Anda di halaman 1dari 8

Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di RSUP Dr.

Sardjito
(Nanang M.Yasin, Herlina T.Widyastuti, dan Endah K. Dewi)

KAJIAN INTERAKSI OBAT PADA


PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
TAHUN 2005
Nanang Munif Yasin, Herlina Tri Widyastuti, dan Endah Kusuma Dewi
Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada,

ABSTRACT
This study was conduct to observe the drug adverse event in congestif heart failure
management at DR. Sardjito Hospital in 2005. Data was collected retrospectively from
237 medical records, 110 in-patient and 127 out-patient. Data analysis was done
descriptively. Result of study showed that potential drug interaction occured on 99 (90%)
in-patient and 126 (99,26%) out-patient. 20 types (50%)of pharmacokinetic interaction
and 6 types (15%) of pharmacodynamic interaction was found on in-patient, with
interaction of furosemide and ACE inhibitor as the most frequent (84 cases/76.36%),
followed by furosemide-acetosal (66 cases/60%), and ACE inhibitor-acetosal (57
cases/51,82%). 25 types (36%) of pharmacokinetic interaction and 11 types (32%) of
pharmacodynamic interaction was found on out-patient, with interaction of acetosal-ACE
inhibitor as the most frequent (90 cases/70,87%), followed by furosemide-ACE inhibitor
(85 cases/66,93%), and ACE inhibitor-potassium supplementation ( 85 cases/66,93%).
Keywords: drug interaction, congestive heart failure, Dr. Sardjito Hospital

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui angka kejadian interaksi obat pada
penatalaksanaan pasien gagal jantung kongestif di RSUP DR. Sardjito tahun 2005. Data
diambil secara retrospektif dari sampel berupa 110 rekam medik pasien rawat inap dan
127 resep pasien rawat jalan. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa interaksi obat potensial terjadi pada 99 (90%) pasien rawat inap dan
126 (99,26%) pasien rawat jalan. Pada pasien rawat inap ditemukan interaksi
farmakokinetika sebanyak 20 jenis (50%), interaksi farmakodinamik sebanyak 6 jenis
(15%), dan interaksi dengan mekanisme yang tidak diketahui sebanyak 14 jenis (35%).
Jenis interaksi yang memiliki insidensi kejadian paling tinggi secara berurutan adalah
furosemid dengan ACE inhibitor yang terjadi pada 84 pasien (76,36%), furosemid dengan
asetosal pada 66 pasien (60%), dan ACE inhibitor dengan asetosal pada 57 pasien
(51,82%). Pada pasien rawat jalan ditemukan interaksi farmakokinetika sebanyak 25
jenis (36%), interaksi farmakodinamik sebanyak 11 jenis (32%), dan interaksi dengan
mekanisme yang tidak diketahui sebanyak 8 jenis (32%). Jenis interaksi yang memiliki
insidensi kejadian paling tinggi secara berurutan adalah asetosal ACE inhibitor yang
terjadi pada 90 pasien (70,87%), furosemid dengan ACE inhibitor pada 85 pasien
(66,93%), dan ACE inhibitor dengan suplemen kalium pada 85 pasien (66,93%).
Kata kunci: interaksi obat, gagal jantung kongestif, RSUP DR Sardjito

15

Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 4 No. 1 Januari 2008: 15 - 22

PENDAHULUAN
Gagal jantung kongestif adalah
suatu keadaan dimana jantung tidak
dapat
memompa
darah
yang
mencukupi untuk kebutuhan tubuh [1].
Di Indonesia angka kejadiannya
belum diketahui tetapi diperkirakan
terus meningkat seiring dengan
perubahan
pola
hidup
dan
peningkatan kesejahteraan [2].
Mekanisme kompensasi meliputi
takikardi dan peningkatan aktivitas
simpatik, retensi cairan, hipertrofi
ventrikel, dan vasokonstriktor [3].
Tujuan utama dari pengobatan gagal
jantung adalah mengurangi gejala
akibat
bendungan
sirkulasi,
memperbaiki kapasitas kerja dan
kualitas hidup, serta memperpanjang
harapan hidup [4].
Tiga golongan obat gagal jantung
menunjukkan efektivitas klinis dalam
mengurangi
gejala-gejala
dan
memperpanjang kehidupan. Obat
tersebut adalah vasodilator (ACE
inhibitor dan relaksan otot polos) yang
mengurangi beban miokard, obat
diuretik yang menurunkan cairan
ekstraseluler dan obat-obat inotropik
(digitalis, agonis _-adrenergik, dan
inhibitor
fosfodiesterase)
yang
meningkatkan kemampuan kekuatan
kontraksi otot jantung [1,4].
Pasien gagal jantung kongestif
biasanya menderita penyakit penyerta
yang lain sehingga membutuhkan
berbagai
macam
obat
dalam
terapinya. Pemberian obat yang
bermacam-macam
tanpa
dipertimbangkan dengan baik dapat
merugikan pasien karena dapat
mengakibatkan terjadinya interaksi
obat.
Interaksi
obat
dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan
efek terapi. Interaksi obat terjadi jika
suatu obat mengubah efek obat
lainnya
yang
diberikan
secara
bersamaan.
Interaksi obat dianggap penting
secara
klinik
bila
berakibat
16

