Anda di halaman 1dari 13

INFEKSI INTRAABDOMEN

DAN PENANGANANNYA
Referat Bedah Digestif
Pembimbing:
Oleh: dr. lili k. djoewaeny

Pendahuluan
Infeksi intra abdomen masih menjadi salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas yang
penting, didefinisikan sebagai respon inflamasi peritoneum terhadap berbagai rangsangan benda
asing, baik mikroorganisme patogen ataupun produknya namun dapat pula suatu yang tidak bersifat
patogen, respon inflamasi ini akhirnya akan mengaktifkan suatu mekanisme pertahanan tubuh untuk
melindungi diri terhadap benda asing tersebut. Mekanisme ini melibatkan sel sel peradangan dan
mesotel yang merupakan bagian terpenting dari peritoneum.
Sel sel peradangan selain memberikan respon lokal terhadap benda asing di mesotel, juga
memberikan respon sistemik akibat pelepasan berbagai mediator sehingga timbullah berbagai
manifestasi gejala klinik. Tidak semua respon tersebut bermanfaat bagi tubuh manusia, beberapa
respon akan memberikan efek efek yang tidak diinginkan.
Di dalam penanganannya, diperlukan suatu intervensi bedah terhadap beberapa kasus,
terutama untuk membantu tubuh dalam melokalisir dan mengevakuasi sumber infeksi, banyak
metode dan cara yang dilakukan untuk itu, selain itu juga perlu dipergunakannya obat obatan dan
perawatan supportif dalam menangani pasien pasien infeksi intra abdomen.
Dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai struktur normal dari peritoneum, respon lokal
dan respon sistemis peritoneum terhadap suatu inflamasi, dan penangannya terutama dalam bidang
bedah.
Definisi
Infeksi intra abdomen adalah respon inflamasi pada peritoneum terhadap mikroorganisme
dan toksinnya yang menghasilkan eksudat purulen pada rongga peritoneum.
Infeksi pada rongga peritoneum berbentuk difus disebut peritonitis atau lokal yaitu berupa abses
intraperitoneal.
Oleh karena itu infeksi intra abdominal diklasifikasikan lebih lanjut sebagai berikut :
Peritonitis primer adalah inflamasi difus yang disebabkan oleh bakteri dan tanpa disertai
adanya gangguan integritas organ dan saluran pencernaan. Pada keadaan ini sangat jarang
ditemukan infeksi polimikrobakterial. Infeksi dapat terjadi sebagai penyebaran hematogen
atau limfogen dari organ ekstraperitoneal.

Peritonitis sekunder adalah infeksi akut pada peritoneum yang difus dan disebabkan oleh
perforasi atau kebocoran suatu anastomosis intestinal atau pankreatitis nekrotikans yang
terinfeksi. Tidak termasuk kedalam golongan ini adalah perforasi ulkus peptikum kurang
dari 12 jam, dan perforasi pada usus halus akibat trauma yang kurang dari 24 jam,
apendisitis non perforasi, cholecystitis akuta dan neksosis usus simple.
Peritonitis tersier adalah peritonitis yang terjadi setelah dilakukan tindakan pembedahan
dan terapi antibiotika pada peritonitis sekunder, kemudian terjadi infeksi yang berlanjut atau
terjadi super infeksi, atau gangguan sistem imunitas pada pasien sehingga tidak dapat
menahan infeksi dan peritonitis menjadi persisten, serta berakhir dengan kematian.
Abses intraperitoneal/intraabdominal adalah infeksi yang terbatas (terlokalisir)pada rongga
peritoneum.1,2,3,4

Struktur Peritonium
Luas total permukaan peritoneum seorang manusia kira-kira 1.8 1.9m2. 1,2 Luas
keseluruhan peritoneum rata-rata sama dengan luas permukaan kulit seseorang. 2 Lapisan
peritoneum ini secara keseluruhan memiliki ketebalan rata-rata 3 mm.2 Peritonium merupakan
kantung yang tertutup.1,2
Peritonium diliputi oleh selapis sel mesotelial, diluar dari lapisan ini terdapat lapisan
penunjang (connective tissue) yang sangat kaya sekali dengan struktur vaskularisasi. Pada masing
masing sel mesotel terdapat sejumlah microfili yang berukuran antara 1.5 3.0 mikron meter.
Berdasarkan pengamatan dengan mikroskop electron, ternyata terdapat perbedaan densitas mikrofili
pada sel-sel mesotel, namun belum dapat dijelaskan mengapa hal tersebut terjadi. Dengan
terdapatnya mikrofili maka permukaan sel mesotel menjadi bertambah luas sekitar 2-3 kalinya. 1
Sel sel mesotel tersebut berhubungan satu dengan yang lain dan diantaranya terdapat
intercellular gaps. Ukuran gap ini bervariasi namun yang paling besar kira-kira 500 angstroms.1,3
Bila peritoneum mengalami gangguan dalam metabolisme maka akan terjadi perubahan difusi
cairan melalui lapisan ini. Terutama ukuran dari gap akan membesar bila terjadi peradangan dari
peritoneum.1
Sel sel mesotel terdiri dari 2 macam sel, yaitu: sel kuboid (cuboidal) dan sel epitel
(flattened cells). 1,2,3 Berdasarkan pengamatan mikroskopis ternyata gap hanya terdapat pada
kumpulan sel sel kuboid.1 Di bawah lapisan mesotel terdapat lapisan membranan basalis yang
terdiri dari lapisan kolagen yang bersifat permiabel terutama untuk molekul-molekul yang
berukuran rata-rata kurang dari 30 kD. Pada lapisan bawah dari membrana basalis terdapat
connective tissue yang terdiri dari membrana elstica, fibroblast, dan diantaranya terdapat sel sel
lemak, sel sel endotelial, mast cells, sel sel radang polimorfo nuclear, makrofag dan limfosit. Selain
itu juga terdapat ramifikasi dan cabang-cabang mikro kapiler dan jaringan pembuluh limfatik.1,2
Fisiologi dari peritoneum
Fungsi utama dari membran peritoneum adalah untuk mempertahankan keseimbangan
cairan peritoneum. Dari keseluruhan luas peritoneum, hanya kira kira sampai 2/3 permukaan
peritoneum yang merupakan membran semipermeabel, yaitu kira-kira 1 m2, membran ini dapat
secara pasif mengelurakan cairan, elektrolit dan beberapa jenis makromolekul. 1,2,3 Dalam keadaan
normal, rongga peritoneum terdapat cairan peritoneum 50 100 ml. Merupakan cairan serous, yang

