Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS GENERAL ANESTESI

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANASTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
PERIODE 30 Juni 19 Juli 2014

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS PRA-ANESTESI

Nama : Made Widhia


Nim

Tanda tangan

: 11.2013.271

Dr. Pembimbing : dr. Nunung, Sp. An


dr. Ketut, Sp. An

I.

IDENTITAS
Nama

: Ny. PNS

Umur

: 63 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Alamat

: Jakarta barat

Tanggal Pemeriksaan

: 5 Juli 2014

Tanggal Masuk RS

: 8 Juli 2014

..

II.

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis

Keluhan Utama: Nyeri perut bagian kanan sejak 4 hari sebelum masuk rumah
sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien mengaku nyeri perut bagian kanan sejak 4 hari sebelum masuk rumah
sakit, pasien mengeluhkan perut bagian kanannya nyeri sekali, pasien
mengeluhkan nyeri yang dirasakan dapat hilang timbul, pasien mengaku
merasa mual dan ingin muntah. Nyerinya tidak menjalar dan sering hilang
timbul, pasien mengaku bahwa uluh hatinya sakit dan merasa perutnya
kembung.
Habit: Tidak ada kebiasaan yang khusus, riwayat mengkonsumsi obat-obatan
terlarang, merokok, minum alkohol disangkal pasien.

Riwayat Operasi Sebelumnya:


Tidak ada

III.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Berat Badan

: 63 kg

Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah

: 132/89 mmHg

Frekuensi nadi

: 70x/menit

Frekuensi nafas

: 18x/menit

Suhu

: 36,5 oC

Kepala

: Normocephali, wajah simetris, tidak ada benjolan, tidak ada


oedema pada wajah.

Mata

: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Hidung

: Tidak ada deviasi septum nasi.

Leher

: Tidak pendek, tidak teraba masa atau pembesaran, Mallampati 2,


leher bebas jarak tiromental > 6cm.
1

Thoraks

Inspeksi

: Bentuk dada normal, simetris pada keadaan statis dan dinamis,

tidak tampak pelebaran sela iga.

Palpasi

: Tidak teraba retraksi sela iga, pergerakan dinding dada simetris

pada saat keadaan statis dan dinamis, vokal fremitus kanan dan kiri simetris
dan tidak mengeras, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa pada dada.

Perkusi

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, whezing -/-, ronkhi -/-

: Sonor pada seluruh lapang paru.

Abdomen

Inspeksi

: Bentuk abdomen datar, tidak membuncit

Palpasi

: Murphy sign +, nyeri tekan kuadran kanan, Nyeri tekan uluh hati,

hati tidak teraba membesar.

Perkusi

Auskultasi : Bising usus (+) normal

: Timpani pada seluruh abdomen, shifting dullnes

Ekstremitas

Ekstremitas Atas
o Otot

: Normotonus, massa normal

o Sendi

: Tidak kaku

o Gerakan

: Aktif

o Kekuatan : +5/+5

Ekstremitas Bawah
o Otot

: Normotonus, massa normal

o Sendi

: Tidak kaku

o Gerakan

: Aktif

o Kekuatan : +5/+5

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal: 5 Juli 2014
RADIOLOGI
Xray : Ditemukan gambaran batu radioopak
PTC : Tampak gambaran batu radiolusen di duktus choledochus
Nama Test

Hasil

Flag

Unit

Nilai Rujukan

11,8

g/dL

11 16,5

34,4

35 45

HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit

4,44

Juta/uL

45

Lekosit

4,299

/mm3

4.000 10.000

Trombosit

137,000

/mm3

150.000 450.000

01

Hitung Jenis
Basofil

Eosinofil

12

Batang

26

Neutrofil

34

54 62

Limfosit

58

25 33

Monosit

37

LED

21

mm/jam

0 20

HEMOSTASIS
BT

menit

<5 menit

CT

11

menit

< 15 menit

13,2

detik

12 19

PT
INR

0,85

PT Control

14,4

detik

12,3 18,9

APTT

28,7

detik

27 43

APTT Control

28,3

detik

27 43

KIMIA KLINIK
Fungsi Liver
AST (SGOT)

22

U/L

<32

ALT (SGPT)

12

U/L

<33

Fungsi Ginjal

Ureum

15

mg/dL

15 50

Kreatinin

0,75

mg/dL

0,6 1,3

Natrium

147

mmol/L

135-147

Kalium

4,7

mmol/L

3,5-5,0

Klorid

110

mmol/L

94-111

81

mg/dL

70-100

Lain
GDS

V.

STATUS FISIK (ASA)


Kelas 2

: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

OS merupakan pasien lanjut usia


Advis pre- operatif: Puasa 8 jam pre-operasi

VI.

DIAGNOSIS KERJA
Batu CBD
Dasar Diagnosis Kerja:
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

VII.

RENCANA TINDAKAN BEDAH


Cholecystectomy + Eksplorasi

VIII. RENCANA TEKNIK ANASTESI


Pre operasi:
1. Anamnesis:

Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat-obatan dan makanan.