meningkatkan
toksisitas
dan
menurunkan efektivitas obat yang
berinteraksi.
Interaksi
obat
berdasarkan
mekanismenya
dibedakan menjadi tiga macam yaitu
inkompatibilitas,
interaksi
farmakokinetika,
dan
interaksi
farmakodinamik [4].
Berdasarkan level kejadiannya,
interaksi obat terdiri dari established
(sangat mantap terjadi), probable
(interaksi obat bisa terjadi), suspected
(interaksi
obat
diduga
terjadi),
possible (interaksi obat mungkin
terjadi, belum pasti terjadi), serta
unlikely (interaksi obat tidak terjadi).
Sedangkan
berdasarkan
keparahannya, interaksi obat dapat
diklasifiksikan menjadi tiga yaitu
mayor
(dapat
menyebabkan
kematian), moderat (sedang), dan
minor [5].
Clinical significance adalah derajat
dimana obat yang berinteraksi akan
mengubah kondisi pasien. Clinical
significance
dikelompokkan
berdasarkan
keparahan
dan
dokumentasi interaksi yang terjadi.
Terdapat 5 macam dokumentasi
interaksi, yaitu establish (interaksi
obat sangat mantap terjadi), probable
(interaksi
obat
dapat
terjadi),
suspected (interaksi obat diduga
terjadi), possible (interaksi obat belum
pasti terjadi), unlikely (kemungkinan
besar interaksi obat tidak terjadi).
Derajat keparahan akibat interaksi
diklasifikasikan menjadi minor (dapat
diatasi dengan baik), moderat (efek
sedang,
dapat
menyebabkan
kerusakan organ), mayor (efek fatal,
dapat menyebabkan kematian) [5].
Level signifikansi interaksi 1,2 dan 3
menunjukkan bahwa interaksi obat
kemungkinan
terjadi.
Level
signifikansi interaksi 4 dan 5 interaksi
belum pasti terjadi dan belum
diperlukan antisipasi untuk efek yang
terjadi [6].

Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di RSUP Dr. Sardjito
(Nanang M.Yasin, Herlina T.Widyastuti, dan Endah K. Dewi)

Tabel 1
Level signifikansi interaksi
Nilai
1
2
3
4
5

Keparahan
Mayor
Moderat
Minor
Mayor atau moderat
Minor
Mayor, moderat, minor

Oleh karena itu adanya interaksi obat


harus diperhatikan sehingga dapat
dikurangi jumlah dan keparahannya,
termasuk interaksi obat yang terjadi
pada pasien rawat inap gagal jantung
kongestif. Hal inilah yang mendukung
diadakannya penelitian pada pasien
gagal jantung kongestif. Penelitian
mengenai interaksi obat ini dilakukan
pada RSUP DR Sardjito karena
terdapat banyak pasien gagal jantung
kongestif yang menjalani perawatan
di rumah sakit tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan dan alat
Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini diperoleh dari
rekam medik pasien gagal jantung
kongestif di RSUP DR. Sardjito
Yogyakarta periode 2005 baik pasien
rawat inap maupun pasien rawat
jalan. Data dicatat dalam lembar
pengumpul data.
Rancangan penelitian
Jenis
penelitian
ini
adalah
deskriptif dengan pengambilan data
secara
retrospektif.
Teknik
pengambilan sampel menggunakan
metode simple random sampling
untuk mendapatkan 110 rekam medik
pasien rawat inap dan 127 resep
pasien rawat jalan (_ = 5%, dan d =
0,05). Analisis data dilakukan secara
deskriptif. Sampel yang diambil
adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi: rekam medik pasien