mirip dengan cairan plasma, memiliki kandungan protein kira-kira 3 g/dl dan terdapat pula sel sel
radang dalam jumlah kurang dari 3000 sel/mm3. 2.3
Cairan peritoneum ini mengalami pergerakan, sejumlah penelitian dengan memasukan
cairan kontras yang dapat larut dalam air ataupun penggunaan zat zat warna membuktikan hal
tersebut.
Cairan peritoneum ini diserap oleh sel-sel mesotel terutama pada bagian
subdiaphragmatik dan subphrenik. Cara penyerapan cairan tersebut dengan endocytosis. Dalam
proses penyerapan hanya molekul yang berukuran kurang dari 30 kD yang dapat dengan mudah
diserap, sedangkan yang berukuran lebih besar sulit dan bahkan tidak dapat diserap. Beberapa
faktor dapat mempengaruhi daya serap dari mesotel, misalnya faktor aliran lymph, dan adanya
proses peradangan pada peritoneum.1,3 Cairan ini sebagian besar diabsorbsi oleh sirkulasi limfatik
pada peritoneum di daerah diaphragma.2 Dalam keadaan tertentu misalnya terjadi peradangan pada
peritoneum maka jumlah cairan peritoneum yang berlebihan ini tidak dapat diserap secara cepat
oleh proses endocytosis, sehingga diperlukan mekanisme lain untuk mempercepat penyerapan
cairan yaitu dengan melalui stoma.2,3
Dalam penyerapan cairan peritoneum, saluran utama yang menghubungkan antara bagian
atas dan bawah peritoneum adalah right paracolica, kemudian cairan pada right upper quadrant
akan berjalan ke subphrenic space. Dengan adanya gravitasi, maka cairan peritoneum yang
diproduksi dapat juga masuk ke cavum pelvis, dan cairan ini juga dapat naik ke subphrenic space
dan subhepatic space dengan bantuan tekanan negatif dari diaphragma. 1,2,3,4
Dua kekuatan yang menyebakan pergerakan dari cairan peritoneum adalah: gravitasi dan
tekanan negatif diaphragma pada setiap kali siklus respirasi.1,2,3,4 Dalam keadaan relaksasi dari
diaphragma maka terjadi pembukaan stoma dan cairan mengalir dengan cepat ke dalam stoma, dan
pada saat inspirasi, kontraksi dari diaphragma, akan mengeluarkan isinya ke dalam saluran limfatik.
Tekanan negatif pada saat inspirasi, menyebabkan cairan bergerak dalam saluran limfe dan
akhirnya akan bermuara di ductus thoracicus. Suatu percobaan menunjukan dengan pemberian
bakteri pada rongga peritoneum, maka dalam waktu 6 menit bakteri tersebut telah ada dalam ductus
thoracicus dan dalam waktu 12 menit bakteri tersebut sudah berada dalam darah.2,3,4
Terdapat berbagai hal yang mempengaruhi kemampuan diaphragmatic clearance, pada
binatang percobaan dengan terbentuknya bekuan trombosit, atau benda asing yang berukuran besar
yang dapat menyumbat stoma (talk). Beberapa peneliti juga mengajukan bahwa posis tubuh
penderita juga mempengaruhi mekanisme ini, namun hal ini masih diperdebatkan. 1,3 Hal yang
paling berpengaruh adalah kemampuan dan pergerakan dari diaphragma. Contohnya pada
penggunaan obat obatan muscle relaxant yang melumpuhkan otot diaphragma, penggunaan
ventilasi mekanik. 1,2,4
Kemampuan dari diaphragmatic clearance merupakan local defense mechanism. 2
Kemampuan lain yang dimiliki oleh peritoneum adalah adanya sel sel makrofag setempat.
Kemampuan clearance oleh makrofag ini ternyata cukup memegang peranan dalam proses local
defense mechanism, pada binatang percobaan yang diberi bakteri pada rongga peritoneumnya;
ternyata setengah dari jumlah bakteri tersebut di fagosit oleh sel sel makrofag setempat.2,4
Respon lokal tersebut merupakan respon yang pertama (first line) bila didapatkan adanya
bakteri ataupun benda asing yang merangsang terjadinya proses inflamasi pada peritoneum, namun
bila mekanisme pertama ini dirasakan tidak cukup maka tubuh akan segera memberikan respon lain
untuk mengantisipasinya.

