Anda di halaman 1dari 81

Syok dan jenisnya

1.1 Definisi syok


Syok adalah sindroma klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik yang
ditandai dengan kegagalan system sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yanga dekuat
organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius
seperti, perdarahan yang massif, trauma atau luka bakar berat (syok hipovolemik), infark
miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak
terkontrol (syok septic), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat
respon imun (syok anafilaktik).
Syok adalah suatu sindrom klinis kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan
ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan
mekanisme homeostasis.
1.2 Penyebab terjadinya syok
Adapun macam-macam penyebab terjadinya syok adalah
Tabel 1.1 Penyebab syok

Jenis Syok

Penyebab

Hipovolemik

1. Perdarahan

2. Kehilangan plasma (misal pada luka bakar)


3. Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare,
muntah, obstruksi usus dan lain-lain
Kardiogenik1. Aritmia

Bradikardi / takikardi

2. Gangguan fungsi miokard

Infark miokard akut, terutama infark ventrikel kanan

Penyakit jantung arteriosklerotik

Miokardiopati

3. Gangguan mekanis

Regurgitasi mitral/aorta

Rupture septum interventrikular

Aneurisma ventrikel massif

Obstruksi:

Out flow : stenosis atrium


Inflow : stenosis mitral, miksoma atrium kiri/thrombus
ObstruktifTension Pneumothorax

Tamponade jantung
Emboli ParuSeptik1.Infeksi bakteri gram negative,
misalnya:
eschericia coli, klibselia pneumonia, enterobacter,
serratia,proteus,danprovidential.
2. Kokus gram positif,
misal:
stafilokokus, enterokokus, dan streptokokusNeurogenik

Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma tulang belakang dan spinal syok
(trauma
medulla spinalis dengan quadriflegia atau para
flegia)

Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan,


misal nyeri hebat

Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya


penggunaan obat anestesi

Rangsangan parasimpatis pada jantung yang


menyebabkan bradikardi jantung mendadak. Hal
ini terjadi pada orang yang pingan mendadak
akibat gangguan emosional

Anafilaksis

Antibiotic

Penisilin, sofalosporin, kloramfenikol, polimixin, ampoterisin B

Biologis

Serum, antitoksin, peptide, toksoid tetanus, dan gamma globulin

Makanan

Telur, susu, dan udang/kepiting

Lain-lain

Gigitan binatang, anestesi local

Bagaimana mengenali Berbagai macam jenis dari syok

Infromasi
DiagnosticHipovolemikKardiogenikNeurogenikSeptik
(Hyperdynamic
State)Gejala dan tandaPucat; kulit dingin,
Basah; takikardi;
Oliguri, hipotensi; peningkatan resistensi periferKulit basah, dingin; taki- dan bradiaritmia;
oliguri; hipotensi; peningkatan resistensi periferKulit hangat, denyut jantung
normal/rendah, normo/oliguri, hipotensi, penurunan resistensi periferDemam, kulit teraba
hangat, takikardi, oliguri, hipotensi, penurunan resistensi perifer.Data
laboratoriumHematokrit rendah ( fase akhir)Enzim jantung, EKGNormalHitung neutrofil,
pengecatan gram, kultur

1.3 Patofisiologi syok secara umum


Faktor-faktor yang dapat mempertahankan tekanan darah normal:
1. Pompa jantung. Jantung harus berkontraksi secara efisien.
2. Volume sirkulasi darah. Darah akan dipompa oleh jantung ke dalam arteri dan kapilerkapiler jaringan. Setelah oksigen dan zat nutrisi diambil oleh jaringan, sistem vena akan
mengumpulkan darah dari jaringan dan mengalirkan kembali ke jantung. Apabila
volume sirkulasi berkurang maka dapat terjadi syok.
3. Tahanan pembuluh darah perifer. Yang dimaksud adalah pembuluh darah kecil, yaitu
arteriole-arteriole dan kapiler-kapiler. Bila tahanan pembuluh darah perifer meningkat,
artinya terjadi vasokonstriksi pembuluh darah kecil. Bila tahanan pembuluh darah
perifer rendah, berarti terjadi vasodilatasi. Rendahnya tahanan pembuluh darah perifer
dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah. Darah akan berkumpul pada pembuluh
darah yang mengalami dilatasi sehingga aliran darah balik ke jantung menjadi
berkurang dan tekanan darah akan turun.

Gambar2.1 Patofisiologi Syok (sumber: Kumar and Parrillo, 2001)

Gambar 2.3 Berbagai jenis umpan balik yang dapat menimbulkan per-kembangan syok.
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat
ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan
ireversibel (tidak dapat pulih).
Fase1 : kompensasi

Pada fase ini fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan melalui mekanisme
kompensasi tubuh dengan meningkatkan reflek simpatis, yaitu meningkatnya resistensi
sistemik dimana terjadi distribusi selektif aliran darah dari organ perifer non vital ke organ
vital seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah sistolik tetap normal sedangkan tekanan
darah sistolik meningkat akibat peninggian resistensi arteriol sistemik (tekanan nadi
menyempit).
Untuk mencukupi curah jantung maka jantung mengkompensasi secara temporer dengan
meningkatkan frekuensi jantung. Disamping itu terdapat peningkatan sekresi vasopressin
dan renin angiotensin aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal untuk menahan
natrium dan air dalam sirkulasi.
Manifestasi klinis yang tampak berupa takikardia, gaduh gelisah, kulit pucat dan dingin
dengan pengisian kapiler (capillary refilling) yang melambat > 2 detik.
Fase II : Dekompensasi.
Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah jantung yang
adekuat dan system sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan dengan perfusi yang buruk
tidak lagi mendapat oksigen yang cukup, sehingga metabolisme berlangsung secara
anaerobic yang tidak efisien. Alur anaerobic menimbulkan penumpukan asam laktat dan
asam-asam lainnya yang berakhir dengan asidosis. Asidosis akan bertambah berat dengan
terbentuknya asam karbonat intra selular akibat ketidak mampuan sirkulasi membuang CO2.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons terhadap katekolamin.
Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme energy dependent NaKpump ditingkat selular, akibatnya integritas membrane sel terganggu, fungsi lisosom dan
mitokondria akan memburuk yang dapast berakhir dengan kerusakan sel. Lambatnya aliran
darah dan kerusakan reaksi rantai kinin serta system koagulasi dapat memperburuk
keadaan syok dengan timbulnya agregasi tombosit dan pembentukan trombos disertai
tendensi perdarahan.
Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin, serotonin, sitokin
(terutama TNF=tumor necrosis factor dan interleukin 1), xanthin, oxydase yang dapat
membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets agregatin factor). Pelepasan mediator oleh
makrofag merupakan adaptasi normal pada awal keadaan stress atau injury, pada keadan
syok yang berlanjut justru dapat memperburuk keadaan karena terjadi vasodilatasi arteriol
dan peningkatan permeabilitas kapiler dengan akibat volume intravaskular yang kembali
kejantung (venous return) semakin berkuarang diserai timbulnya depresi miokard.
Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah, tekanan darah mulai
turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled, capillary refilling bertambah
lama), oliguria dan asidosis (laju nafas bertambah cepat dan dalam) dengan depresi susunan
syaraf pusat (penurunan kesadaran).
Fase III : Irreversible
Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus berlanjut, sehingga
terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi system multi organ lainnya. Cadangan fosfat
berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar, sintesa ATP yang baru

hanya 2% / jam dengan demikian tubuh akan kehabisan energi. Kematian akan terjadi
walaupun system sirkulasi dapat dipulihkan kembali. Manifestasi klinis berupa tekanan
darah tidak terukur, nadi tak teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (sopor-koma),
anuria dan tanda-tanda kegagalan system organ lain.
1.4 Diagnosis
Shock adalah diagnosis klinis, jadi tidak ada diagnosis bandingnya. Diagnosis bandingnya
hanya terhadap penyebab dar shock. Diagnosis shock pada stadium dini sangat penting
untuk berhasilnya suatu pengobatan, namun sering kali hal ini tidak mudah. Karena itu
sangat penting adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya shock pada penderita
dengan resiko tinggi. Pada penderita pada resiko tersebut kita lakukan pemantauan yang
lebih ketat sehingga dapat dilakukan tindakan yang lebih dini bila terdapat tanda-tanda
shock.
Diagnosis shock pada anak dan bayi kadang-kadang sulit, tanda-tanda shock berat dengan
gejala yang jelas seperti nadi yang lemah atau tidak teraba, akral dingin dan sianosis mudah
dikenali, tapi pad compensated shock dimana tekanan darah sentral masih dapat
dipertahankan, seringkali diagnsosi renjatan shock sulit ditegakkan. Pengambilan anamnesa
yang baik dan benar sangat penting untuk menegakkan diagnosis etiologis dari renjatan,
seperti adanya muntah dan diare akan mengarahkan kita pada shock hipovolemik, trauma
atau pasca operasi kemungkinan menjadi penyebab renjatan hipovolemik karena
perdarahan. Pada neonatus panas pada ibu pada aktu melahirkan, ketuban pecah prematur
(KPP), perdarahan intrapartum atau distress fetal dapat membantu memperkirakan
penyebab renjatan pada bayi.
Manifestasi klinis tergantung pada:
-

Penyakit primer penyebab shock

Kecepatan dan jumlah cairan yang hilang

Lama nya syok serta kerusakan jaringan yang terjadi

Tipe dan stadium renjatan

1.5 penatalaksanaan
1. Airway dan Breathing
1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
2. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway).
3. Berikan oksigen minimal 6 liter/menit
4. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup ( Ambu

bag) atau ETT.


2. Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan darah, warna
kulit, isi vena, dan produksi urin.

Cari dan Atasi Penyebab :

Penderita dijaga agar tetap merasa hangat dan kaki sedikit dinaikkan untuk
mempermudah kembalinya darah ke jantung.

Setiap perdarahan segera dihentikan dan pernafasan penderita diperiksa.


Jika muntah, kepala dimiringkan ke satu sisi untuk mencegah terhirupnya muntahan.
Jangan diberikan apapun melalui mulut.

Tenaga kesehatan bisa memberikan bantuan pernafasan mekanis.

Obat-obatan diberikan secara intravena. Obat bius (narkotik), obat tidur dan obat
penenang biasanya tidak diberikan karena cenderung menurunkan tekanan darah.

Cairan diberikan melalui infus. Bila perlu, diberikan transfusi darah.


Cairan intravena dan transfusi darah mungkin tidak mempu mengatasi syok jika
perdarahan atau hilangnya cairan terlus berlanjut atau jika syok disebabkan oleh
serangan jantung atau keadaan lainnya yang tidak berhubungan dengan volume darah.

Untuk menambah aliran darah ke otak atau jantung bisa diberikan obat yang
mengkerutkan pembuluh darah. Pemberian obat ini dilakukan sesingkat mungkin
karena bisa mengurangi aliran darah ke jaringan.

Jika penyebabnya adalah aksi pompa jantung yang tidak memadai, dilakukan usaha
untuk memperbaiki kinerja jantung. Kelainan denyut dan irama jantung diperbaiki dan
volume darah ditingkatkan (bila perlu). Untuk memperlambat denyut jantung bisa
diberikan atropin. Obat lainnya bisa diberikan untuk memperbaiki kemampuan
kontraksi otot jantung.

Pemberian Cairan :

Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah,
kejang, akan dioperasi/dibius dan yang akan mendapat trauma pada perut serta kepala
(otak) karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.

Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra.

Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume
interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk
meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.

Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah
cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan
yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus
diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus
diganti dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan
kristaloid memerlukan volume 3-4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila
menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan
yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi
dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.

Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang
berlebihan.

Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan


yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan
untuk menghilangkan nyeri.

Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada
syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ Disfunction).
Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, Swan Ganz kateter, dan
pemeriksaan analisa gas darah

1.6

Komplikasi

SIRS, dapat terjadi bola syok tidak dikoreksi

Gagal ginjal akut (ATN)

Gagal hati

Ulserasi akibat stress

MACAM MACAM SYOK


2.1 Syok Hipovolemik
Hipovolemik berarti berkurangnya volume intravaskuler. Sehingga syok hipovolemik berarti
syok yang di sebabkan oleh berkurangnya volume intravaskuler. Di Indonesia shock pada
anak paling sering disebabkan oleh gastroenteritis dan dehidrasi, dan shock perdarahan
paling jarang, begitupun shock karena kehilangan plasma pada luka bakar dan shock karena
translokasi cairan.
Patofisiologi
Patofisiologi sangat berhubungan dengan penyakit primer dari syok. Namun secara umum
bila terjadi penurunan tekanan darah maka tubuh akan mengadakan respon untuk
mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuat pada organ-organ vital melalui reflex
neurohumoral. Integritas sirkulasi tergantung pada volume darah yang beredar, tonus
pembuluh darah dan system pompa jantung. Gangguan dari salah satu fungsi tersebut
dapat menyebabkan terjadinya syok. Bila terjadi syok hipovolemik maka mekanisme
kompensasi yang terjadi adalah melalui:
1.Baroreseptor
Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tagangan dalam pembuluh darah. Bila
terjadi penurunan tekanan darah maka rangsangan terhadap baroreseptor akan menurun,
sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor ke pusat juga berkurang sehingga akan
terjadi:
-

Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibiotor centre

Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor

Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan takikardia. Baroreseptor
ini terdapat di snus karotikus, arkus aorta, atrium kiri dan kanan, ventrikel kiri dan dalam

sirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus merupakan baroreseptor perifer yang paling
berperan dalam pengaturan tekanan darah.
1. Kemoreseptor
Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun sampai
60mmHg, maka yang bekerja adalah kemoreseptor, yang terangsang bila terjadi hipoksia
dan asidosis jaringan. Akibat rangsangan kemoreseptor ini adalah vasokonstriksi yang luas
dan rangsangan pernafasan.
1. Cerebral ischkemic reseptor
Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg maka akan terjadi sympathetic
discharge massif. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat dari pada reseptor-reseptor
perifer .
1. Reseptor humoral
Bila terjadi hipovolemik/ hipotensi maka tubuh akan mengeluarkan hormone-hormon stress
seperti epinefrin, glucagon, dan kortisol yang merupakan hormone yang mempunyai efek
kontra dengan insulin. Akibat dari pengeluaran dari hormone ini adalah terjadinya
takikardia, vasokonstriksi dan hiperglikemi. Vasokonstriksi diharapkan akan meningkatkan
tekanan darah perifer dan preload, isi sekuncup dan curah jantung. Sekresi ADH aleh
hipofisee posteriosr juga meningkat sehingga pengeluaran air dari ginjal dapat dikurangi.
1. Retensi air da garam oleh ginjal
Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran rennin oleh apparatus
yukstaglomerulus yang merubah angiotensin menjadi angiotensin I. angiotensin I ini oleh
converting enzyme dirubah menjadi angiotensin II yang mempunyai sifat:
-

Vasokonstriksi kuat

Merangsang pengeluaran aldosteron sehingga meningkatkan reabsorbsi natrium di

tubulus ginjal.
-

Menigkatkan sekresi vasopressin.

1. Autotransfusi
Autotransfusi adalah suatu mekanisme didalam tubuh untuk mempertahankan agar volume
dan tekanan darah tetap stabil. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara
jumlah cairan intravascular yang keluar ke ekstravaskular atau sebaliknya. Hal ini
tergantung pada keseimbangan antara tekanan hidrostatik intravascular akan menurun
makan akan terjadi aliran cairan dari ekstra ke intravascular sehingga tekanan darah dapat
dipertahankan. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya cairan, bila proses hilangnya
cairan tubuh cepat maka proses ini tidak akan mampu menaikkan tekanan darah.
Akibat dari semua ini maka akan terjadi:
-

Vasokonstriksi yang luas

Vasokonstriksi yang paling kuat terjadi pada pembu;uh darah skeletal, splancnic dan kulit,
sedang pada pembuluh darah otak dan koronaria tidak terjadi vasokonstriksi, nahkan aliran
darah pada kelenjar adrenal meningkat sebagai usaha kompensasi tubuh utuk
meningkatkan respon katekolamin pada syok. Vasokonstriksi ini menyebabkan suhu tubuh
perifer menjadi dingin dan kulit menjadi pucat.
-

Sebagai akibat vasokonstriksi ini maka tekanan distolik akan meningkat pada fase

awal, sehingga tekanan nadi menyempit, tetapi bila proses berlanjut ini tidak dapat
dipertahankan dan tekanan datah akan semakin menurun sampai tidak teratur.
-

Takikardia

Iskemia jaringan akan menyebabkan metabolism anaerobic dan terjadi asidosis

metabolic
-

Hipovolemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat sehingga keseimbangan

pertukaran O2 dan Co2 kedalam pembuluh darah lama dan kaibatnya terjadi perbedaan
yang besar antara tekanan O2 dan CO2 arteri danvena.
Akibat dari hipoksia dan berkurangnya nutrisi kejaringan maka metabolisme menjadi
metabolisme anaerobic yang tidak efektif dan hanya menghasilkan 2 ATP dari setiap
molekul glukosa. Pada metabolism oerobik dengan oksigen dan nutrisi yang cukup dengan
pemecahan 1 molukel glukosa akan menghasilkan 36 ATP. Akibat dari metabolism
anaerobic ini akan terjadi penumpukan asam laktat dan pada khirnya metabolism tidak akan
mampu lagi menyediakan energy yang cukup untuk mempertahan homeostasis seluler,
terjadi kerusakan popma ionic dinding sel, natrium masuk ke dalam sel dan kalium keluar
sel sehingga terjadi akumulasi kalsium dalam sitosol, terjadi edema dan kematian sel. Pada
akhirnya terjadi banyak kerusakan sel organ-organ tubuh atau terjadi kegagalan organ
multiple dan renjatan yang ireversibel.
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi
utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem
neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan
mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan
tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2
lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah
yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan
menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan
fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan
penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus,
arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga
berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi
perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.

Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari
apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I,
yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II
mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok
hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron
dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan
akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik
Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai
respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap
penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung
ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis,
duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
Manifestasi klinis
Tergantung pada penyakit primer penyebab syok, kecepatan dan jumlah cairan yang hilang,
lama renjatan serta kerusakan jaringan yang terjadi, tipe dan stadium renjatan. Secara klinis
perjalanan renjatan dapat dibagi dalam 3 fase yaitu fase kompensasi, dekomensasi, dan
ireversibel.
Tabel 3.2 Manifestasi Klinis Syok Hipovolemik

Tanda klinis

Kompensasi

Dekompensasi

I reversible

Blood loss ( %)
Sampai 2525 40> 40Heart rate
Takikardia +Takikardia ++Taki/bradikardiaTekanan Sistolik
NormalNormal/menurunTidak terukurNadi/volume
Normal/menurunMenurun +Menurun ++Capillary refill

Normal/meningkat
3-5 detikMeningkat > 5 detikMeningkat ++KulitDingin,
pucatDingin/mottledDingin+/deadly pale
PernafasanTakipneuTakipneu +Sighing respiration
KesadaranGelisahLethargi
bereaksiReaksi -/ hanya terhadap nyeri

Diagnosis
Pada pemeriksaan fisis perlu dibedakan hipovolemik akibat kehilangan cairan keluar tubuh
seperti pada diare atau perpindahan cairan ke ruang interstitial seperti pada demam

berdarah dengue atau sepsis. Anak dengan kehilangan cairan ke luar tubuh akan
menunjukkan tanda klasik dehidrasi seperti ubun-ubun besar cekng, mata cekung, mucosa
kering, turgor kulit turun, refill kapiler turun, karal dingin, dan penurunan status mental.
Anak dengan perpindahan cairan ke ruang interstitial menunnjukkan tanda gangguan
perfusi seperti refill kapiler yang menurun, akral, dingin, dan penurunan status mental
tanpa adanya tanda lain yang dijumpai pada anak dehidrasi. Tekanan darah akan menurun
bila terjadi kehilangan cairan lebih dari 30%. Pada syok akibat perdarahan hipotensi
biasanya terjadi bila kehilangan darah lebih dari 40% volume.