Dokumentasi
Suspected, Probable, Establish
Suspected, Probable, Establish
Suspected, Probable, Establish
Posible
Posible
Posible
yang jelas dan lengkap, pasien
berusia 15 tahun keatas, terapi
menggunakan 3 jenis obat atau lebih,
diagnosa
kerja
gagal
jantung
kongestif.
Analisis Hasil
Data yang dicatat dari kartu rekam
medik pasien kemudian dianalisis
terjadinya
interaksi
obat
baik
berdasarkan jumlah pasien maupun
jumlah kejadian yang terjadi dengan
buku standar Drug Interaction Fact
dari Tatro tahun 2001 [5] dan jika
ditemukan keterangan yang belum
lengkap maka diambil buku standar
Drug Interaction dari Stockley tahun
1994 [6].
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pasien terdiri 130 pasien lakilaki (%) dan 107 pasien perempuan
(%) . Berdasarkan distribusi umur
terdapat 63 pasien (%) berusia 15-65
tahun dan 174 pasien (%) berusia
diatas 65 tahun. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa interaksi obat
potensial terjadi pada 99 (90%)
pasien rawat inap dan 126 (99,26%)
pasien rawat jalan. Pada pasien rawat
inap
ditemukan
interaksi
farmakokinetika sebanyak 20 jenis
(50%),
interaksi
farmakodinamik
sebanyak 6 jenis (15%), dan interaksi
dengan mekanisme yang tidak
diketahui sebanyak 14 jenis (35%).
Pada pasien rawat jalan ditemukan

17

Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 4 No. 1 Januari 2008: 15 - 22

interaksi farmakokinetika sebanyak 25


jenis (36%), interaksi farmakodinamik
sebanyak 11 jenis (32%), dan
interaksi dengan mekanisme yang
tidak diketahui sebanyak 8 jenis
(32%).
Jenis interaksi yang memiliki
insidensi kejadian paling tinggi pada
pasien rawat inap secara berurutan
adalah furosemid dengan ACE
inhibitor yang terjadi pada 84 pasien
(76,36%), furosemid dengan asetosal
pada 66 pasien (60%), dan ACE
inhibitor dengan asetosal pada 57
pasien (51,82%) (tabel 2). Jenis
interaksi yang memiliki insidensi
kejadian paling tinggi pada pasien
rawat jalan secara berurutan adalah
asetosal dengan ACE inhibitor yang
terjadi pada 90 pasien (70,87%),
furosemid dengan ACE inhibitor pada
85 pasien (66,93%), dan ACE
inhibitor
dengan suplemen kalium
pada 85 pasien (66,93%) (tabel 3).
Interaksi antara Penghambat ACE
dan asetosal maupun suplemen
kalium menempati level signifikansi 4
yang kemungkinan belum terjadi dan
belum perlu manajemen terapi.
Mekanisme
interaksi
antara
penghambat ACE dan asetosal
adalah
penghambatan
sintesis
prostaglandin (PG) yang berfungsi
untuk penurunan tekanan darah oleh
asetosal [5; 6]. Penghambat ACE
akan menurunan sekresi aldosteron
sehingga terjadi retensi kalium yang
menimbulkan hiperkalemia. Termasuk
interaksi dengan onset lambat [5].
Hiperkalemia
ini
menyebabkan
bradikardi, lemah otot, aritmia, mati
rasa atau lumpuh [7]. Tindakan yang
perlu dilakukan dari kedua jenis
interaksi tersebut adalah dengan
monitoring tekanan darah dan kadar
kalium darah [5].
Interaksi antara penghambat ACE
dan furosemid menempati level 3
yang kemungkinan terjadi tetapi efek