Respon Lokal dari Infeksi Peritoneum1,2,7,8


Tujuan dari respon ini adalah untuk mengeliminasi mikroorganisme dari rongga peritoneum.
Respon lokal peritoneum mirip dengan respon lokal dari seluruh organ tubuh manusia. Respon ini
ditandai dengan timbulnya hiperemia, keluarnya cairan dan disertai dengan keluarnya sel sel fagosit
dan terjadi deposit dari fibrin.
Respon lokal biasanya timbul akibat adanya perangsangan mesotel oleh protein asing atau
terjadinya kerusakan pada sel sel endotel vaskular. Protein asing yang paling sering menyebabkan
timbulnya perangsangan endotel adalah endotoxin yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif.
Protein lain juga dapat menimbulkan perangsangan pada peritoneum, misalnya pada Bacteroides sp
dan jamur yang tidak menghasilkan endotoxin, dapat merangsang mesotel. Sel sel radang yang
keluar dari sistim vaskuler akan menghasilkan TNF dan IL-1 atau mediator peradangan lain yang
akan mengakibatkan timbulnya gejala gejala klinis seperti deman, hipotensi, leukositosis, agregasi
platelet dan kadang kadang disertai shock. Respon yang timbul ini tidak spesifik untuk suatu
penyebab.
Respon awal yang dapat diditeksi terutama adalah terjadinya peningkatan aliran darah pada
daerah peritoneum dan terjadi ekstravasasi cairan. Mediator radang yang pertama kali dapat
diditeksi adalah histamin. Histamin diproduksi oleh sel mast dan sel basofil. Timbulnya histamin
terutama pada saat terjadi cedera pada sel mesotel, aktifasi complemen c3a dan c5a, kompleks
antigen-antibodi. Adanya mediator peradangan (histamin) menyebabkan timbulnya vasodilatasi,
dan penginkatan permeabilitas dari pembuluh darah pada peritoneum, kemudian akan memproduksi
sibstansi vasoaktif lainnya seperti golongan PGE2alfa dan LTC4 yang distimulasi oleh histamin dan
ikut serta dalam proses peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Dalam keadaan seperti ini
peritoneum terjadi unidirek influks dari cairan, sehingga timbul penimbunan cairan didalam rongga
peritoneum. Pada saat awal terjadinya ekstravasasi cairan ke rongga peritoneum, cairan yang keluar
pertama kali adalah transudat, yang memiliki kandungan protein yang rendah. Kemudian terjadi
peningkatan kadar protein cairan terebut dan timbulah exudat yang memiliki berbagai macam
imunoglobulin, komplemen, factor koagulasi dan protein lainnya.
Respon lokal lainnya adalah peningkatan proses fagositosis oleh bakteri. Dengan bantuan
dari komplemen membentuk MAC (membrane attack complex) pada permukaan sel bakteri dapat
dengan mudah difagositosis oleh sel makrofag. Timbulnya mediator lain dari proses sebelumnya
menyebabkan teraktivasinya sel makrofag dan juga neutrofil, meningkatkan aktifitas metaboliseme
leukosit, khemotaksis dan opsonisasi bakteri. Mediator yang dikeluarkan oleh sel sel radang
sebelumnya juga mempunyai aktifitas khemoatraktan, misalnya c3a, c567, kalikrein, IL-1, IL-8 dan
PAF. Selain teraktifasinya sel sel radang, juga akan teraktifasinya sistim pembekuan darah. Akibat
adanya mediator mediator tersebut, hal ini dapat dilihat pada shock septic terjadinya
trombositopenia dan timbulnya plaque.
Timbulnya deposit dari fibrin pada mesotel dan rongga peritoneum akibat adanya hilangnya
kemampuan tissue plasminogen activator (t-PA) yang penyebabnya belum jelas diketahui, namun
beberapa peneliti menduga adanya peranan mediator. Hilangnya t-PA ini menyebabkan fibrinogen
yang keluar akan membentuk deposit fibrin melalui jalur intrinsic. Selain itu juga mesotel yang
cedera akan mengeluarkan tromboplastin (factor III) yang akan mengaktifkan proses prokoagulan
pada mesotel. Terbentuknya fibrin ini mempunyai peranan penting dalam mengisolasi dan
mencegah penyebaran dari bakteri, karena bakteri akan terperangkap dalam anyaman fibrin.
Apabila proses pembentukan fibrin ini berlangsung terus menerus maka akan menyebabkan