Pasien tidak pernah mendapat anestesi sebelumnya dan riwayat operasi (-)

Pasien mulai puasa 8 jam sebelum rencana operasi.

2. Pemeriksaan Fisik:

Airway paten, nafas spontan, ronki (-), wheezing (-)

Mallampati 2

Leher tidak pendek tidak kaku

Leher bebas, jarak tiromental > 6cm

Buka mulut > 3 jari

Gigi goyang (-), gigi palsu (-)

Berat Badan

: 63 kg

Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah

: 132/89 mmHg

Frekuensi nadi

: 70x/menit

Frekuensi nafas

: 18x/menit

Suhu

: 36,5 oC

3. Pemeriksaan Laboratorium

HB: 11,8/dL

HT: 34,4 %

E: 4,22 Juta/uL

L: 4.299/ mm3

T: 137.300/ mm3

BT: 2 menit

CT: 11 menit

Teknik Anestesi

: General Anesthesia

Teknik Intubasi

: Induksi IV, Ett nonkinking #7,5 , cuff (+), guedel (+)

Lama Anestesi

: 10.45 13.30

Lama Operasi

: 11.00 12.45

Obat-Obat/ Medikasi yang digunakan pada pasien ini:

Fentanyl 100 mcg

Propofol 130 mg

Noveron(rucoronium bromida) 40 mg

Fentanyl 100 mcg

Noveron(rucoronium bromida) 10 mg

Ondansetron 8mg

Noveron(rucoronium bromida) 10 mg

Tramadol 100 mg (Drip)

Pre Operasi
1. Alat disiapkan dan pasien dengan posisi supine, memastikan kondisi pasien stabil
dengan tanda-tanda vital dalam batas normal, memastikan cairan infus Ringer
Fudin berjalan lancar.
2. Diberikan premedikasi fentanyl 100 mcg secara intravena.
3. Mulai dilakukan induksi dengan propofol 120 mg secara intravena.
4. Sungkup muka dipasang dengan metode over face mask pemberian oksigen 100%
sebesar 2 liter/ menit dan anestesi inhalasi sevofluran dengan volume 2% selama
kurang lebih 3 menit.
5. Diberikan muscle relaxan 40 mg intravenous dan diberi bantuan nafas dengan
ventilasi mekanik
6. Memastikan pasien dalam kondisi tidak sadar dan stabil untuk dilakukan
pemasangan ETT dengan memanggil nama pasien dan melakukan refleks bulu
mata.

7. Dilakukan pemasangan Ett nonkinking #7,5, cuff (+), dilakukan pemasangan


guedel (+)
8. ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan ventilator.
9. Maintenance dengan inhalasi oksigen 2 liter/ menit dan sevofluran volume 2%,
dapat menggunakan N20 dan Air sebagai maintenance.
10. Setelah diyakini anestesi berhasil dan aman untuk dilakukan operasi, operasi
dimulai

Intra Operasi:
1. Tanda-tanda vital dimonitor termasuk tekanan darah, frekuensi pernapasan, nadi
dan saturasi oksigen selama operasi.
2. Fentanyl 100mcg diberikan secara intravena
3. Setelah 30 Menit dimasukkan lagi muscle relaxan 10 mg secara intravena
4. Obat ondansentron 1x8 mg dimasukkan melalui intravena dan tramadol 100 mg
dimasukkan drip infus.
5. Cairan yang masuk sepanjang operasi adalah Ringer Fundin sebanyak 1000 mL.
6. Pendarahan kurang lebih 200 mL
7. Setelah operasi selesai, dilakukan ekstubasi, pasien bernafas spontan dan ada
refleks-refleks jalan nafas atas dan dapat menuruti perintah sederhana, pasien
dibawa ke ruang PACU.

Post Operasi (pasca bedah di ruang pulih sadar) :


Keluhan pasien: pasien sadar penuh dengan Glasgow Coma Scale (GCS) :15
Pemeriksaan fisik:

Keadaan umum

: compos mentis, baik

Respirasi

: 2 (sanggup diminta bernafas dalam dan batuk)

Sirkulasi

: 2 (tekanan darah naik/ turun berkisar 20%)

Warna kulit

: 2 (merah muda, cappilari refill < 3 detik)

Aktivitas

: 2 (4 anggota tubuh bergerak aktif/ diperintah)


7

Pasien merasa pusing, mual dan terasa nyeri


Tekanan darah 143,77 mmHg, N:70x/menit, CRT <3 dtk, AS: 8, Vas : 4
Terpasang Cateter no 16, BAK spontan (+), urin warna kuning jernih

Terapi pasca bedah:

