Anda di halaman 1dari 19

Megatsunami

Megatsunami adalah tsunami yang mencapai ketinggian lebih dari 100 meter. Selain
beberapa tsunami besar di Alaska yang mencapai tinggi 520 meter, megatsunami terakhir
yang melanda wilayah berpenduduk diduga terjadi sekitar 4000 tahun yang lalu. Menurut
para ahli geologi, megatsunami biasanya disebabkan oleh tanah longsor yang sangat besar,
seperti runtuhnya sebuah pulau, ke laut atau samudra, letusan gunung berapi seperti
contohnya letusan Gunung Krakatau, atau tumbukan sebuah meteor besar.
Megatsunami dapat naik hingga ratusan meter, dengan kecepatan 890 kilometer per
jam, dan dapat menerjang daratan hingga sejauh 20 km.
Di tengah lautan dalam, megatsunami hampir tidak dapat dirasakan. Permukaan laut
hanya naik vertikal sekitar satu meter, dengan wilayah yang sangat luas, hingga ratusan
kilometer. Saat tsunami mencapai laut dangkal, gelombangnya hanya terlihat sekitar 30 cm.
Namun, ketika mencapai daratan, gelombang tsunami meninggi secara drastis.
Tsunami di Banda Aceh hampir dapat dikategorikan megatsunami karena jumlah
korban jiwa yang sangat besar (200.000 orang) dan mencapai negara-negara tetangga
seperti:Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka dan Bangladesh.
Gempa bumi bawah laut umumnya tidak menghasilkan tsunami yang sedemikian
besar, kecuali jika gempa ini juga menghasilkan longsor bawah laut.

Megatsunami dalam sejarah

Megatsunami tahun 1792. Letusan gunung Aso di Jepang menyebabkan bagian


gunungnya jatuh ke laut. Menyebabkan tsunami setinggi 100 meter.

Megatsunami tahun 1958. Longsor besar menyebabkan tsunami setinggi 524 meter di
teluk Lituya. Tsunami tertinggi dalam sejarah manusia.

Megatsunami tahun 1963. Longsor diatas bendungan Vajont menyebabkan tsunami


setinggi 250 meter dan membunuh sekitar 2000 orang.

Megatsunami tahun 1980. Letusan gunung St. Helens di Amerika Serikat, menyebabkan
longsor. Lalu membuat Tsunami setinggi 260 meter.

Megatsunami prasejarah

65 juta tahun yang lalu. Saat tumbukan meteorit yang membentuk kawah Chicxulub,
menyebabkan tsunami setinggi 3 kilometer. Cukup tinggi untuk menenggelamkan pulau
seperti Madagascar. Tsunami tertinggi dalam sejarah, dan juga dijuluki "Ibu dari semua
Tsunami".

35 juta tahun yang lalu. Tumbukan meteorit di teluk Chesepeake, mungkin menyebabkan
megatsunami yang berulang- ulang.

Selain itu megatsunami tertinggi juga terjadi di sekitar British Columbia, gunung Etna
di Sisilia, di laut Norwegia, di kepulauan Runion di sebelah timur Madagascar, dan
dikepulauan Hawaii.

Potensi ancaman megatsunami

Tenggelamnya suatu pulau yang terkena imbas tsunami

Korban jiwa yang sangat besar

Kerugian harta benda yang besar

Punahnya kehidupan

Gunung Toba
Gunung Toba adalah gunung api raksasa yaitu gunung aktif dalam kategori sangat
besar, diperkirakan meletus terakhir sekitar 74.000 tahun lalu.