timbulnya adhesions of fibrinous yang akan mengadhesi loop-loop usus dan omentum sehingga
timbul barier yang semakin kuat lagi.
Akibat timbulnya adhesion of fibrinous yang memerangkap bakteri, dan sel sel radang
tersebut, maka akan menyebabkan keluarnya enzim proteolisis yang dikeluarkan oleh sel sel radang
sehingga akan melarutkan protein protein yang terperangkap tersebut. Terjadilah proses proteolisis
dan dilanjutkan dengan liquefaction. Dinding fibrin ini menyebabkan terjadinya perlambatan difusi
oksigen dan nutrisi sehingga akan timbul proses anaerobik glycolisis. Suasana yang
hipoksia,hipercarbia dan pH yang turun akan menyebabkan gangguan dari aktifitas sel sel radang.
Akibatnya akan terjadi peningkatan konstrasi produk produk bakteri seperti komponen dinding
bakteri, dan enzim enzim bakteri. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya suatu abses pada
infeksi peritoneum.
Hal hal yang mempengaruhi reaksi inflamasi dari peritoneum adalah:
1. Jumlah bakteri, faktor penting yang membedakan ringan atau beratnya peritonitis adalah jumlah
bakteri pada traktus gastrointestinalis pada saat perforasi terjadi. Sebagai akibat hal tersebut di
atas, maka perforasi pada gaster akibat ulkus peptikum tidak segera terkontaminasi oleh bakteri
karena kondisi hiperasiditas yang menyebabkan rendahnya koloni bakteri. Sedangkan peforasi
pada appendiks, konsentrasi bakteri intralumen appendiks adalah 106 sampai dengan 10 7 per
gram isi appendiks. Pada kolon rektosigmoid bahkan lebih tinggi lagi yaitu terdapat kontaminasi
dengan konsentrasi lebih dari 1010.
2. Virulensi bakteri. Kemampuan virulensi bakteri dalam menimbulkan penyakit pada manusia
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa bakteri memang memiliki kemampuan untuk
menimbulkan penyakit pada manusia, sedangkan yang lainnya tidak. Contohnya
Propionibacteria jarang sekali menimbulkan penyakit pada manusia meskipun terdapat pada
peritoneum. Pada percobaan binatang, infeksi polimikroba di peritoneum, ternyata hanya E.coli
dan Enterococcus saja yang predominan menimbulkan peritonitis sedangkan Fragilis yang
dominan menimbulkan abses. Menurut penelitian terakhir beberapa faktor dari mikroorganisme
yang mempengaruhi virulensi adalah: komponen polisakarida kapsul, kemampuan melekat pada
mesotel dan yang terpenting adalah infeksi sinergistik dari bakteri.
3. Adanya obstruksi, dapat menyebabkan meningkatnya potensi kontaminasi bakteri. Apabila
terjadi strangulasi dan kemudian perforasi, maka cairan usus pada bagian proksimal dari
obstruksi akan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan jika tidak ada obstruksi.
4. Hemoglobin, diketahui sebagai factor ajuvan dalam proliferasi bakteri. Pemecahan hemoglobin
di dalam cavum peritonei akan menyebabkan sumber protein yang segera tersedia untuk
aktivitas metabolisme bakteri dan mungkin lebih penting lagi adalah sebagai sumber Fe (Besi).
5. Faktor sistemik, penyakit penyerta seperti Diabetes mellitus atau malnutrisi kalori-protein,
alkoholisme, dan kortikosteroid dapat meningkatkan kepekaan terhadap infeksi dan mengurangi
respon pertahanan tubuh.
6. Benda asing, debris seluler dan sisa makanan yang belum terdigesti akibat perforasi kolon akan
mempunyai efek penting sebagai benda asing. Benda asing dan jaringan mati akan menjadi
tempat berproliferasinya mikroba yang akan sulit dicapai oleh mekanisme fagositosis sel imun.
7. Respon inflamasi, merupakan mekanisme utama untuk eradikasi mikroba yang terdapat pada
cavum peritonei. Proliferasi mikroba akan menyebabkan degranulasi sel Mast, aktivasi kaskade
koagulasi, aktivasi trombosit lokal , kaskade komplemen dan sistem bradikinin. Aktivasi seluruh
sinyal inflamsi tersebut akan menyebabkan produksi faktor-faktor kemotaksis yang selanjutnya

akan menarik neutrofil dan makrofag ke dalam lokasi inflamasi yang ditimbulkan oleh
kontaminasi dan proliferasi bakteri.
8. Faktor faktor penyerta
Respon Sistemik dari infeksi Peritoneum1,2,4,7,8
Respon sistemik dari infeksi peritoneum timbul akibat adanya mediator mediator
peradangan yang terbawa ke dalam aliran darah sistemik. Metabolik rate biasanya meningkat oleh
karena kebutuhan oksigen yang meningkat, bersamaan dengan itu kapasitas paru dan jantung untuk
suplai oksigen menurun, sehingga menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob. Oleh karena
terjadi hipoperfusi dari ginjal, maka clearance asam akan terhambat sehingga terjadi asidosis
metebolik. Penurunan cairan extraseluler akan menyebabkan terjadinya penurunan venous return
dan cardiac output. Keadaan asidosis akan menyebabkan melemahnya kontraktilitas jantung dan
menambah menurunnya cardic output. Distensi abdomen oleh karena adanya edema peritoneal,
ileus paralitik dan adanya rasa nyeri akan menghambat gerakan pernafasan. Frekuensi pernafasan
akan meningkat oleh karena adanya hipoksia dan metabolic asidosis dan pada akhirnya akan terjadi
alkalosis respiratorik.
Hipovolemia, penurunan cardiac output akan menyebabkan penurunan renal blood flow dan
GFR sehingga terjadi peningkatan sekresi ADH dan aldosteron. Reabsorpsi garam dan air
meningkat dan sekresi kalium akan meningkat. Terjadi perangsangan kelenjar medulla adrenal
dengan dihasilkannya epinefrin dan norepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi dan takikardi.
Efek utama yang biasanya didapat adalah hipovolemia, merupakan respon sentral dan sistemik
terhadap adanya eksudasi cairan yang berlebihan pada peritoneum. Terjadi penurunan venus return
dan cardiac output. Sehingga memberikan respon penginkatan denyut jantung. Selain itu hipotensi
juga dapat disebabkan oleh adanya mediator peradangan TNF, IL-1, PAF, NO, yang memiliki efek
vasodilatasi. Terdapat pula shunting di sirkulasi pulmonari dan sirkulasi splanknik yang
menyebabkan penurunan DO2. Aliran darah ke ginjal akan menurun dan menyebabkan GFR
menurun sehingga merangsang aldosteron dan ADH di dalam sirkulasi sistemik. Keadaan ini
dinamakan : hiperdinamik atau warm septic shock. Ditandai dengan adanya tahycardia, fever,
oligouria, hipotensi dan ekstremitas yang hangat.
Diagnosis Infeksi Intraabdominal
Seperti penyakit penyakit lainnya, infeksi intraabdominal dapat di diagnosis mulai dari
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesa sebaiknya ditanyakan apakah terasa nyeri, panas badan, lokalisasi nyeri, dan
karakteristik nyeri yang dirasakan, adakah anorexia, muntah atau tidak bisa buang air besar.
Tanyakan pula riwayat penyakit terdahulu, riwayat operasi.
Adanya peregangan dari peritonium visceral dapat menimbulkan rasa mual, dan rasa nyeri
yang tidak jelas. Rasa nyeri biasanya berhubungan dengan dermatom organ yang bersangkutan.
Misalnya nyeri pada gallblader dirasakan pada dermatom kulit upper thoracic dermatom, walaupun
peragangan pada peritoneum viscerale akan mengakibatkan nyeri di epigastrik dan nyeri pada
punggung kanan. Perangsangan peritoneum viscerale sering berhubungan dengan adanya distensi
dari organ hollow viscus, yang terasa dull, dan tidak dapat ditentukan lokasinya dengan jelas,
seringkali dirasakan pada periumbilikal. Sedangkan struktur visceralnya sendiri tidak dapat
merasakan nyeri. Paling sensitif terutama dalam merasakan peregangan kemudian, tekanan dan

