Anda di halaman 1dari 2

Aliran-aliran Dalam Pendidikan Islam

1.

Aliran Agamis Konservatif (Al-Muhafidz)

Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jamaah, Sahnun, Ibnu Hajar alHaitami, dan al-Qabisi.
Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan
pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat
sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.
Menurut Dra. Hj. Hasniyati Gani Ali M.Pd dalam bukunya ilmu pendidikan Islam mengatakan bahwa,
teori aliran ini lebih menfokuskan pendidikan pada aspek keagamaan sebab mereka memaknai ilmu
hanya secara sempit yaitu ilmu yang harus dipelajari setiap individu adalah ilmu yang dibutuhkan
pada saat ia hidup di dunia yag hanya bermanfaat kelak di akhirat.[4] Menurut aliran ini ilmu
diklasifikasikan menjadi: pertanma, ilmu tentang cara melakukan kewajiban-kewajiban agama.
Kedua, ilmu yang bersifat fardu kifayah.

Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:


Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1)

Ilmu syariyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri atas:

a.
Ilmu ushul (ilmu pokok). Contoh: ilmu al-quran, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan
ijma.
b.

Ilmu furu (cabang). Contoh: fiqh dan akhlak.

c.

Ilmu pengantar (mukaddimah). Contoh: ilmu bahasa dan gramatika.

d.

Ilmu pelengkap (mutammimah).

2) Ilmu ghoiru syariyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama atau intelektual
muslim, terdiri atas:
a.

Ilmu terpuji. Misalnya: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.

b.

Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.

c.
Ilmu yang tercela (merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari
filsafat.
Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi:
1) Ilmu yang fardlu ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Contoh: ilmu
tentang tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang fardlu ain ini, oleh al-Ghazali, dibagi
menjadi dua yaitu: Ilmu Muamalah dan ilmu Mukasyafah.

2) Ilmu yang fardlu kifayah, yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah mempelajarinya, maka
yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya. Contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung dan
perdagangan.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan
rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat
dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran
Mutazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
1)

Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.

2) Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode
etik peserta didik.
3)

Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.

4)

Pembatasan term al-ilm hanya pada ilmu tentang Allah.

Sedangkan menurut Ibnu Jamaah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan alQuran, menghafal dan menafsirkannya. Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu diprioritaskan adalah
Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan Sharaf.[5]
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain:
1) Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat
di akhirat.
2)

Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia.

3)

Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.

Anda mungkin juga menyukai