Bukti ilmiah
Pada tahun 1939, geolog Belanda Van Bemmelen melaporkan, Danau Toba, yang
panjangnya 100 kilometer dan lebarnya 30 kilometer, dikelilingi oleh batu apung peninggalan
dari letusan gunung. Karena itu, Van Bemmelen menyimpulkan, Toba adalah sebuah gunung
berapi. Belakangan, beberapa peneliti lain menemukan debu riolit (rhyolite) yang seusia
dengan batuan Toba di Malaysia, bahkan juga sejauh 3.000 kilometer ke utara
hingga India Tengah.
Beberapa ahli kelautan pun melaporkan telah menemukan jejak-jejak batuan Toba
di Samudra Hindia dan Teluk Benggala. Para peneliti awal, Van Bemmelen juga Aldiss dan
Ghazali (1984) telah menduga Toba tercipta lewat sebuah letusan mahadahsyat. Namun
peneliti lain, Vestappen (1961), Yokoyama dan Hehanusa (1981), serta Nishimura (1984),
menduga kaldera itu tercipta lewat beberapa kali letusan. Peneliti lebih baru, Knight dan
sejawatnya (1986) serta Chesner dan Rose (1991), memberikan perkiraan lebih detail: kaldera
Toba tercipta lewat tiga letusan raksasa.
Penelitian seputar Toba belum berakhir hingga kini. Jadi, masih banyak misteri di
balik raksasa yang sedang tidur itu. Salah satu peneliti Toba angkatan terbaru itu adalah Fauzi
dari Indonesia,

seismolog

pada Badan

Sarjana fisika dari Universitas

Meteorologi

Klimatologi

Indonesia lulusan 1985 ini

dan

Geofisika.

berhasil

meraih

gelar doktor dariRenssealer Polytechnic Institute, New York, pada 1998, untuk penelitiannya
mengenai Toba.

Berada di tiga lempeng tektonik


Letak Gunung Toba (kini: Danau Toba), di Indonesia memang rawan bencana. Hal ini
terkait dengan posisi Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni
Eurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Sebanyak 80% dari wilayah Indonesia, terletak
di lempeng Eurasia, yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Banda.

Lempeng benua ini hidup, setiap tahunnya mereka bergeser atau menumbuk lempeng
lainnya dengan jarak tertentu. Lempeng Eurasia yang merupakan lempeng benua selalu jadi
sasaran. Lempeng Indo-Australia misalnya menumbuk lempeng Eurasia sejauh 7 cm per
tahun. Atau Lempeng Pasifik yang bergeser secara relatif terhadap lempeng Eurasia sejauh
11 cm per tahun. Dari pergeseran itu, muncullah rangkaian gunung, termasuk gunung berapi
Toba.
Jika ada tumbukan, lempeng lautan yang mengandung lapisan sedimen menyusup di
bawahnya lempeng benua. Proses ini lantas dinamakan subduksi atau penyusupan.
Gunung hasil subduksi, salah satunya Gunung Toba. Meski sekarang tak lagi
berbentuk gunung, sisa-sisa kedasahyatan letusannya masih tampak hingga saat ini. Danau
Toba merupakan kaldera yang terbentuk akibat meletusnya Gunung Toba sekitar tiga kali
yang pertama 840 ribu tahun lalu dan yang terakhir 74.000 tahun lalu. Bagian yang terlempar
akibat letusan itu mencapai luas 100 km x 30 km persegi. Daerah yang tersisa kemudian
membentuk kaldera. Di tengahnya kemudian muncul Pulau Samosir.

Letusan
Sebelumnya Gunung Toba pernah meletus tiga kali.

Letusan pertama terjadi sekitar 800 ribu tahun lalu. Letusan ini menghasilkan kaldera di
selatan Danau Toba, meliputi daerah Prapat dan Porsea.

Letusan kedua yang memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi 500 ribu tahun lalu. Letusan
ini membentuk kaldera di utara Danau Toba. Tepatnya di daerah antara Silalahi dengan
Haranggaol. Dari dua letusan ini, letusan ketigalah yang paling dashyat.

