Apa yang menarik dari uraian Draheim bahwa ia meletakkan potret homo cooperativus dalam
bingkai manusia yang nyata. Yakni manusia yang memiliki kepentingan pribadi di satu sisi dan
memiliki insting pro-sosial di sisi lain. Hal ini yang membedakan dengan potret homo oeconomicus:
yang semata mengejar keuntungan (material) pribadi.
Homo cooperativus menginsyafi bahwa manusia memiliki sisi individualitas dan sosialitas sekaligus.
Individualitas berasal dari keunikan tiap individu: minat, bakat, keyakinan, jenis kelamin dan
seterusnya. Dan sosialitas berasal dari kemampuan individu untuk hidup bersama atau berkelompok,
menghargai dan membantu yang lain dan seterusnya.
Oleh karenanya, homo cooperativus tak menafikan aspirasi atau kepentingan pribadi. Sebaliknya,
tidak mencederai bangunan kehidupan bersama. Homo cooperativus adalah potret manusia yang
manusiawi. Bukan manusia yang bak malaikat: hidup demi orang lain. Sebaliknya, bukan juga
manusia yang bak setan: hidup demi dirinya sendiri.
Dalam ruang sosial, cara yang ditempuh homo cooperativus juga sangat manusiawi. Yakni bagaimana
membuat manusia lain berdaya, bukan ketergantungan. Yang dibangun adalah solidaritas jangka
panjang melalui pemberdayaan, bukan karitas jangka pendek yang sporadis.
Sedang dalam ruang ekonomi, homo cooperativus berdiri di atas etika: tidak mengeksploitasi
karyawan atau buruh. Memperlakukan karyawan sebagai mitra dalam kerja dan kawan dalam
pergaulan sosial. Mengutamakan keuntungan jangka panjang dengan cara: melayani konsumen/
pelanggan dengan hati dan kejujuran.
Homo cooperativus tentu tak bisa dikotakkan sebagai potret orang desa atau kota. Ia bisa mewujud
baik di desa maupun kota. Secara potensial homo cooperativus akan banyak dijumpai di masyarakat
desa karena kuatnya nilai-nilai kebersamaan/ gotong royong. Namun peluang di masyarakat kota
juga besar mengingat makin jenuhnya masyarakat kota pada kehidupan yang atomistik (menyendiri)
dan dukungan social media.
Mencapai Super-Happiness
Bila orang bertanya siapa contohnya Homo Cooperativus, terlebih dalam ruang sosial ekonomi? Dari
sekian banyak tokoh, kita bisa sebut: Muhammad Yunus, Penerima Nobel Perdamaian. Ia adalah
seorang Dekan Fakultas Ekonomi Univeristas Chittagong, Banglades. Penggagas dan pendiri
Grameen Bank yang sudah terbukti menyejahterakan orang-orang miskin di Banglades. Ia punya
prinsip, Making money is happiness. And thats a great incentive. Making other people happy, is a
super-happiness. Katanya, mengejar keuntungan (uang) itu hal yang membahagiakan. Namun,
membuat orang lain bahagia, itu adalah kebahagiaan yang luar biasa.
Ada lagi Robert Owen (1858), Bapak Gerakan Koperasi dan Serikat Buruh. Ia adalah bangsawan
Inggris pemilik pabrik. Berkat dia, waktu kerja menjadi delapan jam. Padahal sebelumnya buruh
pabrik Inggris bekerja selama 12 sampai 16 jam per hari. Ia menolak cara kerja yang eksploitatif
semacam itu. Dan seruannya mempengaruhi dunia kerja hingga sekarang, Eight hours labour, eight
hours recreation, eight hours rest. Delapan jam untuk kerja, delapan jam untuk rekreasi dan
delapan jam untuk istirahat, teriaknya.
Di Indonesia kita bisa menyebut misalnya Masril Koto, pendiri Bank Tani di Sumatera Barat. Petani
yang tak tamat SD ini awalnya mengalami kesulitan modal untuk mengembangkan pertaniannya. Ia
ditolak banyak bank karena dianggap tak bankable. Sampai akhirnya dengan tekad besar ia belajar
otodidak dan mendirikan bank untuk para petani. Sekarang cabangnya mencapai 580 unit dengan
aset 100an miliar rupiah.