Table 3.3 Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentasi Penderita

Pemeriksaan laobarotorium

Hemoglobin dan hematokrit

Pada fase awal renjatan syok karena perdarahan kadar Hb dan hematokrit masih tidak
berubah, kadar Hb dan hematokrit akan menurun sesudah perdarahan berlangsung lama,
karena proses autotransfusi. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya darah yang terjadi.
Pada syok karena kehilangan plasma atau cairan tubuh seperti pada DF atau diare dengan
dehidrasi akatn terjadi haemokonsentrasi.

Urin

Produksi urin akan menuru, lebih gelap dan pekat. Berat jenis urin menigkat >1,020. Sering
didapat adanya proteinuria

Pemeriksaan BGA

pH, PaO2, PaCO2 dan HCO3 darah menurun. Bila proses berlangsung terus maka proses
kompensasi tidak mampu lagi dan akan mulai tampak tanda-tanda kegagalan dengan makin
menurunnya pH dan PaO2 dan meningkatnya PaCO2 dan HCO3. Terdapat perbedaan yang
jelas antara PO2 dan PCO2 arterial dan vena.

Pemeriksaan elektrolit serum

Pada renjatan sering kali didapat adanya gangguan keseimbangan elektrolit seperti
hiponatremi, hiperkalemia, dan hipokalsemia terutama pada penderita dengan asidosis

Pemeriksaan fungsi ginjal pemeriksaan BUN dan serum kreatinin penting pada renjatan
terutama bila ada tanda-tanda gagal ginjal

Pemeriksaan faal hemostasis

Pemeriksaan yang lain untuk menentukan penyebab penyakit primer

Penatalaksanaan
1. Bebaskan jalan nafas, oksigen (FiO2100%), kalau perlu bias diberiakan ventilator
support.

2. Infus RL atau koloid 20 ml/kg BB dalam 10-15 menit, dapat diulang 2-3 kali. Bila akses
vena sulit pada anak balita dapat dilakukan akses intraosseous di pretibia. Pada renjatan
berat pemberian cairan dapat mencapai > 60 ml/kg BB dalam 1 jam. Bila resusitasi cairan
sudah mencapai 2-3 kali tapi respons belum adekuat, maka dipertimbangkan untuk
intubasi dan bantuan ventilasi. Bila tetap hipotensi sebaiknya dipasang kateter tekanan vena
sentral (CVP).
3. Inotropik, indikasi : renjatan refrakter terhadap pemberian cairan, renjatan kardiogenik.
Dopamin : 2-5 tg/kg BB/ menit.
Epinephrine : 0,1 g/KgBB/menit iv, dosis bisa ditingkatkan bertahap sampai efek yang
diharapkan, pada kasus-kasus berat bisa sampai 2-3 g/kg BB/ men it.
Dobutamin : 5 g/KgBB/menit iv, ditingkatkan bertahap sampai 20 g/KgBB/menit iv.
Norepinephrine : 0,1 g/KgBB/menit iv, dapat ditingkatkan sampai efek yang diharapkan.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid yang diberikan adalah hydrocortison dengan dosis 50 mg/KgBB iv bolus
dilanjutkan dengan dosis yang sama dalam 24 jam secara continuous infusion.

Gambar 3.2 Bagan Penatalaksanaan Syok Hipovolemik.


Monitoring
Komplikasi
-

Gagal ginjal akut

ARDS (acute respiratory distress syndrome/shock lung)

Depresi miokard-gagal jantung

Gangguan koagulasi/pembekuan

SSP dan Organ lain

Evaluasi gejala sisa SSP sangat penting, mengingat organ ini sangat sensitif terhadap
hipoksia yang dapat terjadi pada renjatan berkepanjangan.
-

Renjatan ireversibel.

2.2 Shock kardiogenik


Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan
curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme. Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel, yang
mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan. Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan curah
jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Syok kardiogenik dapat
didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpai adanya penyakit

jantung, sepertiinfark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak,
atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung.Masalah
yang ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk berkontraksi. Tujuan
utama

pengobatan

adalah meningkatkan

curah jantung.

Etiologi shock kardiogenik

Infark miokard akut dengan kerusakan otot jantung

Kerusakan katup jantung: stenosis mitral, insufisiensi mitral, stenosis katup aorta,
insufisiensi katup aorta

Gangguan irama jantung: atrial fibrilasi, ventrikular fibrilasi, ventrikular takhikardi

Gangguan sistem konduksi hantaran listrik jantung: atrioventrikular blok, sinoaurikular


blok.

Patofisiologi Syok

Kardiogenik

Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan faal pompa jantung yang mengakibatkan curah
jantung menjadi kecil atau berhenti sama sekali. Secara mekanisme mungkin disebabkan
oleh robeknya dinding ventrikel, regurgitasi oleh karena infark juga mengenai katub
jantung, aritmia, atau disfungsi dari ventrikel kiri, kanan ataupun keduanya.
Pada robeknya dinding ventrikel terjadi 3-6 hari sesudah infark diikuti dengan tamponade
dan syok dan peninggian CVP serta tekanan baji pada arteri pulmonalis. Sedangkan
regurgitasi dapat terjadi karena infark mengenai muskulus papilaris. Disfungsi dari ventrikel
kanan dapat dilihat dari meningginya CVP sedangkan pada ventrikel kiri ditandai dengan
edema paru.
Kegagalan pompa jantung menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung (cardiac
output) dan menyebabkan kegagalan perfusi ke jaringan, akibatnya berbagai organ
mengalami kekurangan oksigen sementara terjadi kompensasi tubuh untuk
mempertahankan pengaliran darah ke otak.
Gambar Mekanisme Syok Kardiogenik pada Infark Miokard

Syok kardiogenik dapat dipandang sebagai bentuk yang berat dari kegagalan ventrikel kiri.
Penurunan kontraktilitas jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri sehingga menyebabkan kongesti paru dan edema.
Dengan menurunnya tekanan arteri sistemik, maka terjadi perangsangan baroreseptor pada
aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpatoadrenal menimbulkan reflek
vasokonstriksi, takikardi, dan peningkatan kontraktilitas untuk menambah curah jantung
dan menstabilkan tekanan darah. Kontraktilitas akan terus meningkat melalui hukum
starling melalui retensi natrium dan air. Jadi menurunnya kontraktilitas pada syok
kardiogenik akan memulai respon kompensatorik yang meningkatkan beban akhir dan
beban awal. Meskipun mekanisme ini pada mulanya akan meningkatkan tekanan arteri
darah dan perfusi jaringan, namun efeknya terhadap miokard justru buruk karena
meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokard. Aliran darah koroner
yang tidak memadai (terbukti dengan adanya infark) menyebabkan meningkatnya
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen terhadap miokardium.
Syok kardiogenik dicirikan oleh lingkaran setan (vicious circle) dimana terjadi penurunan
kontraktilitas miokardium (depression of myocardial contractility), biasanya karena iskemia,

menyebabkan pengurangan cardiac output dan tekanan arteri (arterial pressure), dimana
menghasilkan hipoperfusi miokardium dan iskemia lanjutan dan penurunan cardiac output.
Disfungsi miokardial sistolik mengurangi stroke volume; dan bersama dengan disfungsi
diastolik, memicu peninggian tekananend-diastolic ventrikel kiri dan pulmonary capillary

wedge pressure/PCWP (> 18 mmHg) seperti pada kongesti paru.


Penurunan/pengurangan perfusi koroner memacu pemburukan iskemia, disfungsi
miokardium progresif, dan spiral menurun yang cepat (rapid downward spiral), bilamana
jika tidak diputus, seringkali menyebabkan kematian (Anurogo, 2009).
Sindrom respon peradangan sistemik [systemic inflammatory response syndrome (SIRS)]
dapat menyertai infark yang luas dan syok. Sitokin peradangan (inflammatory

cytokines), inducible nitric oxide synthase (INOS), dan kelebihan nitric


oxide danperoxynitrite dapat berkontribusi terhadap asal-usul (genesis) syok kardiogenik
sebagaimana yang mereka lakukan terhadap bentuk lain syok. Asidosis laktat dari perfusi
jaringan yang buruk dan hipoksemia dari edem paru (pulmonary edema) dapat sebagai hasil
dari kegagalan pompa dan kemudian berkontribusi terhadap lingkaran setan ini dengan
memburuknya iskemia miokardium dan hipotensi. Asidosis berat (pH < 7,25) mengurangi
daya kemanjuran/efektivitas (efficacy) yang secara endogen dan eksogen telah diberi
katekolamin (catecholamines) (Anurogo, 2009).
Manifestasi klinis
Syok kardiogenik ditandai oleh hal-hal berikut :

Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg atau 30-60 mmHg dibawah batas bawah
sebelumnya

Adanya bukti penurunan aliran darah ke sistem organ-organ utama :

Keluaran urin < 20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar natrium dalam urin

Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala kulit dingi dan lembab

Gangguan fungsi mental

Indeks jantung < 2,1 L/menit/m2

Bukti gagal jantung kiri dengan LVEDP/tekanan baji kapiler paru (PCWP) 18-21 mmHg
Menurut Mubin (2008), diagnosis syok kardiogenik adalah berdasarkan:

Keluhan Utama Syok Kardiogenik


- Oliguri (urin < 20 mL/jam).
- Mungkin ada hubungan dengan IMA (infark miokard akut).
- Nyeri substernal seperti IMA.

Tanda Penting Syok Kardiogenik


1. Tensi turun < 80-90 mmHg.
2. Takipneu dan dalam.
3. Takikardi.
4. Nadi cepat, kecuali ada blok A-V.
5. Tanda-tanda bendungan paru: ronki basah di kedua basal paru.
6. Bunyi jantung sangat lemah, bunyi jantung III sering terdengar.
7. Sianosis.
8. Diaforesis (mandi keringat).

9. Ekstremitas dingin.
10. Perubahan mental.
Penatalaksanaan Medis Syok Kardiogenik :

Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi.

Berikan oksigen 8 15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk


mempertahankan PO2 70 120 mmHg

Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang ada harus diatasi
dengan pemberian morfin.

Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang terjadi.

Bila mungkin pasang CVP.

Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik.

Medikamentosa :
1. Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri.
2. Anti ansietas, bila cemas.
3. Digitalis, bila takiaritmi dan atrium fibrilasi.
4. Sulfas atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit.
5. Dopamin dan dobutamin (inotropik dan kronotropik), bila perfusi jantung tidak adekuat.
Dosis dopamin 2-15 mikrogram/kg/m.
6. Dobutamin 2,5-10 mikrogram/kg/m: bila ada dapat juga diberikan amrinon IV.
7. Norepinefrin 2-20 mikrogram/kg/m.
8. Diuretik/furosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan oksigenasi jaringan.
9. Digitalis bila ada fibrilasi atrial atau takikardi supraventrikel.
3.3 Shock septic
Sepsis merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman-kuman atau bahanbahan yang berasal dari atau dibuat oleh kuman-kuman. Organism yang paling sering
menyebabkan shock septic dalah kuman gram negative. Tetapi shock juga bias disebabkn
oleh kuman gram positif bahkan jamur, rickettsia dan bermacam-macam virus dapat
menimbulkan shock yang sifatnya tidak banyak berbeda.
Respon penderita terhadap pencetus yaitu masuknya kuman kedalam tubuh ditentukan oleh
keadaan penderita sebelumnya.
Kuman (pencetus)
neuroendokrin

Reaksi penderita

kelainan metabolisme

status imunologi
keadaan host sebelumnya:
status volume darah
status nutrisi
status kompetensi miokard

Faktor-faktor tersebut dibawah memegang peranan:


1. 1.

Efek langsung yang disebabkan oleh kuman atau bahan-bahan terhadap system

kardiovaskuler.
2. 2.

Kekacauan system metabolism

3. 3.

Efek kardiovaskuler terhadap produk-produk yang timbul secara sekunder karena

infeksi antara lain: komplemen, koagulasi kalikrein dan bahan-bahan toksin.

4. 4.

Pelepasan bahan-bahan vasoaktif lain.

5. 5.

Mekanisme kompensasi penderita dan keadaan penderita sebelum terjadi sepsis

Etiologi
Syok sepsik dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70% (Pseudomonas
auriginosa, Klebsiella, Enterobakter, E. choli, Proteus). Infeksi bakteri gram positif 20-40%
(Stafilokokus aureus, Stretokokus, Pneumokokus), infeksi jamur dan virus 2-3% (Dengue

Hemorrhagic Fever, Herpes viruses), protozoa (Malaria falciparum). Sedangkan pada kultur
yang sering ditemukan adalah Pseudomonas, disusul oleh Stapilokokus dan Pneumokokus.
Syok sepsik yang terjadi karena infeksi gram negatif adalah 40% dari kasus, sedangkan
gram positif adalah 5-15% dari kasus (Japardi, 2002). Syok septik sering terjadi pada:
1. Bayi baru lahir,
2. Usia diatas 50 tahun,
3. Penderita gangguan sistem kekebalan.

Table. Terminologi dan Definisi Sepsis


Sindrom respon inflamasi sistemik
(SIRS: systemic inflammatory respons syndrome) respon tubuh terhadap inflamasi sistemik
mencakup 2 atau lebih keadaan berikut :
-

suhu > 38o C

frekuensi jantung > 90 kali/menit

frekuensi nafas > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

leukosit darah > 12.000/ mm3, < 4000/mm3 atau stab > 10%

sepsis
keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS
sepsis berat
sepsis yang disertai dengan disfungsi rgan, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis
laktat, oliguria dan penurunan kesadaran.
Sepsis dengan hipotensi
Sepsis dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik
>40 mmHg dan tidak ditemukan penyebab hipotensi
Renjatan septic
Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau
memerlukan vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.
Patofisiologi
Terjadinya syok septik dapat melalui dua cara yaitu aktivasi lintasan humoral dan
aktivasi cytokines. Lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada dinding bakteri gram negatif
dan endotoksinnya serta komponen dinding sel bakteri gram positif dapat mengaktifkan:
1. Sistem komplemen,

2. Membentuk kompleks LPS dan protein yang menempel pada sel monosit,
3. Faktor XII (Hageman faktor).
Sistem komplemen yang sudah diaktifkan akan merangsang netrofil untuk saling mengikat
dan dapat menempel ke endotel vaskuler, akhirnya dilepaskan derivat asam arakhidonat,
enzim lisosom superoksida radikal, sehingga memberikan efek vasoaktif lokal pada
mikrovaskuler yang mengakibatkan terjadi kebocoran vaskuler. Di samping itu sistem
komplemen yang sudah aktif dapat secara langsung menimbulkan meningkatnya efek
kemotaksis, superoksida radikal, ensim lisosom. LBP-LPS monosit kompleks dapat
mengaktifkan cytokines, kemudian cytokines akan merangsang neutrofil atau sel endotel,
sel endotel akan mengaktifkan faktor jaringan PARASIT-INH-1. Sehingga dapat
mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah dan Disseminated Intravascular

Coagulation (DIC). Cytokines dapat secara langsung menimbulkan demam, perobahanperobahan metabolik dan perobahan hormonal.
Faktor XII (Hageman factor) akan diaktivasi oleh peptidoglikan dan asam teikot yang
terdapat pada dinding bakteri gram positif. Faktor XII yang sudah aktif akan meningkatkan
pemakaian faktor koagulasi sehingga terjadi DIC. Faktor XII yang sudah aktif akan
mengubah prekallikrein menjadi kalikrein, kalikrein mengubah kininogen sehingga terjadi
pelepasan hipotensive agentyang potensial bradikinin, bradikinin akan menyebabkan
vasodiltasi pembuluh darah. Terjadinya kebocoran kapiler, akumulasi netrofil dan
perubahan perubahan metabolik, perubahan hormonal, vasodilatasi, DIC akan
menimbulkan sindroma sepsis.Hipotensi respiratory distress syndrome, multiple organ

failure akhirnya kematian.

Manifestasi Klinis
Karena terdapat banyak jenis syok septik, maka sulit untuk menggolongkan keadaan
tersebut. Beberapa gejala antara lain:
1. Demam tinggi
2. Seringkali vasodilatasi nyata di seluruh tubuh, terutama pada jaringan yang terinfeksi.
3. Curah jantung yang tinggi pada sekitar separuh penderita, disebabkan oleh adanya
vasodilatasi di jaringan yang terinfeksi dan oleh derajat metabolik yang tinggi dan
vasodilatasi di tempat lain dalam tubuh, akibat dari rangsangan toksin bakteri terhadap
metabolisme sel dan dari suhu tubuh yang tinggi.
4. Melambatnya aliran darah, mungkin disebabkan oleh aglutinasi sel darah merah sebagai
respons terhadap jaringan yang mengalami de-generasi.
5. Pembentukan bekuan kecil di daerah yang luas dalam tubuh, keadaan yang disebut
koagulasi intravaskular menyebar. Hal ini juga menye-babkan faktor-faktor pembekuan
menjadi habis terpakai sehingga timbul perdarahan di banyak jaringan, terutama dinding
usus dan traktus intestinal.
Pada tahap dini dari syok septik, biasanya pasien tidak memperlihatkan tanda-tanda kolaps
sirkulasi tetapi hanya tanda-tanda infeksi bakteri. Setelah infeksi menjadi lebih hebat,
sistem sirkulasi biasanya ikut terlibat baik secara langsung ataupun sebagai akibat sekunder

dari toksin bakteri. Akhirnya sampailah pada suatu titik di mana kerusakan sirkulasi menjadi
progresif serupa dengan yang terjadi di seluruh jenis syok lainnya. Tahap akhir dari syok
septik tidak banyak berbeda dengan tahap akhir syok hemoragik, meskipun faktor-faktor
pencetusnya sangat berlainan pada kedua macam syok tersebut.
Diagnosis
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah putih yang banyak atau sedikit, dan
jumlah faktor pembekuan yang menurun. Jika terjadi gagal ginjal, kadar hasil buangan
metabolik (seperti urea nitrogen) dalam darah akan meningkat. Analisa gas darah
menunjukkan adanya asidosis dan rendahnya konsentrasi oksigen. Pemeriksaan EKG
jantung menunjukkan ketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai darah yang tidak
memadai ke otot jantung. Biakan darah dibuat untuk menentukan bakteri penyebab infeksi.
Penatalaksanaan
1. Memberantas infeksi :

Meningitis, umur > 1 bulan

Ampiciline 300 400 mg/KgBB/hari dibagi 6 dosis


Chloramphenicol 100 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis

Resiko tinggi infeksi gram negatif kombinasi aminoglikosida dan derivat penisilin

Moxalactam, cefotaxime, ceftazidime dan cephalosporin generasi III untuk infeksi


gram negatif aerob dan anaerob

Jamur Candida dapat diberikan amphotericin B

Dosis 0.25 0.30 mg/KgBB/hari dalam waktu 3 6 jam


Dosis dapat dinaikkan perlahan-lahan
0.1 0.25 mg/KgBB sampai 0.5 1.0 mg/KgBB/ hari (maksimal 50 mg/hari) dan diberikan
selama 10 14 hari
Pemakaian Antibiotik. Setelah diagnosa sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan,
dimana sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian
antibiotik tak perlu menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan dari
mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan terapi kombinasi untuk gram
positif dan gram negatif. Indikasi terapi kombinasi yaitu:

Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui.

Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni.

Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen (pseudomonas
aureginosa, enterococcus).

1. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat :


1. Pemberian cairan & pengaturan keseimbangan asam basa :

Ringer laktat 10 20 ml/KgBB/beberapa menit sampai 1 jam untuk memperbaiki


volume cairan intravaskuler

1. Kadar protein total 4.5 gr/100 ml dapat diberikan FFP


2. Tekanan vena sentral 5 6 cmH2O dengan hipotensi diberi cairan kristaloid lagi
20 ml/KgBB selama 10 menit

10

3. Tekanan vena sentral 6 10 cmH2O cairan kristaloid 5 10 ml/KgBB sampai tekanan


vena sentral mencapai 10 15 cmH2O
4. Transfusi darah bila Ht 3% untuk mempertahankan Ht antara 35 40 %
5. Sodium bikarbonat digunakan untuk koreksi gangguan asam basa.
Jika dalam keadaan darurat diberi 1 2 mEq/KgBB dengan kecepatan 1 mEq/kgBB/menit
1. Obat-obat vasoaktif bila curah jantung tetap rendah walaupun pemberian cairan sudah
adekuat atau bila ada edema paru diberikan:
Golongan xanthine (aminophyllin)
Glucagon
Cardiac glucocide, digitalis dan derivatnya
1. Golongan steroid yang diberikan :
Dexamethasone 1 3 mg/kgBB atau
Methyl prednisolon 30 mg/kgBB setiap 4-6 jam selama 72 jam
1. Ventilasi
Jalan nafas harus bebas
Oksigenasi yang adekuat
Bila ada tanda-tanda kegagalan pernafasan akut :
Hiperventilasi
Hipoksemia berat
Hiperkapnea
Bila terjadi adult respiratory distress syndrome PEEP dan ventilator mekanik
1. Pengobatan supportif
Nutrisi dengan tinggi kalori protein, dan pemberian mineral
Bila ada gagal ginjal dipertimbangkan dialisis peritoneal
Koreksi PIM dengan komponen darah (FFP atau trombosit)

3.4

Syok Anafilaksis

Adalah suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi. Anafilaksis
merupakan kondisi alergi di mana curah jantung dan tekanan arteri seringkali menurun
dengan hebat.
Etiologi
1. Makanan : kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
2. Allergen immunotherapy
3. Gigitan atau sengatan serangga

4. Obat-obat : penicillin, sulpha, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID


5. Latex
6. Vaksin
7. Exercise induce
8. Anafilaksis idiopatik : anafilaksis yang terjadi berulang tapa diketahui penyebabnya
meskipun sudah dilakukan evaluasi/observasi dan challenge test, diduga karena
kelainan pada sel mast yang menyebabkan pengeluaran histamine.
Patofisiologi
Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang disebabkan oleh antigen khusus yang bereaksi
dengan molekul IgE pada permukaan sel mast dan basofil yang menyebabkan pengeluaran
segera beberapa mediator yang kuat. Satu efek utamanya adalah menyebabkan basofil
dalam darah dan sel mast dalam jaringan prekapiler melepaskan histamin atau bahan
seperti histamin. Histamin selanjutnya menyebabkan
(1) Kenaikan kapasitas vaskular akibat dilatasi vena,
(2) Dilatasi arteriol yang mengakibatkan tekanan arteri menjadi sangat menurun, dan
(3) Kenaikan luar biasa pada permeabilitas kapiler dengan hilangnya cairan dan protein ke
dalam ruang jaringan secara cepat. Hasil akhirnya merupakan suatu penurunan yang luar
biasa pada aliran balik vena dan seringkali menimbulkan syok serius sehingga pasien
meninggal dalam beberapa menit.
Mediator ini menyebabkan timbulnya gejala-gejala urtikaria, angioedema, spasme bronkus,
spasme laring, meningkatnya permeabilitas pembuluh darah, vasodilatasi, dan nyeri/kolik
abdomen.
Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap
antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat
pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin,
dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi
kapiler menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan
syok, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan edem. Pada syok
anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme yang menurunkan ventilasi.
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat
kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag
segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana akan
mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi
sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk
antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit)
dan basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang . Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya

reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah
preformed mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat
dari membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang
terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed mediators.
3. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ
organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi, demikian juga dengan Leukotrien.

Manifestasi Klinis
Reaksi timbul dalam beberapa detik atau menit sesudah paparan allergen.
Gejala kardiovaskular
Gejala saluran nafas

: hipotensi/renjatan
: sekret hidung enter, hidung gatal, udema hipopharing/laring,

gejala asma.
Kulit

: pruritus, erithema, urtikaria dan angioedema.

Gejala Intestinal

: kolik abdomen, kadang-kadang disertai muntah dan diare.

Gejala SSP

: pusing, sincope, gangguan kesadaran sampai koma.

Penatalaksanaan
1. Resusitasi (A B C)
2. Adrenalin 1%:0,01m1/kgBB diberikan intramuskular. Bila tidak ada perbaikan, diulang
10-15 menit kemudian (maksimal 3 kali).
3. Infus RL/NaCL 0,9% atau cairan kolloid 20 ml/kg/10 menit bila dengan adrenalin belum
menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.
4. Bronkodilator pada penderita yang menunjukkan gejala seperti asma.
Aminophylline intravena atau adrenergic bronkodilator (albuterol, terbutalin) parenteral
atau nebulizer.
1. Antihistamin :
-

Diphenhydramine 2 mg/kg BB i.m atau i.v atau 5 mg/kgBB per oral.

Chlortrimeton untuk gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema pruritus.

1. Kortikosteroid : Hydrocortisone 6- 8 mg/kg BB/ 6-8 jam

Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter, urtikaria persisten, atau angioedema
yang masih menetap setelah fase akut teratasi.
3.5

Syok Neurogenik

Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan
penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels). Syok neurogenik terjadi
karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh.Syok
neurogenik juga dikenal sebagai syok spinal. Bentuk dari syok distributif, hasil dari
perubahan resistensi pembuluh darah sistemik yang diakibatkan oleh cidera pada sistem
saraf (seperti: trauma kepala, cedera spinal, atau anestesi umum yang dalam).
Etiologi
Penyebabnya antara lain :
1. Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).
2. Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur
tulang.
3. Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal/lumbal.
4. Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).
5. Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut.
Patofisiologi
Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan perfusi jaringan dalam syok
distributif merupakan hasil utama dari hipotensi arterial karena penurunan resistensi
pembuluh darah sistemik (systemic vascular resistance). Sebagai tambahan, penurunan
dalam efektifitas sirkulasi volume plasma sering terjadi dari penurunan venous tone,
pengumpulan darah di pembuluh darah vena, kehilangan volume intravaskuler dan
intersisial karena peningkatan permeabilitas kapiler. Akhirnya, terjadi disfungsi miokard
primer yang bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel, penurunan fraksi ejeksi, dan
penurunan kurva fungsi ventrikel. Pada keadaan ini akan terdapat peningkatan aliran
vaskuler dengan akibat sekunder terjadi berkurangnya cairan dalam sirkulasi. Syok
neurogenik mengacu pada hilangnya tonus simpatik (cedera spinal). Gambaran klasik pada
syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi kulit. Syok neurogenik
terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan vasodilatasi menyeluruh di
regio splanknikus, sehingga perfusi ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya
disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Syok neurogenik
bisa juga akibat rangsangan parasimpatis ke jantung yang memperlambat kecepatan denyut
jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke pembuluh darah. Misalnya pingsan
mendadak akibat gangguan emosional. Pada penggunaan anestesi spinal, obat anestesi
melumpuhkan kendali neurogenik sfingter prekapiler dan menekan tonus venomotor. Pasien
dengan nyeri hebat, stress, emosi dan ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena
mekanisme reflek yang tidak jelas yang menimbulkan volume sirkulasi yang tidak efektif
dan terjadi sinkop, syok neurogenik disebabkan oleh gangguan persarafan simpatis
descendens ke pembuluh darah yang mendilatasi pembuluh darah dan menyebabkan
terjadinya hipotensi dan bradikardia.

Penatalaksanaan
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin
dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan
vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan
masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan
endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk
menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang
berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan
menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan.
Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus
secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan
darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif
(adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien).
5. Pemberian obat-obatan

Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek
serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi. Dosis dopamine yang diberikan
2,5-20 mcg/kg/menit

Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah.
Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal
dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap
tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang
terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap
jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal
kembali. Dosis pemberian Norepinefrin 0,05-2 mcg/kg/menit.

Epinefrin : Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan
dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan
pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu
bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat
menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik.
Dosis pemberian Epinefrin 0,05-2 mcg/kg/menit.

Dobutamin : Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya
cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi
perifer. Dosis pemberian dobutamin 2,5-10 mcg/kg/menit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anurogo, Dito. 2009. Segala hal tentang Syok

Jantung dalam http://www.medicastore.com, diakses tanggal 15 September 2010.


2. Azis AL, Dharmawati I, Kushartono. 2008. Renjatan Hipovolemi Pada Anak in: Pedoman
Diagnosa dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. Buku 3. Rumah Sakit
Umum Daerah dr. Soetomo. Surabaya. Pp. 4-7.
3. Azis AL, Dharmawati I, Kushartono. 2008. Renjatan Anafilaksis in: Pedoman Diagnosa
dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. Buku 3. Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Soetomo. Surabaya. Pp. 8-9.
4. Guyton AC, Hall JE. 2006. Syok Sirkulasi dan Fisiologi Pengobatan in: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. EGC. Jakarta. pp. 359-372.

Patofisiologi dan Penatalaksanaan Syok


Anafilaktik
Pendahuluan.
Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi) yang bersifat
sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan
kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga menimbulkan syok disebut sebagai syok anafilaktik
yang dapat berakibat fatal. Oleh karena itu syok anafilaktik adalah suatu tragedi dalam dunia
kedokteran, yang membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Tanpa pertolongan yang cepat dan tepat,
keadaan ini dapat menimbulkan malapetaka yang berakibat ganda. Disatu pihak penderita dapat
meninggal seketika, dilain pihak dokternya dapat dikenai sanksi hukum yang digolongkan sebagai
kelalaian atau malpratice. Test kulit yang merupakan salah satu upaya guna menghindari kejadian ini
tidak dapat diandalkan, sebab ternyata dengan test kulit yang negatif tidak menjamin 100 % untuk
tidak timbulnya reaksi anafilaktik dengan pemberian dosis penuh. Selain itu, test kulit sendiri dapat
menimbulkan syok anafilaktik pada penderita yang amat sensitif. Olehnya itu upaya menghindari
timbulnya syok anafilaktik ini hampir tertutup bagi profesi dokter yang selalu berhadapan dengan
suntikan. Satu-satunya jalan yang dapat menolong kita dari malapetaka ini bukan menghindari
penyuntikan, karena itu merupakan senjata ampuh buat kita, tapi bagaimana kita memberi pertolongan
secara lege-artis bila kejadian itu menimpa kita. Untuk itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan
dalam pengelolaan syok anafilaktik. Makalah ini akan memberi petunjuk sederhana tentang usahausaha
yang
harus
dilakukan
dalam
mengelola
syok
anafilaktik.
Insidens
Insidens syok anafilaktik 40 60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40 persen akibat zat
kontras radiografi, dan 10 20 persen akibat pemberian obat penicillin. Sangat kurang data yang
akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira
4
kasus
kematian
dari
10
juta
masyarakat
pertahun.
Di Amerika Serikat insisidens reaksi alergi dan anafilaksis yang dicatat dari bagian gawat darurat
rumah sakit didapatkan bahwa 0,5persen (5 per 1000) dan 0,02 persen (2 per 10.000) kejadian.
Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik seperti penicillin dan
bahan zat radiologis. Penicillin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi
anafilaksis. Secara umum insidens reaksi anafilakis 0,01 % eksposue di Amerika. Gigitan serangga
hymenoptera
merupakan
penyebab
yang
terbanyak
dari
syok
anafilaktik.(1)
Patofisiologi
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap alergen tertentu.

Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan maupun makanan,
terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu. IgE
spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya,
alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi yang
menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari granula yang terdapat dalam sel.
Ikatan antigen antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis )
dan degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan
prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine
(SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus menyebabkan timbulnya
gejala
pernafasan
dan
syok.
(2)
Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan saluran
sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2
menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 H2 pada jaringan
menentukan
efek
akhirnya.
(2,3)
Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi
kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula kedalam
cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat pelepasan mediator. Obatobatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala
anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl
xanthine misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediatormediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari
netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan
patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP
(misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya
mediator.(2,3,4)
Reaksi
Anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang sama dengan
reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi. Pelepasan mediator
biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya dapat
diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras radiografi
(idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun NSAID lainnya
juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat terhambatnya enzim
siklooksgenase.

Manifestasi
klinik
Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai berat
ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat
barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi.
Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat
bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin
berat
keadaan
penderita.(4,5,6,7)

Sistem
pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian
segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini menyebabkan
penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan gangguan sirkulasi,
demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya menimbulkan gangguan respirasi.
Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan bronkospasme merupakan pembunuh utama
pada
syok
anafilaktik.
Sistem
sirkulasi
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan respirasi, tapi bisa juga berdiri
sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi
merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua
faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga banyak cairan
intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume relatif).Gejala hipotensi ini dapat
terjadi dengan drastis sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera dapat berkembang menjadi gagal
sirkulasi
atau
henti
jantung.
Gangguan
kulit.
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini
tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan
gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan
sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus
diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap keluhan
kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat berkembang kearah
yang
lebih
berat.
Gangguan
gastrointestinal
Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari gangguan gastrointestinal yang
juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.
Skema
perubahan
patofisiologi
pada
syok
anafilaktik
Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik

Pengelolaan
Anafilaksis
Secara
umum
terapi
1. Mencegah efek mediator

2.

dan
anafilaksis

Menghambat sintesis dan pelepasan mediator


Blokade reseptor
Mengembalikan fungsi organ dari perubahan

syok

patofisiologik

bertujuan

akibat

Titik tangkap terapi berdasarkan perubahan patofisiologi

Anafilaksis
:

efek

mediator.

Penanganan
syok
anafilaktik
I.
Terapi
medikamentosa (7,8,9)
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan pengelolaannya.
1.Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu :

Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat terhindar
dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.

Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat sehingga
tekanan darah dengan cepat naik kembali.

Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP sehingga
produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.
Dosis
dan
cara
pemberiannya.
0,3 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5 10
menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika
respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1
0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan.
Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan
mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.
2.Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian
adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan
250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.
3. Antihistamin dan kortikosteroid.
Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok
anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical mediators yang lepas dan tidak
menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah
komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa
digunakan adalah difenhidramin HCl 5 20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat
digunakan deksametason 5 10 mg IV atau hidrocortison 100 250 mg IV.
Obat obat yang dibutuhkan :

Adrenalin
Aminofilin
Antihistamin
Kortikosteroid

II.
Terapi
supportif
Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan sebaiknya
dilakukan
secara
bersamaan.
(10,11,12)
1. Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 5 ltr / menit harus dilakukan.
Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
2. Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi ) akan
membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
3.Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah maka
pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama
guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat

atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya
dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera
harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya
henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang
dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat
resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
Perangkat yang dibutuhkan :

Oksigen

Posisi Trendelenburg (kursi)

Infus set dan cairannya

Resusitation kit
Pencegahan
1. Kewaspadaan
Tiap penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum,
penisillin, anestesi lokal dll ) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anfilaktik.Penderita yang
tergolong resiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus
lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada
riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih aman.
2. Test kulit
Test kulitmemang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum pemberian obat bagi penderita yang
dicurigai. Tindakan ini tak dapat diandalakan dan bukannya tanpa resiko tapi minimal kita dapat
terlindung dari sanksi hukum. Pada penderita dengan resiko amat tinggi dapat dicoba dengan stracth
test dengan kewaspadaan dan persiapan yang prima.
3. Pemberian antihistamin dan kortikosteroid .
Sebagai pencegahan sebelum penyuntikan obat, juga merupakan tindakan yang aman, selain itu
hasilnyapun dapat diandalkan.
4. Pengetahuan, keterampilan dan peralatan.
Early diagnosis dan early treatment secara lege-artis serta tersedianya obata-obatan beserta perangkat
resusitasi lainnya merupakan modal utama guna mengelola syok anafilaktik yang mungkin tidak dapat
dihindari dalam praktek dunia kodokteran.
Masalah
hukum
Walaupun test kulit tidak memberi jaminan 100 % namun demi kepentingan, test kulit sebaiknya
dilakukan sebelum menyuntikan obat-obatan yang telah pernah dilaporkan sebagai obat yang dapat
menimbulkan syok anafilaksis.Seandainya test kulit negatif dan pada pemberian dosis pernah terjadi
syok anafilaksis kemudian tak dapat tertolong maka pertanyaannya adalah :
Sudahkah kita melakukan tugas kita dengan baik yakni menggunakan standar profesi
yang optimal ? Disini dituntut pengetahuan dan keterampilan dalam bertindak.
2.
Tersediakah obat-obatan perfection dan peralatan yang lengkap untuk melakukan
RKP yang sempurna. Disini dituntut tersedianya obat-obatan perfection dan peralatan yang
lengkap untuk bertindak sesuai dengan standar profesi yang muktahir.
Jika semuanya telah kita lakukan dengan sempurna, maka paling tidak beban moril akan jauh lebih
rendah
dan
terhindar
dari
tuntutan
hukum.
1.

Kesimpulan

Syok anafilaksis merupakan reaksi alergi yang tergolong emergency life-threatening.


2.
Reaksi anafilaksis atau anafilaktoid dapat memberi gejala yang sama, walaupun
mekanismenya berbeda.
3.
Test kulit senantiasa diperlukan, pada penggunaan obat-obat yang sangat dicurigai
(untuk kepentingan aspek hukum).
4.
Pemberian antihistamin dan steroid pra-exposure dilaporkan sangat bermanfaat.
5.
Drug of choise dari syok anafilaktik adalah adrenalin.
6.
Keterampilan RKP dan ketersediaan Resusitation kit, emergency drug mutlak pada
tempat-tempat dimana penyuntikan banyak dilakukan.
Referensi.
1.
HauptMT ,Fujii TK et al (2000) Anaphylactic Reactions. In :Text Book ofCritical
care. Eds : Ake Grenvvik,Stephen M.Ayres,Peter R,William C.Shoemaker 4th edWB
Saunders companyPhiladelpia-Tokyo.pp246-56
2.
Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In
:International edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed
McGrraw-Hill New York-Toronto.pp 242-6
3.
Martin (2000) In: Fundamentals Anatomy and Physiology,5th ed pp.788-9
4.
Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update on
Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.
5.
Sanders,J.H, Anaphylactic Reaction Handbook of Medical Emergencies, Med.Exam.
Publ.Co,2 nd Ed.154 : 1978.
6.
Austen, K.F, : Systemic Anaphylaxix in Man JAMA, 192 : 2 .1965.
7.
Van-Arsdel,P,P ,: Allergic Reaction to Penicillin, JAMA 191 : 3, 1965.
8.
Petterson,R and Arbor A. Allergic Energencies. The Journal of the American Medical
Association 172 : 4,1960.
9.
Shepard, D.A. and Vandam.L,D. Anaphylaxis Assiciated with the use of Dextran
Anesthesiology 25: 2, 1964.
10.
Currie, TT. Et al, Severe Anaphylactic Reaction to Thiopentone : Case report,British
Medical Journal June 1966.
11.
Kern R,A. Anphylactic Drug Reaction JAMA 6 :1962.
12.
Cook, D.R. Acute Hypersensitivity Reaction to Penicillin During general Anesthesia :
Case Report. Anesthesia and Analgesia 50 : 1, 1971.
1.