Letusan ketiga 74.000 tahun lalu menghasilkan kaldera, dan menjadi Danau Toba
sekarang dengan Pulau Samosir di tengahnya.
Gunung Toba ini tergolong Supervolcano. Hal ini dikarenakan Gunung Toba

memiliki kantong magma yang besar yang jika meletus kalderanya besar sekali. Volcano
biasa rata-rata kalderanya ratusan meter, sedangkan Supervolcano dapat mencapai puluhan
kilometer.

Yang menarik adalah terjadinya anomali gravitasi di Toba. Menurut hukum gravitasi,
antara satu tempat dengan lainnya akan memiliki gaya tarik bumi sama bila mempunyai
massa, ketinggian dan kerelatifan yang sama. Jika ada materi yang lain berada di situ dengan
massa berbeda, maka gaya tariknya berbeda. Bayangkan gunung meletus. Banyak materi
yang keluar, artinya kehilangan massa dan gaya tariknya berkurang. Lalu yang terjadi uplifting (pengangkatan). Inilah yang menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Magma yang di bawah itu terus mendesak ke atas, pelan-pelan. Dia sudah tidak punya
daya untuk meletus. Gerakan ini berusaha untuk menyesuaikan ke normal gravitasi. Ini
terjadi dalam kurun waktu ribuan tahun. Hanya Samosir yang terangkat karena daerah itu
yang terlemah. Sementara daerah lainnya merupakan dinding kaldera.

Gunung krakatau
Krakatau adalah

kepulauan vulkanik yang

masih

aktif

dan

berada

di Selat

Sunda antara pulau Jawa dan Sumatra. Nama ini pernah disematkan pada satu puncak gunung
berapi di sana (Gunung Krakatau) yang sirna karena letusannya sendiri pada tanggal 2627 Agustus 1883. Letusan itu sangat dahsyat; awan panas dan tsunami yang diakibatkannya
menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai sebelum tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini
adalah yang terdahsyat di kawasan Samudera Hindia. Suara letusan itu terdengar sampai
di Alice

Springs, Australia dan Pulau

ledaknya

diperkirakan

mencapai

Rodrigues dekat Afrika,


30.000

kali bom

4.653 kilometer.
atom yang

Daya

diledakkan

di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

Selat Sunda
Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama
dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup
sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hinggaNew York.
Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung
Toba dan Gunung Tambora di Indonesia,Gunung Tanpo di Selandia Baru dan Gunung
Katmal di Alaska. Namun gunung-gunung tersebut meletus jauh pada masa ketika populasi
manusia masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia
sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan

kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi
informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat.
Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia
setelah penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi
dengan kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu
memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut.

Perkembangan gunung krakatau


Gunung Krakatau Purba
Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa
pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus
dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau
Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini
disusun dari bebatuan andesitik.
Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa
Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi.
Isinya antara lain menyatakan:

Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula
goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian
datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan
seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke
timur

menuju

Gunung

Kamula....

Ketika

air

Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera

menenggelamkannya, pulau

Pakar geologi Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa
kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks
tersebut disebut Gunung Batuwara. Menurut buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi
Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya
mencapai 11 kilometer.
Akibat ledakan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur
menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal
sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung, dalam catatan lain disebut sebagai
Pulau Rakata, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir
bertanggung- jawab atas terjadinya abad kegelapan di muka bumi. Penyakit sampar bubonic
terjadi karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah
penduduk di muka bumi.
Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba,
transmutasi Kerajaan Romawi ke KerajaanByzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan,
punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang
penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan
perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah
membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10
derajat selama 10-20 tahun.

Munculnya Gunung Krakatau

Perkembangan Gunung Krakatau

Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba
kemudian tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal
sebagai Gunung Krakatau (atau Gunung Rakata) yang terbuat dari batuan basaltik.
Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung
Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu.
Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau.
Gunung Krakatau pernah meletus pada tahun 1680 menghasilkan lava andesitik asam.
Lalu pada tahun 1880, Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava meskipun tidak meletus.
Setelah masa itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga 20 Mei 1883. Pada hari
itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi ledakan kecil pada Gunung Krakatau. Itulah tandatanda awal bakal terjadinya letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian
disusul dengan letusan-letusan kecil yang puncaknya terjadi pada 26-27 Agustus 1883.

