Anda di halaman 1dari 38

Pembimbing :Dr. Sarwono, Sp.

PD
RadityaUtomo 030.01.196
Narolitha Anggreini 030.01.168
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
Periode 27 November 2006 - 3 Februari 2007
Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti
Jakarta

Gambaran renal maupun ekstrarenal


Proteinuria lebih dari 3,5 g per 1,73 m2 per 24
jam
Hipoalbuminemia
Edema anasarca
Hiperlipidemia

Minimal Change Disease (MCD)

80% sindrom nefrotik anak lebih muda dari 16


tahun
20% terjadi pada orang dewasa
Insiden puncaknya terjadi pada usia 6 dan 8
tahun.

Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental (FSGS)

satu pertiga bagian kasus sindroma


nefrotik pada orang dewasa.

Nefropati Membranosa (Glomerulopati


Membranosa)

lesi ini merupakan penyebab sindrom nefrotik


pada dewasa hampir 30-40% dan jarang
dijumpai pada anak. Insiden tertinggi pada
usia 30 hingga 50 tahun dengan rasio pria :
wanita 2:1

Tipe tipe lain adalah Glomerulonefritis


Membranoprolieratif (MPGN). FibrinaryImmunonatactoid Glomerulopathy, kasus ini
hanya terjadi pada 1% dari semua diagnosa
berdasarkan biopsi ginjal . Glomerulonefritis
Proliferatif Mesangial, lima hingga sepuluh
persen kasus ini muncul dengan sindrom
nefrotik idiopatik. Sindroma Nefrotik
Kongenital

Fibrillary-Immunatactoid Glomerulopathy

1% dari semua diagnosa berdasarkan biopsi


ginjal

Sindrom nefrotik kongenital

Prognosisnya biasanya buruk, hanya 25% yang


dapat bertahan sampai usia 1 tahun dan 3%
yang bertahan sampai usia 3 tahun .

1.

1.

1.

Minimal Change Disease (MCD)


Terjadi setelah infeksi saluran pernafasan
imunisasi dan serangan atopi
Adanya etiologi imun.

atas,

Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental (FSGS)


hialinosis yang mengenai hingga 50% bagian glomerulus
Nefropati Membranosa (Glomerulopati membranosa)

1.

Glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN)


Penebalan GBM dan perubahan proliferatif

1.

Fibrillary-Immunatactoid Glomerulopathy

2.

Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial

3.

Sindrom nefrotik kongenital


Merupakan kelaian autosomal resesif dengan defek
pada struktur kimia membran basalis. Kelainan ini
mungkin diawali dalam uterus dengan adanya
peningkatan kadar alfa-fetoprotein dalam cairan
amnion pada gestasi minggu ke 20.

Hematuria dan proteinuria


Penurunan GFR
Hipoalbuminemia
Hiperlipidemia
Hiperkoagulasi
Edema

Proteinuria > 3 g/hari


Hipoalbuminemia
Edema anasarca
Hiperlipidemia

Proteinuria > 3 g/hari


Hipoalbuminemia
Edema anasarca
Hiperlipidemia

Pemeriksaan darah
Hipoalbuminemia < 3 gr/dl
Hiperlipidemia
Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan
trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit
meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan
oleh meningkatnya LDL (low density lipoprotein),
lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar
trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan
VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu
ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate-density
lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL
(high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah.

Urinalisis
Proteinuria > 3 g/hari
Pemeriksaan Serologik
Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin
Biopsi Ginjal
Apabila terdapat proteinuria yang signifikan (>
2 gr/hari) biopsi ginjal perlu dilakukan untuk
menentukan penyebab proteinuria.