18

yang ditimbulkan minor. Diuretik


merangsang sekresi renin dan
mengaktifkan
sistem
Renin
Angiotensin-Aldosteron
(RAA)
sehingga memberikan efek sinergistik
dengan penghambat ACE. Efeknya
berupa peningkatan ekskresi natrium,
klorida,
kalium,
air
sehingga
mengurangi volume plasma dan
cairan ekstraseluler. Penelitian yang
dilakukan
pada
pasien
yang
menerima terapi penghambat ACE
dan furosemid selama 2 bulan, pasien
mengalami penurunan serum kalium
dari 4,9 menjadi 3,4 mmol/l. [6].
Tindakan yang perlu dilakukan dari
interaksi tersebut adalah dengan
monitoring penurunan tekanan darah
dan status cairan dan berat badan
pasien [5].
Penghambat ACE, digoksin dan
furosemid merupakan obat utama
yang diberikan kepada pasien gagal
jantung kongestif sehingga interaksi
antara ketiga obat tersebut ataupun
dengan obat lain yang diterima pasien
perlu mendapatkan perhatian.
Interaksi yang terjadi diantara
ketiga obat utama gagal jantung
kongestif
berdasarkan
level
signifikansinya
adalah
digoksinfurosemid (level signifikansi 1)
sebanyak 34 kasus pada pasien
rawat inap dan 24 kasus pada pasien
rawat jalan, furosemid-ACE inhibitor
(level signifikansi 3) sebanyak 84
kasus pada pasien rawat inap dan 85
kasus pada pasien rawat jalan, dan
digoksin-ACE
inhibitor
(level
signifikansi 4) sebanyak 29 kasus
pada pasien rawat inap dan 45 kasus
pada pasien rawat jalan, Pada
penelitian
ini
interaksi
dengan
signifikansi 1, 2, dan 3 memiliki
insidensi
kejadian
yang
tinggi
sehingga pemberian terapi dengan
kombinasi obat yang mengakibatkan
terjadinya interaksi ini memerlukan
monitoring.

Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di RSUP Dr. Sardjito
(Nanang M.Yasin, Herlina T.Widyastuti, dan Endah K. Dewi)

Tabel 2
Interaksi Obat Berdasarkan Level Signifikansi Pada Pasien Rawat Inap
RSUP DR. Sardjito tahun 2005
Level
Signifikansi

Obat A

Obat B

Mekanisme
interaksi

Jumlah
kasus

Farmakodinamik
Tidak diketahui
Tidak diketahui
Farmakodinamik
Tidak diketahui
Farmakokinetik
Farmakokinetik

34
13
5
2
2
1
1

Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Tidak diketahui

8
3
3
1

Farmakodinamik

84

Farmakokinetik
Farmakodinamik
Tidak diketahui
Tidak diketahui

7
2
1
1

Furosemid
ACE Inhibitor
Digoksin
Asetosal
Furosemid
Asetosal
Warfarin

Digoksin
Spironolakton
Amiodaron
Warfarin
Gentamisin, Amikasin
Ketorolak
Azitromisin

Digoksin
Asetosal
Asetosal
Ampisilin

Spironolakton
Glimepirid
Kortikosteroid
Amikasin

Furosemid
Asetosal
Furosemid
Seftriakson
Warfarin

Kaptopril, Lisinopril,
Enalapril, Ramipiril
Spironolakton
Indapamid, HCT
Gentamisin
Seftriakson

ACE Inhibitor
ACE Inhibitor
Kaptopril
Furosemid
Digoksin
Digoksin
Digoksin
Heparin
Asetosal
Diltiazem
Diltiazem
Digoksin
Heparin
Ramipirid

Asetosal
Digoksin
Allopurinol
Warfarin
Nifedipin
Benzodiazepin
Sukralfat
Nitrogliserin
Bisoprolol, Propranolol
Ranitidin
Amiodaron
Omeprazol
Seftriakson
Prometazin

Farmakokinetik
Farmakokinetik
Tidak diketahui
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Tidak diketahui
Tidak diketahui
Tidak diketahui
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Tidak diketahui
Tidak diketahui
Farmakokinetik
Farmakokinetik

57
29
14
8
4
3
2
2
2
1
1
1
1
1

Furosemid
Asetosal
Furosemid
Warfarin
Ketoprofen
Asetosal

Asetosal
Nitrogliserin
Ciprofloxacin
Sukralfat
Ranitidin
Etodolak, Ketoprofen,
Na diklofenak
Antasida
Propranolol
Antasida
Spironolakton

Tidak diketahui
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Tidak diketahui
Farmakokinetik

66
4
4
2
2
2

Tidak diketahui
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik

1
1
1
1

Diazepam
Furosemid
Kaptopril
Warfarin

19

Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 4 No. 1 Januari 2008: 15 - 22

Tabel 3
Interaksi obat berdasarkan level signifikansi pada pasien rawat jalan
RSUP DR. Sardjito tahun 2005
Level
Signifikansi