Penulis :
Prof dr A.Husni Tanra, PhD, SpAn, KIC
Bagian Anestesiologi dan Perawatan Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin-Makassar

Posts Tagged With: alergi


Reaksi Hipersensitivitas Sebagai Dasar Mekanisme
Alergi Terkait Dengan Faktor Nutrisi
Posted on 4 September 2009 by Agatha Dinar

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Urtikaria atau biduran, dalam bahasa awam, adalah suatu kelainan yang terbatas pada bagian
superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang berbatas jelas dengan dikelilingi daerah yang
eritematous. Urtikaria dikenal juga sebagai penyakit kulit dengan bintul-bintul kemerahan
sebagai akibat dari proses alergi (Baskoro et.al, 2007).
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 2:
Seorang anak bernama Siti, 10 tahun, sering menderita biduren/kaligata, yang biasanya timbul
setelah makan udang. Menurut ibunya, beberapa hari setelah lahir dulu pada pipinya
timbul eczema, berwarna kemerahan dan selalu digaruk-garuk. Waktu bayi selain ASI, juga
mendapat susu formula. Sejak kecil, sehabis makan udang dan kepiting langsung keluar bentolbentol merah, terasa gatal dan juga disertai kolik abdomen serta diare.
Selanjutnya, Siti tidak berani lagi makan udang, telur, dan semua ikan laut. Setelah periksa ke
dokter, hasil pemeriksaan darah lengkap Hb: 13, 2 gr/dL; jumlah leukosit: 7,5103; AT: 337103;
hitung jenis leukosit:eosinofilia relatif. Selanjutnya dokter memberikan obat dan dianjurkan
dilakukan pemeriksaan skin prick test.
Ibunya Siti sering pilek, hidung gatal, bersin-bersin, dan juga menderita asma, dengan gejala
sesak nafas dan mengi. Pada waktu hamil ibunya Siti khawatir kalau asmanya menurun pada
anaknya. Mereka konsultasi kepada dokter mengenai hasil tersebut. Ibunya Siti pernah berobat
ke praktek dokter, diberikan suntikan dan syok. Dokter berusaha menangani syoknya tersebut,
namun tidak membaik dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah perbedaan mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV?
2. Bagaimanakah mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I sebagai dasar reaksi alergi?
3. Apakah hubungan antara nutrisi dengan alergi?
4. Bagaimanakah mekanisme perjalanan alergi, mengapa bisa menghilang namun ada juga
yang menetap?
5. Bagaimanakah alergi ditinjau dari sudut pandang genetika?
6. Bagaimana tahap penegakan diagnosis dan pemeriksaan laboratorium pada penyakit alergi?
7. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit alergi yang tepat?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Apakah perbedaan mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV?
2. Bagaimanakah mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I sebagai dasar reaksi alergi?
3. Apakah hubungan antara nutrisi dengan alergi?
4. Bagaimanakah mekanisme perjalanan alergi, mengapa bisa menghilang namun ada juga
yang menetap?
5. Bagaimanakah alergi ditinjau dari sudut pandang genetika?
6. Bagaimana tahap penegakan diagnosis dan pemeriksaan laboratorium pada penyakit alergi?
7. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit alergi yang tepat?
D. MANFAAT PENULISAN

Mahasiswa mampu menjelaskan sistem imun manusia.

Mahasiswa mampu menjelaskan penyakit yang terkait sistem imun.

Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi dan patogenesis penyakit-penyakit imunologis.

Menjelaskan komplikasi yang timbul dari penyakit imunologis.

Menjelaskan cara pencegahan penyakit imunologi dengan pertimbangan faktor pencetus.

Menjelaskan cara pencegahan komplikasi penyakit imunologis.

F. HIPOTESIS
Urtikaria yang terjadi pada pasien dalam kasus adalah akibat dari reaksi hipersensitivitas tipe I,
yaitu reaksi alergi terhadap makanan tertentu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. A. Reaksi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan
sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan
Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu
tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi
tipe IVa dan IVb.
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi timbul
segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk ke dalam
tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi,
asma, dan dermatitis atopi.
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau
IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi tipe III disebut juga reaksi
kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah
atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH
(Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang
terjadi melalui sel CD8+ (Baratawidjaja, 2006).

Jenis Hipersensitivitas Mekanisme Imun Patologik


Tipe I

IgE

Sel mast dan mediatornya (amin vasoaktif,


mediator lipid, dan sitokin)

IgM, IgG terhadap permukaan


sel atau matriks antigen
ekstraseluler

Opsonisasi & fagositosis sel

Hipersensitivitas cepat
Tipe II

Reaksi melalui antibodi

Mekanisme Kerusakan Jaringan dan


Penyakit

Pengerahan leukosit (neutrofil, makrofag) atas


pengaruh komplemen dan FcR
Kelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal
reseptor hormone)

Tipe III

Kompleks imun

Kompleks imun (antigen dalam Pengerahan dan aktivasi leukosit atas pengaruh
sirkulasi dan IgM atau IgG)
komplemen dan Fc-R

Tipe IV (melalui sel T)

Tipe IVa

1. CD4+ : DTH
2. CD8+ : CTL

Tipe IVb

1. Aktivasi makrofag, inflamasi atas pengaruh


sitokin
2. Membunuh sel sasaran direk, inflamasi atas
pengaruh sitokin

(Baratawidjaja, 2006).
1. B. Mekanisme Alergi Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen
bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya
setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti
demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediatormediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006).
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara
imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk
mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan
secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann
toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang
terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel
mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil,
dan trombosit.
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut,
akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan
berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi,
sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari
hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang
dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti, 2007).
Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif (mediator)
yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit.
1. Mediator jenis pertama
Meliputi histamin dan faktor kemotaktik.
-

histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan saraf

sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos.

Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of

anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anophylaxis)
untuk sel-sel neutrofil.
1. Mediator jenis kedua
Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid membrannya.
Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase.
-

Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan

tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh
darah.
-

Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien. Lekotrien C, D,

E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive substance of anaphylaxis)


karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos dibandingkan dengan histamin.
1. Mediator jenis ketiga
Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2)
kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002)
1. C. Nutrisi dan Alergi
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang berbahaya. Seperti alergen lain,
alergi terhadap makanan dapat bermanifestasi pada salah satu atau berbagai organ target: kulit
(urtikaria, angiodema, dermatitis atopik), saluran nafas (rinitis, asma), saluran cerna (nyeri
abdomen, muntah, diare), dan sistem kardiovaskular (syok anafilaktik) (Rengganis dan
Yunihastuti, 2007). Urtikaria akibat alergi makanan biasanya timbul setelah 30-90 menit setelah
makan dan biasa disertai gejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu,
bronkospasme, hingga gangguan vaskular. Semua gejala ini diperantarai oleh IgE
(Baskoro et.al, 2007).
Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi untuk menimbulkan reaksi alergi. Alergen dalam
makanan terutama berupa protein yang terdapat di dalamnya. Namun, tidak semua protein
dalam makanan mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering alergi pada orang
dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Sedangkan penyebab alergi tersering pada
anak adalah susu, telur, kacang-kacangan, ikan, dan gandum. Sebagian besar alergi hilang
setelah pasien menghindari makanan tersebut, dan melakukan eliminasi makanan, kecuali
terhadap kacang-kacangan, ikan, dan kerang cenderung menetap atau menghilang setelah
jangka waktu yang sangat lama.
Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utama dalam codfish adalah Gad c1 telah
diisolasi dari fraksi miogen. Udang mengandung beberapa alergen. Antigen II dianggap sebagai
alergen utama. Otot udang mengandung glikoprotein otot yang mengandung Pen a1
(tropomiosin).
Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi melalui IgE dan menunjukkan
manifestasi terbatas: gastrointestinal, kulit dan saluran nafas. Tanda dan gejalanya disebabkan

oleh pelepasan histamine, leukotrien, prostaglandin, dan sitokin. Alergen yang dimakan dapat
menimbulkan efek luas, berupa respon urtikaria di seluruh tubuh, karena distribusi random IgE
pada sel mast yang tersebar di seluruh tubuh (Rengganis dan Yunihastuti, 2007). .
1. D. Penegakan Diagnosis Penyakit Alergi
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar menderita
penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab,
selain juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut.
1) Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan
penyakit dengan alergi.
2) Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian ditujukan
terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan
difokuskan pada manifestasi yang timbul.
3) Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun
tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah
leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.
4) Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya
dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien.
5) Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada
pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan
ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes
provokasi nasal dan tes provokasi bronkial (Tanjung dan Yunihastuti, 2007).
1. E. Penatalaksanaan Penyakit Alergi
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui), cara-cara
sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan harapan di masa
mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi dari bahan penyebab, bahan
pencetus atau antigen.
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan ketiga.
Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik yang bekerja
dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah dengan penggunaan
kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah penggunaan imunosupresan
(Baskoro et.al, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu timbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini

tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok
anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke
jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara
rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian
kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease,
sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi
otot polos dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen
dan diare.
ASI berisi substansi alamiah yang membantu maturitas usus bayi sehingga melindungi terhadap
reaksi alergi, meningkatkan pertumbuhan postnatal dari epitel intestinal dan maturasi fungsi
mukosa, serta menjaga keseimbangan Th1 dan Th2 yang menyebabkan penurunan risiko
terjadinya alergi.
Anak-anak, terutama bayi, lebih rentan mengalami alergi, karena maturitas barier imunitasnya
belum sempurna, sehingga belum dapat melindungi tubuh dengan maksimal. Selain itu, sekresi
enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja maksimal, sehingga
terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi yang dapat
membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur.
Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu
tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena disertai
dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan
histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam mekanisme
pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat,
jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.
Ibunya Siti yang mengalami pilek, hidung gatal, bersin-bersin, dan juga menderita asma, dengan
gejala sesak nafas dan mengi, menunjukkan bahwa ibunya Siti juga memiliki riwayat alergi.
Mekanisme alergi pada ibunya Siti juga tetap diperantarai histamin, namun, alergi pada ibunya
Siti bermanifestasi pada saluran pernafasan. Contohnya, bronkokonstriksi yang menyebabkan
sesak nafas dan mengi (ekspirasi berbunyi) adalah akibat dari kerja histamin yang menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus. Sedangkan pilek, hidung gatal, dan bersin, adalah upaya mukosa
dan sekretnya untuk menyingkirkan alergen yang masuk ke saluran pernafasan. Asma, dalam
hal ini adalah alergi bronkus yang dikhawatirkan menurun, memang mempunyai kemungkinan
diturunkan. Dengan mempunyai hanya satu orang tua yang memiliki riwayat alergi saja, anak
telah memiliki risiko alergi sebesar 20-40%.
Syok anafilaktik yang terjadi ketika ibunya Siti disuntik merupakan salah satu reaksi alergi hebat
akibat pelepasan histamin yang diantaranya ditandai dengan penurunan kesadaran dan

penurunan tekanan darah. Apabila dijumpai syok anafilaktik, hendaknya pada pasien segera
diberikan antagonis fisiologis histamin, yaitu berupa injeksi adrenalin.
Apabila dijumpai pasien dengan kecurigaan penyakit alergi, maka pertama kali dilakukan
anamnesis, kemudian pemeriksaan fisik dan laboratorium, kemudian tes kulit yang sederhana.
Apabila belum ditemukan penyebab yang pasti, barulah dilakukan tes provokasi.
Dalam kasus, kemungkinan besar pasien alergi terhadap makanan tertentu seperti udang dan
kepiting, karena gejala-gejala alergi yang ada timbul setelah pasien makan makanan tersebut.
Penatalaksanaan yang paling baik untuk alergi adalah menghindari alergennya. Namun apabila
diperlukan, dapat digunakan antihistamin, obat-obat kortikosteroid, serta imunosupresan yang
seluruhnya digunakan untuk menekan respon sistem imun yang berlebihan yang terjadi pada
reaksi alergi.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah dasar dari reaksi alergi dengan perantara IgE.
2. Pasien dalam kasus mengalami alergi terhadap makanan.
3. Alergi dapat membaik, dan dapat juga menetap seumur hidup.
4. Sifat alergi mempunyai kemungkinan diturunkan.
5. Diagnosis penyakit alergi ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit, dan
apabila perlu tes provokasi.
6. Cara terbaik menangani alergi adalah dengan menghindari alergen. Apabila perlu dapat
digunakan antihistamin, kortikosteroid, dan imunosupresan.
B. SARAN
1. Sebaiknya Siti segera menjalani skin prick test agar diagnosis penyakit dapat segera
dipastikan, dan dibandingkan dengan diagnosis banding bintul kulit lainnya, yaitu herpes,
pemfigoid bulosa, atau penyakit gula kronik.
2. Sebaiknya Siti menghindari makanan-makanan penyebab alergi, seperti udang dan kepiting,
dan menggunakan makanan lain sebagai sumber protein pengganti.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Baskoro, Ari. Soegiarto, Gatot. Effendi, Chairul. Konthen, P.G. 2007. Urtikaria dan Angiodema
dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati,
Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21.
Jakarta: Salemba Medika.
Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUI

Rengganis, Iris. Yunihastuti, Evy. 2007. Alergi Makanan dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tanjung, Azhar. Yunihastuti, Evy. 2007. Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi dalam Sudoyo, Aru
W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Wahab, A Samik. Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta:
Widya Medika.

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN MYASTHENIA GRAVIS


ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TUMOR OTAK

SYOK ANAFILAKTIK
10 OKTOBER 2011 3 KOMENTAR

DEFINISI
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti perlindungan.
Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain
kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin
E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini
disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif
masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan
syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah
dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik
merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan,
karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama
obstruksi saluran napas.
EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian anafilaksis berat
antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan
kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk
dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari
kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami
peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering
terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan
mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih
sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.
FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur pemberian obat,
riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi
anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-

kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi
anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena,
transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
PATOFISIOLOGIS
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction).
Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan
basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag
segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang.
Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E
spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan
leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly
formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema,
sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos.Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari
volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun
yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada
hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi
cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara
1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar
dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat.
Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan
sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi
kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai
dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat,
ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat
mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah
disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis.
Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma
jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau lebih organ target,
antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran
kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam
mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan
sakit perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat
dijumpaiallergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan
hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan
menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan
melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic
facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa
untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit
terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi oksigen, peningkatan
tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika

lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika
edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada
anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau
edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan
pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tandatanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula
dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran
urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada
urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral, peningkatan kadar enzim
hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal
akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai
perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat
terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi
kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi
perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat.
Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan
awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi komplikasi
lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil
dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik
dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun
memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji
gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET).
Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak,
meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula
darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
DIAGNOSIS
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar dengan
alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and
Immunology telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam) dengan terlibatnya
kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak
nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala
yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik
pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya
bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan

tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal
yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui beberapa
menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah
(spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah
sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
DIAGNOSA BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari anafilaksis
mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini
terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan
berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas
yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan
syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid
syndrome,Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan, pucat dan
berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak
terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah
seperti anafilaktik.Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa
penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien tampak lemah,
pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tandatanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan
pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadangkadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare, serangan sesak napas
seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah
pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa
menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata
dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas mengi
(wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih
sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu
hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu,
terutama di udara dingin.
PENATALAKSANAAN
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun parenteral, maka
tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan
alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki
diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah
jantung dan menaikkan tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan resusitasi jantung paru
untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga
tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher
diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway

manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan
napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas
spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring,
dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan
jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10
liter /menit. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera
lakukan kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaksis. Obat ini
berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan
meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator
lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin
mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos
bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut
dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada sengatan serangga
merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik
dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg
BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi
menunjukkan perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja misalnya pada saat
syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta
kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin
diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada
anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan
injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu
adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu
diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin,
draholik)

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering dimanfaatkan adalah
antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses
vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator
dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti
adrenalin. Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan
anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH 2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150
mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan
terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga
dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam
selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak membantu pada
tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek
episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi
efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi
pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB selama 10-20 menit,
dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc
dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah
bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis 2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5
cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor melalui cairan infus
intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 14 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai
dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter
dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan
dextrosa 5%.
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat
kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian
cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis
cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau
kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari
perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan
cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang
sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin. Cairan
intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk
mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma
berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat
meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus
seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter.
Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah
teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam

berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis
(keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi
karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan
gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi,
dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan,
harus dirawat di rumah sakit.

2,9,12

Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan
oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu
menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang
yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan
terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif pada umumnya
penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan

mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai
kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit
positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan, intradermal,
intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas
indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita
pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang
menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah
pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang
menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen
spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk
mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan menentukan tingkat
keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif
kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti -blocker dan ACE
Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan
injeksi adrenalin.
KESIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai
angka mortalitas yang sangat tinggi.
Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, dan bisa
atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen,
jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam
hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah
yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal kemudian menjadi
berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target. Pemeriksaan
laboratorium diperlukan dan sangat membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa
pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengobatan dan mendeteksi komplikasi lanjut. Anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok
anafilaktik.
Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan reaksi
anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan
resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan
hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu
rujuk ke rumah sakit.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan
oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaidah kegawat daruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

Syok Anafilaktik Penatalaksanaan Syok Anafilaktik


Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen
tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat pada antibodi
dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin, dan zat vasoaktif lain.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh.
Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan
permeabilitas kapiler menyebabkan udem. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasmeyang
menurunkan ventilasi.

Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena seperti antibiotik
atau media kontras. Sengatan serangga seperti lebah juga dapat menyebabkan syok pada orang yang
rentan.
Penatalaksanaan Syok Anafilaktik
Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan
gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan
alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita
berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap.
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
1.

Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.

2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:


A. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher

diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tandatanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan
napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial,
selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas danoksigen.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih
aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang
penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
1.

Segera berikan adrenalin 0.30.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01
mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit
sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu
adrenalin 24 ug/menit.

2. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons,
dapat ditambahkan aminofilin 56 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.40.9
mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
3. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 510 mg
intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau
syok yang membandel.
4. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darahdan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat
terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 34 kali dari perkiraan kekurangan
volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan
cairan 2040% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan
dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu

dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin.
5.

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan
fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu
dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.

6. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah
mendapat terapi adrenalin lebih dari 23 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit
semalam untuk observasi.
Pencegahan Syok Anafilaktik
Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat, tetapi
ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain:
1.

Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.

2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi
terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.
3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi
pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami
reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 13% dibandingkan dengan kemungkinan
terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu
resusitasi kegawatan.
Mempertahankan Suhu Tubuh
Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan
dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan
sangat berbahaya.
Pemberian Cairan
1.

Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah, atau
kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.

2. Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan yang
mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra.
Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau muntah.
4. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial,
dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan
onkotik intravaskuler.
5.

Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah cairan
yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang,
darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan
hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik.
Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid memerlukan volume 34 kali
volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan
jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi
eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan
darah lengkap.

6. Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang
berlebihan.
7.

Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan yang
akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk
menghilangkan nyeri.

8. Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada syok
septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan
pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, Swan Ganz kateter, dan pemeriksaan
analisa gas darah.
Kesimpulan
Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala syok,
mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saatsaat/menit-menit pertama penderita mengalami syok.
Daftar Pustaka
1.

Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G
O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB.
Saunders Co. 1995 ; 441 499.

2. Alexander R H, Proctor H J. Shock. Dalam buku: Advanced Trauma Life Support Course for
Physicians. USA, 1993 ; 75 94
3. Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. Dalam buku:
Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds,Texbook of Critical Care. Philadelphia, 1989 ; 993
1002.
4. Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam kumpulan makalah:
Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-Indonesia, August 30 September
1, 1996 ; 1 4.
5.

Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of


Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine, 1997.

6. Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E C. Shock. Dalam buku: Hand book of Intensive


Care. London: Chapman and Hall, 1981; 18-29.
7.

Wilson R F, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:1-42.

8. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413

SYOK DAN KEGAGALAN MULTISISTEM


SYOK DAN KEGAGALAN MULTISISTEM
Definisi syok
Syok didefinisikan sebagai kondisi kompleks yang mengancam jiwa, yang ditandai dengan
tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan dan sel-sel tubuh (rice, 1991an). Aliran darah yang adekuat
bagi jaringan dan sel-sel tubuh membutuhkan komponen-komponen sebagai berikut : pompa
jantung yang adekuat, vascular atau system sirkulasi yang efektif, dan volume darah yang
adekuat. Jika terjadi kerusakan dari salah satu komponen tersebut, maka aliran darah akan
terancam atau terganggu. Tidak cukup aliran darah ke jaringan mengakibatkan tidak adekuatnya
oksigen dan nutrisi ke sel, kelaparan sel, kematian sel, kegagalan organ, dan akhirnya kematian bila
tidak ditangani.
Syok mempengaruhi semua system tubuh. Syok dapat berlangsung secara cepat atau lambat
tergantung dari penyebab yang mendasarinya. Selama proses syok, tubuh berjuang mengatasi syok
dengan cara mengaktifkan semua mekanisme komeostatik untuk mengembalikan aliran darah dan
perfusi jaringan. Syok dapat terjadi sebagai akibat dari berbagai komplikasi penyakit dan oleh
karenanya semua pasien mempunyai potensi untuk mengalami syok (rice 1991).
Klasifikasi syok
Berdasarkan etiologinya syok digolongkan atas : syok hipovolemik, kardiogenik dan
distributive atau vasogenik. Beberapa penulis menambahkan kategori keempat yaitu syok obstruktif
yaitu syok yang disebabkan oleh gangguan yang menyebabkan obstruksi mekanik pada aliran darah
melalui system sirkulasi sentral meskipun fungsi miokardium dan volume intravascular normal.
Contohnya termasuk adalah emboli paru, tamponade jantung, aneurisma aorta disekan aorta, dan

tensi pneumothoraks. Dalam pembahasan ini syok obstruktif akan dibahas sebagai contoh dari syok
kardiogenik nonkoroner.
Syok hipovolemik terjadi jika terdapat penurunan volume intravaskuler. Syok kardiogenik
terjadi jika terdapat gangguan kemampuan pompa jantung. Sebabnya dapat berasal dari gangguan
coroner atau nonkoroner. Syok distributive atau vasogenik terjadi jika terdapat gangguan aliran
darah pada vaskuler. Meskipun rencana pengobatan atau rencana asuhan keperawatan berbedabeda untuk berbagai tipe syok, disfungsi yang sebenarnya adalah sama untuk ketiga klasifikasi syok
yaitu penuruna perfusi jaringan.