Erupsi 1883
Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, tepat jam 10.20, terjadi ledakan pada gunung
tersebut. Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang
juga penulis National Geographic mengatakan bahwa ledakan itu adalah yang paling besar,
suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah
manusia modern. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan
dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu.

Menurut para peneliti di University of North Dakota, ledakan Krakatau bersama


ledakan Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam
sejarah modern. The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan
yang paling hebat yang terekam dalam sejarah.
Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan
volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km. Benda-benda
keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan
sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru.
Letusan

itu

menghancurkan Gunung

Danan, Gunung

Perbuwatan serta

sebagian Gunung Rakata dimana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7
km dan sedalam 250 meter. Gelombang laut naik setinggi 40 meter menghancurkan desadesa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena
letusan tetapi juga longsoran bawah laut.
Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung
kawasan pantai mulai dari Merak di Kota Cilegon hingga Cilamaya di Karawang, pantai
barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon serta Sumatera Bagian
selatan. Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai
beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat
matahari. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii,
pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer.

Anak Krakatau

Anak Krakatau, dua tahun sejak awal terbentuknya. Foto diambil 12 atau 13 Mei 1929, koleksi Tropenmuseum.

Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung
Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagaiAnak Krakatau dari kawasan kaldera

purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan
tingginya sekitar 20 inci per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan
lebih lebar 40 kaki. Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan
jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata mencapai 7.500
inci atau 500 kaki lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu
disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini ketinggian Anak
Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau
sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut.
Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau
yang dulu sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan
Sumatera yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan
terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa
ahli geologi memprediksi letusan ini akan terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari
gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.

Anak Krakatau, Februari 2008

Menurut

Profesor Ueda

Nakayama salah

seorang

ahli

gunung

api

berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan
kecil, hanya ada saat-saat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya
lava pijar yang dimuntahkan gunung api ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang
masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus. Kalaupun ada minimal 3
abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun yang jelas, angka korban yang ditimbulkan lebih
dahsyat dari letusan sebelumnya. Anak Krakatau saat ini secara umum oleh masyarakat lebih
dikenal dengan sebutan "Gunung Krakatau" juga, meskipun sesungguhnya adalah gunung
baru yang tumbuh pasca letusan sebelumnya.

Gunung tambora
Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah stratovolcano aktif yang terletak
di pulau Sumbawa, Indonesia. Gunung ini terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten
Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut, dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi
selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara), Provinsi Nusa
Tenggara Barat, tepatnya pada 815' LS dan 118 BT. Gunung ini terletak baik di sisi utara
dan selatan kerak oseanik. Tambora terbentuk oleh zona subduksi di bawahnya. Hal ini
meningkatkan ketinggian Tambora sampai 4.300 m yang membuat gunung ini pernah
menjadi salah satu puncak tertinggi di Nusantara dan mengeringkan dapur magma besar di
dalam gunung ini. Perlu waktu seabad untuk mengisi kembali dapur magma tersebut.
Aktivitas

vulkanik

gunung

berapi

ini

mencapai

puncaknya

pada

bulan April tahun 1815 ketika meletus dalam skala tujuh padaVolcanic Explosivity
Index. Letusan