Infus Ringer fundin 30 tetes/menit dalam 24 jam

Analgetik : Fentanyl 500 mcg/24 jam dengan menggunakan biotek

Antiemetik: Injeksi ondansentron 8 mg

Terapi lain sesuai DPJP

Tinjauan Pustaka
1. Latar Belakang
Usaha menekan rasa nyeri pada tindakan operasi dengan menggunakan obat telah
dilakukan sejak zaman dahulu, termasuk pemberian alcohol dan opioidum secara oral. Tahun
1846 William Morton di Boston, pertama kali menggunakan obat anesthesia dietil eter untuk
menghilangkan nyeri operasi. Pada tahun yang sama, James Simpsom, di Skotlandia
menggunakan kloroform yang 20 tahun kemudian diikuti dengan penggunaan nitrogen oksida,
yang diperkenalkan oleh Davy pada era tahun 1790an. Anestetik modern mulai dikenal pada era
tahun 1930an dengan pemberian barbiturate thiopental secara intra vena. Beberapa puluh tahun
yang lalu kurare pun pernah diperkenalkan sebagai anestesi umum untuk merelaksasi otot skelet
selama operasi berlangsung. Tahun 1956, hidrokarbon halogen yang dikenal degan nama halotan
mulai dikenal sebagai obat anestetik secara inhalasi dan menjadikannya sebagai standar
pembanding untuk obat-obat anestesi lainnya yang berkembang sesudah itu.
Stadium anestesi umum meliputi analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran,
terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek
ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis obat, dosis yang
diberikan dan keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik
serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu
8

batas kemanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak
satupun obat anestetik dapat memberikan efek yang diinginkan tanpa disertai efek samping bila
diberikan secara tunggal, oleh karena itu, pada anestetik modern selalu digunakan anestetik
dalam bentuk kombinasi untuk mengurangi efek samping yang tidak diharapkan
2. Tujuan
a. Memahami tentang anestesi umum
b. Memahami persiapan pre anestesi umum
c. Memahami proses dan teknik anestesi
d. Memahami obat obat yang diberikan dalam anestesi umum

II.A

Ikhtisar Anestesi Umum


Anestesi umum (general anesthesia) adalah keadaan yang dihasilkan ketika pasien

menerima obat untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan otot, dan sedasi. Seorang pasien yang
teranestesi dapat dianggap dalam keadaan tidak sadar yang terkontrol dan reversibel. Anestesi
memungkinkan pasien untuk mentolerir prosedur bedah yang dapat menimbulkan rasa sakit tak
tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan perasaan
yang tidak menyenangkan.
Kombinasi agen anestesi yang digunakan untuk anestesi umum sering meninggalkan pasien
dengan konstelasi klinis seperti berikut:

Tidak berespon terhadap rangsangan yang menyakitkan

Tidak dapat mengingat apa yang terjadi (amnesia)

Tidak mampu mempertahankan jalan nafas yang memadai dan / atau ventilasi spontan
akibat kelumpuhan otot

Perubahan sekunder sistem kardiovaskular akibat stimulan / depresan efek dari agen
anestesi

Anestesi umum menggunakan agen intravena dan inhalasi untuk memungkinkan akses bedah
yang memadai ke situs operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum
mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien, anestesi
lokal atau regional mungkin lebih tepat. Penyedia anestesi bertanggung jawab untuk menilai
semua faktor yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi optimal
yang sesuai, meliputi:
Keuntungan

Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif

Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama

Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulas

Dapat digunakan pada kasus-kasus sensitif terhadap agen anestesi lokal

Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang

Dapat disesuaikan dengan mudah pada prosedur tindakan yang meluas atau dengan
durasi tak terduga.

Dapat diberikan dengan cepat dan reversible

Kekurangan

Memerlukan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya yang terkait

Membutuhkan beberapa tahapan persiapan pasien sebelum operasi

Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan intervensi aktif

Berhubungan dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan tertunda kembali ke fungsi mental yang normal

Terkait dengan hipertermia ganas, langka, mewarisi kondisi otot di mana paparan
beberapa (tetapi tidak semua) agen anestesi umum dapat menghasilkan kenaikan suhu
akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia

10

Dengan kemajuan modern dalam bidang obat, teknologi monitoring, dan sistem keamanan, serta
peningkatan edukasi penyedia anestesi, risiko yang disebabkan oleh anestesi kepada pasien yang
menjalani operasi rutin sangat kecil. Kematian yang disebabkan anestesi umum dikatakan terjadi
pada tingkat kurang dari 1:100.000. Frekuensi gejala terkait anestesi pada pasien rawat jalan
selama 24 jam pertama setelah operasi adalah sebagai berikut:

Muntah - 10-20%

Mual - 10-40%

Sakit tenggorokan - 25%

Nyeri Insisional - 30%

II.B

Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi


Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan factor penyumbang sebab sebab

terjadinya kecelakaan anesthesia. Dokter spesialis anestesiologi seyogyanya mengunjungi pasien


sebelum tindakan bedah, agar dapat mempersiapkan pasien, sehingga pasien dalam kondisi
optimal ketika dilakukan tindakan pembedahan. Tujuan utama kunjungan praanestesi ialah untuk
mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan.

PENILAIAN PRABEDAH
Anamnesis
Hal yang pertama harus dilakukan dalam persiapan pasien sebelum dilakukan tindakan
anestesi adalah menanyakan identitas pasien dan mencocokan dengan data pasien mengenai hari
dan bagian tubuh yang akan dioperasi untuk menghindari kesalahan tindakan anestesi dan
pembedahan.
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah penting
untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, misalnya alergi,
mual-muntah, nyeri otot, gatal, atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang
anestesi berikutnya dengan lebih baik.