kurang sensitif terhadap suhu. Organ GIT yang paling sensitif dalam merasakan nyeri adalah daerah
traktus biliaris. Misalnya terdapat biliary colic yang disebabkan oleh adanya pergangan kandung
empedu yang dihantarkan oleh serabut aferent visceral.
Pemeriksaan fisik, yang utama dalam status generalis adalah mengamati gangguan pada
hemodinamik dan pernapasan. Hipotensi yang terjadi pada pasien peritonitis terutama disebabkan
oleh adanya kehilangan cairan akibat intake kurang, peningkatan penguapan melalui paru paru
akibat tachypneu, dan adanya sequestrasi cairan keluar ke rongga peritoneum. Namun hipotensi
juga merupakan gejala dari shock septik. Hal lain yang sebaiknya diamati adalah tachypneu, adanya
gangguan agitasi pada pasien, dan tanda tanda dehidrasi. Sclera dan conjungtiva dapat menunjukan
ikterik dan pucat. Pada pemeriksaan thorak perlu dipikirkan adanya pneumonia, terutama pada
lobis bawah paru. Kemudian jantung, untuk mengetahui adanya congestive heart failure.
Pada abdomen, saat inspeksi dapat terlihat distensi atau adanya scar bekas operasi,
kemudian pasien diminta untuk menunjukan tempat yang paling terasa nyeri di abdomen, dilakukan
auskultasi pada daerah kontra lateral diagonal dari titik yang ditunjuk oleh pasien. Dapat terdengar
suara usus yang menghilang, normal atau hiper aktif. Adanya suara usus yang hiperaktif
menunjukan adanya obstruktif. Pada perkusi dapat dijumpai adanya hipersonor yang menandakan
adanya akumulasi gas didalam usus. Pada palpasi didapatkan adanya nyeri tekan dan akan timbul
refleks muscular regarding. Palpasi dilakukan pada daerah yang paling minimal nyerinya,
kemudian dilanjutkan ke dareah yang paling terasa nyeri. RT dan VT dilakukan untuk menentukan
letak nyeri dan massa pada cavum dauglas bila terdapat.
Hasil pemeriksaan laboratorium: biasanya menunjukan leukositosis, namun dapat pula
leukopenia yang biasanya terjadi pada shock spetic dan meningkatkan angka mortalitas. Gambaran
sedian apus darah tepi biasanya menunjukan shift to the left dan menunjukan gambaran limfopenia.
Foto abdomen datar dapat dijumpai adanya gambaran free air, gambaran paralitik ileus, yang
tampak sebagai penebalan dari dinding usus, hilangnya peritoneal fat dan retroperitoneal psoas.
Penanganan Infeksi Intra Abdominal1,2,3,4
Pengelolaan infeksi intraabdominal terdiri dari tindakan operatif dan non operatif. Tindakan
operasi bertujuan untuk mengontrol sumber primer kontaminasi bakteri sedangkan non operatif
terdiri dari terapi suportif, pemberian antibiotika dan surveillance terhadap infeksi residual.

PERITONITIS
PERSIAPAN PREOPERATIF
Pengelolan pertama kali dari kasus-kasus peritonitis akibat perforasi dari traktus
gastrointestinal adalah perawatan invensif perioperatif sebelum pasien dilakukan tindakan
intervensi terhadap sumber infeksinya/operasi. Berdasarkan patofisiologi dari respon lokal atau
respon sitemik terhadap peritonitis, maka pasien yang dalam keadaan umum yang kurang baik
akibat adanya keterlambatan penanganan peritonitis, maka pasien tersebut sebaiknya dilakukan
persiapan terlebih dahulu. Dilakukan persiapan operasi yang meliputi sebagai berikut :
 pemberian resusitasi cairan
 oksigenisasi dan bantuan ventilasi
 pemberian antibiotika
 pemantauan hemodinamik dan pemantauan biokimia pasien

