Oleh :
Agatha Raharjo (01)
Bara Aji Anggara (09)
Doni Iwan Prasetyo (14)
Moch Reza Agung Yudhalaksana (22)
Muhammad Yusuf (23)
Redenominasi Rupiah
-----------------------------------------------------------------
Abstrak: Akhir-akhir ini istilah redenominasi sangat populer di masyarakat. Kesimpulan yang diambil bisa
berbeda-beda, apalagi bila ada yang mengartikan redenominasi sama dengan sanering. Kedua istilah tersebut adalah
hal yang berbeda, dimana redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang, sedangkan sanering adalah
pemotongan nilai mata uang tanpa diikuti dengan penyederhanaan nilai barang. Redenominasi adalah hal yang wajar
dilakukan oleh suatu negara. Bahkan terdapat negara yang telah beberapa kali melakukan redenominasi, diantaranya
ada yang gagal, namun ada juga yang berhasil. Saat ini, Bank Indonesia selaku pihak yang berwenang dalam
mengatur dan menjaga keselarasan sistem pembayaran di Indonesia, merasa perlu melakukan redenominasi, salah
satu alasannya karena rupiah termasuk dalam kategori worst currency. Namun dalam redenominasi harus
memperkiran dampak-dampak yang akan terjadi, baik itu dampak positif maupun dampak negatif.
Kata Kunci: redenominasi, sanering, inflasi, ekonomi, mata uang
1. Pendahuluan
a. Pengertian Redenominasi
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya.
Redenominasi mata uang adalah suatu proses dimana suatu unit baru dari uang menggantikan unit yang lama
dengan suatu rasio tertentu. Hal ini dapat dicapai dengan mengeluarkan angka nol atau memindahkan
beberapa desimal poin dari mata uang ke sebelah kiri, dengan tujuan untuk mengoreksi mata uang dan
struktur harga serta meningkatkan kredibilitas dari mata uang local (CBN, 2007). Konsep redenominasi ini
sendiri adalah mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Redenominasi tidak
mengakibatkan penurunan nilai relatif uang terhadap barang dan jasa karena harga barang juga di sesuaikan
dengan redominasi yang baru tersebut. Namun redenominasi tidak bisa serta merta di lakukan pemerintahan
di dunia. Ada beberapa pertimbangan pemerintah di dunia dalam melaksanakan redenominasi.
Redenominasi merupakan penyederhanaan nominal uang tanpa mengurangi nilai tukarnya, karena
penyederhanaan nominal tersebut disertai dengan penyesuaian harga barang.
Redenominasi merupakan tindakan rekalibrasi mata uang. Langkah ini dilakukan karena dua alasan, yaitu (1)
inflasi atau (2) devaluasi. Atau, bukan karena keduanya, melainkan dengan alasan geopolitik tertentu. Hal ini
pernah terjadi ketika berbagai negara di Eropa bersepakat untuk memiliki mata uang regional Euro, yang
mengharuskan tiap negara pesertanya mengkalibrasi mata uang nasional masing-masing. Jika karena inflasi
ada dua variasi, yaitu hiperinflasi (inflasi sangat tinggi dalam tempo singkat), atau inflasi kronis (inflasi terus
menerus terjadi dalam waktu panjang).
Redenominasi akan efektif dilakukan jika:
1) Kondisi ekonomi yang stabil
2) Inflasi yang terjaga
3) Adanya jaminan stabilitas harga
Ketahanan ekonomi terhadap inflasi dan investasi modal asing yang berdampak pada peningkatan cadangan
devisa negara menjadi faktor penting keberhasilan redenominasi.
b. Perbedaan Redenominasi dengan Sanering
Seringkali masyarakat menganggap bahwa redenominasi sama dengan sanering. Tapi sesungguhnya
Redenominasi berbeda dengan Sanering. Hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel perbedaan Redenominasi dengan Sanering
Perbedaan
Redenominasi
Sanering
Penataan nominal mata uang, menyederhanakan
Pemotongan nilai mata uang tanpa
denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan
Pengertian
disertai penyesuaian harga, sehingga
lebih kecil dengan cara mengurangi digit (angka nol)
menurunkan daya beli
tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut
Penyederhanaan angka agar transaksi lebih efisien
Tujuan
Mengurangi jumlah uang beredar
dan nyaman
Dampak thd
Dirugikan karena daya beli uang
Daya beli masyarakat cenderungtetap
masyarakat
turun
Daya
Beli
Tetap
Turun
Uang
Kondisi makroekonomi stabil, ekonomi tumbuh, dan Instabilitas
makroekonomi,
Syarat kondisi
inflasi terkendali
hiperinflasi
dilakukan secara mendesak tanpa
Waktu
Perlu masa transisi yang terukur dan terkendali
masa
transisi
dan
dilakukan
pergantian
mendadak
c. Tujuan Redenominasi
Terdapat banyak alasan mengapa sebuah negara melakukan redenominasi mata uang mereka, mulai dari
tujuan kredibilitas serta identitas terhadap politik dalam negeri dan internasional (International Monetary
Fund, 2003; Mosley, 2005; Martinez, 2007). Secara spesifik, walaupun bukan penyebab utama, tekanan
inflasi, efek psikologis, pengendalian terhadap mata uang dan kondisi politik dalam negeri juga dinyatakan
sebagai alasan utama terjadinya redenominasi (Cohen, 2004; Mosley, 2005; Tarhan, 2006; Lead Capital
Limited, 2007). Tujuan redenominasi secara keseluruhan dalam hal ini adalah untuk memastikan kredibilitas
(Mosley, 2003). Kepastian kredibilitas menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi di masyarakat dan
peningkatan dibidang makro ekonomi (Stokes, 2002 in Mosley, 2005); serta kinerja pemerintah sebagai
debitur, sebagai tempat untuk investasi swasta dan dapat mempertahankan nilai tukar di pasar modal dunia
(Leblang, 2002; Jensen, 2005). Redenominasi menyebabkan mata uang lokal menjadi lebih efisien dengan
cara membuang beberapa angka nol, memfasilitasi transaksi bisnis karena menggunakan uang dengan unit
yang lebih kecil, mata uang menjadi lebih mudah dan lebih ringan untuk dibawa kemana-mana dan
mengurangi risiko kejahatan, menyebabkan kepercayaan yang lebih besar terhadap mata uang, dapat
mengurangi kecenderungan terjadinya inflasi; mempermudah pembukuan dan mengurangi kerepotan dalam
melakukan transaksi, pencatatan dan aktivitas perbankan.
d. Sejarah Penerapan Redenominasi
Secara teori, menghapus angka nol mata uang hanya sebuah numerik belaka. Redenominasi tidak akan
bekerja jika perekonomian tidak dapat mempertahankan nilai baru. Sejarah mencatat bahwa Negara pertama
yang melakukan redenominasi adalah Jerman pada tahun 1923, Jerman memotong angka nol mata uangnya
sebanyak dua belas digit karena terjadi hiperinflasi. Studi yang dilakukan Mosley (2005) mencatat sekitar 60
negara yang melakukan redenominasi dalam periode 1960-1994. Di antara beberapa negara itu ada yang
mengalami kegagalan dan sukses dalam menjalankan redenominasi.
Dalam perjalanan sejarah, Pemerintah Indonesia tercatat pernah melakukan kebijakan sanering pada tanggal
19 Maret 1950 (dikenal dengan istilah Gunting Syafrudin), 25 Agustus 1959 dan 13 Desember 1965.
Kondisi perekonomian nasional pada saat itu sangat buruk, tercermin dari Pertumbuhan Domestik Bruto
(PDB) yang sangat rendah, inflasi sangat tinggi dan investasi merosot tajam. Salah satu mekanisme kebijakan
sanering yang berlaku mulai tanggal 25 Agustus 1959 adalah:
1) Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100.
2) Pembekuan sebagian simpanan pada Bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan di
atas Rp 25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan
jangka panjang oleh pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959 tanggal 24 Agustus 1959).
Kebijakan sanering tersebut memberikan beberapa dampak di bidang moneter, seperti menurunkan jumlah
uang beredar, meningkatkan keuntungan pemerintah yang kemudian digunakan untuk mengurangi kerugian
kas negara, dan mengurangi likuiditas bank-bank. Namun, likuiditas bank yang berkurang membuat
pemberian kredit bank terhadap perusahan produksi, distribusi dan ekspor-impor menjadi berkurang,
sehingga berimplikasi pada kenaikan harga barang dan biaya hidup. Dengan demikian kebijakan sanering
pada tahun 1959 tersebut dianggap gagal karena justru memperburuk keadaan ekonomi, yakni terjadinya
hyper-inflasi.
Berbeda dengan sanering,kebijakan redenominasi dapat pula meningkatkan martabat bangsa dengan
meringkas digit uang tanpa mengurangi nilai mata uang. Saat ini di Asia Tenggara hanya Indonesia dan
Vietnam saja yang memiliki pecahan mata uang hingga 5 digit. Dengan redenominasi berupa menghilangkan
tiga angka nol (3 digit), maka nilai kurs baru rupiah terhadap mata uang negara lain akan mengalami
penyesuaian nominal, meskipun daya belinya tidak berubah. Sebagai contoh nilai tukar baru rupiah terhadap
US$ akan dapat menjadi Rp.9,69/ US$ (saat ini Rp.9699/US$) dan terhadap Ringgit menjadi Rp.3,17/Ringgit
(saat ini Rp.3174/Ringgit).
Negara yang mengalami kegagalan penerapan redenominasi
a. Rusia
Rusia membutuhkan 6 kali redenominasi untuk stabil. Redenominasi pertama sampai ke tiga terturutturut dilakukan pada tahun 1922, 1923, dan 1924. Redenominasi yang dilakukan setiap tahun ini
menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menjaga inflasi sehingga nilai rubel turun begitu jauh. Hal
ini terjadi juga dapat disebabkan karena masyarakat Rusia lebih memilih mengunakan mata uang asing
karena mata uang Rusia dianggap tidak efisien mengingat Rusia hanya menerbitkan beberapa jenis uang
yang tentunya tidak dapat mendukung aktifitas perdagangan. Hal ini diperparah pada 1923 Soviet
melakukuan monetary union (penyatuan mata uang) sehingga fokus masyarakat Rusia beralih ke mata
uang tunggal tersebut. Yang ke empat dilakukan tahun 1947. Redenominasi ke lima tahun 1961
dilakukan karena telah terjadi PerangDunia II yang membuat kondisi negara Soviet terpuruk, Yang
terakhir tahun 1998. Perbankan Rusia yang pada tahun 1998 mengalami collapse sebelum redenominasi
memiliki tingkat inflasi 14,6% kemudian meningkat 27,6% dan setelah redenominasi meningkat tajam
ke 85,7%.
b. Zimbabwe
Zimbabwe sudah melaksanakan redenominasi mata uang mulai 1 Agustus 2010. Tak tanggungtanggung, Bank Sentral Zimbabwe meredenominasi dengan mengubah uang 10 miliar dolar Zimbabwe
menjadi 1 dolar Zimbabwe atau menghilangkan 10 angka nol. Gubernur Bank Sentral Zimbabwe
Gideon Gono mengatakan kebijakan redenominasi ini dilakukan untuk membantu masyarakat keluar
c.
dari hiper inflasi yang terjadi di negara tersebut. Namun para analis merasa pesimistis dengan rencana
ini. Mereka menilai kebijakan redenominasi ini tidak akan bisa mengakhiri kehancuran ekonomi negara
tersebut yang disebabkan inflasi maha tinggi yaitu sebesar 2,2 juta persen. Ini merupakan inflasi
tertinggi di dunia karena keterbatasan suplai makanan dan uang valas. Kegagalan negara Zimbabwe
dalam melakukan redenominasi beberapa waktu yang lalu disebabkan oleh tidak terkendalinya tingkat
inflasi. Hal itu terjadi karena tingkat inflasi di Zimbabwe naik dan tidak kredibel sewaktu dilakukannya
proses redenominasi. Jadi itu dianggap gagal redenominasi di Zimbabwe karena disaat redenominasi
inflasi terus membumbung tinggi.
Korea Utara
Korea Utara pada akhir tahun 2009 melakukan redenominasi dengan menjadi 100 won menjadi 1 won.
Namun, saat warga hendak menggantikan uang lama won ke uang baru, stok uang baru tidak ada.
Kriteria utama yang harus tercipta ketika suatu negara hendak melakukan redenominasi mata uang adalah makro
ekonomi stabil, ekonomi bertumbuh, dan inflasi terkontrol. Bagaimana dengan Indonesia?
Dilansir dari laman resmi BPS, berikut data pertumbuhan ekonomi Indonesia Triwulan 1 2014
Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2014 dibandingkan triwulan IV-2013, yang diukur dari kenaikan
PDB atas dasar harga konstan meningkat sebesar 0,95 persen (q-to-q). Dari sisi produksi, pertumbuhan ini
terutama didukung oleh Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan yang meningkat sebesar 22,70
persen karena mulainya musim panen tanaman padi pada triwulan I-2014.
Sedangkan laju inflasi ditunjukkan oleh table berikut:
Bulan
Tabel Inflasi dan IHK INDONESIA Tahun 2011 - 2014 Menurut Bulan
2010
2011
2012
2013
20142)
IHK
Inflasi
IHK
Inflasi
IHK
Inflasi
IHK
Inflasi
IHK
Inflasi
Januari
118,01
0,84
126,29
0,89
130,90
0,76
136,88
1,03
110.992)
1,07
Februari
118,36
0,30
126,46
0,13
130,96
0,05
137,91
0,75
111,28
0,26
Maret
118,19
-0,14
126,05
-0,32
131,05
0,07
138,78
0,63
111,37
0,08
April
118,37
0,15
125,66
-0,31
131,32
0,21
138,64
-0,10
111,35
-0,02
Mei
118,71
0,29
125,81
0,12
131,41
0,07
138,60
-0,03
111,53
0,16
Juni
119,86
0,97
126,50
0,55
132,23
0,62
140,03
1,03
Juli
121,74
1,57
127,35
0,67
133,16
0,70
144,63
3,29
Agustus
122,67
0,76
128,54
0,93
134,43
0,95
146,25
1,12
September
123,21
0,44
128,89
0,27
134,45
0,01
145,74
-0,35
Oktober
123,29
0,06
128,74
-0,12
134,67
0,16
145,87
0,09
November
124,03
0,60
129,18
0,34
134,76
0,07
146,04
0,12
Desember
125,17
0,92
129,91
0,57
135,49
0,54
146,84
0,55
Tingkat
Inflasi
6,96
3,79
4,30
8,38
1,39
Dari table terlihat bahwa laju inflasi masih fluktuatif selama triwulan 1 2014, namun secara keseluruhan laju
inflasi masih bisa dikendalikan di bawah 1% tiap bulannya. Dari segi inflasi, redenominasi sebenarnya sudah
siap dilaksanakan, namun apabila kita melihat nilai rupiah terhadap USD, maka tentu redenominasi belum bisa
dilakukan. Kurs rupiah terhadap USD kian lemah dan tanggal 24 Juni 2014 kurs rupiah ditutup pada level
Rp12.000,-/USD. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu indicator kunci makroekonomi sehingga dapat
disimpulkan bahwa saat ini makroekonomi Indonesia masih fluktuatif.