Itulah sedikit potret para Homo Cooperativus, apa yang hendak mereka capai bukan sekedar
happiness. Melainkan super-happiness dengan jalan membangun sinergi, kerjasama dan
memberdayakan orang lain. Mereka senantiasa membangun daya dukung bersama agar menjadi
berdaya bersama. Mereka tak mengkotakkan mana bisnis, mana sosial; Karena dalam bisnis bisa
terkandung motif sosial. Dan mereka selalu mendasarkan diri pada itikad mulya sesarengan, bukan
mulya piyambakan. Mari kita ikhtiarkan! []
Bagian selanjutnya:
Homo Cooperativus (Bagian II): Bangun Sosial Ekonomi yang Bermasa Depan
Homo Cooperativus (Bagian III): Melampaui Negara dan Pasar, Menyongsong Era Komunitas
Kemudian ada juga model lain yang meski berbeda polanya tapi sering disamakan, yakni bisnis sosial
(social business) yang dimotori Muhammad Yunus. Motifnya sama dengan kewirausahaan sosial
yakni untuk menyelesaikan masalah sosial. Bedanya terletak pada mobilisasi sumberdayanya berasal
dari pihak lain, sebutlah investor (perorangan atau lembaga). Modal investor akan dikelola secara
profesional dalam bentuk bisnis. Sampai batas waktu tertentu investasi akan dikembalikan
seluruhnya, namun tanpa diberi deviden atau balas jasa. Sebaliknya, laba yang terkumpul akan
digunakan untuk membesarkan bisnis tersebut dan/ atau membangun bisnis sosial yang lain.
Banglades memiliki best practice model bisnis sosial ini misalnya dalam kasus air bersih. Apa yang
dilakukan Muhammad Yunus adalah memobilisasi investasi dari perusahaan Danone. Kemudian ia
mendirikan perusahaan air bersih dan masyarakat membelinya dengan harga terjangkau. Manfaat
nyata model itu seperti: 1). Masalah kebutuhan air bersih tercukupi dengan biaya murah; 2).
Investor mendapatkan kembali modal investasinya; 3). Perusahaan air bersih menyerap tenaga kerja
dan menggajinya dengan layak; 4). Keuntungan bisnis digunakan untuk meluaskan dampak sosial
lainnya.
Prinsip Double/ Triple Bottom Line
Ketiga model itu: koperasi, kewirausahaan sosial dan bisnis sosial dapat juga kita sebut sebagai
perusahaan sosial (social enterprise). Mereka berdaya tahan tinggi karena menghitung keuntungan
(bottom line) bukan sekedar finansial. Mereka menganut prinsip double/ triple bottom line, dimana
keuntungan harus mencakup: finansial, sosial dan lingkungan. Slogannya adalah Profit and People
atau Profit, People and Planet. Bahkan yang bombastik, People Before Profit!, konkretnya
bayarlah gaji layak para karyawan sebelum menghitung laba perusahaan.
Dalam arah, tata kelola dan kebijakannya, perusahaan sosial senantiasa berbasis pada nilai-nilai etis.
Hal itulah yang membuatnya menjadi demikian mawas dan tidak nggragas. Meski kemudian dari
sudut pandang bisnis kebijakan itu tidak populis atau berpotensi mengurangi laba. Misalnya bila
perusahaan itu berupa bank, mereka tak akan membiayai usaha yang mempekerjakan anak,
mengeksploitasi karyawan atau merusak alam. Bila mereka pabrik yang memproduksi makanan,
mereka akan mengurangi zat-zat pengawet, pewarna dan tambahan lainnya yang cenderung
merusak kesehatan.
Berbeda dengan itu, perusahaan swasta cenderung menganut single bottom line, dimana
keuntungan hanya berupa finansial. Ralph Estes dalam bukunya Tyranny of the Bottom Line: Why
Corporations Make Good People Do Bad Things (1996), memblejeti satu persatu praktik buruk dan
kesewenang-wenangan perusahaan swasta. Yang mana kesewenang-wenangan mereka dapat saja
mengorbankan: 1). Karyawan, misalnya gaji rendah dengan target menggunung; 2). Konsumen,
misalnya barang atau jasa yang mereka produksi berkualitas rendah yang beresiko bagi kesehatan
atau keselamatan; dan 3). Lingkungan hidup, misalnya mengeksploitasi sumber daya alam tanpa
tanggungjawab mereklamasinya.
Mengejar ketertinggalan itu, perusahaan swasta kemudian mengeluarkan dana Corporate Social
Responsibility (CSR). Meskipun di beberapa kasus dana CSR lebih sering bersifat santunan sekali
waktu (charity) yang kurang memberdayakan. Atau misalnya dengan cara mengumpulkan
sumbangan masyarakat dan melabelinya, Sumbangan Konsumen Akumart dan semacamnya.
Lantas apa yang bisa kita lakukan? Tentu saja kita dapat menjadi pelopor untuk membangun modelmodel itu di lingkungan masing-masing. Makin banyak jumlah model itu di masyarakat, makin luas
manfaat yang diberikan. Dan yang menarik, keuntungannya bukan sekedar untuk masyarakat, juga
untuk diri sendiri.