tersebut

menjadi

letusan

tebesar

sejak

letusan danau

Taupo pada

tahun 181. Letusan gunung ini terdengar hingga pulau Sumatra (lebih dari 2.000 km). Abu
vulkanik jatuh di Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Maluku. Letusan gunung ini menyebabkan
kematian hingga tidak kurang dari 71.000 orang dengan 11.00012.000 di antaranya
terbunuh secara langsung akibat dari letusan tersebut.[4] Bahkan beberapa peneliti
memperkirakan sampai 92.000 orang terbunuh, tetapi angka ini diragukan karena berdasarkan
atas perkiraan yang terlalu tinggi. Lebih dari itu, letusan gunung ini menyebabkan perubahan
iklim dunia. Satu tahun berikutnya (1816) sering disebut sebagai Tahun tanpa musim
panas karena perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa karena debu yang
dihasilkan dari letusan Tambora ini. Akibat perubahan iklim yang drastis ini
banyak panen yang

gagal

dan

kematian ternak di Belahan

Utara yang

menyebabkan

terjadinya kelaparanterburuk pada abad ke-19.


Selama penggalian arkeologi tahun 2004, tim arkeolog menemukan sisa kebudayaan
yang

terkubur

oleh

letusan

tahun 1815 di

kedalaman

meter

pada

endapan

piroklastik. Artifak-artifak tersebut ditemukan pada posisi yang sama ketika terjadi letusan
pada tahun 1815. Karena ciri-ciri yang serupa inilah, temuan tersebut sering disebut
sebagai Pompeii dari timur.

Geografi

Pemandangan gunung Tambora dan sekelilingnya dari udara.

Kawah di puncak gunung Tambora.

Gunung Tambora terletak di pulau Sumbawa yang merupakan bagian dari kepulauan
Nusa Tenggara. Gunung ini adalah bagian dari busur Sunda, tali dari kepulauan
vulkanik yang

membentuk

rantai

selatan

kepulauan

Indonesia. Tambora

membentuk semenanjungnya sendiri di pulau Sumbawa yang disebut semenanjung Sanggar.


Di sisi utara semenanjung tersebut, terdapat laut Flores, dan di sebelah selatan terdapat teluk
Saleh dengan panjang 86 km dan lebar 36 km. Pada mulut teluk Saleh, terdapat pulau kecil
yang disebut Mojo.
Selain seismologis dan vulkanologis yang mengamati aktivitas gunung tersebut,
gunung Tambora adalah daerah untuk riset ilmiah arkeolog dan biologi. Gunung ini juga
menarik turis untuk mendaki gunung dan aktivitas margasatwa. Dompu dan Bima adalah kota
yang letaknya paling dekat dengan gunung ini. Di lereng gunung Tambora, terdapat beberapa
desa. Di sebelah timur terdapat desa Sanggar. Di sebelah barat laut, terdapat desa Doro Peti
dan desa Pesanggrahan. Di sebelah barat, terdapat desa Calabai.
Terdapat dua jalur pendakian untuk mencapai kaldera gunung Tambora. Rute pertama
dimulai dari desa Doro Mboha yang terletak di sisi tenggara gunung Tambora. Rute ini

mengikuti jalan beraspal melalui perkebunan kacang mede sampai akhirnya mencapai
ketinggian 1.150 m di atas permukaan laut. Rute ini berakhir di bagian selatan kaldera dengan
ketinggian 1.950 m yang dapat dicapai oleh titik pertengahan jalur pendakian. Lokasi ini
biasanya digunakan sebagai kemah untuk mengamati aktivitas vulkanik karena hanya
memerlukan waktu satu jam untuk mencapai kaldera. Rute kedua dimulai dari desa Pancasila
di sisi barat laut gunung Tambora. Jika menggunakan rute kedua, maka kaldera hanya dapat
dicapai dengan berjalan kaki.