 dekompresi dengan pemberian nasogastric tube


 pengendalian suhu tubuh
PENGELOLAAN OPERATIF
Pada infeksi peritoneum yang difus, diperlukan tindakan untuk mengkontrol sumber infeksi,
caranya adalah dengan tindakan bedah. Setelah sumber infeksi dapat dikendalikan, maka peritonitis
biasanya menjadi responsif terhadap pemberian antibiotika dan terapi supportif.
Pengelolaan bedah didasarkan pada 3 prinsip utama yaitu, eliminasi sumber infeksi, reduksi
jumlah bakteri kontaminan di dalam rongga peritoneum, dan mencegah terjadinya infeksi yang
persisten dan rekuren.
Managemen operatif biasanya dilakukan untuk mengevakuasi semua kumpulan cairan
purulen di rongga abdomen (subphrenic, subhepatic, interloop dan pelvis), dan sebaiknya usus yang
mengalami perforasi dilakukan reseksi, dan tidak dianjurkan untuk mengadakan anastomosis
langsung terutama pada purulent peritonotis.
Hal lain yang biasanya dilakukan pada management operatif dari peritonitis adalah teknik
penutupan sementara, dengan mesh, zipper, atau polutetrafluorethylene. Sejak operasi laparatomi
yang pertama, telah direncanakan untuk melakukan relaparatomi, biasanya dalam interval 24 jam.
Tindakan dilakukan oleh karena kesulitan di dalam penutupan rongga abdomen sehingga dapat
menimbulkan Abdominal compartement syndrome yang dapat membahayakan fungsi ventilasi
kardiovaskuler, maupun ginjal. Kerugian teknik ini adalah hernia incisionalis, adanya fistula
enterokutaneus, pneumonia akibat pemakaian vantilator berkepanjangan, peningkatan infeksi
nosokomial, dan memperpanjang waktu perawatan.
Indikasi teknik ini adalah:
1. Prediksi mortalitas > 30%
2. Kondisi pasien tidak memungkinkan penutupan definitive
3. Sumber infeksi tidak dapat dieliminasi atau dikontrol
4. Debridement incomplete
5. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol dan dipasang packing
6. Edema peritoneum eksesif
7. Iskemia usus yang vitalitasnya belum dapat dipastikan
Pencucian rongga peritoneum, banyak cara dilakukan untuk membersihkan rongga
abdomen, teknik pencucian biasanya dilakukan dengan debridement, suctioning, lavase, dan irigasi.
Biasanya dilakukan penghapusan pus dengan kassa dan dilakukan penghisapan (suction) kemudian
dilanjutkan dengan irigasi lokal.
Hal lain yang bisa pula dilakukan adalah: Debridemen radikal, teknik ini menghapuskan seluruh
jaringan nekrotik, pus dan fibrin sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang signifikan. Irrigasi
kontinyu peroperatif, dilakukan pemasangan drain sebanyak 4-6 buah intraperitoneal dengan siklus
aliran cairan melalui infus berulang, baik dari luar maupun dalam rongga peritoneum.
Peritonitis akibat perforasi gaster dan duodenum, biasanya gejala peritonitis timbul dengan
sangat cepat, bahkan dapat timbul segera sesudah terjadinya perforasi. Hal ini terjadi karena
rangsangan asam lambung (chemical). Keluhannya terutama adalah rasa nyeri pada bagian uluhati
dan perut kiri atas. Sebaiknya dilakukan operasi sebelum timbul pertumbuhan bakteri, pada saat
operasi yang dilakukan adalah penutupan perforasi ataupun dilakukan parietal cell vagotomy.

Infeksi pada usus halus menyebabkan terjadinya gangguan vaskuler dinding usus yang dapat
menyebabkan terjadinya perforasi. Selain perforasi, penderita dapat juga terjadi ileus, dimana akan
timbul tanda tanda bowel obstruction dan disertai tanda tanda peritonitis. Kematian akibat kasus ini
mencapai 50% apabila tidak segera ditangani.
Sekitar 20% peritonitis berasal dari perforasi colon, biasanya akibat colitis. Hal lain biasanya akibat
hernia incarserata, intususepsi dan volvulus. Tindakan operasi yang dilakukan biasanya menutup
luka perforasi dan mengontrol sumber infeksi.
Terjadinya ruptur abses perinephric dan ruptur sistitis kronis juga dapat menyebabkan terjadinya
peritonitis. Ataupun infeksi STD pada wanita wanita produktif. Hal ini dapat dengan mudah
diketahui melalui pewarnaan gram pada apusan lendir servix wanita tersebut. Peritonitis juga dapat
terjadi akibat adanya kebocoran anastomosis post operatif, beberapa peneliti mengatakan peritonitis
timbul pada 5-7 hari pasca operasi namun ada pula yang mengatakan 1-3 hari pasca operasi.
Macam macam peritonitis:

Peritonitis primer biasanya sering dijumpai hanya satu macam infeksi (monomikroba), pada
dewasa mikroorganisme yang paling sering dijumpai adalah E.coli. namun dapat pula dijumpai
gram positif coccus pada 10-20% kasus dan 6-10% anaerob. Sedangkan pada anak mikroorganisme
yang sering dijumpai adalah: Streptococcus, Pneumococcus.
Peritonitis primer timbul akibat infeksi yang kumannya berasal dari ekstraperitoneum. Biasanya
disertai faktor predisposisi misalnya SLE dan NS.
Kuman tersebut masuk ke peritoneum melalui hematogen. Gejala klinik yang timbul
biasanya tidak spesifik, dan tidak khas. Pada pemeriksaan tambahan jarang dijumpai adanya free air
dan gambarannya tidak spesifik. Untuk membantu menegakan diagnsosis dilakukan parasintesis.
Cairan peritoneum di lakukan pengukuran hitung jenis sel, pemeriksaan pH dan pewarnaan gram
serta kultur. Penatalaksanaannya biasanya tidak memerlukan pengobatan operatif, cukup dengan
antibiotika.
Peritonitis primer yang khas yaitu pada penderita CAPD dan tuberculous peritonitis, pada
penderita CAPD, kuman masuk biasanya melalui tube yang dipasang untuk melakukan peritoneal
dialise, terjadi rata-rata sekitar 1,3% pasien. Mikroorganisme penyebabnya: Staph. Aureus dan
epidermitis, dapat pula gram negatif, jamur dan tubercle baccilli. 3% diantaranya adalah
Pseudomonas auriginosa. Diagnosis ditegakan terutama bila:
1. kultur cairan peritoneum ditemukan mikroorganisme
2. cairan peritoneum keruh
3. timbul tanda tanda peritonitis
Terapi yang diberikan: pertama kali berikan antibiotik disertai heparin, disertai mempercepat proses
dialisis.
Peritonitis tuberculosis sekarang mulai banyak lagi ditemukan terutama dinegara yang
terjangkiti HIV. Biasanya akibat penyebaran hematogen dari infeksi primer diparu paru, atau
tertelan ke usus, atau salfingitis tuberculosis. Gambaran klinis biasanya ada gejala gejala
katabolisme dan disertai rasa nyeri di abdomen. Diagnosis pasti dengan cara hitung jenis cairan
peritoneum, dan ditemukan tubercle bacilli pada sedian apusnya. Atau dengan cara peritoneoscopy
diikuti dengan biopsi pada peritoneum. Terapi yang diberikan adalah OAT selama 1 tahun atau ada
juga yang menganjurkan 2 tahun post asimptomatik.
Pada peritonitis sekunder akibat tiphoid perforasi, biasanya terjadi pada minggu ke 3 setelah
infeksi Salmonella typhii. Perforasi terjadi karena penetrasi kuman tifoid ke dalam patch payeri
selanjutnaya akan menyebabkan timbulnya hipertropi dan menyebabkan perdarahan serta perforasi.
Tindakan operasi yang dilakukan menutup luka perforasi dan memberikan antibitoka, biasanya
cefotaxim dan metronidazol, beberapa peneliti mengatakan cotrimoxsazole masih cukup efektif.
Pada peritonitis sekunder akibat perforasi amuba, kuman penyebabnya adalah Entamuba
histolytica, prinsip penanganan operasinya sama hanya pemberian antibiotikanya biasanya
metronidazol dan golongan sefalosporin generasi III.
Peritonitis steril/aseptik, biasanya terjadi karena adanya material iritan yang masuk ke dalam
rongga peritoneum. Peritonitis terjadi karena material tersebut merupakan adjuvant untuk
pertumbuhan bakteri sekunder di rongga peritoneum. Diagnosis ditegakan dengan cara kultur dari
cairan peritoneum yang biasanya akan positif setelah lebih dari 24 jam. (awalnya dapat negatif)
Hal yang menarik lainnya adalah peritonitis periodik, biasanya timbul gejala-gejala peritonitis yang
hilang timbul, sering ditemukan pada orang orang Armenia dan Arab. Biasanya familial, pada

operasi sering ditemukan adanya inflmasi pada permukaan peritoneum dan terdapat cairan yang
berlebih namun tidak terdapat mikroba.
Indikasi dilakukannya relaparatomi pada peritonitis tersier
Perdarahan berlanjut, kebocoran anastomosis, uncontrolled spillage,
infeksi intraabdominal mengalami progresi dan elevasi tekanan intraabdominal yang bisa
menimbulkan abdominal compartement syndrome

ABSES
Sebelum melakukan tindakan bedah pada pasien pasien abses intraabdominal, sebaikya
dipikiran untuk melakukan drainase abses secara perkutan dengan bantuan bimbingan USG atau CT
scan. Untuk pasien dengan APACHE skor 15 sampai dengan 24 atau > 25, memberikan mortalitas
yang lebih rendah dibandingkan dengan bedah terbuka.
Indikasi drainase abses secara PAD:
abses unilokuler
lokasi abses dekat dengan dinding abdomen
telah dilakukan evaluasi yang cermat bersama ahli radiologi
dapat melakukan tindakan operasi untuk membackup apabila terjadi kesalahan atau
komplikasi
Indikasi drainase secara bedah terbuka:
kegagalan drainase perkutaneus
adanya abses pankreas atau karsinomatosa
adanya fistula enterokutaneus
adanya abses pada lesser sac
abses yang multilokuler
abses interloop usus
Abses subphrenik kiri, jarang terjadi, biasanya akibat adanya kebocoran dari organ intraabdomen,
post splenektomi. Memberikan gejala yang dikenal dengan Kehrs sign.
Abses oementum minus, sulit didiagnosis, dan memberikan gejala yang tidak khas, namun
mempunyai prognosa yang paling buruk bila terlambat penanganannya. Timbul akibat abses
pankreas atau pseudokista pankreas, bisa juga akibat perforasi gaster dan ulkus duodenum, atau
penyebaran kanker gaster.
Abses subphrenic kanan, biasanya akibat dari ruptur abses hepas dan kadang kadang perforasi
duodenum dan gaster. Tidak memberikan gejala atau minimal. Rasa nyeri biasanya pada punggung
kanan. Disertai gambaran efusi pleura kanan dan gambaran elevasi diaphragma. Dapat juga pada
kasus terjadi gambaran air fluid level.
Abses subhepatik kanan, daerah ini juga dikenal sebagai Morisons pouch. Biasanya terjadi abses
akibat adanya perforasi gaster, perforasi bile duct, dan kadang kadang akibat ruptur abses
subhepatik kanan.
Interloop abses, timbul abses yang multipel pada loop diantara usus, colon, dinding abdomen dan
omentum. Biasanya soliter namun pada 43% kasus dapat multipel.