PATOFISIOLOGI SYOK
Efek syok seluler
Saat sel-sel tubuh kekurangan pasokan darah dan oksigen, maka kemampuan metabolism
energy pada sel-sel tersebut akan terganggu. Metabolisme energy terjadi di dalam sel tempat
nutrient secara kimiawi dipecah dan disimpan dalam bentuk ATP (adenosine tripospat). Sel-sel
menggunakan simpanan energy ini untuk melakukan berbagai fungsi penting seperti transport aktif,
kontraksi otot, sintesa biokimia, dan melakuakan fungsi seluler khusus seperti kondiksi implus listrik.
ATP dapat disintesa secara aerob (pada adanya oksigen) atau secara anaerob (tanpa adanya
oksigen). Meskipun begitu, metabolism aerob akan menghasilkan jumlah ATP yang jauh lebih besar
per mol glukosa disbanding metabolism anaerob, dan karenanya adalah cara yang lebih efisien dan
lebih efektif dalam penghasil energy. Selain itu, metabolism anaerob mengakibatkan akumulasi
prodok akhir yang toksik, asam laktat yang harus dibuang dari sel dan ditranspor ke hepar untuk
pengubahan menjadi glukosa dan glikogen.
Pada keadaan syok, sel-sel tidak mendapatkan pasokan darah yang adekuat dan kekurangan
oksigen dan nutrient. Karenanya, sel-sel harus menghasilkan energy melalui metabolism anaerob.
Metabolism ini menghasilkan tingkat energy yang rendah dari sumber nutrient, dan lingkungan
intraseluler, yang bersifat asam. Karena perubahan ini, fungsi normal sel menurun. Sel membengkak
dan membrannya dan lebih permiabel, sehingga memungkinkan elektrolit dan cairan untuk
merembes dari dank e dalam sel. Pompa kalium natrium menjadi terganggu. Struktur sel
(mitokondria dan lisosom) menjadi rusak dan terjadi kematian sel.
Respons vaskuler
Oksigen melekat pada molekul hemoglobin dalam sel-sel darah merah dan dibawa ke sel-sel
tubuh melalui darah. Jumlah oksigen yang dikirimkan ke sel-sel bergabtung.
Pada aliran darah ke area spesipik dan pada konsentrasioksigen ( gould dkk, 1993). Darah secara
kontinu di daur ulang kembali melalui paru paru untuk di reeksigenesi dan untuk mrnyingkirkan
produk hasil metabolism seluler seperti karbon dioksida. Otot jantung memberikan pompa yang
diperlukan untukmengeluarkan darah segar yang dioksigenasi keluar ke jarin gan tubuh. Proses
sirkulasi ini di pasilitasi malalui suatu kolaborasi dan dinamika vaskuler yang terdiri atas arteri , vena ,

arteriol , kapiler, dan venula. Vaskulatur dapat berdilatasi dan berkontraksi sesuai dengan
mekanisme pengatur pusat dan local . mekanisme pengaturar pusat menyebabkan di latasi dan
kontriksi vaskuler untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Mekanisme pengaturan
local disebut sebagai otoregulasi, menyebabkan vasodilatsi dan vasokontriksi dalam berespon
terhadap bahan kimia yang di lepaskan oleh sel sel yang mengkomunikasikan kebutuhannya akan
oksigen dan nutrient. ( niedninghaus, smith-cillins,& myers,1983).
Pengaturan tekanan darah
Tiga komponen utama system sirkulatori, volume darah , pompa jamtung , dan vaskulator
harus berespon secara epektif terhadap kompleks system umpan balik neuralkimiawi, dan hormonal
umtuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat dan akhirnya memberikan perpusi jaringan
tubuh.
Tekanan darah di atur melalui interaksi komplek system umpan balik neural, kimia, dan
hormonal yang akan mempengaruhi curah jantung dan resistensi perifer. Hubungan antara
keduanya dapat di lihat dari persamaan sebagai berikut.
Tekanan darah arteri rata rata = curah jantung
X resistensi perifer
Curah jantung di tentukan oleh volume sekuncup (jumlah darah yang di keluarkan jantung
saat systole ) dan prekuensi jantung, sedangkan resistensi perifer di tentukan oleh diameter arteriol.
Perfusi

jaringan

dan

organ

di

tentukan

oleh

tekanan

rerata

arterial

MAP ). MAP merupakan tekanan rata rata saatdarah mengalir melewati vaskulatur. Tekanan rerata
arterial yang sebenarnya hanya dapat di hitung dengan menggunakan metode yang kompleks.
Runus yang mudah di gunakan umtuk kepentingan klinis dalam memperkirakan MAP di sajikan
dalam bagan . MAP rata rata 80 sampai 120 mmhg di perlukan untuk sel agar mendapat oksigen dan
nutrient yang di perlukan untuk mengarahkan energy dalam jumlah yang cukup untuk bertahan
hidup (carolan,1984).
mekanisme utama yang mengatur tekanan darah melalui baro reseptor (reseptor tekanan) terletak
pada sinus karotis dan arkus aorta. Reseptor tekanan ini menghantarkan impuls ke pusat saraf
simpatik yang terletak di medulla otak. Pada kejadian turunnya tekanan darah, katekolamin
(epinefrin dan noepinefrin) di lepaskan dari medulla adrenal kelenjar adrenal, yang menyebabkan
peningkatan frekuensi jantung dan fase kontruksi dengan demikian, memulihkan tekanan darah.
Kemoreseptor yang juga terletak di arkus aorta dan arteri karotis mengatur tekanan darah dan
frekuensi pernapasan menggunakan mekanisme yang sama dalam respon terhadap perubahan
konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah
Ginjal mengatur mekanisme pengaturan tekanan darah oleh rennin yang menyebabkan
perubahan angios tensin I menjadi angios tensin II yaitu suatu vasokontriktor yang poten. Efek ini
menyebabkan pelepasan aldosteron dari kortek adrenal, yang menyebabkan retensi natrium dan air.
Kadar natrium yang meningkat menstimulasi pelepasan hormone antidiuretik (ADH) oleh kelenjar

pituitary. ADH menyebabkan ginjal menahan air lebih jauh dalam upaya untuk meningkatkan volume
darah dan tekanan darah. Mekanisme pengaturan sekunder ini membutuhkan waktu berjam-jam
atau berhari-hari dalam berespon terhadap perubahan tekanan darah.
Tinjauan fase syok
Sindrom syok dapat dikonseptualkan sebagai suatu kontinum sepanjang rentan tersebut
pasien berjuang untuk bertahan hidup. Untuk mudahnya, kontinum tersebut dibagi menjadi tahaptahap yang terpisah, untuk memahami respon fisiologis dan tanda-tanda serta gejala-gejala klinis
pada titik yang berbeda sebagai kontinum tersebut. Syok telah dibagi menjadi 3 tahap :
kompensatori , progresip dan ireversibel . pelaksanaan medis dan intervensi keperawatan dapat
dilakukan sepanjang kontinum ini, makin besar kesempatan pasien untuk bertahan hidup.
Fase kompensatori
Pada fase ini, tekanan darah pasien masih berada di batas normal. Vasokontriksi,
peningkatan frekuensi jantung, peningkatan kontraktilitas jantung, semua berpengaruh dalam
mempertahan kan curah jantung yang adekuat. Hal ini diakibatka oleh hal stimulasi system saraf
simpatis dan pelepasan katekolamin. Dalam tahap syok ini sering disebut sebagai respons flight of
flight . redistubusi aliran darah terjadi untuk memastikan pasokan darah yang adekuat ke otak dan
jantung. Darah dialihkan menjauh dari organ-organ yang tidak pentingseperti kulit, paru-paru,
ginjal dan saluran cerna. (rice, 1991b). sebagi akibat pengalihan ini kulit pasien teraba dingin dan
kusam, bising usus hipoaktif, dan haluaran urin menurun dalam berespon pelepasan aldosteron dan
ADH.
Meski tekanan darah normal, pasien menunjukan berbagai tanda klinis yang menunjukan
bahwa orga-organ tidak diperfusi secara adekuat. Yang mengakibatkan metabolism anaerob dan
penumpukan asam laktat, yang menyebab asidosis metabolic. Frekuensi pernapasan meningkat dari
nilai dasar dalam berespon terhadap asidosis metaboli. Frekuensi pernapasan yang cepat
pemfasilitasi pembuangan CO2 yang berlebih, tetapi mengkibatkan kenaikan pH darah dan sering
menybabkan alkalosis respiratori. Keadaan ini menyebabkan perubahan status mental seperti keram
piker atau kombatif. Pengobtan uang dilakukan dalam tahap ini , prognosis pasien akan baik.
Penatalaksanaan medis
Pengobatan medis dalam tahap syok kompensatori diarahkan untuk mengidentifikasi
penyebab syok, memperbaiki gangguan yang mendasari sehingga syok tidak berlanjut., dan
mendukung mekanisme fisiologis yang sejauh ini telah berespons secara berhasil terhadap
pengobatan. Karena kompensari tidak dapat dipertahankan secara efektif dalam waktu yang tidak
pasti, tindakannya seperti penggantian cairan dan penggunaan medikasi harus dilakukan untuk
mempertahankan tekanan darah yang adekuat dan mulihkan serta memperthankan perfusi jaringan
yang adekuat.
Penatalaksanaan keperawatan

Intervensi dini sepanjang kontinum syok adalah penting untuk memperbaiki prognosis
pasien. Sehingga penting untuk mengkaji secara sistematis pasien-pasien yang beresiko mengalami
syok guna mengenali tanda-tanda klinis halus
Dalam mengkaji perfusi jaringan yang tidak adekuat, perawat memantau perubahanperubahan dalam tingkat kesadaran, kulit, haluaran urin dan tanda-tanda vital. Hasil pemerikasaan
lab juga dipantau secara ketat, dalam tahap syok ini, kadar natrium serum dan glukosa darah
meningkat dalam respon terhadap pelepasan ADH dan katekolamin
Peran perwat dalam tahap syok ini adalah memantau status hemodinamik pasien dan
dengan cepat melaporkan penyimpangan yang terjadi kepada dokter, membantu dalam
mengidentifikasi dan mengatasi kelainan mendasar melalui pengkajian pasien secara dalam,
memberikan cairan dan medikasi yang diresepkan dan meningkatkan keselamtan pasien. Tanda vital
adalah indicator penting dari status hemodinamik pasien, tekanan darah adalah metode
pemantauan tidak langsung hipoksia jaringan.
Sampai waktu terjadinya penurunan tekanan drah, kerusakan telah terjadi pada kerusakan
seluler dan jaringan. Oleh karena itu penting sekali bahwa pasien yang beresiko terhadap syok dikaji
dan dipantau dengan ketat sebelum terjadi penurunan tekanan darah.
Fase proresif
Pada fase ini mekanisme yang mengatur takanan darah tidak mampu untuk terus
mengkompensasi dan takana arteri rerata (MAP) turun dibawah batas normal dengan tekanan darah
sistolik rata-ratakuramg dari 80-90 mmHg. Meskipun tahap ini terganggu akibat hipoperfusi ,dua
peristiwa terjadi lebih jauh memperjelas sindrom syok. Pertaman jantung yang bekerja keras
menjadi sistemik, yang mengarah pada gagal pemompaan jantungbahwa ketika penyebab mendasar
syok bukan barasal dari jantung.
Kedua, fungsi otoregulasi mikrosirkulasi gagal berespon terhadap berbagai mediatot kimia
yang dilepaskan oleh sel-sel, yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler,. Pada tahap ini
prognosis pasien memburuk. Relaksasi spinkter prekapilermengakibatkan cairan merembes dari
kapiler, dan lebih sedikit cairan yang dikembalikan ke jantung. Bila penyebab syok telah diatasi,
kerusakan system sirkulasi lebih memperkuat keadaan syok dan terjadi lingkaran setan.
Dampak sistemik
Kesempatan pasien untuk bertahan bergantung pada kesehatan umum pasien sebelum
berkembang sindro syok. DAN LAMANYA WAKTU yang di perlukan untuk memulihkan perfusi
jaringan. Dengan progresi sindrom syok, maka system organ akan mengalami dekompensasi.
Paru paru/ paru yang pada awal terjadinya syok mampu bertahan, pada tahap ini mulai
terganggu. Perkembangan ini meningkatkan kecenderungan diperlukannya ventilasi mekanikjika
syok berlajut. Pernapasan menjadi cepat dan dalam. Terdengar krekels di atas lapang paru.
Penurunan aliran darah pulmonary menyebabkan penurunan kadar oksigen dan peningkatan kadar
karbon dioksida arteri. Alveoli yang mengalami hopiperpusi berhenti memproduksi surfaktan dan

selanjutnya akan kolaps. Kapiler pulmonarimulai mengalmi kebocoran kandungannya, yang


menyebabkan edema pulmonary. Kon disi ini kadang di sebut sebagai adult respiratiri distress
syindrom (ARDS). Syok paru.
Jantung kurangnya pasokan darah menyebabkan disritmia dan iskemik . pasien mempunyai
prekuensi jantung yang cepat, kadang melebihi 150 kali permenit. Pasien dapat mengeluhkan nyeri
dada dan bahkan mengalami infark miokardi.enzim enzim jantung. Mis,,LDH dan CPK meningkat.
Otak. Dengan gangguan aliran darah ke otak , status mental pasien akan mengalami
penyimpangan. Perubahan dalam statua mental taerjadi sebagai akibat penurunan perpusi serebral
dan hipoksia: pasien pada awailnya dapat menunjukan perubahan halus dalam prilaku atau kelal
piker. Selanjutnya, lerargi miningkat dan pasien mulai kehilangan kesadarn. Pupilk pasien sering
berdilatasi dan hanya menunjukan reaksi ringan terhadap cahaya.
Ginjal. Jika MAP turun sampai di bawah 75 mmhg, laju filtrasi glomerurus ginjal tidak dapat di
pertahankan dan akan terjadi perubahan drastic fungsi ginjal. Gagal ginjal akut dapat terjadi yang di
tandai dengan peningkatan BUN dan kadar kretinin serum, perpindahan cairan dan elektrolit,
ketidaksimbangan asam basa dan kehilangan fungsi pengaturan tekanan darah ginjal hormonal.
Haluaran urine biasanya menurun hinggamencapai 20 ml/jam , tetapi dapat beragambergantung
pada fase GGA.
Hepar. Penurunan aliran darah ke heper merusak kemampuan sel sel hepar untuk melakukan
fungi metabolikdan pagositiknya yang penting. Sebagai akibatnya pasien kurang mampu untuk
metabolism obat obat dan produk sampah metabolikseperti ammonia dan asam laktat. Pasien
menjadi lebih rentan terhadap infeksi karena heper tidak mampu lagi untuk menyaring bakteri kluar
dari darah. Enzim enzim hepar SGOT< AST, SGPT, ALT, LDH meningkat dan pasien tampak ikterik.
Penatalaksanaan medis
Pernatalaksanaan medis spesifik dalam fase syok progresif bergatung pada tingkat
dekompensasi yang tlah terjadi dalam system organ. Penatalaksanaan tersebut berdasar pada
derajat dekompensasi yang terjadi pada system organ. Penatalksanaan medis yang spesifikm untuk
setiap fase syok dibahas kemudian dalam bab ini. Meskipun terdapat dalam banyak perbedaan
dalam penatalaksanaan medis berdasarkan tipe syok,namunterdapat juga beberapa intervensi
medis yang umum untuk semua tipe syok, intervensi ini mencakuppenggunaan cairan intravena yang
sesuai dan medikasi untukmemulihkan perfusi jaringan untuk melalui 1 mengoptinalkan volume
darah 2 mendukung kerja pemompaan jantung dan 3 memperbaiki kompetensi sisten vaskuler.
Aspek penatalaksanaan lainya dapat mencakup dukungan nutrisi dan penggunaan bloker-H2 seperti
simetidin dan ranitidine untuk mengurangi resikoperdarahan
penelaahan tentang penggunaan cairan dan medikasi untuk mencapai .
Penatalaksanaan keperawatan

gastrointestinal.

Suatu

Asuhan keperawatan pasien dalam syok fase progresif membutuhkan keahlian dalam
mengkaji dan memahami syok sreta aignifikansi perubahan dalam pengkajian. Pasien dalam syok
fase progresif sering di rawat dilingkungan intensive karena pentngnya pemantauan yang ketat.
Bekerja sama secara erat dengan anggota tim kesehatan lainnya. Selain itu perawat
mengkoordinasi baik menjadwalkan prosedur diagnostic yang sering dilakukan sementara pasien
berada di tempat tidur dan alur personel perawat kesehatan yang terlibat dalam perawatan pasien.
Jika teknlogi suportif digunakan , perawat berupaya untuk mengurangi risiko komplikasi yang dapat
terjadi akibat penggunaannya dan memantau pasien terhadap tanda2 dini komplikasi. Segala upaya
dibuat untuk meminimalkan beban kerja jantung untuk mengurangi aktivitas fisik pasien dan segala
ansietas. Meningkatkan istirahat dan kenyamanan adalah prioritas perawatan pasien.