Pembentukan
Tambora terbentang 340 km di sebelah utara sistem palung Jawa dan 180-190 km di
atas zona subduksi. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan kerak oseanik. Gunung
ini memiliki laju konvergensi sebesar 7.8 cm per tahun. Tambora diperkirakan telah berada di
bumi sejak 57.000 BP (penanggalan radiokarbon standar). Ketika gunung ini meninggi akibat
proses geologi di bawahnya, dapur magma yang besar ikut terbentuk dan sekaligus
mengosongkan isi magma. Pulau Mojo pun ikut terbentuk sebagai bagian dari proses geologi
ini di mana teluk Saleh pada awalnya merupakan cekungan samudera (sekitar 25.000 BP).
Menurut penyelidikan geologi, kerucut vulkanik yang tinggi sudah terbentuk sebelum
letusan tahun 1815 dengan karakteristik yang sama dengan bentuk stratovolcano. Diameter
lubang tersebut mencapai 60 km. Lubang utama sering kali memancarkan lava yang mengalir
turun secara teratur dengan deras ke lereng yang curam.
Sejak letusan tahun 1815, pada bagian paling bawah terdapat endapan lava dan
material piroklastik.

Kira-kira

40%

dari

lapisan

diwakili

oleh

1-4 m aliran

lava

tipis. Scoria tipis diproduksi oleh fragmentasi aliran lava. Pada bagian atas, lava ditutup oleh
scoria, tuff dan bebatuan piroklastik yang mengalir ke bawah. Pada gunung Tambora,
terdapat 20 kawah. Beberapa kawah memiliki nama, misalnya Tahe (877 m), Molo (602
m), Kadiendinae, Kubah (1648 m) dan Doro Api Toi. Kawah tersebut juga memproduksi
aliran lava basal.

Sejarah letusan
Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, dinyatakan bahwa gunung
Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun 1815, tetapi besarnya letusan tidak
diketahui. Perkiraan tanggal letusannya ialah tahun 3910 SM 200 tahun, 3050 SM
dan 740 150 tahun. Ketiga letusan tersebut memiliki karakteristik letusan yang sama.

Masing-masing letusan memiliki letusan di lubang utama, tetapi terdapat pengecualian untuk
letusan ketiga. Pada letusan ketiga, tidak terdapat aliran piroklastik.
Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak letusannya
terjadi pada bulan April tahun 1815. Besar letusan ini masuk ke dalam skala tujuh Volcanic
Explosivity

Index (VEI),

dengan

jumlah

semburan tefrit sebesar

1.6 10 meter

kubik. Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran piroklastik, korban
jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera. Letusan ketiga ini
memengaruhi iklim global dalam waktu yang lama. Aktivitas Tambora setelah letusan
tersebut baru berhenti pada tanggal 15 Juli 1815. Aktivitas selanjutnya kemudian terjadi pada
bulan Agustus tahun 1819 dengan adanya letusan-letusan kecil dengan api dan bunyi
gemuruh

disertai gempa

susulan yang

dianggap

sebagai

bagian

dari

letusan

tahun 1815. Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala VEI. Sekitar tahun 1880 30
tahun, Tambora kembali meletus, tetapi hanya di dalam kaldera. Letusan ini membuat aliran
lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang kemudian membentuk kawah baru bernama Doro
Api Toi di dalam kaldera.
Gunung Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava kecil dan aliran lava masih terjadi
pada lantai kaldera pada abad ke-19 dan abad ke-20. Letusan terakhir terjadi pada
tahun1967, yang disertai dengan gempa dan terukur pada skala 0 VEI, yang berarti letusan
terjadi tanpa disertai dengan ledakan.

Kronologi letusan

Daerah yang diperkirakan terkena abu letusan Tambora tahun 1815. Daerah merah menunjukan ketebalan abu vulkanik. Abu
tersebut mencapai pulau Kalimantan danSulawesi (ketebalan 1 cm).

