative Justice:
1. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;
2. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang
ada akibat terjadinya tindak kejahatan;

3. Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari pelaku


secara utuh;
4. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat
yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal;
5. Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat
mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.
Penyelesaian secara restorative justice berbeda dengan proses pradilan
konvensional. Peradilan konvensional merupakan pengadilan yang menentukan
kesalahan dan mengurus kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau
beberapa orang dalam sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara yang
dilangsungkan oleh aturan yang sistemik.
Sedangkan restorative justice menurut Howard Zehr adalah melihat suatu
proses peradilan dengan pandangan yang berbeda, yakni kriminal adalah
kekerasan yang dilakukan oleh orang kepada orang lain.

Anda mungkin juga menyukai