FASE IREVERIBEL
Tahap syok irevesibel (refraktori) menunjukan titik sepanjang kontinumsyok dimana
kerusakan organ sudah sangat parah sehingga pasien tdak berespon terhadap pengobatan dan tidak
mampu bertahan . meskipun mendapat pengobatan, tekanan darah tetap rendah. Gagal ginjal dan
hepar komplit , dibarengi dengan pelepasan toksin jaringan nefrotik, menciptakan asidosis metabolic
yang hebat. Metabolism anaerob lebih memperburuk asidosis laktat . simpanan ATP hamper secara
total menipis dan mekanisme untuk penyimpanan pasokan energy baru telah mengalami kerusakan.
Kegagalan organ multiple telah terjadi dan kematian mengancam. Kegagalan organ multiple dapat
terjadi sebagai progresi sepanjang kontinum syok atau sebagai sindrom itu sendiri.
Penatalaksanaan medis, selama syok ini biasanya sama dengan tahaf syok progresif.
Meskipun syok pasien dapat berkembang dari tahap progresiv ke tahap irevesibel, penilaian bahwa
syok adalah irevesbel hanya dapat dibuat secara retrospektif dengan dasar dari kegagalan pasien
untuk berespon terhadap pengobatan . strategi yang mungkn eksperimental (y,i., obat-obat dalam
penelitian) mungkn digunakan dalam upaya untuk mengurangi atau menghambat keparahan syok
pasien.
Penatalaksanaan keperawatan, seperti dalam tahap syok progresif , perhatian perawat
terus di arahkan pada pelaksanaan modalitas pengobatan yang diharuskan, , memantau pasien
mencegah komplikasi, melindungi pasien dari cedera, dan memberikan kenyamanan. Memberika
enjelasan singkat pada pasien tentang apa yang sedang terjadi adalah ppenting bahkan ketika tidak
ada kepastian apakah pasien mendengar atau memahami apa yang sedang dikatakan.
Karena sudah jelas pasien tidak mungkin lagi bertahan , keluarga pasien harus
diinformasikan tentang prognosis dan kemungkinan hasilnya. Kesempatan harus diberikan ,
sepanjang perawatan pasien, bagi keluarga utnuk melihat, menyentuh , dan berbicara pada pasien.
Teman dekat , keluga , atau pemuka agamamungkin lebih menenangkan keluarga dalam
menghadapi kematian pasien yang tidak dapat dihindari.
temuan klinis berdasarkan fase syok

Fase konpensatori

Fase progresif

Fase irevesibel

Frekuensi jantung

>100 kali/menit

>150x//menit

Eratik atau sistol

Tekanan darah

Normal

TDS<80-90mmHg

Membutuhkan
dukungan

mekanik

atau farmakologis

Status respiratori

>20

Cepat,pernapasan
dangkal, krekels

Kulit

Dingin, kusam

haluaran urin

Menurun

Fungsi mental

Kelam pikir

Keseimbangan
basa

asam- Respiratori alkalosis

Bercak,peteki

<20ml/jam

Letargi

Membutuhkan
intubasi

Ikterik

Anuria, membutuhkan
dialysis

Tidak sadar

Asidosis hebat
Metabolic asidosis

TINJAUAN PENATALAKSANAAN MEDIS TERHADAP SYOK


Penatalaksanaan medis dalam semua tipe dan semua fasesyok mencakup penggantian
cairan utnuk memulihkan volume intravaskular, medikasi vasoaktif utnuk memulihkan tonus
vasomotordan memperbaiki fungsi jantung, serta dukungan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan
metabolic yang sering secara dramatis meningkat dalam syok . terapi medis yang diuraikan dalam
bagian ini membutuhkan kolaboorasi diantara semua anggota tim perawatan kesehatan untuk
memastikan bahwa manifestasi syok dengan cepat dikenali dan bahwa pengobatan yang adekuat
dan tepat waktu dilakukan untuk mencapi hasil yang sebaik mungkin.
PENGGANTIAN CAIRAN DALAM SYOK
Penggantian cairan diberikan pada semua tipe syok. Pemilihan cairan dan keceptan
pemberian akan beragam tetapi cairan diberikan untuk meningkatkan oksigenasi, yang sebagian
bergantung pada aliran. Cairan yang diberikan dapat mencakupkristaloid, koloid, atau komponen

darah. Pemilihan cairan yang terbaik untuk mengatasi syok tetap controversial seperti yang
tercermin dalam literature. Dalam situasi kedaruratan, cairan yang terbaik adalah cairan yang
tersedia. Baik kristaloid maupun koloid , seperti yang diuraikan berikut ini dapat diberika untuk
memulihkan volume intravaskuler. Terapi komponen darah digunakan paling sering dalam syok
hipovolemik.
Kristaloid. Kristaloid adalah larutan elektrolit yang dapat berpindah dengan bebas antara
kompartemen intravascular dan spasium interstisial. Larutan isotonic sering dipilihkan karena
larutan tersebut mengandung konsentrasi elektrolit yang sama seperti cairan ekstraseluler dan
karenanya diberikan tanpa mengganggu konsentrasi elektrolit dalam plasma. Larutan laktat ringer
dan natrium klorida 0,9% adalah dua jenis larutan pilihan pertama yang digunakan dalam mengatasi
syok hipovplemik. Laktat ringer adalah suatu larutan elektrolit yang mengandung ion laktat, yang
seharusnya tidak dirancukan dengan asam laktat. Ion laktat diubah menjadi bikarbonat, yang
membantu untuk mendapat keseluruhan asidosis yang terjadi dalam syok.
Kerugian dalam menggunakan larutan kristaloid isotonic adalah bahwa tiga bagian dari
volume yang diinfusikan hilang ke dalam kompartemen untuk setiap bagian yang berada dalam
kompartemen intravascular. Hal ini terjadi dalam berespons terhadap mekanisme yang menyimpan
cairan tubuh ekstraseluler. Oleh karenanya harus diberikan dalam jumlah yang besar untuk
memilihakan volume intravascular.
Harus dilakukan dengan hati-hati saat memberikan larutan kristaloid dengan kecepatan tinggi
untuk menghindari endemic yang berlebih, terutama edema pulmonari. Untuk alasan ini, dan
bergantung pada penyebab hipovolemia, larutan kristaloid hipertonik, seperti natrium klorida 3%,
kadang diberikan dalam syok hipovolemik. Larutan hipovolemik mempunyai efek menarik cairan dari
kompertemen interstisial dan intraseluler ke dalam kompartemen intravaskuler. Oleh karenanya
lebih sedikit cairan yang diberikan pada pasien dengan efek akhir yang sama dalam meningkatkan
volume intravascular.
Koloid. Larutan koloid itravena mengandung molekul yang terlalu besar untuk melewati
membrane kapiler. Koloid memperbesar volume intravaskuler dengan menarik cairan ke dalam
ruang intravaskuler dengann cara tekanan onkotik. Larutan koloid mempuyai efek yang sama seperti
larutan hipertonik dalam meningkatkan volume intravaskuler, tetapi larutan ini memungkinkan
volume yang lebih sedikit yang akan diberikan disbanding yang dibutuhkan dengan kristaloid. Selain
itu, koloid mempuyai durasi kerja yang lebih lama dibanding kristaloid karena molekul-molekulnya
tetap berada dalam kompartemen intravaskuler lebih lama.
Albumin 5% adalah salah satu larutan koloid yang paling umum digunakan untuk mengtasi
syok hipovolemik. Albumin adalah plasma protein, larutan albumi 5% disiapkan dari plasma manusia
dan dipanaskan untuk mengurangi potensinya menularkan penyakit. Kerugian dalam menggunakan
albumin adalah harganya yang mahal dan ketersediannya yang terbatas karena bergantung pada
donor darah. Preparat koloid sintetik seperti hetastrach 6% dan larutan dekstran 6% kini sudah
banyak digunakan. Bagaimanapun, dekstran dapat menggangu dengan agregasi trombosit dan oleh
karenanya pemberiannya tidak diindikasikan jika hemoragi disebabkan oleh syok hipovolemik.

Dengan larutan koloid, efek samping mencakup reaksi anafilaktik yang jarang terjadi yang
menjadi tugas perawat untuk memantaunya.
Komplikasi pemberian cairan
Pemantauan yang ketat selama penggantian cairan adalah penting dalam mengidentifikasi
efek samping dan komplikasi. Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelebihan beban
kardiovaskuler dan edema pulmonary.
Pasien yang dapat penggantian cairan harus dipantau dengan sering terhadap haluaran urin
yang adekuat, perubahan dalam status mental, perfusi kulit dan perubahan dalam tanda-tanda vital.
Bunyi paru pasien diauskultrasi dengan sering untuk mendeteksi segala akumulasi cairan dalam
paru-paru.
Selain pengkajian fisik, nilai TVS (tekanan vena sentral) membantu dalam memantau
kemajuan pasien dengan penggantian cairan. Nilai TVS yang normal adalah 4 sampai 12 cm air.
Beberapa kali pengukuran dilakukan untuk menentukan kisaran, dan penggantian cairan dilanjutkan
dalam parameter ini sepanjang status keseluruhan pasien membaik. Pemantauan hemodinamik
dengan jalur arterial dan arteri pulmonary mungkin ditingkatkan untuk memungkinkan memantau
status jantung pasien dan untuk mengevaluasi respon terhadap terapi.
Terapi medikasi vasoaktif dalam syok
Medikasi vasoaktif diberikan pada semua bentuk syok memperbaiki kestabilan hemodinamik
pasien ketika terapi cairan tidak dapat mempertahankan secara adekuat tekanan rerata arteri. Obatobat spesifik dalam memperbaiki perubahan hemodinamik tertentu dalam mengancam curah
jantung. Medikasi vasoaktif meningkatkan curah hujan dengan menguatkan kontraktilitas jantung,
mengurangi beban kerja otot-otot jantung, sehingga menyebabkan vasokontriksi atau mengatur
frekuensi jantung.
Obat vasoaktif dipilih karena kerjanya pada reseptor system saraf simpatis. Resetor ini
dikenal sebagai reseptor alpa dan beta, reseptor beta lebih jauh dibagi menjadi reseptor beta1 dan
beta2. Jika reseptot alfa dirangsang, maka terjadi kontriksi pembuluh pada sisitem kardiovaskuler
dan gastrointestinal, kulit dan ginjal. Bila reseptor beta1 distimulasi, hasilnya adalah peningkatan
frekuensi jantung dan kontraksi miokardial. Vasodilatasi otot-otot jantung skeletal dan relaksasi
bronkhiolus terjadi dengan stimulasi reseptor beta2. Medikasi yang digunakan dalam pengobatan
syok terjadi berbagai kombinasi untuk memaksimalkan perfusi jaringan dengan menstimulasi
reseftor alfa dan beta.
Obat-obat vasoaktif diberikan, tanda-tanda vital harus dipantau lebih sering (setidaknya
setiap 15 menit atau lebih sering jika diperlukan). Medikasi vasoaktif harus diberikan melalui jalur
intravena sentral karena infiltrasi beberapa medikasi vasoaktif dapat menyebabkan nekrosis dan
pengelupasan jaringan. Pompa atau pengompa infuse intravena harus digunakan untuk memastukan
bahwa medikasi diberika dengan aman dan akurat.

Dosis obat individual sering dititrasi oleh perawat yang mengatur kecepatan tetes intravena
didasarkan pada peresepan yang diberikan oleh dokter dan respon pasien . dosisi diubah dalam
upaya untuk mempertahankan tekanan arterial arteri rerata pasien (biasanya di atas 80 mmHg) di
dalam set parameter seperti yang diresepkan dalam kaitannya dengan kebutuhan perfusi pasien.
Medikasi ini tidak boleh dihentikan dengan tiba-tiba karena hal ini dapat menyebabakan
ketidakstabilan hemodinamik hebat yang menyebabkan sindrom syok.
Dosisnya harus berangsur-angsur dikurangi dan pasien disapih oleh obat dengan
pemantauna tekanan darah yang sering (setiap 15 menit). Menyajikan bebrpa medikasi vasoaktif
ysng sering diresepkan dan digunakan dalam mengobati syok.
Obat-obat vasoaktif yang digunakan dalam mengatasi syok
Kerja yang diinginkan dalam syok

kerugian

Simpatomimetik

Memperbaiki

Dopamine (itropin)

menignkatkan volume sekuncup, oksigen jantung


meningkatkan curah jantung

kontraktilitas, Meningkatkan

kebutuhan

Dobutamin (dobutrex)
Epinefrin (adrenaline)
Vasodilator

Menurunkan pre-load dan after load, Menyebabkan hipotensi

Nitroprusid (nipride)

menurunkan
jantug

kebutuhan

oksigen

Nitrogliserin (tridil)
Vasokonstriktor
Fenilefrin (neo-synefhrine)
Metoksamin (vasoxyl)

Meningkatkan tekanan darah melalui Meningkatkan after load,


vasokonstriksi
dengan
demikian
meningkatkan beban kerja
jantung,
perfusi

menggangu
ke

kulit,

ginal,

paru2, traktus GI
Dukungan nutrisi dalam syok
Dukungan nutrisi merupakan aspek penting dalam perawtan pasien syok. Laju metabolic
yang meningkat selama syok meningkatkan energy dan oleh karenanya juga menungkatkan
kebutuhan kalori. Pasien dengan syok membutuhkan lebih dari 3000 kalori perhari.
Pelepasan katekolamin dini dalam rangkain syok menyebabakan penyimpanan glikogen
menjadi menipis dalam 8-10 jam . kebutuhana energy nutrisisonal kemudian terpenuhi melalui
pemecahan massa oto tubuh. Dalam proses metabolic massa otot skeletal tetap dipecah bahkan bila
pasien mempunyai simpanan jaringan adipose atau lemak. Kehilangan massa otot skeletal dapat
sangat memperlama proses pemulihan bagi pasien syok. Dukungan nutrisi perenteral atau enteral
harus sudah dilakukan dalam 3-4 hari awitan syok.

Penatalaksanaan terhadap berbgai tipe syok


Syok hipovolemik yang merupakan tipe syok yang paling umum ditandai dengan penurunan
volume intravascular. Cairan tubuh terkantung dalam kompartemaen Intraseluler dan ekstraseluler.
Cairan intraseluler menempati hampir dua pertiga dari air tubuh total. Cairan tubuh ekstraseluler
ditemukan dalam salah satu kompartemen : intravascular (di dalam pembuluh darah) dan interstisial
(di sekitar jaringan). Volume cairan interstisial adalah kira-kira tiga sampai empat kali dari cairan
intravascular. Syok hipovolemik terjadi ketika terjadi penurunan volume intravascular 15% sampai
25%. Hal ini akan menggambarkan kehilangan 750 ml sampai 1300 ml darah pada pria dengan berat
badan 70 kg.
Syok hipovolemik dapat disebabkan kehilangan cairan eksternal seperti dalam hemoragi,
atau perpindahan cairan internal seperti pada dehidrasi hebat, edema berat, atau asites. Volume
intravascular dapat menurun baik melalui kehilangan cairan dan perpindahan cairan antara
kompartemen intravascular dabn insterstisial.
Urutan peristiwa dalam syok hipovolemik dimulai dengan penurunan dalam volume
intravascular. Hal ini diakibatkan oleh penurunan arus balik darah vena ke jantung dan akibat lanjut
penurunan pengisian ventricular. Penurunan pengisian ventricular mengakibatkan penurunan
volume secukup (jumlah darah yang dipompakan dari jantung) dan penurunan curah jantung. Ketika
curah jantung menurun, tekanan darah juga turun, dan jaringan tidak dapat diperfusi secara
adekuat.
PENATALAKSANAAN
MEDIS SYOK HIPOVOLEMIK
Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah untuk memulihkan volume
intravascular untuk membalik urutan peristiwa sehingga tidak mengarah pada perfusi jaringan yang
tidak adekuat, meredidtribusi volume cairan, dan memperbaiki penyebab yang mendasari
kehilangan cairan secepat mungkin. Tergantung pada keparahan syok dan kondisi pasien,
kemungkinannya adalah bahwa semua upaya akan dilakukan untuk mencapai ketiga tujuan ini
secara simultan.
Pengobatan penyebab yang mendasari, jika pasien sedang mengalami hemoragi, upaya
dilakukan untuk menghentikan pendarahan. Upaya ini dapat mencakup pemasangan tekanan pada
tempat perdarahan atau mungkin diperlukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan
internal. Jika penyebab hipovolemia adalah diare atau muntah-muntah, medikasi untuk mengatasi
diare dan muntah-muntah diberikan.
Penggantian cairan dan darah. Diluar memperbaiki penyebab utama penurunan volume
intravascular, penggantian cairan (juga disebut sebagai resusitasi cairan) adalah juga menjadi
perhartian utama. Setidaknya dua jalur intravena dengan jarum besar dipasang untuk membuat
akses intravena guna untuk pemberian cairan. Dua akses intravena memungkinkan pemberian
secara simultan secara terapi cairan dan komponen darh jika diperlukan. Karena tujuan penggantian

cairan adalah untuk memulihkan volume intravascular, penting artinya untuk memberikan cairan
yang akan tetap berada dalam kompartemen intravascular dan dengan demikian menghindari
terciptanya perpindahan cairan dari kompartemen intravascular ke dalam kompartemen
intraseluler.
Ringer laktat dan natrium klorida 0,9%, keduanya cairan kristaloid, adalah dua cairan
isotonic yang umumnya digunakan dalam mengatasi syok hipovolemik. Harus di berikan cairan dlam
jumlah yang besar untuk memulihkan volume intravascular karena larutan kristaloid isotonic
berpindah dengan bebas antara kompartement cairan tubuh dan tidak tinggal dalam system
vascular.
Koloid ( yi, albumin, hetastarch, dan dekstran 6 %) kini banyak di gunakan. Dekstran
tidak diikndikasikan jika penyebab syok hipovolemik adalah hemoragi karena akan menggangu
agresigasi trombosit.
Produk darah, juga koloid, mungkin harus di berikan terutama jika penyebab syok
hipovolemik adalah hemoragik. Namun karena resiko tranmisi virus melalui darah dan kelngkaan
produk darah prosuk ini hanya di berikan jika alternatif lain tiadak tersedia atau kehilangan darh
sangat banyak dan cepat. Packed red blood cells di berika untuk memulihkan kapasitas pembawa
oksigen klien dalam kaitan denagn cairan lain ynag akan memperbnayak volume. Rekomendari
terkini adalah untuk melandasi kebutuhan tranfusi pada kebutuhan oksigen individu klien, yang
ditentukna oleh tanda vital, gas gas darah, penampilan klinis ketimbang arbitrari nilai laboratorium
( gould, 1993). Bentuk sintetik darah (senayawa yang mampu membawa oksigen yang membawa
sintetik darah (senayawa yang mampu membawa oksigen yang membawa oksigen denagn cara yang
sama seperti yang dilakukan darah ) akhir akhir ini sedang dalam pengujian.
Ototransfusi, pengumpulan dan retranfusi darah pasien sendiri, mungkin saja dilakukan.
Tindakan ini mengurangi resiko penularan penyakit menular atau reaksi transfuse, dan meniadakan
waktu yang lama yang dibutuhkan untuk pemeriksaan golongan darah dan cocok silang darah.
Ototransfusi dilakukan bila klien mengalami perdarahan dalam rongga tertutup seperti dalam dada
atau dalam rongga abdomen. Selang dada dipasang dan darah dikumpulkan melalui filter dalam alat
pengumpul yang dirancang secara spesifik, sering disambungkan pada system drainase selang dada
rutin. Darah yang didapat harus ditransfusikan kembali pada pasien dalam 4 jam setelah
pengumpulan. Kerugian ototransfusi termasuk kerusakan sel-sel darah merah selama proses
pengumpulan. Kerugian ototransfusi termasuk kerusakan sel-sel darah merah selama proses
pengumpulan dan transfuse dan resiko mikroembolisme.
Military antisyok trousers (MAST) mungkin di gunakan dalam situasi yang benar benar
gawat diman perdarahan tidak dapat di kendalikan seperti pada trauama atau pendarahan
retroperitoneal,
Medikasi

Jika pemberian cairan gagal untuk menangani syok , maka medikasi yang sama diberikan
pada syok cardiogenik digunakan karena syok hipovolemik yang tidak teratasi akan mengarah pada
syok kardiogenik ( lingkaran setan ) .
Jika penyebab yang mendasari hipovolemia adlah dehidrasi, medikasi akan diresepkan
untuk, mengatasi penyebab dehidrasi. Sebagai contoh insulin akan diberika pad pasien dengan
dehidrasi sekunder terhadap hipperglikemia , desmporesin (DDVP) untuk diabetes insipidus,
preparat anti diare untuk diare, dan anti emetik untuk muntah2.
Penatalaksanaan Keperawatan Pasien dengan Syok Hipovolemik
Pencegahan primer syok merupakan fokus keperawatan yang esensial. Syok hipovolemik
dapat dicegah dalam beberapa keadaan dengan pemantauan ketat pasien yang beresiko untuk
mengalami defisit cairan dan membantu dalam penggantian cairan sebelum volume intravaskuler
menipis. Pada keadaan lainnya, syok hipovolemik tidak dapat dicegah dan asuhan keperawatan
berfokus pada membantu pengobatan yang ditargetkan pada mengatasi penyebabnya dan
memulihkan volume intravaskular.
Tindakan keperawatan umum termasuk memastikan pemberian dengan aman cairan dan
mendeteksi yang diresepkan dan mendokumentasikan pemberian tersebut serta efeknya. Peran
keperawatan yang penting lainnya adalah pemantauan tanda komplikasi dan efek samping
pengobatan dan melaporkan tanda ini sedini mungkin dalam perjalanan pengobatan.
Pemberian transfusi darah dengan aman adalah peran keperawatan yang penting. Dalam
situasi kegawatan penting artinya untuk dengan cepat mendapatkan spesimen darah untuk
menetapkan jumlah sel darah (JSD) dasar dan untuk menentukan golongan darah serta melakukan
kocok silang darah pasien untuk mengantisipasi transpusi darah. Pasien yang menerima transfusi
produk darah harus dipantau dengan ketat terhadap efek yang merugikan.
Oksigen diberikan untuk meningkatkan jumlah oksigen yang dibawa oleh hemoglobin yang
tersedia dalam darah.pasien yang dalam keadaan kelam pikir mungkin akan merasa takut dengan
masker oksigen atau kanula. Penjelasan yang sering tentang pentingnya masker oksigen ini dapat
mengurangi sebagian rasa takutdan ansietas pasien. Secara simultan, perawat harus mengarahkan
upaya pada tindakan yang memberikan keamanan dan kenyamanan pasien.
Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi ketika kemampuan jantung untuk memompa darah mengalami
kerusakan. Curah jantung merupakan fungsi baik untuk volume sekucup maupun frekuensi jantung.
Jika volume sekuncup dan frekuensi jantung menurun atau menjadi tidak teratur, tekanan darah
akan turun dan ferfusi jaringan akan terganggu. Bersama dengan jaringan dan organ lain mengalami
penurunan suplai darah, otot jantung sendiri menerima darah yang tidak mencukupi dan mengalami
kerusakan perfusi jaringan. Pasien dalam syok kardiogenik dapat mengalami angina dan terjadi
disritmia.