11

Selain itu harus ditanyakan juga riwayat penyakit sekarang dan dahulu, riwayat alergi,
riwayat penyakit dalam keluarga, dan riwayat sosial seperti kebiasaan merokok, minum
minuman beralkohol, kehamilan, dan obat-obatan.
Pemeriksaan fisik
Bagian ini menitikberatkan pada sistem kardiovaskular dan pernafasan; sistem tubuh
yang lain diperiksa bila ditemukan adanya masalah yang relevan dengan anesthesia pada
anamnesis. Pada akhir pemeriksaan fisik, jalan nafas pasien dinilai untuk mengenali adanya
potensi masalah.
1. Sistem kardiovaskular
Periksa secara khusus adanya tanda-tanda berikut:

Aritmia;

Gagal jantung;

Hipertensi;

Penyakit katup jantung;

Penyakit vascular perifer

Jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan vena perifer untuk mengidentifikasi


setiap masalah yang berpotensi pada akses IV
2. Sistem pernafasan
Periksa secara khusus adanya tanda-tanda berikut

Gagal nafas;

Ganguan ventilasi;

Kolaps, konsolidasi, efusi pleura;

Suara nafas dan gangguan pernafasan

3. Sistem saraf
Perlu dikenali adanya penyakit kronik sistem saraf pusat dan perifer, dan setiap
tanda adanya gangguan sensorik atau motorik dicatat. Harus diingat bahwa
beberapa kelainan akan mempengaruhi sistem kardiovaskular dan pernafasan;
misalnya distrofia miotonika dan sklerosis multiple.

12

4. Sistem muskuloskeletal
Catat setiap keterbatasan pergerakan dan deformitas bila pasien memiliki kelainan
jaringan ikat. Pasien yang mengidap penyakit rheumatoid kronik sangat sering
mengalami pengurangan massa otot, neuropati perifer, dan keterlibatan paru.
Vertebra servikalis dam sendi temporomandibular pasien perlu diperhatikan
secara khusus.

Jalan nafas
Jalan nafas semua pasien harus dinilai untuk mencoba memprediksi apakah pasien akan sulit
diintubasi.
Observasi anatomi pasien, amati:

Keterbatasan membuka mulut;

Mandibula yang mundur (receding mandible)

Posisi, jumlah, dan kesehatan gigi;

Ukuran lidah

Pembengkakan jaringan lunak didepan leher;

Deviasi laring atau trakea;

Keterbatasan fleksi dan ekstensi vertebra servikalis.

Temuan salah satu dari hal tersebut mengindikasikan bahwa intubasi mungkin akan lebih sulit.
Namun, harus diingat bahwa semua ini bersifat subjektif.
Pemeriksaan bedside sederhana

Kriteria Mallampati pasien, duduk tegak, diminta untuk membuka mulut mereka
dan menjulurkan lidah semaksimal mungkin. Gambaran struktur faring dicatat dan
digolongkan sebagai kelas I-IV (gambar 1). Kelas III dan IV mengindikasikan
intubasi sulit.

13

Jarak Tiromental pada kepala yang diekstensikan sejauh mungkin, diukur jarak
antara puncak tulang pada dagu dan penonjolan tulang rawan tiroid. Jarak <7cm
mengisyaratkan intubasi sulit.

Skor Wilson peningkatan berat badan, berkurangnya pergerakan kepala dan leher,
berkurangnya pembukaan mulut, dan adanya mandibula yang mundur atau gigi
tonggos merupakan predisposisi terjadinya peningkatan kesulitan intubasi

Tes Calder pasien diminta untuk memajukan mandibula sejauh mungkin.


Incisivus bagian bawah akan terletak di depan (anterior) atau sejajar atau
dibelakang (posterior) incisivus atas. Dua yang disebut terakhir mengindikasikan
berkurangnya lapan pandang laringoskop.
Tidak satupun dari tes ini, sendiri atau gabungan, akan memprediksi semua
kesulitan intubasi. Mallampati kelas III atau IV dengan jarak tiromental <7cm
akan memprediksi 80% kesulitan intubasi. Apabila masalah sudah diantisipasi,
anestesi harus direncakanan sesuai dengan temuannya. Apabila terbukti sulit
diintubasi, hal ini harus dicatat di tempat yang jelas terlihat dalam catatan pasien
dan pasien diberitahu.

14

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaam
penyakit yang sedang dicurigai. Hanya sedikit bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
penunjang rutin sehingga pemeriksaan tersebut sebaiknya hanya diminta bila hasilnya akan
mempengaruhi penatalaksanaan pasien, kebutuhan terhadap pemeriksaan ini akan bergantung
pada tingkat pembedahan dan usia pasien.

Urea dan elektrolit: pasien yang mengkonsumsi digoksin, diuretic, steroid, dan mereka
yang mengidap diabetes, penyakit ginjal, muntah-muntah, dan diare.

Uji fungsi hati: pengidap penyakit hati, riwayat mengkonsumsi alcohol tinggi dari
anamnesis, penyakit metastasis atau tanda-tanda malnutrisi.

Gula darah: pengidap diabetes, penyakit arteri perifer berat, dalam terapi steroid jangka
panjang.

ECG: hipertensi, dengan gejala atau tanda penyakit jantung iskemik, aritmia jantung, atau
pengidap diabetes berusia >40 tahun.

Roentgen thoraks: gejala atau tanda penyakit jantung dan paru, atau tersangka atau
pengidap keganasan, bila direncanakan bedah toraks, atau mereka yang berasal dari
daerah endemis tuberkulosis yang belum melakukan pemeriksaan roentgen toraks sejak
tahun lalu.

Uji fungsi paru: dispnea saat melakukan aktivitas ringan, ppok, atau asma. Ukur laju
aliran ekspirasi puncak (PEFR), volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) dan FVC.
Pasien yang mengalami dispnea atau sianosis saat beristirahat, yang terbukti memiliki
FEV1 <60% prediksi, atau akan menjalani bedah toraks, juga harus dianalisa gas darah
arterinya selagi melakukan inspirasi.

Skrining koagulasi: dalam terapi antikoagulan, riwayat diatesis perdarahan, atau riwayat
penyakit hati atau ikterik.

Skrining sel sabit: riwayat penyakit sel sabit dalam keluarga atau etnis tertentu dengan
peningkata resiko penyakit sel sabit. Apabila positif, akan diperlukan elektroforesis untuk
diagnosis definitive.

Roentgen vertebra servikalis :arthritis rheumatoid, riwayat trauma besar atau


pembedahan di leher, atau bila diprediksi akan terjadi kesulitan intubasi.
15

Klasifikasi status fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran seseorang ialah yang berasa
dari The American society of anesthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan
resiko anethesi, karena dampak samping anesthesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping
pembedahan
Kelas I : pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimiawi.
Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
Kelas III pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktifitas rutin terbatas
Kelas IV: pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktifitas rutin
dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V: pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Reguritasi lambung dan kotoran
yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani
anestesi. Untuk meminimalkan resiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi
elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anesthesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, pada bayi 3-4 jam.
Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 ajm sebelum induksi anestesi. Minuman bening. Air
putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperlua minum obat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.

16

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anesthesia

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestetik

Mengurangi mual-muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti.
Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan menentramkan hati
pasien. Obat untuk meredakan kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa
jam sebelum induksi anesthesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat digunakan opioid
misalnya petidin 50 mg intramuscular.
Cairan lambung 25 ml dengan ph 2,5, dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk
meminimalkan kejadian diatas diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin
600 mg atau oral ranitidine 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual dan muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan
intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondanseron 2-4 mg.
Pada pasien ini disuntikkan fentanyl 100 mcg untuk mengurangi rasa sakit.

17

II. C Induksi dan Rumatan Anestesia

INDUKSI ANESTESIA
Induksi anestesia ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi anesthesia dapat dikerjakan
dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi
anesthesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anesthesia sampai tindakan pembedahan
selesai. Sebelum memulai induksi anesthesia selayaknya dipersiapkan peralatan dan obat-obatan
yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan
baik.
Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita menginat singkatan dari STATICS:
S=Scope

Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-scope. Pilih


bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.

T=Tubes

Pipa trakea. Pilih jenis dan ukuran sesuai usia. Usia <5 tahun tanpa balon dan >5
tahun dengan balon (cuffed)

A=Airway

Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung faring (nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas.

T=Tape

Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut

I=Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic yang mudah dibengkokkan untuk
pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan
C=Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S=Suction

Penyedot lendir, saliva, dll.

18

Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur
vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati,
perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara
30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernafasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi
dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

Induksi intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan intramuscular dengan
dosis 5-7mg/KgBB dengan onset sekitar 3-5 menit.

Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (flluotan) atau sevofluran. Cara induksi
ini dikerjakan ada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut
untuk disuntik.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk walaupun langsung
diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran, isofluran, atau desfluran jarang dilakukakn, karena pasien sering batuk
dan waktu induksi menjadi lebih lama.

Induksi perrektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.

Rumatan anesthesia
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena (anestesi
intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.

19

Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis)
sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan
nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-59
microgram/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh
otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O
+ O2.

Rumatan inhalasi
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan
0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4vol% atau sefovluran 2-4vol% bergantung
apakah pasien bernafas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled).

II.D

Tatalaksana Jalan Nafas

Obstruksi Jalan Nafas


Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anestesi posisi terlentang, tonus otot jalan nafas atas,
otot genioglossus hilang, sehingga lidah akan menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi
jalan nafas baik total atau parsial. Keadaan ini sering terjadi dan harus cepat diketahui dan
dikoreksi dengan beberapa cara, misalnya maneuver tripel jalan nafas (tripel airway maneuver),
pemasangan alat jalan nafas faring (pharyngeal airway), pemasangan alat jalan nafas sungkup
laring (laryngeal mask airway), pemasangan pipa trakea (endotracheal tube). Obstruksi dapat
juga disebabkan karena spasme laring pada saat anestesi ringan dan mendapat rangsangan nyeri
atau rangsangan oleh secret.

20

Tanda-tanda obstruksi jalan nafas

Stridor

Nafas cuping hidung

Retraksi trakea

Retraksi toraks

Tak terasa udara ekspirasi

Spasme atau kejang laring


Terjadi karena pita suara menutup sebagian atau seluruhnya. Keadaan ini biasanya
disebabkan oleh anestesi ringan dan mendapat rangsang sekitar faring. Terapi:

Maneuver tripel jalan nafas

Ventilasi positif dengan oksigen 100%

Pelumpuh otot suksinil 0,5 mg/kg IV,IM deltoid, sublingual 2-4 mg/kg.

1. Manuver tripel jalan nafas


Manuver tripel jalan napas terdiri dari:
o Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital
o Mandibula didorong kedepan dengan kedua angulus mandibula
o Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan nafas bebas, sehingga gas atau
udara lancar masuk trakea melalui hidung atau mulut.

Gambar 2. Triple Maneuver


21

2. Jalan nafas laring


Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan nafas mulut-faring lewat
mulut

(oropahryngeal

airway)

atau

jalan

nafas

hidung-faring

lewat

hidung

(nasopharyngeal airway).
3. Sungkup muka
Sungkup muka (facemask) mengantar udara/gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem
anestesi ke jalan nafas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika
digunakan bernafas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk ke
trakea lewat mulut atau hidung. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia
dan pembuatnya.
4. Sungkup laring
Sungkup laring (laryngeal mask airway) ialah alat jalan nafas berbentuk sendok terdiri
dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembangkan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari
polivinil atrau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Cara pemasngan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan laringoskop.
Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan diantaranya supaya dapat dipasang langsung
tanpa bantuan alat dan dapat digunakan jika intubasi trakea diramalkan akan mendapat
kesulitan. LMA memang tidak dapat menggantik kedudukan intubasi trakea, tetapi ia
terletak diantara sungkup muka dan intubasi trakea. Pemasangan hendaknya menunggu
anestesi cukup dalam atau menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma
rongga mulut, faring-laring. Setelah alat terpasang untuk menghindari pipa nafasnya
tergigit makan dapat dipasang gulungan kain kasa (bite block) atau pipa nafas mulut
faring (oropharyngeal airway).
5. Pipa trakea
Pipa trakea (endotracheal tube) mengantar gas anestetik langsung kedalam trakea dan
biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea
dalam millimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda,
penampang melintang trakea bayi dan anak kecil dibawa usia 5 tahun hamper bulat,

22

sedangkan pada dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi anak digunakan tanpa kaf dan
untuk anak besar dewasa dengan kaf, supaya tidak bocor.
Penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan
selain itu jika kita ingin menggunakan pipa trakea dengan kaf pada bayi harus
menggunakan ukuran pipa trakea yang diameternya lebih kecil dan ini membuat resiko
tahanan nafas lebih besar.

Berikut pipa trakea dan peruntukannya :


Usia

Diameter (mm)

Skala French

Jarak Sampai Bibir

Prematur

2.0-2.5

10

10 cm

Neonatus

2.5-3.5

12

11 cm

1-6 Bulan

3.0-4.0

14

11 cm

tahun 1 tahun

3.0-4.0

16

12 cm

1-4 tahun

4.0-5.0

18

13 cm

4-6 tahun

4.5-5.5

20

14 cm

6-8 tahun

5.0-5.5

22

15-16 cm

8-10 tahun

5.5-6.0

24

16-17 cm

10-12 tahun

6.0-6.5

26

17-18 cm

12-14 tahun

6.5-7.0

28-30

18-22 cm

Dewasa wanita

6.5-8.5

28-30

20-24 cm

Dewasa pria

7.5-10.0

32-34

20-24 cm

23

Laringoskopi dan intubasi


Fungsi laring ialah mencegah benda asing untuk masuk ke dalam paru. Laringoskopi
ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung agar dapat memasukan pipa
trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:
Bilah, daun (blade) lurus (macintosh) untuk bayi-anak-dewasa.
Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa

Indikasi Intubasi Trakea


Intubasi trakea ialah tindakan memasukan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis,
sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio
trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai beriku:
1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan nafas,
dll.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi
jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Gambar 3. Intubasi

24

Kesulitan Intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Ovula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibula terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Komplikasi intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis (hipertensi, takikardi)
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tak akan
terjadi spasme laring
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari secret dan cairan
lainnya.
25

II.E

Anestesi Intravena
Anestetik intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan anestesi,

tambahan pada analgesia regional atau untuk membantu prosedur diagnostic misalnya thiopental,
ketamin, dan propofol. Untuk anestesi intravena total biasanya mengunakan propofol.

Tiopental
Tiopental merupakan golongan barbiturate (pentotal, tiopenton) dikemas dalam bentuk
bubuk berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul 500 / 1000 mg. Sebelum
digunakan dilarutkan dalam akuades sampai kepekatan 2,5% (1 ml=25 mg).
Tiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg dan disuntikan
perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Larutan ini sangat alkalis dengan ph 10-11,
sehingga suntikan kedalam vena akan menimbulkan nyeri hebat apalagi bila masuk kedalam
arteri akan menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Kalau ini terjadi
dianjurkan untuk memberikan suntikan infiltrasi lidokain.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan thiopental akan menyebabkan pasien berada
dalam keadaan sedasi, hypnosis, anesthesia atau depresi nafas. Thiopental menurunkan aliran
darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial, dan diduga dapat melindungi otak akibat
kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti analgesi.
Tiopental didalam darah 70% akan diikat oleh albumin, sisanya dalam bentuk bebas,
sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis harus dikurangi. Tiopental daoat diberikan
secara kontinyu pada kasus tertentu di unit perawatan intensif, tetapi jarang digunakan untuk
anestesi intravena total. Obat ini sudah jarang digunakan saat ini.

Propofol
Propofol, anestesi intravena non barbiturate, telah menggantikan barbiturate dalam
banyak praktik anestesia. Penggunaan propofol lebih diegmari karena memiliki efek samping
seperti mual muntah setelah operasi lebih ringan dari agen induksi anestesi intravena lain.
26

Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna putih susu bersifat
isotonic dengan kepekatan 1% (1ml= 10mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induks 2-3 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. pengenceran propofol hanya
boleh dengan dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak<3 tahun dan pada
wanita hamil tidak dianjurkan. Pada pasien ini digunakan induksi dengan menggunakan propofol
130 mg.

Ketamin
Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi anestesia, karena sering menimbulkan
takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala pasca anestesia dapat menimbulkan mual
muntah, pandangan kabur, dan mimpi buruk.
Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi midazolam (dormikum)
atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropine 0,01 mg/kg
Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2mg/kg dan untuk intramukular 3-10mg.
ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1ml= 50mg), dan 10%
(1ml=100mg).

Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi. Opioid
tidak mengganggu sistem kardiovaskular, sehinga banyak digunakan untuk induksi pasien
dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg
dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1mg/kg/menit.

27

II.F

Anestesi Inhalasi
Prototipe anestesi inhalasi modern adalah halotan. Halotan saat ini tidak lagi digunakan

dalam praktek klinis rutin. Pada 1980-an, digantikan oleh isoflurane dan enfluran, agen yang
dibersihkan dari paru-paru lebih cepat dan dengan demikian dikaitkan dengan agen anestesi
dengan onset cepat. Pada akhir 1990-an, desfluran dan sevofluran mulai digunakan. Anestesi
inhalasi ini jauh lebih maneuverable daripada pendahulu mereka dan berkaitan dengan onset
yang lebih cepat.
Isofluran
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau
subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran
darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranian ini
dapat dikurangin dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan
dalam pembedahan otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk
anestesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
Isofluran dengan konsentrasi >1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang
responsive jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca
persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan
isofluran.
Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Bau dari sevofluran tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi.
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap
sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah
pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh tubuh. Walaupun dapat dirusak oleh
kapur soda (soda lime, baraline), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh
manusia.

28

II.G

Mesin dan Peralatan Anestesi


Fungsi mesin anestesi ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik yang aman ke

rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran gas
dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya mulai dari yang sangat sederhana
hingga yang diatur oleh computer. Mesin yang aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi
persyaratan beriku:
Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis yang tepat
Ruang rugi (dead space) minimal
Mengeluarkan CO2 dengan efisien
Bertekanan rendah
Kelembaban terjaga dengan baik
Pengunaannya sangat mudah dan aman
Sumber O2 dan N2O dapat tersedia secara individual menjadi satu-satuan mesin anestetik
atau dari sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar biasanya menyediakan N2O, O2 dan udara
tekanan secara sentral untuk dialirkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah rawat jalan, ruang
obstetrik, dan lain-lainnya
Komponen dasar mesin anestetik terdiri atas:
Alat pantau tekanan gas (pressure gauge) untuk mengetahui tekanan gas pasok.
Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve) untuk menurunkan tekanan gas
pasok yang masih tinggi, sesuai karakteristik mesin anestesi.
Meter aliran gas (flowmeter) dari tabung kaca untuk mengatur aliran gas tiap menitnya
Penguap cairan anestetik (vaporizers) dapat tersedia satu sampai empat.
Lubang keluar campuran gas (common gas outlet) biasanya berdiameter standart
Kendali oksigen darurat (oxygen flush control) untuk keadaan darurat yang dapat
mengalirkan oksigen murni sampai 35-37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.