3. Efek Redenominasi
Berdasarkan data dari usd.exchangerates24.com Indonesia merupakan 10 besar daftar mata uang yang tak laku
dibandingkan dengan Dollar AS. Rupiah Indonesia berdampingan dengan Dong Vietnam, Dobra Sao Tome and
Principe, Manat Turkmenistan, Rial iran, Kip Laos, Franc Guinea, Guarani Paraguay, Kwacha Zambia dan Riel
Kamboja. Selain itu rupiah Indonesia juga merupakan 10 besar mata uang dengan angka nol paling banyak di
dunia bersama dengan Rial Iran, Dong Vietnam, Dobra Sao Tome and Principe, Ruble Belarusia, Kip Laos,
Franch Guinea, Guarani Paraguay, Leone Sierra Leone dan Shiling Tanzania. Sebuah fakta yang tentu saja
diperlukan jalan keluar untuk meningkatkan harga diri bangsa indonesia. Oleh karena itu Bank Indonesia
menyiapkan rencana redenominasi mata uang rupiah dengan tahapan sebagai berikut :
1. 2011 2012 : Sosialisasi
2. 2013 2015 : Masa Transisi
3. 2016 2018 : Penarikan Rupiah Lama
4. 2019 2022 : Tulisan Baru pada Rupiah Baru Dihapus
Secara umum, redenominasi mata uang tidak memiliki dampak langsung pada perekonomian karena nilai mata
uang tetap sama dan daya beli masyarakat juga sama. Dampak yang terjadi pada ekonomi mikro dan makro
adalah tidak ada. Hal ini mengingat permintaan dan penawaran baik barang ataupun jasa tidak berubah, nilai
investasi bersih, belanja negara, neraca pembayaran dan nilai ekspor bersih juga tidak akan terkena dampak dari
redenominasi.Efek yang mungkin terjadi di tingkat konsumsi rumah tangga adalah munculnya kebiasaan belanja
yang sebenarnya merupakan masalah psikologis. Tidak ada perbedaan kondisi ekonomi antara sebelum dan
sesudah redenominasi mata uang karena yang sebenarnya terjadi hanyalah redenominasi dari semua nilai
ekonomi yang berupa harga dari barang dan jasa, aset dan kewajiban keuangan, gaji dan manfaat sosial. Namun
situasi dibidang moneter sedikit berbeda, redenominasi mata uang akan mengurangi mata uang yang beredar
walaupun nilai sesungguhnya akan tetap sama.
Di sisi lain, redenominasi dapat meningkatkan penanaman modal apabila diterapkan dan diatur dengan baik.
Investor asing akan mulai menaruh kepercayaan terhadap iklim investasi dalam negeri dan akan lebih berani
untuk menaruh uangnya di pasar modal. Hal ini tentu saja dengan asumsi rendahnya tingkat inflasi dan adanya
peningkatan kinerja dibidang kebijakan makro ekonomi. Hal ini merupakan efek jangka panjang dan tergantung
pada kemampuan pemerintah untuk mengkonsolidasikan efek dari strategi reformasi dan kebijakan yang
berlaku.
Di bidang akuntansi, redenominasi akan mempersingkat waktu dalam menginput data keuangan dan
mereviewnya. Dari sudut pandang efektifitas, proses konversi akan menjadi suatu tantangan bagi perusahaan
yang memiliki volume transaksi yang signifikan dan memiliki banyak akun. Walaupun begitu karena
redenominasi hanya merupakan proses pengurangan angka nol, maka metode, prinsip, kebijakan dan standar
akuntansi yang telah digunakan oleh organisasi tidak akan dilanggar.
a.
4) Dalam teknologi informasi, redenominasi akan mengurangi penyesuaian software dan hardware
tersebut dalam mengakomodir digit angka yang semakin besar. Saat ini, kemampuan komputer hanya
dapat mengakomodir 15 digit angka saja. Padahal nilai APBN Indonesia telah mencapai 16 digit.
5) Redenominasi juga dapat mengurangi hambatan dan kendala teknis berupa kemungkinan kesalahan
manusia dalam proses pembukuan transaksi atau kegiatan statistik lainnya.
b. Dampak Negatif dari redenominasi adalah:
1) Dari sisi moneter, redenominasi dapat memicu inflasi apabila terjadi efek psikologi masyarakat yang
terserang kepanikan dan perilaku moral hazard yang memanfaatkan asymmetric information untuk
spekulasi menyimpan barang dan menaikkan harga. Hal ini terjadi apabila tidak dilakukan sosialisi
secara menyeluruh. Kepanikan masyarakat tersebut akan mendorong masyarakat untuk tidak memegang
Rupiah dan lebih memilih untuk membelanjakan uang mereka menjadi aset. Dengan demikian akan
berlaku hukum supply-demand yang mendorong terjadinya kenaikan harga aset-aset tersebut.
