Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme yang bukan merupakan flora
normal tubuh yang kemudian berproliferasi sehingga menyebabkan ketidakseimbangan
homeostasis dan menimbulkan gejala yang bersifat lokalis maupun sistemik.
Infeksi maksilofasial merupakan infeksi pada daerah wajah dan rahang yang paling
banyak berasal dari masalah gigi. Infeksi maksilofasial relatif umum baik pada praktek
medis umum maupun kedokteran gigi. Infeksi ini paling banyak berasal dari struktur
superfisial, misalnya kulit, jaringan subkutan, serta dapat didiagnosis dan diterapi dengan
baik.

1.2 Etiologi
Infeksi maksilofasial dapat bersifat spesifik dan non-spesifik. Penyebab paling banyak
pada infeksi maksilofasial adalah bakteri, baik aerob maupun anaerob, serta gram positif
maupun gram negatif, sebab terdapat banyak dan berbagai jenis bakteri di dalam mulut
manusia. Setidaknya terdapat 400 kelompok bakteri berbeda baik secara morfologi
maupun biokimia yang berada dalam rongga mulut dan gigi. Pada infeksi odontogen
biasanya disebabkan oleh bakteri endogen.
Lebih dari setengah kasus infeksi odontogenik yang ditemukan (sekitar 60 %)
disebabkan oleh bakteri anaerob. Organisme penyebab infeksi odontogen yang sering
ditemukan

pada

Peptostreptococcus,

pemeriksaan

kultur

Peptococcus,

adalah

alpha-hemolytic

Eubacterium,

Bacteroides

Streptococcus,
(Prevotella)

melaninogenicus, and Fusobacterium. Bakteri aerob jarang menyebabkan infeksi


odontogen (hanya sekitar 5 %). Bila infeksi odontogen disebabkan bakteri aerob, biasanya
organisme penyebabnya adalah species Streptococcus. Infeksi odontogen banyak yang
disebabkan oleh infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu sekitar 35 %. Pada
infeksi campuran ini biasanya ditemukan 5-10 organisme pada pemeriksaan kultur.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah
lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar
kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang
wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.
Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah
bagian atas yakni bagian frontalis dan sinus. Bagian kedua adalah midface, yang terdiri
dari bagian rahang atas atau maksila, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary
dan fossa orbita. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah,
yakni rahang bawah, mandibula.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari kranium. Pada
tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris) dan
rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita). Bagian-bagian hidung terdiri dari,
os lacrimal yang letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung dekat sudut mata, os
nasalis, dan os konka nasal yang terletak di dalam rongga nasal yang memiliki konsistensi
berlekuk-lekuk. Bagian-bagian tulang rahang terdiri dari, os maksilaris, os zygomaticum,
os palatum, dan os mandibularis.

Kepala dan leher dikelilingi oleh ruang fasial yang biasanya dipisahkan oleh
jaringan ikat longgar. Spatium (ruang) tersebut merupakan daerah yang pertahanannya
kurang baik terhadap penyebaran infeksi. Meskipun ruang ini cenderung melokalisir
infeksi tetapi ruang ini juga saling berhubungan sehingga menjadi sarana dalam
penyebaran infeksi. Barier terakhir terhadap penyebaran infeksi diluar prosesus alveolaris
adalah periosteum, jika ini sudah tertembus maka ruang-ruang fasial di sekelilingnya akan
segera terinfeksi. Ruang-ruang ini terbagi atas mandibular, maksilar, lateral, faringeal,
kranial, dan servikal.
Ruang mandibular, ruang mandibular anterior meliputi submandibular, sublingual,
dan submental. Submandibular terletak di inferior mandibula dan m. mylohyoideus,
dibatasi di bagian inferior oleh m. digastricus, dan medial oleh m. hyoglosus (trigonum
submandibulare). Infeksi yang menyebar kesini biasanya infeksi yang berasal dari molar
bawah. Dari ruang ini penyebaran infeksi bisa menuju ruang submandibular kontralateral,
ruang pterigomandibular, parafaringeal, dan ruang fasial pada leher. Ruang sublingual
terletak superior dari ruang ini yang merupakan bagian yang paling sering menjadi sasaran
penyebaran infeksi dari gigi-gigi premolar dan anterior bawah. Infeksi ruang sublingual
bisa meluas ke dalam ruang submandibular dan parafaringeal. Ruang submental terletak di
sebelah anterior di antara kedua venter anterior musculus digastricus. Daerah ini sering
menjadi tempat penyebaran infeksi dari gigi insisivus bawah dan bisa menuju ke ruang
submandibular yang terletak posterior dari ruang ini.

Ruang mandibular posterior, meliputi submaseterik dan pterigomandibular yang


keduanya berhubungan dengan ramus. Ruang submaseterik terletak di sebelah lateral
ramus sedangkan ruang pterigomandibular terletak di sebelah medial ramus dan dibatasi
oleh m. pterygoideus medialis. Sumber infeksi biasanya berasal dari regio molar ketiga
bawah untuk kedua ruang tersebut. Apabila regio ini mengalami infeksi akut maka sering
diikuti trismus. Infeksi pada kedua ruang ini dapat menyebar ke temporal atau ruang-ruang
parafaringeal.
Ruang maksila anterior, infeksi pada regio maksilar biasanya melibatkan fossa
canina dan regio periorbital. Fossa canina terletak profundus dari m. quadratus labii
superioris dan m. levator labii superioris yang lain. Biasanya ini merupakan perluasan
infeksi yang berasal dari gigi kaninus atas dan bisa juga gigi premolar dan insisivus.
Ruang ini cukup penting sebab berhubungan dengan sinus cavernosus melalui vena-vena
fasialis, angularis, dan ophtalmica. Perluasan dari regio periorbital bisa berasal dari semua
gigi maksilar.

Ruang lateral, meliputi ruang businator dan ruang parotis. Infeksi pada ruang
businator bisa merupakan perluasan infeksi dari gigi premolar dan molar. Ruang ini
mempunyai hubungan dengan ruang submaseterik dan pterigomandibula serta ruang
temporal dan faringeal lateral. Ruang parotid ditempati oleh glandula parotidea yang
biasanya penjalaran infeksinya bukan berasal dari gigi.

Ruang faringeal, ruang faringeal lateral meliputi basis cranii sampai dengan bagian
bawah tulang hioid dan dibatasi oleh m. pterygoideus internus di bagian lateral dan mm.
constrictor pharyngis di medial. Ruang retrofaringeal terletak posterior dari mm.
constrictor pharyngis dan anterior dari selubung karotis serta fascia paravertebralis. Infeksi
spatium pharyngealis bisa meluas ke intrakranial/mediastinal. Gejala yang timbul apabila
melibatkan spatium pharyngealis adalah disfagia.
Ruang kranial, ruang kranial lateral meliputi temporal dan infratemporal. Ruang
temporal dibagi menjadi superfisial dan profundus oleh m. temporalis. Pada bagian
inferior, ruang temporal superfisialis dibatasi arcus zygomaticus, sedang ruang temporal
profundus berhubungan dengan ruang pterigomandibular. Infeksi orofasial yang
melibatkan ruang temporal apabila berasal dari regio molar bawah atau atas biasanya
terlebih dulu melintasi ruang submaseterik dan pterigomandibular. Penyebaran infeksi
paling berbahaya adalah yang menuju sinus cavernosus melalui plexus venosus
pterygoideus.

Perluasan servikal, perluasan infeksi orofasial ke regio servikal juga sering terjadi.
Fascia profundus bisa memberikan jalan infeksi melalui ruang viseral (yang membungkus
glandula thyroidea, parathyroidea, trachea, dan esophagea) dan selubung karotis ke
mediastinum.

Perluasan limfatik, limfadenitis regional bisa menjadi petunjuk adanya infeksi yang
sedang berlangsung atau infeksi terdahulu dan bisa juga infeksi yang manifestasi klinisnya
belum tampak.

2.2 Patogenesis
Infeksi akibat bakteri ini dapat menyebabkan fokal infeksi yang dapat mengakibatkan
infeksi meluas terutama pada regio maksilofasial. Fokal infeksi paling sering dimulai dari
pembentukan plak yang berlanjut ke karang gigi dan akhirnya membentuk karies. Plak
pada gigi dapat menurunkan pH gigi menjadi asam, yang menjadi media yang optimal
untuk pertumbuhan bakteri, sehingga menyebabkan infeksi tidak hanya pada gigi tetapi
juga pada mukosa mulut sehingga menjadi mukositis. Fokal infeksi ini juga menyebabkan
gingivitis dan menjadi periodontitis.
Jika plak dan kalkulus ini dibiarkan, maka akan terjadi demineralisasi email gigi yang
berakibat karies email, yang berlanjut menjadi iritasi pulpa dan lebih buruk lagi menjadi
hiperemi pulpa. Pada hiperemi pulpa, kerusakan atau karies sudah memasuki lapisan
dentin. Vasodilatasi pembuluh darah akibat proses infeksi dan inflamasi dari bakteri
mengakibatkan
aliran

darah

meningkat

ke

dalam

pulpa.

Akibatnya,

terjadi

peningkatan
tekanan pada sarafsaraf

periapikal,

yang

akan

menimbulkan
gejala

ngilu

saat

adanya stimulus external seperti makan dan minum sesuatu yang dingin. Apabila hal ini
dibiarkan lebih lanjut, maka bakteri dapat masuk melalui dentin ke dalam pulpa dan
berakibat peradangan pada pulpa yang disebut pulpitis.
Pulpitis sendiri dibagi menjadi dua, yakni pulpitis reversibel dan ireversibel. Jika sakit
yang dirasakan pasien situasional, yaitu ketika terkena iritan (panas, dingin) baru timbul

sakit dan jika kontak dihilangkan sakitnya mereda dalam waktu lama, maka disebut
pulpitis reversibel, dengan prognosis yang baik, gigi masih dapat dipertahankan dan
dirawat. Sedangkan yang ireversibel, nyeri yang dirasakan pasien terus menerus, nyeri
berdenyut yang tidak dipengaruhi oleh adanya kontak dengan iritan atau tidak. Tentunya
jika ada kontak maka nyeri akan terasa lebih hebat, tetapi jika kontak dihilangkan maka
nyeri tersebut tetap ada. Dalam kondisi ini, terjadi pencairan atau infeksi pada pulpa yang
menyebabkan lisis dan nekrosis dari jaringan pulpa akibat penekanan daripada pembuluh
darah yang mengalami vasodilatasi hebat. Dikarenakan adanya aktifitas bakteri dan
jaringan pulpa yang mengalami nekrosis maka timbul gas gangrene, yang menyebabkan
rasa sakit tidak tertahankan yang dirasakan pasien. Jika gas ini tidak segera dikeluarkan,
maka akan mencari jalan lain, yaitu menginfiltrasi jaringan sekitar gigi dan mengakibatkan
abses.

2.3 Penyebaran
Penyebaran pada infeksi maksilofasial dapat melalui :
1. Penyebaran langsung ke jaringan sekitar gigi yang terinfeksi yang dapat
berkembang menjadi abses periapikal, abses sublingual, abses submandibular,
abses parapharingeal, abses retropharyngeal, dan mediastinitis
2. Penyebaran melalui pembuluh getah bening, dan menyebabkan limfadenitis
terutama pada kelenjar limfoid submental, submandibular, preaurikular, servikal,
supraklavikuler.
3. Penyebaran secara hematogen melalui pembuluh darah (bakteremia) dapat
menyebar hingga ke otak menyebabkan meningitis, jantung, dan ginjal
menyebabkan gagal ginjal.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran infeksi maksilofasial antara lain :
a. Ketahanan tubuh orang yang terinfeksi, misalnya pada orang-orang yang sedang
mengonsumsi obat-obatan imunosupresan, steroid, penderita diabetes, dan
penderita leukemia.
b. Letak anatomispus dapat melewati permukaan epitel dan keluar melalui mukosa
atau kulit
c. Pertahanan terhadap penyebaran infeksi, misalnya otot dan fascia.

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi infeksi berdasarkan ruang fasial yang potensial:
Kelompok/Nama

Gigi sumber infeksi

Hubungan

Mandibular
Submandibular

Molar bawah

Pada sisi submandibular yang lain,


pterigomandibular,

parafaringeal,

bidang-bidang fasial pada leher


Sublingual

Premolar

bawah,

gigi-gigi Submandibular, parafaringeal

anterior
Submental

Insisivus bawah

Submandibular

Submaseterik

Temporal, parafaringeal

Temporal, parafaringeal

Pterigomandibular

Molar ketiga bawah

Temporal, parafaringeal

Maksilar
Fossa canina

Terutama kaninus, premolar, Melalui vena ke sinus cavernosus


dan insisivus

Periorbital
Lateral

Semua gigi atas

Melalui vena ke sinus cavernosus

Buccinator

Molar dan premolar atas dan Submaseterik, pterigomandibular,

Parotis

bawah

temporal, faringeal, lateral

Biasanya bukan dari gigi

Parafaringeal

dan

temporal

profundus
Faringeal
Lateral

Setiap gigi lewat ruang lain, Penyebaran


seringkali

gigi

intrakranial

atau

posterior mediastinal

bawah.
Retrofaringeal

Setiap gigi lewat ruang lain, Intrakranial


seringkali

gigi

atau

perluasan

posterior mediastinal

bawah.
Kranial
Temporal

Tak ada hubungan langsung

Pterigomandibular, infratemporal

Infratemporal

Tak ada hubungan langsung

Pterigomandibular melalui plexus


venosus pterygoideus

Servicalis
Fascia profunda

Tak ada hubungan langsung

Melalui

selubung

karotis

mediastinum

1. Abses periapikal
Infeksi pada daerah periapikal (sekitar akar gigi) yang biasanya disebabkan
akibat karies pada gigi yang dibiarkan hingga mengenai pulpa hingga
menyebabkan pulpitis dan menjadi nekrosis pulpa jika tidak segera ditangani.
Tatalaksana : drainase pus (trepanasi)

ke

2. Abses dentoalveolar
Infeksi yang sudah berlanjut hingga merusak tulang alveolar. Abses ini jika
dibiarkan terus-menerus dapat mengakibatkan lisis pada nervus mandibularis.
Tatalaksana : drainase pus dan ekstraksi gigi yang bersangkutan.

3. Osteomyelitis
Osteomyelitis biasanya merupakan kelanjutan dari pulpitis dimana sudah
terjadi kerusakan pada rongga pulpa. Bakteri dapat menginvasi ke dalam tulang
melalui pembuluh darah, lalu terjadi peningkatan tekanan intramedular dalam
tulang akibat respon inflamasi. Dengan demikian, suplai darah dalam tulang
berkurang dan terjadilah nekrosis. Respon inflamasi menghasilkanpus, yang
berjalan masuk melewati kanalis Havers, lalu menyusupke dalam periosteum dan
akhirnya memisahkan korteks tulang dari periosteum. Lama-kelamaan akumulasi
pus meningkat dan terbentuklah abses serta fistula pada perimandibula. Pada proses
inflamasi yang lebih kronik, akan terbentuk jaringan granulasi dan sequester
tulang. Gejala yang paling sering adalah nyeri pada area yang terinfeksi
(mandibular pain), juga dapat disertai dengan anestesi atau hipoestesi pada area
yang terinfeksi, serta trismus mandibular. Tatalaksana :

sekuesterektomi dan

ekstraksi pada gigi yang terlibat, kemudian medikasi (Clindamycin 450 mg PO or


600 mg IV q6h Moxifloxacin 400 mg PO or IV q24h).