Penatalaksanaan sindrom nefrotik meliputi :4


Terapi spesifik berdasarkan keadaan morfologi
dan jika mungkin, penyakit kausalnya
Kendali umum akan proteinuria jika remisi
tidak dapat dicapai dengan pemberian terapi
imunosupresan dan ukuran lainnya
Kendali terhadap komplikasi nefrotik

Penatalaksanaan Diet
restriksi protein dengan diet protein 0,8
gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein urin
dalam 24 jam
Bila fungsi ginjal menurun, diet disesuaikan
hingga 0,6 mg/kgBB ideal/hari + ekskresi protein
urin 24 jam
Diet rendah garam dan restriksi cairan pada
edema
Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari
Disarankan pemberian suplemen vitamin D bila
dijumpai bukti defisiensi vitamin D

Terapi steroid yang responsif pada sindroma


nefrotik didefinisikan oleh International Study
of Kidney Disease in Corticosteroid (ISKDC)
sebagai remisi total (protein uria kurang dari
<4 mg/m2h dalam tiga sample urin diambil
dalam 1 minggu) pada terapi 4 minggu
menggunakan 60mg/m2 (maksimum 60mg)
prednisone harian diberikan dalam dosis
terbagi, diikuti oleh 40mg/m2 dalam 4 minggu
diberikan secara intermiten (3 hari berturut
turut dari 7 hari)

Terapi jangka pendek, mendapat obat harian


sampai urine pasien bebas protein selama 3
hari; kemudian pasien mendapat prednisone
hari alternatif sampai serum albumin pasien
menjadi normal (secara rata rata 16 hari)
Terapi standar adalah 4 minggu terapi
prednison harian diikuti 4 minggu terapi hari
alternatif
Terapi jangka pajang dari prednisone
melibatkan 6 minggu terapi harian dan diikuti
6 minggu terapi hari alternatif

Insidensi relaps setelah 1 tahun adalah 36%


pada terapi jangka panjang, 61% pada terapi
standar, dan 81% pada terapi jangka pendek.

Penatalaksanaan Edema
Pemberian diuretik ditujukan untuk menekan
edema dengan memobilisasi cairan dari
sirkulasi
Dosis perlu dipertimbangkan agar pasien
dapat mengalami reduksi edema dengan
penurunan berat badan 1-2 pon setiap harinya

Furosemide (loop diuretic) dapat dipakai sebagai


diuretika tunggal. Dosis dinaikkan sampai timbul
diuresis. Diperlukan suplementasi kalium
Pemberian furosemid direkomendasikan 40 mg
sehari. Bila tidak ada respon dosis dinaikkan
menjadi 40 mg setiap 12 jam hingga dosis
maksimal 160 mg
Jika masih tidak memberikan respon maka
ditambahkan diuretik lainnya seperti metolazon
yang bersifat potensiasi terhadap diuretik loop.

Spironolakton, sebaiknya dihindari jika kadar


kalium serum tinggi atau pasien mengalami
gangguan fungsi ginjal
Klortiazid memiliki kerja sinergistik dengan
furosemide dan spironolakton

Penatalaksanaan Proteinuria dan hipertensi


Saat ini pengobatan untuk mengurangi proteinuria
pada penyakit ginjal dianggap penting seperti
halnya penurunan tekanan darah pada penderita
hipertensi karena keduanya penting untuk
memelihara fungsi ginjal
Proteinuria pada penderita-penderita di atas harus
diturunkan serendah mungkin hingga mencapai
batas di bawah 0,5 gram sehari. Salah satu cara
terbaik melindungi ginjal dari kerusakan akibat
proteinuria ialah menggunakan ACE Inhibitor.

Penghambatan kerja AT-II dengan ACE inhibitor


pada arteriol glomerulus eferen menyebabkan
vasodilatasi sehingga menurunkan IG HPT dan
mempertahankan fungsi ginjal (Gambar 3). Sekitar
20 sampai 30% penderita yang mendapat ACE
Inhibitor akan mengalami efek samping batuk
kering dan menjadi lebih berat jika ada infeksi
saluran napas. Untuk penderita-penderita ini,
dianjurkan diberikan ARB yang tidak memiliki
efek samping batuk. ARB bersaing dengan
reseptor angiotensin dan karena itu menghambat
kerja angiotensin. Obat ini sama efektif dengan
ACE Inhibitor dalam menurunkan proteinuria dan
memelihara fungsi ginjal. 15