2) Selain itu kepanikan tersebut bisa mendorong masyarakat untuk lebih memilih memegang mata uang
asing yang lebih terpercaya. Keadaan ini tentu akan membuat nilai rupiah terdepresiasi. Rupiah yang
terdepresiasi bermakna bahwa nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing menjadi lebih rendah dan
mengindikasikan daya saing dalam negeri menurun dibandingkan asing.
3) Terkait dengan poin pertama, inflasi juga terjadi dikarenakan adanya pembulatan ke atas apabila tidak
terdapat pecahan kecil untuk mata uang baru. Dengan demikian pemberlakuan redenominasi perlu
diikuti dengan kewaspadaan tinggi terhadap timbulnya hyper-inflasi. Sosialisasi perlu digencarkan dan
operasi pasar perlu dilaksanakan untuk mencegah adanya spekulan yang memanfaatkan kepanikan
masyarakat.
Dengan menyajikan data perbandingan harga emas, dalam rupiah dan dolar, dalam grafik logaritmik dimana
jarak satu gridline yang satu dengan gridline dibawahnya adalah kelipatan 10 atau merepresentasikan satu
angka nol, menurutnya pada grafik US$ yang hanya melewati satu gridline sepanjang 40 tahun terakhir. Hal
ini karena dalam US$ harga emas hanya mengalami kenaikan 33 kali selama 40 tahun terakhir. Sebaliknya
Rupiah menerobos 3 gridlines selama 40 tahun terakhir yaitu tahun 1973, 1980 dan 1998. Hal ini terjadi
karena dalam rentang waktu 40 tahun yang sama harga emas dalam Rupiah mengalami kenaikan sampai 790
kalinya.
Maka negara-negara yang berhasil menekan inflasinya pada angka yang relatif rendah dalam waktu yang
panjang akan semakin jarang menabrak gridline tersebut negara semacam ini memang tidak memerlukan
redenominasi pada mata uangnya. Tidak demikian halnya bagi negara yang rata-rata inflasinya tinggi, jumlah
angka nol dalam mata uangnya (yang direpresentasikan dengan banyaknya gridlines yang ditabrak) akan
terus bertambah sehingga apa bila dibiarkan terus akan menjadi tidak wajar. Mata uang dari negara semacam
ini termasuk diantaranya Rupiah kita perlu diredenominasi dari waktu ke waktu.
Sebagai ilustrasi, redenominasi jika dilakukan pada tahun 1983, yang mana harga emas pada saat itu per
gram dalam Rupiah adalah Rp 12.242/gram dan dalam Dollar adalah US$ 13.64. Bila tiga angka nol dalam
uang Rupiah dihilangkan saat itu, maka harga emas dalam Rupiah akan menjadi Rp 12.24/gram, sedangkan
dalam Dollar akan tetap US$ 13.64. Artinya bila Rupiah diredominasi pada tahun 1983 dengan membuang
tiga angka nol, maka nilai tukar Rupiah saat itu menjadi 1 US$ = Rp 0.90 ,Redenominasi membutuhkan biaya yang besar untuk mencetak uang baru, untuk sosialisasi sampai pelosok
negeri dan untuk penyediaan infrastruktur yang diperlukan. Kebijakan redenominasi lebih mementingkan
minoritas masyarakat dibandingkan mayoritas masyarakat. Masyarakat menengah ke atas yang terbiasa
bertransaksi dengan nominal besar dan seringkali tidak tunai akan terbantu dengan redenominasi ini. Namun
bagi mereka yang miskin dan bertaraf pendidikan rendah yang sangat terbiasa dengan transaksi uang yang
kecil, mereka tidak hanya kebingungan dengan nilai yang semakin kecil, tetapi juga akan semakin
memiskinkan mereka.