Itulah model yang tepat untuk orang-orang yang gemar bersinergi, gemar memberdayakan dan
bekerjasama. Untuk orang-orang yang dapat kita sebut sebagai Homo Cooperativus; Yang bukan
sekedar mengejar happiness, melainkan super-happiness; Bukan untuk single, tapi double/ triple
bottom line. Andakah homo cooperativus itu? []
Bagian selanjutnya:
Homo Cooperativus (Bagian III): Melampaui Negara dan Pasar, Menyongsong Era Komunitas
kekuatan perusahaan tak lagi pada produknya, melainkan komunitas pengguna produknya. Mulailah
mereka masuk era pemasaran sosial (social marketing). Ratusan juta hingga miliaran rupiah mereka
keluarkan untuk mengelola komunitas tersebut dengan berbagai kegiatan.
Dalam dunia otomotif itu terlihat misalnya dengan adanya klub-klub motor. Selain
menyelenggarakan kegiatan gathering atau touring, mereka juga sering mengadakan santunan
sosial, penggalangan dana untuk bencana, kampanye safety riding, membagi helm cuma-cuma dan
seterusnya. Pola umumnya saat ini semua perusahaan atau usaha membuat member card dengan
berbagai tawaran manfaat.
Sinyal lainnya, pada konteks gaya hidup dan teknologi kita akrab dengan apa yang disebut media
sosial (social media). Melalui facebook, twitter, path, youtube, linkedin kita jadi tersambung satu
dengan yang lain. Bukan sekedar tersambung seperti SMS dan telepon, media sosial memberi ruang
untuk saling berbagi pengalaman. Puncaknya para pengguna internet (netizen) dapat membangun
solidaritas bersama pada isu tertentu.
Masih segar di ingatan bagaimana Koin Peduli Prita lahir dari media sosial. Berbondong-bondong
netizen membangun solidaritas untuk menolong Prita Mulyasari. Sebut juga gerakan spontan Cicak
vs Buaya yang mampu menyelamatkan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari
penggembosan. Bahkan Umbrella Revolution di Hongkong mendapat dukungan masyarakat lintas
negara berkat media sosial.
Pada domain politik, Pilpres kemarin juga memberi sinyal yang sama. Pasca Pilpres, politik Indonesia
mengenal istilah baru: relawan. Yang mana kita ketahui dua kandidat kemarin didukung relawannya
masing-masing. Relawan, tentu seperti namanya, adalah orang yang secara sukarela terlibat untuk
mendukung kandidatnya. Dan yang menarik, sebagian besar relawan bukan berasal dari kader partai
politik.
Relawan dalam Pilpres kemarin memberi arti penting tentang adanya komunitas politik non-partai.
Secara sukarela mereka meluangkan waktu, membagi sumber daya, memberi pemikiran dengan
cuma-cuma. Hal ini adalah fenomena baru dalam politik Indonesia pasca Reformasi.
Jaringan adalah Kuncinya
Komunitas pada intinya adalah kumpulan orang-orang. Sehingga kekuatan komunitas terletak pada
jejaring antar orang-orang di dalam dan di luarnya. Jejaring antar orang tersebut kemudian dapat
menggerakkan berbagai sumber daya: gagasan, energi-waktu, finansial dan daya dukung lainnya baik
material maupun immaterial.
Orang-orang itu bersatu dan seringkali secara sukarela karena adanya cita-cita tentang kebaikan
bersama (common good). Orang-orang yang berhimpun di komunitas itu adalah para altruis yang
percaya pada nilai-nilai etis. Mereka adalah para homo cooperativus yang gemar bersinergi,
kerjasama dan saling memberdayakan.
Dengan pola seperti itu, bila kita bandingkan dengan negara, tentu komunitas akan lebih efisien dan
efektif. Partisipasi orang-orang di dalam komunitas dengan berbagai kontribusinya akan
menurunkan berbagai biaya, ini yang kita sebut efisien dan efektif. Pepatah bilang ringan sama
dijinjing, berat sama dipikul. Apalagi bila dibanding dengan pasar yang berdiri di atas logika insentif,
komunitas jauh lebih efisien dan efektif.
Orang-orang di komunitas mengerjakan segala ihwal dengan suka cita, penuh gairah dan
antusiasme. Ya tentu, karena apa yang dikerjakan langsung berhubungan dengan aspirasi dan
kebutuhan mereka. Tata kelola berbasis komunitas membuat mereka sebagai pemilik sekaligus
pengelolanya; Sebagai pemilik yang akan menerima manfaat langsung dan sebagai pengelola yang
terlibat merumuskan keputusan.
Ciri mendasar itulah yang boleh jadi tak dipunyai negara dan pasar. Negara dan pasar sama-sama
telah memisahkan antara siapa pemilik, pengelola dan pengguna sumber daya. Dalam komunitas,
peran-peran itu menyatu dengan padu. Dan di sanalah letak keindahannya. []