20

Obat A

Obat B

Mekanisme
interaksi

Jumlah
kasus

Kaptopril
Furosemid
Spironolakton
Hidroklorotiazid
Terbutalin
Klonidin

Spironolakton
Digoksin
Kalium Kloroida
Digoksin
Furosemid
Amitriptilin

Tidak diketahui
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik

26
24
12
8
2
1

Hidroklorotiazid
Spironolakton
Nifedipin
Salbutamol
Asetosal
Digoksin
Ciprofloksasin
Diltiazem

Furosemid
Digoksid
Ranitidin
Teofilin
Insulin
Akarbose
Teofilin
Simvastatin

Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakokinetik

11
6
3
2
2
1
1
1

Penghambat ACE
Spironolakton
Diltiazem
Alprazolam
Asetosal

Furosemid
Asetosal
Nifoditin
Teofilin
Antasida

Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakokinetik

85
21
2
1
1

Penghambat ACE
Penghambat ACE
Penghambat ACE
Bisoprolol
Kaptopril
Furosemid
Digoksin
Ranitidin
Bisoprolol
Suklarfat
Warfarin
Glibenklamid

Asetosal
Kalium klorida
Digoksin
Asetosal
Allopurinol
Warfarin
Benzodiazepin
Diltiazem
Nifedipin
Digoksin
Omeprazol
Ranitidin

Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Tidak diketahui
Farmakokinetik
Tidak diketahui
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakokinetik

90
85
45
19
5
3
2
2
2
2
1
1

Furosemid
Asetosal
NSAID
Ranitidin
Furosemid
Metformin
Glibenklamid
Amitriptilia
Antasida
Nifedipin
Kaptopril
Suklarfat
Furosemid

Asetosal
NSAID
Ranitidin
Diazepam
Teofilin
Akarbose
Kaptopril
Haloperidol
Ranitidin
Omeprazol
Antasida
Warfarin
Ciprofloksasin

Tidak diketahui
Farmakokinetik
Tidak diketahui
Farmakokinetik
Tidak diketahui
Farmakokinetik
Tidak diketahui
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Tidak diketahui
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakokinetik

30
29
22
6
2
1
1
1
1
1
1
1
1

Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di RSUP Dr. Sardjito
(Nanang M.Yasin, Herlina T.Widyastuti, dan Endah K. Dewi)

Furosemid Digoksin (level


signifikansi 1)
Diuretik menginduksi gangguan
elektrolit sehingga mengakibatkan
terjadinya aritmia yang diinduksi oleh
digoksin. Perlu dilakukan pengukuran
kadar
kalium
darah
ketika
menggunakan kombinasi obat ini.
Disamping itu juga dapat dilakukan
pemberian suplemen pada pasien
dengan kadar kalium yang rendah.
Pencegahan
kehilangan
kalium
dengan diit pembatasan natrium atau
penambahan diuretik hemat kalium
juga bermanfaat [5].
Furosemid-ACE inhibitor
(Captopril, Enalapril, Lisinopril,
Ramipril) (level signifikansi 3)
Furosemid dapat meningkatkan
efek
ACE
inhibitors.
Hal
ini
kemungkinan
karena
adanya
penghambatan produksi Angiotensin
II oleh ACE inhibitor. Diuretik
merangsang sekresi renin dan
mengaktifkan
sistem
Renin
Angiotensin Aldosteron sehingga
memberi efek sinergistik dengan
penghambat ACE. Oleh karena itu
pada pasien yang menggunakan
kombinasi obat ini harus dimonitoring
status cairan dan berat badan secara
hati-hati [6].
Penghambat ACE (kaptopril,
lisinopril) dan Digoksin (level
signifikansi 4)
Mekanisme
interaksi
antara
penghambat ACE dengan digoksin
belum diketahui secara pasti tetapi
diduga terjadi perubahan klirens
digoksin sehingga level digoksin
dapat turun atau naik. Termasuk
interaksi dengan onset lambat (5;6].
Umumnya perlu monitoring serum
digoksin dan penyesuaian dosis
digoksin.