29

Mesin anestesia sebelum digunakan harus diperiksa apakah berfungsi baik atau tidak. Beberapa
petunjuk dibawah ini perlu diperhatikan.
1. Periksa mesin dan peralatan kaitannya secara visual apakah ada kerusakan atau tidak,
apakah rangkaian sambungannya sudah benar.
2. Periksa alat penguap (vaporizer) apakah sudah terisi obat dan penutupnya tidak longgar
atau bocor
3. Periksa apakah sambungan silinder gas atau pipa gas ke mesin sudah benar
4. Periksa meter aliran gas (flowmeter) apakah berfungsi baik.
5. Periksa aliran gas O2 dan N2O

II.H

Pelumpuh Otot

Pelumpuh otot depolarisasi


Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerja seperti asetil kolin,
tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga berada cukup lama dicelah
sinaptik, akhirnya terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relakasai otot
lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah suksinil-kolin (diasetil-kolin) dan
dekametonium.
Didalam vena suksinil kolin dimetabolisir oleh kolin esterase plasma, pseudokolin
esterase, menjadi suksinil monokolin. Obat anti kolinesterasi (prostigmin) dikontraindikasikan,
karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
Efek samping suksinil ialah:
Nyeri otot pasca pemberian
Nyeri dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi dosis kecil
sebelumnya. Mialgia terjadi sampai 90%, selain itu terjadi mioglobinuria.
Peningkatan tekanan intraocular
Akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot.
Peningkatan tekanan intracranial
Peningkatan tekanan intragastrik
Peningkatan kadar kalium plasma
30

Aritmia jantung
Berupa bradikari atau ventricular premature beat.
Salivasi, akibat efek muskarinik
Alergi, anafilaksis. Akibat efek muskarinik.
Pelumpuh otot nondepolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan
reseptor nikotinik-kolinergik, teteapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin yang menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot nondepolarisasi digolongkan menjadi:
1. Bensiliso-kuinolinum: d-tubokurarin, metokurin, atrakurium, doksakurium, mivakurium.
2. Sieroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.
3. Eter fenolik: gallamin
4. Nortokseferin: alkuronium.

Noveron (Rokuronium Bromida)


Merupakan aminosteroid monoqueternary OBNM nondepolarizing. Obat ini yang bekerja cepat
dengan memblokade nicotic cholinoreceptor pada motor-end plate. Efek obat ini dapat dilawan
dengan acethylcholinesterase inhibitor. Kemasan suntik 10 mg/ml.
Farmakokinetik dari obat ini, obat ini di absorbsi dari IM dan IV. Farmakodinamik obat ini,
untuk intubasi dapat digunakan dosis 0,6-1,0mg/kgbb dengan onset of action 1-2 menit dan
duration of action 30-45 menit. Untuk dosis maintenance dianjurkan 0,15 mg/kg. Jika dengan
dosis sebesar 0,6 mg/kg IV, maka dalam waktu 1 menit dapat dicapai kondisi yang cukup untuk
pasien dilakukan intubasi ETT.
Relaksasi otot menyeluruh dalam waktu 2 menit, efeknya berlangsung 30-40 menit, dan durasi
total sampai pasien melakukan usaha spontan adalah 50 menit. Untuk dosis 0,3 0,4 mg/kg
berfungsi untuk relaksasi intubasi dengan efek yang lebih pendek. Dosis 1 mg/kg relaksasi
dicapai dalam waktu dibawah 60 detik dan durasi berlangsungnya efek obat selama 1 jam.

31

Interaksi dengan obat-obatan induksi inhalasi seperti sevofluran maupun inhalasi halogen lainnya
dapat meningkatkan efek obat. Pemberian bersamaan dengan fentanyl dan propofol
meningkatkan efek kerja obat ini.

Penawar pelumpuh otot


Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterasi bekerja pada sambungan saraf-otot
mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterasi yang
paling sering digunakan ialah neostigmin (prostigmin), piridostigmin, dan edrophonium.
Physostigmine (eserin) hanya untuk penggunaan per-oral.
Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg, edrophonium 0,5-1
mg/kg dan fisostigmin 0,01-,0,03 mg/kg. penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
menyebabkan hipersalivasi, berkeringat, bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus, dan
pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropine dosis
0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.

Pasca Anestesia
Anestesi diakhiri dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Penghentian anestesi inhalasi
disertai oksigenisasi.Oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi
inhalasi diaveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Kesadaran penderita
juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anestesi di dalam darah. Setelah
prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan terus diobservasi dengan
cara menilai Aldrettes score nya, nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi
secara ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:
Hal yang dinilai

Nilai

1. Kesadaran:
Sadar penuh

Bangun bila dipanggil

Tidak ada respon

0
32

2. Respirasi:
Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk

Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan

Apnoe

3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi


Perbedaan +- 20

Perbedaan +- 50

Perbedaan lebih dari 50

4. Aktivitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah:


4 ekstremitas

2 ekstremitas

Tidak dapat

5. Warna kulit
Normal

Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik

Cyanotic

Daftar Pustaka
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta:
FKUI; 2011.
2. Omoigui S. Buku saku obat-obatan anestesia. Edisi ke-2 Jakarta: EGC; 2012.
3. Desai AM. General Anesthesia. Accessed on Mey 21 2014. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall.
4. Gwinnut CL. Catatan kuliah anestesi klinis. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2008.
5. Tim Cook, Ben Walton. The Laryngeal Mask Airway. In : Update in
Anaesthesia : 32 - 42

33

Anda mungkin juga menyukai