Penyebab syok kardiogenik dapat mempunyai etiologi koroner atau nonkoroner. Syok
kardiogenik koroner lebih umum terjadi daripada syok kardiogenik nonkoroner dan terjadi lebih
sering pada pasien dengan infrak miokardium dimana terjadi kerusakan luas ventikular (.40%),
Terutama pada dinding anterior miokardium(Summers,1990).

Tabel kondisi yang menenpatkan klien beresiko terhadap syok kardiogenik


Koroner

Infrak miokardium

Non-Koroner

Kardiomiopati
Kerusakan katup
Temponade jantung
Disritmia

Penatalaksanaan medis
Tujuan penatalaksanaan medis pasien dengan syok kardiogenik adalah untuk (1) membatasi
kerusakan miokardium lebih lanjut, (2) memulihkan kesehatan miokardium dan (3) memperbaiki
kemampuan jantung untuk memompa secara efektif (Rice, 1991). Secara umum tujuan ini dicapai
dengan meningkatkan suplai oksigen ke otot jantung, sambil mengurangi kebutuhan oksigen.
Seperti halnya pada semua bentuk syok, penyebab dasar syok kardiogenik harus diperbaiki.
Penting artinya untuk pertama-tama mengatasi kebutuhan oksigenasi otot jantung untuk menjamin
kelanjutan kemampuan untuk memompa darah ke organ-organ lainnya. Pada kasus syok
kardiagonik, kondisi ini mungkin memerlukan terapi trombolitik, angioplasty, atau tundur arteri
koroner by pass. Pada kasus syok kardiogenik non koroner pasien mungkin membutuhkan
penggantian katup jantung atau perbaikan disritmia

Urutan peristiwa patofisiologi syok kardiogenik

Pengobatan baris depan syok kardiogenik mencakup:


-

Mensuplai tambahan oksigen

Mengontrol nyeri dada

Pemberian obat-obat vasoaktif

Dukungan cairan tertentu (Rice, 199c)


Penatalaksanaan umum. Pada tahap awal syok, suplemen oksigen diberikan melalui kanula
nasal pada 3 samapai 5 L/menit. Pemantauan gas-gas darah arteri dan oksimetri nadi akan
menunjukkan apakah pasien membutuhkan metoda pemberian oksigen yang agresif. Jika pasien
mengalami nyeri dada, morfin sulfat diberikan melalui intravena untuk mnghilangkan nyeri. Selain
menghilangkan nyeri, morfin juga mendilatsi pembuluh darah. Tindakan ini mengurangi beban kerja
jantung dengan menurunkan tekanan pengisian jantung (preload) dan mengurangi tekanan saat otot
jantung harus memompakan darah (Afterload)
Morfiin juga bermanfaat dalam mengatasi ansietas pasien. Enzim-enzim jantung diukur dan
EKG 12-lead dilakukan setiap hari untuk mengkaji tingkat kerusakan miokardium.
Terapi obat. Terapi obat vasoaktif terdiri atas strategi farmakologi multiple untuk
memmulihkan dan mempertahankan curah jantung yang adekuat. Pada syok kardiogenik koroner,
terapi obat ditujukan untuk memperbaiki kontraktilitas jantung, mengurangi preload dan afterload,
atau menstabilkan frekuensi jantung.
Karena memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan beben kerja jantung berlawanan
dengan tindakan farmakologis, dua klafikasi pengobatan sering diberikan dalam kombinasi:
simpatomimetik dan vasolidator. Obat-obat simpatometik meningkatkan curah jantungt dengan
menirukan aksi system saraf simpatis melalui vasokontriksi, meningkatkan kontraktilitas
miokardium, atau meningkatkan frekuensi jantung. Vasodilator digunakan untuk menurunkan
preload dan afterload, dengan demikian mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen.
Dua obat yang umumnya digunakan dalam kombinasi untuk mengobati syok kardiogenik adalah
dopamin dan nitrogliserin. \
Dopamine (Intropin) mempunyhai efek vasoaktif yang bervariasi bergantung pada dosis saat
obat terseut diberikan. Dopamine dosis rendah (0,5 sampai 3,0 g/kg/menit)menyebabkan
vasokontriksi. vasokintriksi meningkatkan afterload dan karenanya meningkatkan beban kerja
jantung. Efek ini tidak diinginkan dan karenanhya menekankan pentingnya mentitrasi dosis dengan
sangat cermat. Mana kala tekanan darah pasien telah distabilkan, dopamin dosis rendah mungkin
diteruskan untuk mendapatkan efeknya meningkatkan perfusi ginjal. Pada asidosis metabolik berat
yang terjadi pada syok tahap akhir, keefektipan dopamine hilang. Asidosis harus ditangani pertama
dengan natrium bikarbonat intravena (Rice, 1991c)
Nitroglkiserin intravena(Tridil) dalam dosis rendah bekerja sebagai vasodilator vena dan
karenanya mengurangi preload. Pada dosis yang lebih tinggi, nitrogliserin menyebabkan vasodilatasi
arteri dan karenanya juga mengurangi afterload. Kerja ini kombinasi dengan dopamine dosis sedang
meningkatkan curah jantung sambil meminimalkan beban kerja jantung. Selain itu, vasodilatasi
meningkatkan aliran darah ke miokardium memperbaiki pengiriman oksigen ke otot jantung yang
melemah.

Medikasi vasoaktif lain yang mungkin digunakan dalam penatalaksanaan syok kardiogenik
termasuk debutamin (Dobutrex), neropinefrin (Levophed), efinefrin (Adrenaline) isoproterenol
(Isuprel), dan amrinon (Inocor). Masing-masing dari obat ini merangsang reseptor system saraf
simpatis yang berbeda. Kombinasi dari obat-obat ini mungkin diresepkan dan didasarkan pada
respon pasien terhadapp pengobatan. Semua obat vasoaktif menunjukkan efeksamping yang
merugikan sehingga membuat obat-obat spesifik lebih bermanfaat dari yang lainnya pada fase syok
yang berbeda. Diuretic, seperti furosemid (Lasix), mungkin diberikan untuk mengurangi beban kerja
jantung dengan menurunkan akumulasi cairan.
Medikasi

antidisritmik adalah

juga

merupakan

bagian

seperti

hipoksemia,

ketidakseimbangan elektrolit, dan ketidakseimbangan asam basa menunjang terhadap disritmia


jantung serius pada semua pasien dnegan syok. Selain itu, sebagai respon kompensasi terhadap
penurunan curah jantung dan tekanan darah, frekuensi jantung meningkat diluar batas normal. Hal
ini lebih jauh menganggu curah janutng dengan mempersingkat diastolik dan dengan demikian
menurunkan waktu pengisian ventrikel. Sebagai akibatnya diperlukan obat-obat antidisritmia untuk
menstabilkan frekuensi jantung
Terapi cairan. Selain medikasi, cairan juga diberikan dalam mengatasi syok kardiogenik
(Alpert & Becker, 1993). Pemberain cairan harus dipantau dengan ketat oleh perawat untuk
mendeteksi tanda kelebihan cairan. Bolus cairan intravena yang terus ditingkatkan harus diberikan
dengan sangat hati-hati dimuali dengan jumlah 50 ml untuk menentukan tekanan pengisisan optimal
untuk memperbaiki curah jantung (Alpret & Blecker, 1993).
Dukungan mekanik. Pada kasus dimana curah jantung pasien tidak menunjukkan perbaikan
meski telah dilakukan pemberian oksigen, medikasi vasoaktif, dan bolus cairan, alat bantu mekanik
dapat digunakan sebagai cara sementara untuk memperbaiki kemampuan jantung untuk memompa.
Intra-aortic ballon counterpulsation (IABC) adalah satu-satu cara bantuan sementara memperbaiki
sirkulasi. Kateter balon poliuretan perkutan dimasukkan secara perkutan melalui arteri femoralis
besar dan didorong kedalam aorta torakis desenden. Kateter balon disambungkan ke console yang
memuat pompa berisi gas. Waktu inflasi balon diselaraskan secara elektrokardiografti pada awal
diastole, dan pengempisan balon tejadi sebekum sistol. Dengan memperbanyak propulsi volume
darah, IABC:
-

Meningkatkan volume sekuncup\

Memperbaiki sirkulasi koroner

Menurunkan preload

Menurunkan kerja jantung

Menurunkan kebutuhan oksigen miokardium (Schott, 1990)


Bantuan mekanik lainnya termasuk alat bantu ventricular kanan dan kiri dan jantung
artificial total. Alat ini terdiri atas pompa elektrik atau pompa yang dijalankan oleh udara pneumatic

dan membantu atau menggantikan kerja ventrikel jantung. Transpalantasi jantung menusia mungkin
diindikasikan bila pasien tidak dapat disapih dari alat bantu mekanik (Rice, 1991c).
Penatalaksanaan Keperawatan Pasien dengan Syok Kardiogenik
Pencegahan. Dalam keadaan tertentu, ssyok kardionak dapat dicegah dengan
mengidentifikasi lebih dini pasien berisiko dan menurunkan beban kerja jantung. Hal ini dapat
dicapai dengan memulihkan energi pasien, dengan cepat menghilangkan angina, dan pemberian
oksigen suplemen. Namun demikian, sering kali syok kardiogenik tidak dapat dicegah. Dalam
keadaan demikian, penatalaksanaan keperawatan mencakup bekerja dengan tim manajemen lain
untuk mencegah syok lebih memburuk dan untuk memulihkan fungsi jantung dan perfusi jaringan
yang adekuat
Pemantauan hemodinamik. Peran utama perawat adalah pemantauan status hemodinamik
dan jantung pasien. Jalur arteri dan pemantauan EKG harus dipertahankan dan berfungsi secara
tepat. Perawat menyiapkan obat-obatan, cairan intravena, dan peralatan yang mungkin digunakan
dan harus siap untuk membantu dalam penerapan tindakan ini. Perubahan dalam status
hemodinamik, jantung, dan status pulmonal di catat dan dilaporkan dengan segera. Selain itu,
adanya bunyi nafas tambahan, perubahan irama jantung, dan temua fisik lainnya dilaporkan dengan
segera
Pemberian cairan. Perawat mempunyai peran penting dalam pemberian cairan intravena
yang aman dan akurat. Kelebihan cairan dan edema pulmonary merupakan resiko karena fungsi
jantung tidak efektif dan akumulasi darah serta cairan dalam jaringan pulmonal. Perawat
mendokumentasikan dan mencatat medikasi dan tindakan yang dilakukan juga
IABC . perawat memankan peran penting dalam perawatan pasien yang mendapat IABC, perawat
membuat penyesuaian waktu yang berkelanjutan dari pompa balon untuk memaksimalkan
keefektifannya dengan menyelaraskannya dengan siklus jantung. Pasien beresiko sangat tinggi untuk
mengalami gangguan sirkulasi pada tungkai pada sisi dimana kateter dipasang. Karena nya,
pemerksaan neurovascular ekstremitas bawah yang sering harus dilakukan.
Keselamatan dan kenyamanan, sementara membantu dalam tindakan ini, perawat juga
harus berperan aktif dalam menjamin keselamatan dan kenyamanan fisik pasien dan dalam
mengurangi ansietas pasien. Peran ini termasuk dalam pemberian medikasi untuk menghilangkan
nyeri dada, pencegahan infeksi pada tempat insersi jalur vena dan arteri multiple, melindungi kulit
pasien, dan pemantauan fungsi pernafasan. Posisi pasien yang sesuai dapat meningkatkan
pernapasan efektif tanpa menurunkan tekanan darah dan dapat juga meningkatkan kenyamanan
pasien sambil mengurangi ansietas.
SYOK DISTRIBUTIF
Syok distributive atau vasogenik terjadi ketika volume darah secara abnormal berpindah
tempat dalam vaskulatur seperti ketika darah mengumpul dalam pembuluh darah perifer.
Perpindahan darah ini menyebabkan hipovolemia relative

karena tidak

cukup darah

yang kembali ke jantung , yang selanjutnya mengarah pada ketidakcukupan perfusi jaringan.
Kemampuan pembuluh darah untuk berkontraksi membantu darah kembali ke jantung. Dengan
demikian , tonus vascular ditentukan oleh mekanisme pengaturan sentral, seperti pada pengaturan
tekanan darah, dan oleh mekanisme pengaturan local, seperti pada pengaturan jaringan terhadap
oksigen dan nutrient. Karenanya, syok distributive dapat dapat disebabkan baik oleh kehilangan
tonus simpatis atau oleh pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel.
Berbagai mekanisme yang mengarah pada vasodilatasi awal dalam syok distributive lebih
jauh membagi klasifikasi syok ini ke dalam 3 tipe : 1. Neurologiek 2. Anafilaktik, dan 3. Syok septic.
Jenis syok distributive yang berbeda menyebabkan keragaman dalam rantai peristiwa
patofisiologi dijelaskan secara terpisah. Pada semua jenis syok distributive, dilatasi massif arteria dan
vena memungkinkan darah mengumpul di perifer. Dilatasi arteri mengurangi tahanan vascular
sistemik (SVR). Pada awalnya curah jantung akan tinggi pada syok distributive, baik karena
penurunan dalam afterload (SVR) dank arena peningkatan upaya otot jantung utnuk
mempertahankan perfusi meski terjadi inkompeten vasulatur sekunder terhadap dilatasi arteri.
Pengumpulan darah dalam perifer mengakibatkan penurunan volume sekuncup dan penurunan
curah jantung. Penurunan curah jantung selajutnya mengakibatkan penurunan tekanan darah dan
pada akhirnya penurunan perfusi jaringan.
Kondisi yang menempatkan pasien pada resiko syok distributif
Syok neurologic

Syok anafilaktik

Syok septik

Cedera medulla spinalis

Anestesi spinal

Sensitivitas terhadap penisilin

Reaksi transfuse

Alergi sengatan lebah

Imunosupresif

Usia yang ekstrim (<1 tahun dan > 65 tahun )

Malnutrisi

Penyakit kronis

Prosedur invasif

Vasodilatasi
Maldistribusi volume darah
Penurunan arus balik vena
Penurunan volume sekuncup
Penuruanan curah jantung
Penurunan perfusi jaringan
Urutan peristiwa patofisiologi syok distributive

SYOK NEUROLOGIK
Pada syok neurologic, vasodilatasi terjadi sebagai akibat kehilangan tonus simpatis. Kondisi
ini dapat disebabkan oleh cedera medulla spinalis, anestesi spinaldan kerusakan-kerusakan system
saraf. Syok ini juga dapat terjadi sebagai akibat kerja obat-obat depresan atau kekurangan glukosa
(mis, reaksi insulin atau syok). Syok neurologic mungkin mengalami perjalanan panjang (cedera
medulla spinalis) atau singkat (sinkop atau pingsan)
Syok neurologic spinal ditandai dengan kulit kering , hangat, lembab seperti yang terjadi
pada syok hipovolemik . tanda lainnya adalah bradikardia seperti pada syok yang lainnya.
Penatalaksanaan medis. Pengobatan syok neurologic termasuk memulihkan tonus simpatis
baik melalui penstabilan cedera medulla spinalis atau, dalam kasus anestesi spinal dengan
memposisikan pasien secara tepat. Pengobatan spesifik syok neurologic tergantung pada
penyebabnya.
Penatalaksanaan keperawatan. Syok neurologi dapat dicegah pada pasien yang
mendapatkan anestesi spinal atau epidural dengan meningkatkan bagian kepala tempat tidur 15
sampai 20 derajat untuk mencegah penyebaran anestetik ke medula spinalis (Rice,1991 d). pada
kecurigaan cedera medulla spinalis, syok neurogenik dapat dicegah melalui imobilisasi pasien
dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan medulla spinalis lebih lanjut.

Pada pasien dengan syok neurogeenik, interfensi keperawatan diarahkan pada mendukung
fungsi kardiovaskular dan neuro logis sampai episode transien syok neurogenik menghilang. Stoking
elastic dan meninggikan bagian kaki tempat tidur dapat meminimalkan pengumpulan darah pada
turai.
Pemberian heparin, pemasangan stoking komoresi, dan kompresi pneumatic pada tungkai
dapat mencegah pembentukan trombos. Rentang gerak pasif ekstremitas yang imobil juga
meningkatkan sirkulasi.
SYOK ANAFILAKTIK
Syok anafilaktik disebabkan oleh reaksi alergi ketika pasien yang sebelumnya sudah
membentuk antti body terhadap benda asing (antigen) mebalami reaksi antigen anti bodi sistemik.
Pross ini membutuhkan bahwa pasien sebelumnya telah terpajan pada benda tersebut. Reaksi
antigen anti bodi menggerakkan sel-sel mast untuk melepaskan bahan vaso aktif poten seperti
hisstamin atau bradiinin, yang menyebabkan vaso dilatasi dan permeabilitas kapiler yang luas. Syok
ana filaktik terjadi dengan cepat dan mengancam jiwa. Karena syok ana filaktik terjadi pada pasien
yang sebelumnya sudah terpajan pada antigen dan yang telah membentuk anti bodi terhadap
antigen tersebut, syok ini dapat dicegah. Karenanya, pasien dengan alergi yang dietahui harus
mengerti makna dari pemajanan beikutnya terhadap antigen tersebut dan di instruksikan tentang
penggunaan kedaruratan medikasi untuk mengatasi anailaktik.
Penatalaksanaan Medis. Pengobatan syok anafilaktik membutuhkan pembuangan antigen
penyebab (seperti penghentian pemberian antibiotic), pemberian obat-obat yang akan memulihkan
tonus vascular, dan dukungan kedaruratan fungsi dasar. Epinefrin diberikan secara intravena untuk
mendapatkan efek vasokonstriktifnya. Difenhidramin (Benadryl) diberikan secara intravena untuk
melawan efek histamine, dengan begitu mengurangi permeabilitas kapiler. Aminofilin diberikan
secara intravena untuk melawan bronkospasme akibat histamine.
Jika terdapat ancaman atau terjadi henti jantung dan henti napas, dilakukan resusitasi jantung paru
(RJP). Intubasi endotrakheal atau trakheotomi mungkin diperlukan untuk menetapkn jalan naps.
Jalur intravena dipasang untuk memberikan akses infuse cairan dan obat-obatan. Penjelasan tentang
anafilaktik ddn mediator kimiawi spesifik disajikan pada bab 51.
Penatalaksanaan keperawatan. Perawat mempunyai peran penting dalam pencegahan syok
anafilaktik: mengkaji semua pasien terhadap alergi dan reaksi terdahulu terhadap antigen (mis. ,
medikasi, produk darah, makanan, media kontras) dan mengkomunikasikan keberadaan alergi ini
pada anggota lainny. Selain itu, pengertian pasien tentang reaksi terdahulu dan langkah-langkah
yang dilakukan oleh paien dan keluarga untuk mencegah pemajanan lebih lanjut terhaadap antigen,
dikaji. Bila ditemukan alergi baru, pasien diintruksikan untuk membawa atau mengenakan identiikasi
yang menunujukkan alergi atau antigen spesifik.
Saat memberikan obat baru apa saja, pasien harus diamati terhadap reaksi alergi. Hal ini
terutama penting dengan obat-obat yang diberikan melalui intravena. Alergi terhadap penisilin
adalah salah satu penyebab yang paling umum dari syok anafilakti.