ACE inhibitor-Spironolakton (level


signifikansi 1)
Kombinasi ini menyebabkan kadar
kalium tinggi pada pasien dengan
high-risk (contoh : gangguan renal).
Namun,
mekanisme
terjadinya
interaksi ini belum diketahui. Perlu
harus
dimonitor secara teratur
terhadap fungsi ginjal dan kadar
kalium serum. Perlu dipertimbangkan
adanya penyesuaian dosis [5].
Digoksin-Spironolakton (level
signifikansi 1)
Spironolakton
dapat
memperlemah efek inotropik positif
digoksin.
Spironolakton
berefek
inotropik negatif sehingga melawan
efek inotropik positif dari digoksin.
Dosis dari digoksin harus disesuaikan
jika digunakan bersama dengan
spironolakton [5].
Dengan mengetahui mekanisme
interaksi
obat
dan
level
signifikansinya, farmasisnya dapat
berperan aktif dalam mencegah
terjadinya interaksi obat pada pasien
gagal jantung kongestif. Farmasis
dapat berdiskusi dengan dokter/klinisi
untuk mencegah terjadinya interaksi
obat
dan
dapat
menentukan
pengatasannya apabila telah terjadi
pada pasien. Beberapa alternatif
penatalaksanaan
interaksi
obat
adalah menghindari kombinasi obat
dengan memilih obat pengganti yang
tidak berinteraksi, penyesuaian dosis
obat, pemantauan pasien atau
meneruskan
pengobatan
seperti
sebelumnya jika kombinasi obat yang
berinteraksi
tersebut
merupakan
pengobatan yang optimal atau bila
interaksi tersebut tidak bermakna
secara klinis [8]. Melalui pemberian
informasi obat kepada pasien, dan
tenaga kesehatan lain seperti dokter
dan perawat, farmasis diharapkan
mampu memegang peranan penting

21

Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 4 No. 1 Januari 2008: 15 - 22

dalam mencegah terjadinya interaksi


obat.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa interaksi obat potensial terjadi
pada 99 (90%) pasien rawat inap dan
126 (99,26%) pasien rawat jalan.
Pada pasien rawat inap ditemukan
interaksi farmakokinetika sebanyak 20
jenis (50%), interaksi farmakodinamik
sebanyak 6 jenis (15%), dan interaksi
dengan mekanisme yang tidak
diketahui sebanyak 14 jenis (35%).
Jenis interaksi yang memiliki insidensi
kejadian
paling
tinggi
secara
berurutan adalah furosemid dengan
ACE inhibitor yang terjadi pada 84
pasien (76,36%), furosemid dengan
asetosal pada 66 pasien (60%), dan
ACE inhibitor dengan asetosal pada
57 pasien (51,82%).
Pada
pasien
rawat
jalan
ditemukan interaksi farmakokinetika
sebanyak 25 jenis (36%), interaksi
farmakodinamik sebanyak 11 jenis
(32%),
dan
interaksi
dengan
mekanisme yang tidak diketahui
sebanyak 8 jenis (32%). Jenis
interaksi yang memiliki insidensi
kejadian
paling
tinggi
secara
berurutan adalah asetosal ACE
inhibitor yang terjadi pada 90 pasien
(70,87%), furosemid dengan ACE
inhibitor pada 85 pasien (66,93%),
dan ACE inhibitor dengan suplemen
kalium pada 85 pasien (66,93%).

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Mycek, M.J., Harvey, R.A., Pamela,
C.C., dan Fisher, B.D., Farmakologi
Ulasan Bergambar, diterjemahkan
oleh Agoes, A.H., Edisi II, Widya
Medika, Jakarta, 2001, 153-163.
2. Jessup, M., dan Brozena, S., Heart
Failure, http://content.nejm.org, 2002
3. Dipiro,
J.T.,
Wells,
G.T.,
Schwinghammer, dan T.L., Hamilton,
C.W., Pharmacotherapy Handbook,
Second Edition, Appleton and Lange,
Stamford, Connecticut, 2000, 63.
4. Ganiswarna, S., Farmakologi dan
Terapi, edisi IV, Bagian Farmakologi
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia, Jakarta, 1995, 271-288
dan 800-810.
5. Tatro, D., Drug Interaction Facts, 6th
Ed, Facts & Comparison A Wolters
Kluwer Company, 2001, 3-24.
6. Stockley, I.H., Drug Interactions,
University of Nottingham Medical
School, Nottingham, 1994.
7. Harkness, R., Interaksi Obat, Penerbit
ITB, Bandung1989, 31-32, 99-100,
131-162.
8. Fradgley, S., Interaksi obat, dalam
Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy)
Menuju Pengobatan Rasional dan
Penghargaan Pilihan Pasien (Aslam
M, Tan CK, Prayitno A, Ed), PT Elex
Media
Komputindo
Kelompok
Gramedia, Jakarta, 2003, 119-134.

Anda mungkin juga menyukai