Clindamycin

450 mg PO or 600

mg IV q6h

Moxifloxacin

mg PO or IV

q24h)

400

4. Abses sublingual
Pada abses ini, pus sudah terakumulasi pada area sublingual, yang terletak di atas
muskulus

mylohyoid

penggerak

lidah)

menyebabkan

lidah

(otot

sehingga
pasien

terangkat akibat akumulasi pus


tersebut. Muskulus mylohyoid
terletak

pada

apex

gigi-gigi

anterior (caninus dextra-caninus

sinistra). Oleh sebab itu, abses sublingual biasanya disebabkan oleh infeksi pada
gigi-gigi anterior. Tatalaksana : insisi dan drainase pus hingga darah berwarna
merah segar keluar.

5. Abses submandibular
Abses submandibula terdefinisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang
potensial di regio submandibula yang termanifestasikan dengan pembengkakan di
bawah rahang atau dibawah lidah baik unilateral atau bilateral, disertai dengan
nyeri tenggorokan atau faringitis, demam dan trismus. Abses ini disebut juga abses
leher dalam. Kuman yang menyebabkan infeksi terbanyak adalah golongan
Streptococcus,

Staphylococcus,

dan

kuma

anaerob

Bacteroides.

Ruang

submandibula merupakan daerah yang paling sering terlibat penyebaran infeksi


dari gigi. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang seperti foto panoramik, foto polos jaringan lunak
leher anteroposterior dan lateral, dan foto polos toraks untuk melihat apakah ada
keterlibatan mediastinum, serta pemeriksaan darah rutin untuk melihat adanya
masalah sistemik atau tidak. Untuk tatalaksana dapat diberikan antibiotik dosis
tinggi spektrum luas secara parenteral, insisi dan drainase abses pada tempat yang
paling berfluktuasi serta melakukan ekstraksi gigi etiologi.

6. Abses submasseteric

Abses submaseterik jarang ditemukan, dan seringkali terjadi kesalahan


diagnosa dengan abses parotis atau parotitis. Abses submaseterik ini biasanya
bersifat kronis karena merupakan tempat penyebaran infeksi dari ruang buccal.
Infeksi dari ruang submaseterik ini juga dapat terjadi akibat fraktur mandibula yang
melibatkan regio angulus mandibularis. Gejala yang paling terlihat dari abses
submaseterik ini adalah trismus, karena m. masseter berfungsi untuk mengelevasi
mandibula. Penanganan abses ini dapat dilakukan dengan insisi dan drainase secara
intra oral extra oral, atau keduanya.

7. Abses parapharyngeal
Abses parafaringeal adalah abses leher dalam yang terdapat pada daerah
ruang parafaringeal, bersifat fatal apabila tidak tertangani dengan baik. Biasanya
dijumpai pada anak-anak dan remaja serta pasien-pasien sistem imun rendah.
Gejala yang ditunjukkan awalnya merupakan gejala sakit tenggorokan biasa seperti
demam, nyeri menelan, limfadenopati servikal. Progresivitas dapat dinilai dari
perburukan proses inflamasi dan obstruksi jalan napas, seperti disfagia, dispnea,
stridor, air liur menetes, trismus hebat. Penyebabnya bisa karena tonsilitis,
peritonsilar abses, infeksi dari gigi molar 3, dan akibat penjalaran infeksi dari
ruang-ruang potensial lainnya. Penanganan harus dilakukan dengan cepat dan

tepat, pemberian parenteral antibiotik spektrum luas dan drainase abses merupakan
pilihan utama.

8. Abses retropharyngeal
Abses retrofaringeal merupakan abses yang terletak di bagian posterior dari
dinding faring (ruang retrofaringeal). Penyakit ini jarang ditemukan dan gejala
yang ditimbulkan pada anak-anak biasanya kaku leher, malaise, sulit menelan dan
lainnya. Diagnosis segera harus ditegakkan jika tidak maka bisa menyebabkan
kematian, sebab infeksi pada ruang retrofaringeal dapat menyebar sampai ke
mediastinum dan menyebabkan obstruksi jalan napas. Diagnosa sulit ditegakkan
dengan pemeriksaan fisik karena terletak di bagian dalam, oleh karena itu
diperlukan penunjang yaitu CT scan dan xray leher menunjukkan pembengkakan
dari ruang retrofaringeal. Tatalaksana dapat diberikan antibiotik intravena dosis
tinggi sebelum operasi dilakukan, biasanya tonsilektomi dilakukan untuk drainase
abses dan prognosisnya baik.

9. Mediastinitis
Mediastinitis adalah pembengkakan dan inflamasi pada area mediastinum
yang terletak di antara paru-paru. Daerah ini terdiri dari jantung, pembuluh darah
besar, trakea, esophagus, kelenjar timus, kelenjar limfe dan jaringan penyokong.
Mediastinitis biasanya merupakan hasil dari infeksi yang dapat bersifat akut
maupun kronis. Penyebab tersering ialah pasien pasca operasi thorax atau
endoskopi. Gejala yang ditimbulkan antara lain nyeri dada, menggigil, demam, dan
sesak nafas. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang yang
diantaranya adalah foto polos thorax, CT scan thorax. Penatalaksanaan harus
dilakukan sesegera mungkin sebab pasien mengalami obstruksi jalan napas,
thoracostomy menjadi pilihan utama dan pasien harus diiintubasi sebab pada saat
prosedur thoracostomy, pleura harus dipotong dan menyebabkan paru tidak dapat
berkembang untuk menjalankan fungsinya.

BAB III
MANAJEMEN DAN TATALAKSANA

3.1 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis, hal-hal yang perlu ditanyakan adalah :
-

apakah ada sakit dan/atau bengkak

sejak kapan

sakit/bengkak sudah berapa lama

sakit/bengkak mana yang terjadi lebih dahulu*

apakah ada demam

sudah mengkonsumsi obat apa untuk meredakan gejalanya

apakah sedang mengidap penyakit sistemik lain ( misalnya penyakit autoimun,


kelainan pembekuan darah, leukemia, penyakit-penyakit endokrin, menjalani
hemodialisa, kelainan jantung, dsb.) atau mengkonsumsi obat-obatan yang rutin
(misalnya obat-obat imunosupresan, dsb.)

memiliki kebiasaan merokok atau mengonsumsi alkohol, atau jarang menyikat gigi
sebelum tidur

*) Hal ini ditanyakan untuk membedakan apakah bengkak yang dialami pasien tersebut
berasal dari tumor yang terinfeksi, ataukah murni hanya infeksi akibat dentogen saja.
Gejala yang sering ditemukan pada infeksi maksilofasial antara lain :
-

pembengkakan pada wajah

pembengkakan pada leher

sakit gigi atau nyeri pada wajah

malaise

demam

trismus

disfagia

air liur menetes

nyeri tenggorokan

2. Pemeriksaan fisik
a. Status generalis lihat keadaan umum pasien, misalnya saat pasien datang apakah
disertai dengan sesak napas atau bahkan sianosis. Jika ada, maka harus dikoreksi
terlebih dahulu penyebab sesak napas tersebut.
b. Status lokalis, yang terdiri atas :
i. Intraoral meliputi oral hygiene dan status gigi pasien.
ii. Extraoral meliputi pemeriksaan inspeksi dari luar berkaitan dengan keluhan
pasien, contohnya jika pasien mengeluh sakit dan terdapat bengkak, maka kita
harus melaporkan dan mendeskripsikan adanya bengkak di sebelah kanan/kiri,
apakah ada kemerahan, batas-batasnya jelas atau tidak.
c. Palpasi pada daerah bengkak menggunakan dua jari kemudian ditekan dan
dirasakan apakah ada fluktuasi cairan atau tidak untuk melihat adanya abses.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium sistemik untuk menilai keadaan umum pasien
b. Pemeriksaan radiologi (thorax dan dental)
4. Penegakan diagnosis secara lengkap

3.2 Tatalaksana
Prinsip tatalaksana infeksi maksilofaksial adalah :
1. Meningkatkan daya tahan tubuh

Memperbaiki keadaan umum pasien, misalnya : pemberian cairan parenteral


seperti Ringer Lactate, NaCl 0.9%, Dextrose 5%, aminofluid untuk membantu
meningkatkan daya tahan tubuh pasien.

Pasien yang mengalami rasa nyeri hebat segera diberi pain killer intravena
(untuk efek cepat). Dengan demikian, kondisi pasien yang tenang, tidak
mengalami anxietas dapat meningkatkan kinerja sistem pertahanan tubuh
pasien dalam melawan infeksi. Jika nyeri tidak terlalu hebat, dapat diberikan
pain killer standart seperti ketorolac 2x30 mg digerus atau suppositoria.

2. Menurunkan virulensi patogen

Pemberian antibiotik adekuat (broad spectrum, kombinasi antibiotik untuk


bakteri aerob dan anaerob), biasanya golongan penicillin. Penicillin G 2x1.5
juta Unit diberikan secara parenteral, sedangkan pencillin V diberikan secara

per oral dengan dosis 500mg tiap 6 jam sesudah dosis awal 1gram dengan
dosis maksimal 2 gram dibagi 4 kali sehari.

Penggunaan antiseptik, misalnya dengan obat kumur.

Bersihkan oral hygiene, yaitu dengan mendrainase pus sebanyak mungkin


hingga keluar darah berwarna merah segar dengan cara diinsisi.

Membuang etiologinya, dengan cara mencabut gigi penyebab infeksi.

BAB IV
KESIMPULAN

Infeksi maksilofasial merupakan infeksi pada daerah wajah dan rahang yang paling
banyak berasal dari masalah gigi. Infeksi maksilofasial dapat bersifat spesifik dan nonspesifik. Penyebab paling banyak pada infeksi maksilofasial adalah bakteri, baik aerob
maupun anaerob, serta gram positif maupun gram negatif, sebab terdapat banyak dan
berbagai jenis bakteri di dalam mulut manusia. Lebih dari setengah kasus infeksi
odontogenik yang ditemukan (sekitar 60 %) disebabkan oleh bakteri anaerob.
Infeksi ini berasal dari plak, sebuah biofilm yang terbentuk dari sisa-sisa makanan
yang tertinggal. Jika plak ini tetap dibiarkan maka akan timbul kalkulus pada gigi, dan
lama kelamaan akan menjadi karies atau lubang. Lapisan gigi yang pertama adalah email,
lalu dentin dan kemudian pulpa. Karies pada tahap awal hanya mengiritasi dentin dan
menimbulkan nyeri hilang timbul apabila terkena iritan, selanjutnya akan berkembang
menjadi karies pulpa dan nyeri berkembang menjadi nyeri berdenyut yang terus menerus
tanpa harus adanya iritan. Jika infeksi terus dibiarkan, maka akan terjadi pulpitis, dan lama
kelamaan pulpa akan menjadi nekrosis akibat vasodilatasi hebat dari pembuluh darah yang
menekan pulpa. Selanjutnya pulpa akan mengalami nekrosis dan terbentuk gas gangrene
yang terperangkap dalam gigi, jika tidak di irigasi pus dan gas yang terbentuk akan
mencari jalan lain untuk keluar sebab tekanan yang sudah terlalu tinggi dalam gigi
sehingga terbentuk abses pada ruang-ruang potensial pada maksilofasial.
Abses-abses yang dapat terjadi berdasarkan ruang-ruang potensial pada
maksilofasial tersebut antara lain abses periapikal, abses dentoalveolar, abses sublingual,
abses

submandibular,

abses

submasseteric,

abses

parapharyngeal,

dan

abses

retropharyngeal. Jika abses tersebut terus berkembang dan tidak ditangani dengan baik,
maka dapat menyebar hingga ke ruang mediastinum dan menyebabkan mediastinitis yang
bersifat fatal.
Prinsip tatalaksana infeksi maksilofasial adalah meningkatkan daya tahan tubuh
pasien dengan cara pemberian cairan secara parenteral (RL, D5, aminofluid) dan
pemberian pain killer untuk mengurangi rasa sakit pasien, serta menurunkan virulensi
patogen dengan melakukan drainase pus dengan cara diinsisi serta memberikan antibiotik
broad spectrum dosis tinggi (penicillin 1,5juta unit IM) dan melakukan ekstraksi gigi yang
menjadi sumber infeksi.

Anda mungkin juga menyukai