Gunung Tambora mengalami ketidakaktifan selama beberapa abad sebelum tahun


1815, dikenal dengan namagunung berapi "tidur", yang merupakan hasil dari pendinginan
hydrous magma di dalam dapur magma yang tertutup. Di dalam dapur magma dalam
kedalaman sekitar 1,5-4,5 km, larutan padat dari cairan magma bertekanan tinggi terbentuk

pada saat pendinginan dan kristalisasi magma. Tekanan di kamar makma sekitar 45 kbar muncul dan temperatur sebesar 700 C-850 C.[7]
Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan
awan hitam. Pada tanggal 5 April1815, letusan terjadi, diikuti dengan suara guruh yang
terdengar di Makassar, Sulawesi (380 km dari gunung Tambora), Batavia (kini Jakarta) di
pulau Jawa (1.260 km dari gunung Tambora), dan Ternate di Maluku (1400 km dari gunung
Tambora). Suara guruh ini terdengar sampai ke pulau Sumatera pada tanggal 10-11
April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang awalnya dianggap sebagai suara
tembakan senapan. Pada pagi hari tanggal 6 April 1815, abu vulkanik mulai jatuh di Jawa
Timur dengan suara guruh terdengar sampai tanggal 10 April1815.
Pada pukul 7:00 malam tanggal 10 April, letusan gunung ini semakin kuat. Tiga lajur
api terpancar dan bergabung. Seluruh pegunungan berubah menjadi aliran besar api. Batuan
apung dengan diameter 20 cm mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu
pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas mengalir turun menuju laut di seluruh
sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan besar terdengar sampai sore
tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bau "nitrat"
tercium di Batavia dan hujan besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara
tangal 11 dan 17 April 1815.
Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal 5 April, mereka
menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan jarak waktu sampai hari
selanjutnya. Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak
sehingga sebuah detasemen tentara bergerak dari Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos
terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan
dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat.
Laporan Thomas Stamford Raffles.
Letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada skala Volcanic Explosivity Index.
Letusan ini empat kali lebih kuat daripada letusan gunung Krakatau tahun 1883. Diperkirakan
100 km piroklastik trakiandesit dikeluarkan, dengan perkiraan massa 1,41014 kg. Hal ini
meninggalkan kaldera dengan ukuran 67 km dan kedalaman 600700 m. Massa jenis abu
yang jatuh di Makassar sebesar 636 kg/m. Sebelum letusan, gunung Tambora memiliki
ketinggian kira-kira 4.300 m, salah satu puncak tertinggi di Indonesia. Setelah letusan, tinggi
gunung ini hanya setinggi 2.851 m.

Letusan Tambora tahun 1815 adalah letusan terbesar dalam sejarah. Letusan gunung
ini terdengar sejauh 2.600 km, dan abu jatuh setidaknya sejauh 1.300 km. Kegelapan terlihat
sejauh 600 km dari puncak gunung selama lebih dari dua hari. Aliran piroklastik menyebar
setidaknya 20 km dari puncak.

Akibat
Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang bercampur dengan
abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km. Rakit
batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3
Oktober 1815. Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal23 April.
Ledakan berhenti pada tanggal 15 Juli, walaupun emisi asap masih terlihat pada tanggal 23
Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun1819, empat
tahun setelah letusan.
Dalam perjalananku menuju bagian barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompo dan
banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang
memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda
banyak lainnya telah terkubur: desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah
roboh,

penduduk

yang

selamat

kesulitan

mencari

makanan.

...
Semenjak letusan, diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sangir, yang menyerang
jumlah penduduk yang besar. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan
kuda juga meninggal, dalam jumlah yang besar untuk masalah yang sama.
Letnan Philips diperintahkan Sir Stamford Raffles untuk pergi ke Sumbawa.
Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April,
dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam. Tsunami setinggi 12 m
dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m
terjadi di Maluku.
Tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km. Partikel
abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada
di atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10
30 km. Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya
fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat diLondon, Inggris antara
tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober1815. Pancaran cahaya langit

senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di
atas.
Perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada. Zollinger (1855)
memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran piroklastik. Di pulau Sumbawa,
terdapat 38.000 kematian karena kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan
kelaparan di pulau Lombok. Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan
44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok. Beberapa pengarang menggunakan figur
Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000
jiwa. Tanguy (1998) mengklaim figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan
referensi yang tidak dapat dilacak. Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua
sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah
letusan

dan

catatan Raffles. Tanguy

menunjukan

bahwa

terdapat

banyak

korban

di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal
karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan
setelah letusan. Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa
seperti yang terlihat di tabel dibawah.

Pengaruh global
Letusan

gunung

Tambora

tahun

1815

mengeluarkan sulfur ke stratosfer,

menyebabkan penyimpangan iklim global. Metode berbeda telah memperkirakan banyaknya


sulfur yang dikeluarkan selama letusan: metode petrologi, sebuah pengukuran berdasarkan
pengamatan anatomi, dan metode konsentrasi sulfat inti es, menggunakan es dari Tanah
Hijau dan Antartika. Perkiraan beragam tergantung dari metode, antara 10 Tg S hingga 120
Tg S.
Pada musim semi dan musim panas tahun 1816, sebuah kabut kering terlihat di timur
laut Amerika Serikat. Kabut tersebut memerahkan dan mengurangi cahaya matahari, seperti
bintik pada matahari yang terlihat dengan mata telanjang. Baik angin atau hujan tidak dapat
menghilangkan "kabut" tersebut. "Kabut" tersebut diidentifikasikan sebagai kabut aerosol
sulfat stratosfer. Pada musim panas tahun1816, negara di Belahan Utara menderita karena
kondisi cuaca yang berubah, disebut sebagai Tahun tanpa musim panas. Temperatur normal
dunia berkurang sekitar 0,4-0,7 C,[2] cukup untuk menyebabkan permasalahan pertanian di
dunia. Pada tanggal 4 Juni 1816, cuaca penuh es dilaporkan di Connecticut, dan dan pada hari
berikutnya, hampir seluruh New England digenggam oleh dingin. Pada tanggal 6 Juni 1816,

salju turun di Albany, New York, dan Dennysville, Maine. Kondisi serupa muncul untuk
setidaknya tiga bulan dan menyebabkan gagal panen di Amerika Utara. Kanada mengalami
musim panas yang sangat dingin. Salju setebal 30 cm terhimpun didekat Kota Quebec dari
tanggal 6 sampai 10 Juni 1816.
1816 adalah tahun terdingin kedua di Belahan Bumi Utara sejak tahun 1400 Masehi,
setelah

letusan

gunung Huaynaputina di Perutahun 1600. Tahun 1810-an adalah

dekade

terdingin dalam rekor sebagai hasil dari letusan Tambora tahun 1815 dan lainnya menduga
letusan terjadi antara tahun 1809 dan tahun 1810. Perubahan temperatur permukaan selama
musim panas tahun 1816, 1817dan tahun 1818 sebesar -0,51, -0,44 dan -0,29 C, dan juga
musim panas yang lebih dingin, bagian dari Eropa mengalami badai salju yang lebih deras.
Perubahan iklim disalahkan sebagai penyebab wabah tifus di Eropa Tenggara
dan Laut Tengah bagian timur di antara tahun 1816 dan tahun 1819. Banyak ternak
meninggal di New England selama musim dingin tahun 1816-1817. Suhu udara yang dingin
dan hujan besar menyebabkan gagal panen di Kepulauan Britania. Keluarga-keluarga
di Wales mengungsi dan mengemis untuk makanan. Kelaparan merata di Irlandia utara dan
barat daya karena gandum, haver dan kentang mengalami gagal panen. Krisis terjadi
di Jerman, harga makanan naik dengan tajam. Akibat kenaikan harga yang tidak diketahui
menyebabkan terjadinya demonstrasi di depan pasar dan toko roti yang diikuti dengan
kerusuhan, pembakaran rumah dan perampokan yang terjadi di banyak kota-kota di Eropa.
Ini adalah kelaparan terburuk yang terjadi pada abad ke-19.

Anda mungkin juga menyukai