Biaya pembangunan yang besar akan dipergunakan untuk biaya mencetak uang yang tidak memiliki
keuntungan bagi sistem ekonomi Indonesia. Lalu jika pemerintah berusaha menerbitkan surat utang untuk
menutupi biaya redenominasi, berarti rakyat juga yang akan menderita.
Redenominasi juga berpotensi mendorong inflasi jika tidak ada kemudahan bertransaksi pada pecahan
kecil.Sebab, pecahan yang kecil dan tanggung akan mendorong pembulatan angka untuk memudahkan
pembayaran, yang justeru tanpa disadari akan memacu kenaikan harga barang.
Redenominasi juga akan memicu banjirnya barang-barang impor.Apalagi pada era pasar bebas ini,
mengimpor barang menjadi tidak terkendali. Asalkan dianggap murah barang impor akan menerobos masuk.
Hal ini disebabkan nilai konversi mata uang rupiah yang dianggap menguat terhadap mata uang lain semisal
USD.
Apabila redenominasi gagal dilaksanakan maka memungkinkan untuk berubah menjadi sanering. Indonesia
pernah melakukan redenominasi pada tahun 1966. Namun karena pada saat yang bersamaan inflasi di
Indonesia sangat tinggi, maka redenominasi yang diberlakukan pemerintah justru gagal mengamankan
perekonomian.
Saat itu, uang Rp1.000 menjadi Rp1. Karena gagal, tahun itu juga BI sekaligus melakukan sanering, yakni
melakukan pemotongan uang dimana yang dipotong hanya nilai uangnya saja.
Faktor penyebab inflasi bisa disebabkan oleh banyak hal yakni depresiasi rupiah, jumlah uang beredar,
defisitnya APBN, maupun pemberian kredit perbankan yang konsumtif.
c. Kondisi Terburuk Dampak Sistemik Redenominasi Terhadap Perekonomian
Terkait dengan redenominasi maka akan berhubungan erat dengan peredaran uang, transaksi luar negeri, dan
daya beli masyarakat yang pada akhirnya mempercepat laju inlfasi.
Seperti dijelaskan dalam uraian di atas, bahwa ada beberapa gejala yang mungkin terjadi jika redenominasi
dilakukan:
1) Rush
Ketidakpercayaan pemilik tabungan/investor terhadap rupiah, sehingga mengalihkan ke mata uang yang
stabil seperti USD atau dibelikan emas atau aset tetap lainnya karena takut rupiah terdepresiasi. Dalam
hal ini berlaku hukum permintaan-penawaran, sehingga rupiah yang baru di redenominasi pun
mengalami pelemahan atas USD, sedangkan emas dan harga aset meningkat.
Untuk menghindari hal ini terjadi, maka Bank Indonesia akan meningkatkan suku bunga, sehingga
masyarakat tertarik tetap menyimpan uangnya dalam bentuk rupiah di dalam negeri. Hal ini memicu
inflasi.
2) Biaya Tinggi
Besarnya biaya investasi yang diperlukan dalam rangka redenominasi. BI perlu dana untuk mencetak
uang, sektor bisnis perlu dana untuk mengubah sistem informasi teknologi dan akuntansinya.
Dengan demikian Volume transaksi bertambah, jika volume uang tetap, dan produksi tetap, maka
kecepatan transaksi bertambah sehingga price level bertambah. Hal ini menyebabkan inflasi.
Seperti yang diungkapkan Irving Fisher dalam teorinya yang mengemukakan bahwa besar kecilnya
permintaan uang yang terjadi di masyarakat ditentukan oleh besar pendapatan nasional dan volume
transaksi. Jadi, sudah jelas bahwa apapun kebijakan yang diambil, pengendalian jumlah permintaan
uang, volume transaksi dan laju inflasi tetap menjadi perhatian utama bagi para pengambil kebijakan.
3) Money Illusion
Efek psikologis masyarakat dan produsen, membiaskan nilai uang, sehingga dengan mudah menaikkan
harga secara drastis karena persepsi barang terlihat murah dengan nominal baru. Hal ini mempercepat
laju inflasi.