Abses pelvis, timbul akibat ruptur colon, PID, ruptur appendix. Gejala yang timbul biasanya nyeri
abdomen bawah disertai adanya urgenci dan frekuensi, kadang kadang disertai diare. Dapat
diketahui dengan pemeriksaan RT dan VT dimana terdapat masa.
Abses retroperitoneal, jarang terjadi terutama akibat dari infeksi pankreas, atau adanya proses
infeksi pada saluran urinarius dan ginjal. Sering kali tidak terdiagnosa pada saat pemeriksaan fisik,
sehingga diperlukan CT untuk memastikannya.
Pemberian Antibiotika
Tujuan pemberian antibiotika untuk memperkuat eliminasi mikroorganisme patogen
sehingga mempersingkat manifestasi infeksi dan mengurangi resiko infeksi yang rekuren. Karena
pada infeksi intraabdominal luka pembedahan terkontaminasi berat oleh mikroba patogennya maka
pemberian antibiotika harus diberikan sebelum tindakan operasi dilakukan.
Pada pasien dengan abses, yang belum dilakukan drainase, maka pemberian antibiotika
hanya akan menurunkan febris dan manifestasi respon sistemik lainnya, dalam kurun waktu 24
sampai dengan 36 jam saja , sehingga drainage harus sesegera mungkin dilakukan. Antibiotika juga
harus diberikan setelah resusitasi cairan berlangsung agar supaya perfusi pada organ viscera dapat
diperbaiki sehinggaa ketersediaan antibiotika pada daerah tersebut akan lebih banyak.
Antibiotika harus segera diberikan pada saat diagnosis infeksi intraabdominal sudah mulai
dicurigai yaitu sebelum diagnosis pasti dan hasil kultur bakterianya diketahui yang biasanya baru
dipastikan sesudah pembedahan. Oleh karena itu seorang klinisi yang mengelolanya harus
mengetahui jenis bakteri yang mungkin menjadi penyebab infeksinya dan hal ini dapat diperkirakan
berdasarkan lokasi perforasi gastrointestinalnya. Dengan demikian therapi empirik yang menjadi
bagian strategi pengelolaannya yang penting harus meliputi antibiotika yang aktif terhadap bakteri
gram positif, negatif yang fakultatif dan obligat anaerob.
Sebaiknya sebelum pemberian antibiotika dilakukan pemeriksaan yang tepat
mikroorganisme penyebab, sehingga diperlukan kultur dari cairan peritoneum. Dilakukan aspirasi
dari pus dan cairan peritoneum. Pus merupakan media transport yang paling baik untuk
pertumbuhan bakteri. Untuk media transpor mikroorganisme anaerobik, biasanya dipakai Port a cult
dan disimpan ditempat khusus untuk mempertahankan kadar oksigennya.
Dari hasil pemeriksaan isolasi bakteri dalam cairan peritoneum ditemukan bahwa sebagian
besar infeksi peritoneum disebabkan oleh bakteri yang campuran, hal ini ditemukan dalam 2/3
kasus. Biasanya ditemukan 2-3 spesies bakteri aerobik dan 1-2 spesies bakteri anaerobik, kemudian
dilakukan pembiakan di medianya maka akan didapatkan 7-10 spesies bakteri aerobik dan 10-15
spesies bakteri anaerobik. 6
Namun untuk menunggu hasil pemeriksaan mikroorganisme dan kulturnya diperlukan
waktu, sehingga diperlukan terapi empirik untuk pasien dengan mengetahui kira-kira
mikroorganisme penyebabnya. Untuk itu diperlukan pemeriksaan secara periodik pada center-center
kesehatan mikroorganisme penyebab yang paling, sehingga dapat diberikan antibiotik empirik tanpa
harus menunggu hasil kultur. 1,6

DAFTAR PUSTAKA
1. Solomkin, J., Wittman, D. W. 1999. Intraabdominal Infection. Dalam Principles of surgery. Ed:
Schwartz. S. I. New York: McGraw Hill.
2. Hiyama T. D., Bennion R. S..1997. Peritonitis and Intraperitoneal Abcess. Dalam Maingots
abdominal operation. Ed. Schwartz, S.I. London: Prentice Hall International, Inc.
3. Schecter W. P. 2000. Peritoneum and Acute Abdomen. Dalam Surgery basic science and
clinical evidence. Ed. Norton, J. A.. New York: Springer.
4. Donald E. F. 1993.Surgical Infection. Dalam The physiologic basis of surgery. Ed OLeary. J.P.
Baltimore: Williams and Wilkins.
5. Baue AE. 2000. History of MOF and Definition of Organ Failure. Dalam: Multiple organ
failure pathophysiology, prevention and therapy. Ed: Baue AE, Faist E, Fry DE. New York:
Springer-Verlag.
6. Sawyer, D.M. 1992. Antimicrobal Therapy of Intra Abdominal Sepsis. Dalam: Surgical
infection Ed. Cunha. B.A. New York: Springer.
7. Sundaresan, R. 2001. Current Understanding and Treatment of Sepsis. http//:medscape.com
8. Warren, S. 1999. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis: A Review of Current
Information. Dalam Infectious Diseases Society of America - 37th Annual Meeting.
http//:medscape.com

Anda mungkin juga menyukai