Dalam lingkungan rumah sakit, penting artinya untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko
terhadap reaksi anafilatik terhadap media kontras yang digunakan untuk pemeriksaan diagnostic:
mereka yang dikenal baik alergi terhadap yodium atau ikan atau mereka yang sebelumnya telah
menunujukkan reaksi alergi terhadap media kontras. Informasi ini harus ditunjukkan padanpetugas
X-ray.
SYOK SEPTIK
Syok septic adalah bentuk paling umum syok distributive dan disebabkan oleh infeksi yang
menyebar luas. Meski telah terjdi peningkatan kecanggihan dari terapi antibiotic, insiden syok septic
trus meningat selama 50 thn terakhir, dengan angka kematin berkisar antara 40-90% (Rice, 1991d).
syok septic adalah penyebab kematian utama dari dalam unit perawatan intensif (Bone, dkk., 1992).
Mikroorganisme penyebab yang paling umum dari syok septic adalah bakteri gram-negatif .
namun demikian, agen iinfeksius lainseperti bakteri gram positif dan virus juga dapat menyebabkan
syok septic. Ketika mikroorganisme menyerang jaringan tubuh, pasien akan menunjukan suaatu
respon imun, respon imun ini membangkitkan aktifitasi berbagai mediator kimiawiyang mempunyai
berbagai efek yang mengarah pada syok. Peningkatan permeabilitas kapiler, yang mmengarah pada
perembesan cairan dari kapiler, dan vasodilatasi adalah dua efek tersebut.
Syok septic terjadi dalam dua fase yang berbeda. Fase 1 disebut dengan fase hangat atau
hiperdinmik, di tndai oleh tingginya curah jantung dan vasodilatasi. Pasien menjadi sangat panas
atau hipertermik dengan kuit hangat kemerahan. Frekuensi jantung dan pernapasan meningkat.
Haluaran urin dapat meningkat atau tetap normal. Status gastrointestinal mungkin tergangguseperti
yang dibuktikan oleh mual, muntah, atau diare.
Fase lanjut, disebut sebagai fase dingin atau hipodinamik, yang tandai oleh curah jantung
yang rendah dengan vasokonstriksi yang mencerminkan upaya tubuh untu mengkompensasi
hipovolemia yang disebabkan oleh kehilangan volume intravascular melalui kapiler. Pada fase ini
tekanan darah pasien turun, dan ulit dingin serta pucat. Suhu tubuh mungkin normal atau dibawah
normal. Frekuensi jantung dan pernapasan tetap cepat. Pasien tidak lagi membentuk urin dan dapat
terjadi kegagalan organ multiple.
Penatalaksanaan medis, pengobatan terbaru syok septic mencakup mengidentifikasi dan
mengeliminasi penyebab infeksi. Pengumpulan specimen urin, darah, sputum, dam drainase luka
dilakukan dengan teknik aseptic. Antibiotic spectrum luas diberikan sebelum menerima aporan
sensitifitas dan kultur untuk meningkatkan ketahanan hidup pasien (Roach, 1990). Preparat
sefalosporin ditambah aminoglikosida mungkn diresepkan pada awalnya. Kombinasi ini
akanmemberikan cakupan antibiotic sebagai organism gram negative dan beberapa gram positive.
Saat laporan sensitivitas dan kultur tiba, antibiotic dig anti dengan sntibiotik yang secara lebih
spesifikdi targetkan pada organism penginfeksi dan kurang toksik untuk pasien.
Setiap rute infeksi yang potensial harus disingkirkan, termasuk jalur intravena, yang harus
dilepa dan dipasang kembali di tempat lain, dan kateter urin, yang harus dilepaskan. Setiap abses

harus dialirkan dan areanekrotik dilakukan debridement. Penggantin cairan harus diberikan untuk
memperbaiki hipovolemia yang diakibatkan inkompeten vaskulatur.
Penatalaksanaan keperawatan. Perawat yang merawat setiap pasien harus selalu
mengingat resiko sepsis dan tinggginya mortalitas yang berkaitan dengan syokseptik. Semua
prosedur invasive harus dilakukan dngan teknik aseptic yang telah mencuci tangan dengan teliti.
Selainitu, jalur intravena, tepat punsi vena dan arteri, insisi bedah, luka trauma, kateter urin, dan
luka dekubitus dipantau terhadap tanda-tanda infeksi pada semua pasien. Perawat mengidentifikasi
pasien yang secara khusus beresiko terhadap syokseptic dan sepsis. Namun demikian, pertimbangan
harus diberikan pada fakta bahwa pasien beresiko tinggi ini mungkin tidak mengalami tanda infeksi
atau sepsis klasik , kelam piker, misalnya saja, mungkin menjadi tanda pertama infeksi dan sepsis
pada lansia.
GAGAL ORGAN MULTIPLE
Gagal organ multiple (MOF) atau sindrom disfungsi organ multiple (MODS) dapat terjadi
sebagai komplikasi dari semua bentuk syok (Cipolle, dkk,. 1993) , semua system organ secara unik
menderita kerusakan akibat kurangnya perfusi yang adekuat yang dapat menyebabkan gagal organ.
Namuan demikian sindrom gagal organ sekuensial harus diamati lebih lanjut pada pasien.
Mekanisme sesungguhnya yang mencetuskan sindrom ini belum diketahui.
Meski berbagai penyebab MOF telah diidentifikasi, seperti kematian atau cedera jaringan,
infeksi, atau deficit perfusi , belum lagi memungkinkan untuk memperkirakan pasien mana yang
akan mengalami MOF (Cipolle, dkk 1993). Hal ini sebagian karena kebanyakan kerusakan organ
terjadi pada tingkat selulerdan oleh karenanya tidak dapat diamati atau di ukur secara langsung.
Urutan kegagalan organ biasanya di mulai pada paru-paru dan diikuti oleh gagal hepar dan ginjal
(Lekander, & Cerra, 1990)
Manifestasi klinis
Perjalanan klinis MOF mengikuti salah satu dari dua pola. Pada kedua pola terdapat peristiwa awal
yang mengakibatkan rendahnya tekanan darah. PEnyebab rendahnya tekanan darah diatasi dan
seolah-olah pasien berespon. Pada pola MOF pertama, terjadi lebih sering saat peristiwa awal adalah
pulmonal seperti cedera paru, pasien mengalami gangguan pernafasan yang membutuhkan intubasi.
Hal ini biasanya terjadi dalam 24jam sampai 72jam peristiwa awal. Gagal nafas dengan cepat
menyebabkan MOF dan daya tahan pasien hanya 2 sampai 4 hari (Lekander & Cerra ,1990)
Pola MOF kedua terjadi lebih tersembunyi . Pola ini terjadi lebih sering pada pasien dengan
syok septic dan secara progresif tidak teratasi selama kurun waktu 1 bulan. Pasien juga mengalami
gagal nafas dan membutuhkan intubasi. Pasien tetap stabil secara hemodinamik selama sekitar 7
sampai 14 hari. Meski tampak stabil, pasien menunjukan status hipermetabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia, hiperlaktatemia, dan poliuria. Laju metabolic pasien adalah 1,5 sampai 2 kali
laju metabolic basal. BIasanya terdapat infeksi dan kerusakan kulit mulai terjadi. Selama tahap ini
terjadi kehilangan massif massa otot skeletal, prosesnya disebut oto-katabolisme. Jika fase

hipermetabolik dapat diatasi , angka mortilitas tahap ini adalah antar 25% dan 40% (Lekander &
Cerra ,1990)
Pada pasien di mana fase hipermetabolik tidak dapat diatasi, MOF mengalami kemajuan dan hal ini
ditandai dengan ikterik , hiperbilirubinemia , dan gagal ginjal sering membutuhkan dialysis. Pasien
menjadi kurang stabil secara hemodinamik dan mulai membutuhkan obat-obat vasoaktif serta
dukungan terapi cairan. Fase ini secara prognosis signifikan dimana angka mortilitas meningkat
samapai 40% sampai 60% pada tahap awal,hingga 90% samapai 100% pada tahap MOF lanjut. Pasien
biasanya mati dalam kira-kira 28 hari.
Penatalaksanaan
Tindakan penanganan untuk memulihkan MOF dimaksudkan untuk (1) mengendalikan peristiwa
awal, (2) meningkatkan fungsi organ yang adekuat, (3) memberikan dukungan nutrisi. Rencana
asuhan keperawatan umum untuk pasien MOF adalah sama seperti untuk pasien dalam syok septic.
PEmberian informasi dan dukungan pada anggota keluarga adalah peran perawat yang penting
dalam merawat pasien dengan MOF : kehilangan massa otot skeletal massif membuat proses
rehabilitative menjadi lambat dan sangat lama.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SYOK

a. PENGKAJIAN
Pengkajian menurut Gleadle (2005).
Syok adalah manifestasi klinis yang penting. Syok harus segera dikenali dan diagnosis penyebabnya
harus langsung ditegakkan secara akurat. Definisi syok adalah tidak cukupnya perfusi pada organorgan vital. Bisa menimbulkan manifestasi tidak spesifik seperti malaise, pusing, pingsan dengan
gejala dari penyebab yang mendasari. Etiologi tersering antara lain adalah hipovolemia (misalnya
akibat perdarahan gastrointestinal), syok kardiogenik (akibat MI), emboli paru, anafilaksis, cedera
intraabdomen, dan septikemia.
Anamnesis
Kapan awal penyakit? Apa gejala?
Pernahkah ada nyeri dada, hemoptisis, atau sesak napas?
Adakah gejala yang menunjukkan penurunan volume?
Pernahkah terpajan alergen potensial (misalnya makanan, obat, bisa ular)?
Adakah gejala yang menunjukkan septikemia (misalnya demam, menggigil, berkeringat, infeksi
lokak)?
Dapatkan anamnesis tambahan dari kerabat, khususnya jika pasien sakit sangat berat dan tidak
mampu memberikan anamnesis yang jelas.
Riwayat penyakit dahulu

Adakah riwayat episode syok sebelumnya?


Adakah riwayat penyakit jantung yang serius sebelumnya (misalnya MI)?
Adakah riwayat imunosupresi?
Adakah riwayat kelainan abdomen yang diketahui?
Obat-obatan
Apakah pasien sedang mengkonsumsi atau baru saja mengkonsumsi kortikosteroid?
Apakah pasien mengkonsumsi obat dengan potensi anafilaktik?
Adakah kemungkinan overdosis obat kardiodepresan?
Alergi
Adakah alergi pada pasien yang diketahui?
Seperti pada pasien lain yang sakit berat, pastikan jalan napas terjaga, pasien bernapas adekuat, dan
lakukan pemeriksaan fisik lengkap. Khususnya, periksa tanda-tanda syok.
Denyut nadi : takikardia atau bahkan bradikardia.
TD : menurun dengan perubahan posisi jika tidak hipotensif
Warna kulit (pucat) dan suhu.
Keluaran urin berkurang
Adanya syok memerlukan terapi segera, serta tegakkan diagnosis akurat. Periksa dengan teliti status
hidrasi :
Periksa turgor kulit
Periksa membran mukosa
Periksa JVP (mungkin memerlukan pemeriksaan CVP atau PCWP)
Periksa denyut nadi
Periksa semua kemungkinan sumber kehilangan volume
Periksa tanda-tandan penyakiy jantung atau pernapasan mayor, gesekan pleura, tanda kussmaul,
sianosis, atau peningkatan laju pernapasan.
Periksa dengan teliti tanda-tanda atau sumber sepsis dan patologi abdomen (misalnya konsolidasi
paru, meningmus, nyeri lepas, tahanan, dan ileus).
Periksa tanda-tanda yang sesuai dengan reaksi anafilaktik : ruam, edema oral dan laring, serta
stridor.
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cepat sambil memberikan terapi antara lain :
Oksigen
Jalur intravena
Cairan intravena
Antibiotik intravena

Dan pemeriksaan penunjang yang termasuk :


EKG (dan pemantauan EKG)
Analisis gas darah

Rontgen toraks
Kultur darah
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada pasien antara lain (Santosa, 2005):
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipovolemia, peningkatan beban kerja ventrikular,
kerusakan ventrikular.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif dan kegagalan
mekanisme pengaturan.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan transport oksigen melalui alveolar
dan membran kapiler, hipoventilasi
C. INTERVENSI
Intervensi menurut Wilkinson (2006)
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipovolemia, peningkatan beban kerja
ventrikular, kerusakan ventrikular.
Hasil yang disarankan NOC:
a. Keefektifan pompa jantung : tingkat pemompaan darah dari ventrikel kiri per menit untuk
mendukung tekanan perfusi sistemik.
b. Status Sirkulasi : \tingkat pengaliran darah tanpa terhambat, satu arah, dan pada tekanan yang
sesuai melalui vena-vena besar dari aliran sistemik dan pulmonal.
c. Perfusi Jaringan : Organ Abdomen : tingkat pengaliran darah dari vena-vena kecil dari visera
abdomen dan mempertahankan fungsi organ.
d. Perfusi Jaringan : Perifer : tingkat pengaliran darah melalui vena-vena kecil dari ekstremitas dan
mempertahankan fungsi jaringan.
e. Status tanda vital : suhu, nadi, respirasi, dan tekanan darah dalam rentang yang diharapkan dari
individu.
Intervensi Prioritas NIC :
a. Perawatan Jantung :pembatasan komplikasi yang diakibatkan dari ketidakseimbangan antara
suplai oksigen dan kebutuhan pasien.
b. Regulasi Hemodinamik : optimalisasi denyut jantung. Preload, afterload, dan kontraktilitas.
c. Penatalaksanaan Syok : Jantung : peningkatan keadekuatan perfusi jaringan untk pasien dengan
gangguan fungsi pompa jantung yang berat.
Aktivitas Keperawatan :
Pengkajian :
a. Regulasi hemodinamik
b. Kaji toleransi aktivitas pasien
c. Evaluasi respon pasien terhadap terapi oksigen.

Pendidikan untuk Pasien/Keluarga :


a. Jelaskan tujuan pemberian oksigen
b. Ajarkan penggunaan, dosis, frekuensi dan efek samping.
c. Instruksikan tentang mempertahankan keakuratan asupan dan haluaran.
Aktivitas Kolaboratif :
a. Berikan antikoagulan untuk mencegah pembentukan trombus perifer.
b. Tingkatkan penurunan afterload sesuai dengan program medis.
Aktivitas lain :
a. Ubah posisi pasien ke telentang.
b. Jangan mengukur suhu dari rektum.
c. Regulasi Hemodinamik (NIC) : minimalkan stresor lingkungan.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif dan kegagalan
mekanisme pengaturan.
Hasil yang disarankan NOC:
a. Keseimbangan Elektrolit dan Asam-Basa : keseimbangan elektrolit dan non elektrolit dalam ruang
intrasel.
b. Keseimbangan Cairan : keseimbangan air dalam ruang intrasel dan ekstrasel tubuh.
c. Status Nutrisi : Asupan Makanan dan Cairan : jumlah makanan dan cairan yang masuk dalam
tubuh selama 24 jam.
Intervensi Prioritas NIC :
a. Pengelolaan Elektrolit : peningkatan keseimbangan elektrolit dan pencegahan komplikasi akibat
dari kadar elektrolit serum yang tidak normal.
b. Pengelolaan Cairan : peningkatan keseimbangan cairan dan pencegahan komplikasi akibat dari
kadar cairan yang tidak normal.
c. Pengelolaan Syok, Volume : peningkatan keadekuatan perfusi jaringan untuk pasien dengan
gangguan volume intravaskular yang berat.
Aktivitas Keperawatan :
Pengkajian :
a. Pantau warna, jumlah dan frekuensi kehilangan cairan
b. Pantau perdarahan.
c. Tinjau ulang elektrolit, terutama natrium, kalium, klorida, dan kreatinin
d. Kaji adanya vertigo atau hipotensi postural.
Pendidikan untuk Pasien/Keluarga :

a. Anjurkan pasien untuk menginformsikan perawat bila haus.


Aktivitas Kolaboratif :
a. Laporkan dan catat haluaran kurang dari......... ml.
b. Laporkan dan catat haluaran lebih dari........... ml.
c. Pengaturan cairan (NIC) : Berikan terapi IV sesuai dengan anjuran.
Aktivitas lain :
a. Bersihkan mulut secara teratur.
b. Tentukan jumlah cairan yang masuk dalam 24 jam
c. Pengaturan Cairan (NIC) : pasang kateter urine, berikan cairan bila perlu

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan transport oksigen melalui


alveolar dan membran kapiler, hipoventilasi.
Hasil yang disarankan NOC:
a. Keefektifan pompa jantung ; tingkat pengeluaran darah dari ventrikel kiri per menit untuk
mendukung tekanan perfusi sistemik.
b. Perfusi Jaringan : Jantung : tingkat pengaliran darah melalui pembuluh darah koroner dan
mempertahankan fungsi jantung.
c. Status tandan-tanda Vital : suhu tubuh, nadi, respirasi, dan tekanan darah dalam batas yang
diharapkan.
Intervensi Prioritas NIC :
a. Perawatan Sirkulasi : peningkatan sirkulasi arteri dan vena.
b. Pemantauan respirasi : pengumpulan dan analisis data pasien untuk memastikan potensi jalan
napas serta keadekuatan pertukaran gas.
c. Penatalaksanaan Syok : Jantung : peningkatan keadekuatan perfusi jaringan, untuk pasien dengan
masalah fungsi pompa jantung yang serius.
Aktivitas Keperawatan :
Pengkajian :
a. Pantau nyeri dada
b. Observasi adanya perubahan segmen ST pada EKG
c. Pantau frekuensi nadi
Pendidikan untuk Pasien/Keluarga :
a. Ajarkan pasien dan keluarga untuk menghindari melakukan menuver Valsalva (mengejan saat
defekasi).
b. Jelaskan pembatasan asupan kafein, natrium, kolesterol, dan lemak.
c. Jelaskan alasan makan porsi sedikit tetapi sering.

Aktivitas Kolaboratif :
a. Berikan pengobatan berdasarkan permintaan atau protokol yang berlaku (misalnya analgesik,
vasodilator, diuretik, dan kontraktilitas/inotropik positif)
Aktivitas lain :
a. Beri jaminan penggunaan bel, lampu dan pintu yang terbuka akan direspon dengan segera.
b. Tingkatkan istirahat.
c. Jangan melakukan pengukuran suhu tubuh rektal.

E. EVALUASI
Evaluasi menurut Wilkinson (2006)
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipovolemia, peningkatan beban kerja ventrikular,
kerusakan ventrikular.
Tujuan/Kriteria Evaluasi:
a. Menunjukkan curah jantung yang memuaskan.
b. Menunjukkan status sirkulasi dengan indikator : tekanan darah, denyut jantung, gas darah, bunyi
napas, status kognitif.
c. Pasien akan mempunyai indeks jantung dan fraksi ejeksi
d. Mengidentifikasi tanda dan gejala yang dapat dilaporkan dari kondisi yang memburuk.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif dan kegagalan
mekanisme pengaturan.
Tujuan/Kriteria Evaluasi:
a. Kekurangan volume cairan akan teratasi, dibuktikan dengan keseimbangan cairan, elektrolit dan
Asam-Basa.
b. Keseimbangan Elektrolit dan Asam-Basa akan dicapai

Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan transport oksigen melalui alveolar
dan membran kapiler, hipoventilasi
Tujuan/Kriteria Evaluasi:
a.Menunjukkan

keefektifan

pompa

jantung,

perfusi

jaringan

jantung

dan

perifer.

b. Menunjukkan status sirkulasi : ditandai dengan indikator berikut : tekanan darah normal, tidak
ada edema perifer dan asites, tidak ada bunyi angina, tidak ada hipotensi ortostatik.

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah : Brunner
Suddarth, Vol. 1. EGC : Jakarta.
Anonim, 2006, Syok Anafilaksis, Online (terdapat pada) :
http://puskesmaspalaran.wordpress.com/2006/11/05/syok-anafilaksis/
Anonim, 2007, Syok Kardiogenik, Online (terdapatpada):http://medlinux.blogspot.com/2007
/09/syok-kardiogenik.html
Mansjoer, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ke-3 Jilid 1, Media Aesculapius, Jakarta
Santosa, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA, Prima Medika, Jakarta
Wilkinson, J. M., 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai