PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme yang bukan merupakan flora
normal tubuh yang kemudian berproliferasi sehingga menyebabkan ketidakseimbangan
homeostasis dan menimbulkan gejala yang bersifat lokalis maupun sistemik.
Infeksi maksilofasial merupakan infeksi pada daerah wajah dan rahang yang paling
banyak berasal dari masalah gigi. Infeksi maksilofasial relatif umum baik pada praktek
medis umum maupun kedokteran gigi. Infeksi ini paling banyak berasal dari struktur
superfisial, misalnya kulit, jaringan subkutan, serta dapat didiagnosis dan diterapi dengan
baik.
1.2 Etiologi
Infeksi maksilofasial dapat bersifat spesifik dan non-spesifik. Penyebab paling banyak
pada infeksi maksilofasial adalah bakteri, baik aerob maupun anaerob, serta gram positif
maupun gram negatif, sebab terdapat banyak dan berbagai jenis bakteri di dalam mulut
manusia. Setidaknya terdapat 400 kelompok bakteri berbeda baik secara morfologi
maupun biokimia yang berada dalam rongga mulut dan gigi. Pada infeksi odontogen
biasanya disebabkan oleh bakteri endogen.
Lebih dari setengah kasus infeksi odontogenik yang ditemukan (sekitar 60 %)
disebabkan oleh bakteri anaerob. Organisme penyebab infeksi odontogen yang sering
ditemukan
pada
Peptostreptococcus,
pemeriksaan
kultur
Peptococcus,
adalah
alpha-hemolytic
Eubacterium,
Bacteroides
Streptococcus,
(Prevotella)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah
lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar
kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang
wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.
Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah
bagian atas yakni bagian frontalis dan sinus. Bagian kedua adalah midface, yang terdiri
dari bagian rahang atas atau maksila, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary
dan fossa orbita. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah,
yakni rahang bawah, mandibula.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari kranium. Pada
tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris) dan
rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita). Bagian-bagian hidung terdiri dari,
os lacrimal yang letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung dekat sudut mata, os
nasalis, dan os konka nasal yang terletak di dalam rongga nasal yang memiliki konsistensi
berlekuk-lekuk. Bagian-bagian tulang rahang terdiri dari, os maksilaris, os zygomaticum,
os palatum, dan os mandibularis.
Kepala dan leher dikelilingi oleh ruang fasial yang biasanya dipisahkan oleh
jaringan ikat longgar. Spatium (ruang) tersebut merupakan daerah yang pertahanannya
kurang baik terhadap penyebaran infeksi. Meskipun ruang ini cenderung melokalisir
infeksi tetapi ruang ini juga saling berhubungan sehingga menjadi sarana dalam
penyebaran infeksi. Barier terakhir terhadap penyebaran infeksi diluar prosesus alveolaris
adalah periosteum, jika ini sudah tertembus maka ruang-ruang fasial di sekelilingnya akan
segera terinfeksi. Ruang-ruang ini terbagi atas mandibular, maksilar, lateral, faringeal,
kranial, dan servikal.
Ruang mandibular, ruang mandibular anterior meliputi submandibular, sublingual,
dan submental. Submandibular terletak di inferior mandibula dan m. mylohyoideus,
dibatasi di bagian inferior oleh m. digastricus, dan medial oleh m. hyoglosus (trigonum
submandibulare). Infeksi yang menyebar kesini biasanya infeksi yang berasal dari molar
bawah. Dari ruang ini penyebaran infeksi bisa menuju ruang submandibular kontralateral,
ruang pterigomandibular, parafaringeal, dan ruang fasial pada leher. Ruang sublingual
terletak superior dari ruang ini yang merupakan bagian yang paling sering menjadi sasaran
penyebaran infeksi dari gigi-gigi premolar dan anterior bawah. Infeksi ruang sublingual
bisa meluas ke dalam ruang submandibular dan parafaringeal. Ruang submental terletak di
sebelah anterior di antara kedua venter anterior musculus digastricus. Daerah ini sering
menjadi tempat penyebaran infeksi dari gigi insisivus bawah dan bisa menuju ke ruang
submandibular yang terletak posterior dari ruang ini.
Ruang lateral, meliputi ruang businator dan ruang parotis. Infeksi pada ruang
businator bisa merupakan perluasan infeksi dari gigi premolar dan molar. Ruang ini
mempunyai hubungan dengan ruang submaseterik dan pterigomandibula serta ruang
temporal dan faringeal lateral. Ruang parotid ditempati oleh glandula parotidea yang
biasanya penjalaran infeksinya bukan berasal dari gigi.
Ruang faringeal, ruang faringeal lateral meliputi basis cranii sampai dengan bagian
bawah tulang hioid dan dibatasi oleh m. pterygoideus internus di bagian lateral dan mm.
constrictor pharyngis di medial. Ruang retrofaringeal terletak posterior dari mm.
constrictor pharyngis dan anterior dari selubung karotis serta fascia paravertebralis. Infeksi
spatium pharyngealis bisa meluas ke intrakranial/mediastinal. Gejala yang timbul apabila
melibatkan spatium pharyngealis adalah disfagia.
Ruang kranial, ruang kranial lateral meliputi temporal dan infratemporal. Ruang
temporal dibagi menjadi superfisial dan profundus oleh m. temporalis. Pada bagian
inferior, ruang temporal superfisialis dibatasi arcus zygomaticus, sedang ruang temporal
profundus berhubungan dengan ruang pterigomandibular. Infeksi orofasial yang
melibatkan ruang temporal apabila berasal dari regio molar bawah atau atas biasanya
terlebih dulu melintasi ruang submaseterik dan pterigomandibular. Penyebaran infeksi
paling berbahaya adalah yang menuju sinus cavernosus melalui plexus venosus
pterygoideus.
Perluasan servikal, perluasan infeksi orofasial ke regio servikal juga sering terjadi.
Fascia profundus bisa memberikan jalan infeksi melalui ruang viseral (yang membungkus
glandula thyroidea, parathyroidea, trachea, dan esophagea) dan selubung karotis ke
mediastinum.
Perluasan limfatik, limfadenitis regional bisa menjadi petunjuk adanya infeksi yang
sedang berlangsung atau infeksi terdahulu dan bisa juga infeksi yang manifestasi klinisnya
belum tampak.
2.2 Patogenesis
Infeksi akibat bakteri ini dapat menyebabkan fokal infeksi yang dapat mengakibatkan
infeksi meluas terutama pada regio maksilofasial. Fokal infeksi paling sering dimulai dari
pembentukan plak yang berlanjut ke karang gigi dan akhirnya membentuk karies. Plak
pada gigi dapat menurunkan pH gigi menjadi asam, yang menjadi media yang optimal
untuk pertumbuhan bakteri, sehingga menyebabkan infeksi tidak hanya pada gigi tetapi
juga pada mukosa mulut sehingga menjadi mukositis. Fokal infeksi ini juga menyebabkan
gingivitis dan menjadi periodontitis.
Jika plak dan kalkulus ini dibiarkan, maka akan terjadi demineralisasi email gigi yang
berakibat karies email, yang berlanjut menjadi iritasi pulpa dan lebih buruk lagi menjadi
hiperemi pulpa. Pada hiperemi pulpa, kerusakan atau karies sudah memasuki lapisan
dentin. Vasodilatasi pembuluh darah akibat proses infeksi dan inflamasi dari bakteri
mengakibatkan
aliran
darah
meningkat
ke
dalam
pulpa.
Akibatnya,
terjadi
peningkatan
tekanan pada sarafsaraf
periapikal,
yang
akan
menimbulkan
gejala
ngilu
saat
adanya stimulus external seperti makan dan minum sesuatu yang dingin. Apabila hal ini
dibiarkan lebih lanjut, maka bakteri dapat masuk melalui dentin ke dalam pulpa dan
berakibat peradangan pada pulpa yang disebut pulpitis.
Pulpitis sendiri dibagi menjadi dua, yakni pulpitis reversibel dan ireversibel. Jika sakit
yang dirasakan pasien situasional, yaitu ketika terkena iritan (panas, dingin) baru timbul
sakit dan jika kontak dihilangkan sakitnya mereda dalam waktu lama, maka disebut
pulpitis reversibel, dengan prognosis yang baik, gigi masih dapat dipertahankan dan
dirawat. Sedangkan yang ireversibel, nyeri yang dirasakan pasien terus menerus, nyeri
berdenyut yang tidak dipengaruhi oleh adanya kontak dengan iritan atau tidak. Tentunya
jika ada kontak maka nyeri akan terasa lebih hebat, tetapi jika kontak dihilangkan maka
nyeri tersebut tetap ada. Dalam kondisi ini, terjadi pencairan atau infeksi pada pulpa yang
menyebabkan lisis dan nekrosis dari jaringan pulpa akibat penekanan daripada pembuluh
darah yang mengalami vasodilatasi hebat. Dikarenakan adanya aktifitas bakteri dan
jaringan pulpa yang mengalami nekrosis maka timbul gas gangrene, yang menyebabkan
rasa sakit tidak tertahankan yang dirasakan pasien. Jika gas ini tidak segera dikeluarkan,
maka akan mencari jalan lain, yaitu menginfiltrasi jaringan sekitar gigi dan mengakibatkan
abses.
2.3 Penyebaran
Penyebaran pada infeksi maksilofasial dapat melalui :
1. Penyebaran langsung ke jaringan sekitar gigi yang terinfeksi yang dapat
berkembang menjadi abses periapikal, abses sublingual, abses submandibular,
abses parapharingeal, abses retropharyngeal, dan mediastinitis
2. Penyebaran melalui pembuluh getah bening, dan menyebabkan limfadenitis
terutama pada kelenjar limfoid submental, submandibular, preaurikular, servikal,
supraklavikuler.
3. Penyebaran secara hematogen melalui pembuluh darah (bakteremia) dapat
menyebar hingga ke otak menyebabkan meningitis, jantung, dan ginjal
menyebabkan gagal ginjal.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran infeksi maksilofasial antara lain :
a. Ketahanan tubuh orang yang terinfeksi, misalnya pada orang-orang yang sedang
mengonsumsi obat-obatan imunosupresan, steroid, penderita diabetes, dan
penderita leukemia.
b. Letak anatomispus dapat melewati permukaan epitel dan keluar melalui mukosa
atau kulit
c. Pertahanan terhadap penyebaran infeksi, misalnya otot dan fascia.
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi infeksi berdasarkan ruang fasial yang potensial:
Kelompok/Nama
Hubungan
Mandibular
Submandibular
Molar bawah
parafaringeal,
Premolar
bawah,
anterior
Submental
Insisivus bawah
Submandibular
Submaseterik
Temporal, parafaringeal
Temporal, parafaringeal
Pterigomandibular
Temporal, parafaringeal
Maksilar
Fossa canina
Periorbital
Lateral
Buccinator
Parotis
bawah
Parafaringeal
dan
temporal
profundus
Faringeal
Lateral
gigi
intrakranial
atau
posterior mediastinal
bawah.
Retrofaringeal
gigi
atau
perluasan
posterior mediastinal
bawah.
Kranial
Temporal
Pterigomandibular, infratemporal
Infratemporal
Servicalis
Fascia profunda
Melalui
selubung
karotis
mediastinum
1. Abses periapikal
Infeksi pada daerah periapikal (sekitar akar gigi) yang biasanya disebabkan
akibat karies pada gigi yang dibiarkan hingga mengenai pulpa hingga
menyebabkan pulpitis dan menjadi nekrosis pulpa jika tidak segera ditangani.
Tatalaksana : drainase pus (trepanasi)
ke
2. Abses dentoalveolar
Infeksi yang sudah berlanjut hingga merusak tulang alveolar. Abses ini jika
dibiarkan terus-menerus dapat mengakibatkan lisis pada nervus mandibularis.
Tatalaksana : drainase pus dan ekstraksi gigi yang bersangkutan.
3. Osteomyelitis
Osteomyelitis biasanya merupakan kelanjutan dari pulpitis dimana sudah
terjadi kerusakan pada rongga pulpa. Bakteri dapat menginvasi ke dalam tulang
melalui pembuluh darah, lalu terjadi peningkatan tekanan intramedular dalam
tulang akibat respon inflamasi. Dengan demikian, suplai darah dalam tulang
berkurang dan terjadilah nekrosis. Respon inflamasi menghasilkanpus, yang
berjalan masuk melewati kanalis Havers, lalu menyusupke dalam periosteum dan
akhirnya memisahkan korteks tulang dari periosteum. Lama-kelamaan akumulasi
pus meningkat dan terbentuklah abses serta fistula pada perimandibula. Pada proses
inflamasi yang lebih kronik, akan terbentuk jaringan granulasi dan sequester
tulang. Gejala yang paling sering adalah nyeri pada area yang terinfeksi
(mandibular pain), juga dapat disertai dengan anestesi atau hipoestesi pada area
yang terinfeksi, serta trismus mandibular. Tatalaksana :
sekuesterektomi dan
Clindamycin
450 mg PO or 600
mg IV q6h
Moxifloxacin
mg PO or IV
q24h)
400
4. Abses sublingual
Pada abses ini, pus sudah terakumulasi pada area sublingual, yang terletak di atas
muskulus
mylohyoid
penggerak
lidah)
menyebabkan
lidah
(otot
sehingga
pasien
pada
apex
gigi-gigi
sinistra). Oleh sebab itu, abses sublingual biasanya disebabkan oleh infeksi pada
gigi-gigi anterior. Tatalaksana : insisi dan drainase pus hingga darah berwarna
merah segar keluar.
5. Abses submandibular
Abses submandibula terdefinisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang
potensial di regio submandibula yang termanifestasikan dengan pembengkakan di
bawah rahang atau dibawah lidah baik unilateral atau bilateral, disertai dengan
nyeri tenggorokan atau faringitis, demam dan trismus. Abses ini disebut juga abses
leher dalam. Kuman yang menyebabkan infeksi terbanyak adalah golongan
Streptococcus,
Staphylococcus,
dan
kuma
anaerob
Bacteroides.
Ruang
6. Abses submasseteric
7. Abses parapharyngeal
Abses parafaringeal adalah abses leher dalam yang terdapat pada daerah
ruang parafaringeal, bersifat fatal apabila tidak tertangani dengan baik. Biasanya
dijumpai pada anak-anak dan remaja serta pasien-pasien sistem imun rendah.
Gejala yang ditunjukkan awalnya merupakan gejala sakit tenggorokan biasa seperti
demam, nyeri menelan, limfadenopati servikal. Progresivitas dapat dinilai dari
perburukan proses inflamasi dan obstruksi jalan napas, seperti disfagia, dispnea,
stridor, air liur menetes, trismus hebat. Penyebabnya bisa karena tonsilitis,
peritonsilar abses, infeksi dari gigi molar 3, dan akibat penjalaran infeksi dari
ruang-ruang potensial lainnya. Penanganan harus dilakukan dengan cepat dan
tepat, pemberian parenteral antibiotik spektrum luas dan drainase abses merupakan
pilihan utama.
8. Abses retropharyngeal
Abses retrofaringeal merupakan abses yang terletak di bagian posterior dari
dinding faring (ruang retrofaringeal). Penyakit ini jarang ditemukan dan gejala
yang ditimbulkan pada anak-anak biasanya kaku leher, malaise, sulit menelan dan
lainnya. Diagnosis segera harus ditegakkan jika tidak maka bisa menyebabkan
kematian, sebab infeksi pada ruang retrofaringeal dapat menyebar sampai ke
mediastinum dan menyebabkan obstruksi jalan napas. Diagnosa sulit ditegakkan
dengan pemeriksaan fisik karena terletak di bagian dalam, oleh karena itu
diperlukan penunjang yaitu CT scan dan xray leher menunjukkan pembengkakan
dari ruang retrofaringeal. Tatalaksana dapat diberikan antibiotik intravena dosis
tinggi sebelum operasi dilakukan, biasanya tonsilektomi dilakukan untuk drainase
abses dan prognosisnya baik.
9. Mediastinitis
Mediastinitis adalah pembengkakan dan inflamasi pada area mediastinum
yang terletak di antara paru-paru. Daerah ini terdiri dari jantung, pembuluh darah
besar, trakea, esophagus, kelenjar timus, kelenjar limfe dan jaringan penyokong.
Mediastinitis biasanya merupakan hasil dari infeksi yang dapat bersifat akut
maupun kronis. Penyebab tersering ialah pasien pasca operasi thorax atau
endoskopi. Gejala yang ditimbulkan antara lain nyeri dada, menggigil, demam, dan
sesak nafas. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang yang
diantaranya adalah foto polos thorax, CT scan thorax. Penatalaksanaan harus
dilakukan sesegera mungkin sebab pasien mengalami obstruksi jalan napas,
thoracostomy menjadi pilihan utama dan pasien harus diiintubasi sebab pada saat
prosedur thoracostomy, pleura harus dipotong dan menyebabkan paru tidak dapat
berkembang untuk menjalankan fungsinya.
BAB III
MANAJEMEN DAN TATALAKSANA
3.1 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis, hal-hal yang perlu ditanyakan adalah :
-
sejak kapan
memiliki kebiasaan merokok atau mengonsumsi alkohol, atau jarang menyikat gigi
sebelum tidur
*) Hal ini ditanyakan untuk membedakan apakah bengkak yang dialami pasien tersebut
berasal dari tumor yang terinfeksi, ataukah murni hanya infeksi akibat dentogen saja.
Gejala yang sering ditemukan pada infeksi maksilofasial antara lain :
-
malaise
demam
trismus
disfagia
nyeri tenggorokan
2. Pemeriksaan fisik
a. Status generalis lihat keadaan umum pasien, misalnya saat pasien datang apakah
disertai dengan sesak napas atau bahkan sianosis. Jika ada, maka harus dikoreksi
terlebih dahulu penyebab sesak napas tersebut.
b. Status lokalis, yang terdiri atas :
i. Intraoral meliputi oral hygiene dan status gigi pasien.
ii. Extraoral meliputi pemeriksaan inspeksi dari luar berkaitan dengan keluhan
pasien, contohnya jika pasien mengeluh sakit dan terdapat bengkak, maka kita
harus melaporkan dan mendeskripsikan adanya bengkak di sebelah kanan/kiri,
apakah ada kemerahan, batas-batasnya jelas atau tidak.
c. Palpasi pada daerah bengkak menggunakan dua jari kemudian ditekan dan
dirasakan apakah ada fluktuasi cairan atau tidak untuk melihat adanya abses.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium sistemik untuk menilai keadaan umum pasien
b. Pemeriksaan radiologi (thorax dan dental)
4. Penegakan diagnosis secara lengkap
3.2 Tatalaksana
Prinsip tatalaksana infeksi maksilofaksial adalah :
1. Meningkatkan daya tahan tubuh
Pasien yang mengalami rasa nyeri hebat segera diberi pain killer intravena
(untuk efek cepat). Dengan demikian, kondisi pasien yang tenang, tidak
mengalami anxietas dapat meningkatkan kinerja sistem pertahanan tubuh
pasien dalam melawan infeksi. Jika nyeri tidak terlalu hebat, dapat diberikan
pain killer standart seperti ketorolac 2x30 mg digerus atau suppositoria.
per oral dengan dosis 500mg tiap 6 jam sesudah dosis awal 1gram dengan
dosis maksimal 2 gram dibagi 4 kali sehari.
BAB IV
KESIMPULAN
Infeksi maksilofasial merupakan infeksi pada daerah wajah dan rahang yang paling
banyak berasal dari masalah gigi. Infeksi maksilofasial dapat bersifat spesifik dan nonspesifik. Penyebab paling banyak pada infeksi maksilofasial adalah bakteri, baik aerob
maupun anaerob, serta gram positif maupun gram negatif, sebab terdapat banyak dan
berbagai jenis bakteri di dalam mulut manusia. Lebih dari setengah kasus infeksi
odontogenik yang ditemukan (sekitar 60 %) disebabkan oleh bakteri anaerob.
Infeksi ini berasal dari plak, sebuah biofilm yang terbentuk dari sisa-sisa makanan
yang tertinggal. Jika plak ini tetap dibiarkan maka akan timbul kalkulus pada gigi, dan
lama kelamaan akan menjadi karies atau lubang. Lapisan gigi yang pertama adalah email,
lalu dentin dan kemudian pulpa. Karies pada tahap awal hanya mengiritasi dentin dan
menimbulkan nyeri hilang timbul apabila terkena iritan, selanjutnya akan berkembang
menjadi karies pulpa dan nyeri berkembang menjadi nyeri berdenyut yang terus menerus
tanpa harus adanya iritan. Jika infeksi terus dibiarkan, maka akan terjadi pulpitis, dan lama
kelamaan pulpa akan menjadi nekrosis akibat vasodilatasi hebat dari pembuluh darah yang
menekan pulpa. Selanjutnya pulpa akan mengalami nekrosis dan terbentuk gas gangrene
yang terperangkap dalam gigi, jika tidak di irigasi pus dan gas yang terbentuk akan
mencari jalan lain untuk keluar sebab tekanan yang sudah terlalu tinggi dalam gigi
sehingga terbentuk abses pada ruang-ruang potensial pada maksilofasial.
Abses-abses yang dapat terjadi berdasarkan ruang-ruang potensial pada
maksilofasial tersebut antara lain abses periapikal, abses dentoalveolar, abses sublingual,
abses
submandibular,
abses
submasseteric,
abses
parapharyngeal,
dan
abses
retropharyngeal. Jika abses tersebut terus berkembang dan tidak ditangani dengan baik,
maka dapat menyebar hingga ke ruang mediastinum dan menyebabkan mediastinitis yang
bersifat fatal.
Prinsip tatalaksana infeksi maksilofasial adalah meningkatkan daya tahan tubuh
pasien dengan cara pemberian cairan secara parenteral (RL, D5, aminofluid) dan
pemberian pain killer untuk mengurangi rasa sakit pasien, serta menurunkan virulensi
patogen dengan melakukan drainase pus dengan cara diinsisi serta memberikan antibiotik
broad spectrum dosis tinggi (penicillin 1,5juta unit IM) dan melakukan ekstraksi gigi yang
menjadi sumber infeksi.