Dengan menggunakan ACE Inhibitor atau


ARB, target awal penurunan proteinuria
adalah 50%. Dengan kata lain, dosis ACE
Inhibitor atau ARB kalau perlu harus
dinaikkan secara bertahap sampai mecapai
dosis maksimum untuk mencapai penurunan
proteinuria yang efektif. 15

Penatalaksanaan dislipidemia
Penatalaksanaan hiperlipidemia ini ditujukan
untuk menekan kadar kolesterol hingga berada
dibawah 200 mg/dl dan kadar LDL dibawah 100
mg/dl.
Golongan statin ; lovastatin dapat menekan
kolesterol total, LDL dan trigliserida. Makin poten
obat statin ini maka efek reduksinya juga makin
tinggi. Statin dapat memperbaiki fungsi endotel
dan memperlambat progresivitas penyakit ginjal
serta menekan albuminuria pada beberapa kasus.14

Hydroxymethylglutrayl coenzyme A reductase


inhibitors memiliki efek menekan lipid yang
kuat terutama pada dislipoproteinemia akibat
sindrom nefrotik, berperan menekan
aterosklerosis dan progresivitas ginjal.7
Torcetrapib merupakan obat yang sedang
dikembangkan. Mekanisme kerjanya melalui
blok protein transfer ester kolesterol sehingga
dapat meningkatkan kadar HDL.14

Penggunaan obat sitotoksik


Beberapa obat sitotoksik yang digunakan sebagai obat
immunosupresif pada sindrom nefrotik ialah
Siklofosfamid
Siklofosfamid diberikan untuk induksi remisi pada

MCD dan nefritis lupus yang tidak memberikan respon


terhadap prednison dan sering mengalami kekambuhan.
Siklofosfamid yang dianjurkan ialah 2 mg/kgBB selama 3
bulan. Bila gagal dengan siklofosfamid maka diberikan
siklosporin. 15
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus yang gagal
memberikan respon terhadap prednison
Glomerulonefritis membranosa yang gagal memberikan
respon terhadap prednisolon selama 3 bulan
FSGS primer, diberikan bersama prednison selama 6 bulan. Jika
gagal dapat diberikan siklosporin 15,16

Siklosporin. Siklosporin bekerja dengan menghambat


produksi interleukin 2 dan telah digunakan dalam
transplantasi sejak tahun 1980. Penggunaannya dalam
glomerulonefritis diuji-coba mulai tahun 1986. Mekanisme
kerjanya pada glomerulonefritis tidak diketahui. Siklosporin
memberikan efek samping hipertensi dan nefropati.7
Beberapa indikasi siklosporin ialah :
MCD dan nefritis lupus yang gagal terhadap terapi siklofosfamid,
diberikan serial siklosporin 5 mg/kgBB selama 3 bulan dan
diturunkan dalam 3 bulan berikutnya.15
FSGS yang tidak memberikan respon terhadap prednison dan
siklofosfamid 15-16
Kasus steroid dependent pasca pemberian siklosfosfamid.
Penggunaan siklosporin ini lebih sering pada anak yang
mendekati masa pubertas khususnya rentan mengalami kerusakan
testis akibat siklosfosfamid dan pada mereka yang tidak dapat
memberikan respon.17

Klorambucil A. Pemberian klorambucil dapat


menginduksi remisi bebas steroid yang lebih lama
pada anak dengan FRNS dan SDNS dan efeknya setara
dengan siklosfosfamid atau bahkan lebih baik. Dosis
yang diberikan sekitar 0,2 mg/kgBB selama 8 hingga
12 minggu. Kemungkinan risiko terjadinya keganasan
hematologi lebih tinggi pada klorambucil
dibandingkan dengan siklosfosfamid. 17

Takrolimus, bekerja dengan memblok aktivasi


interleukin-2 dalam sel T dan digunakan pada
beberapa kasus resistensi seperti halnya
siklosporin. 7

Mizoribine (MZR). Penelitian di Jepang memunculkan


Mizoribine (MZR) sebagai agen imunosupresan novel
yang memiliki kemampuan inhibisi terhadap ioosin
monofosfat dehidrogenase yang menyebabkan efek
inhibisi terhadap proliferasi sel T dan sel B. MZR
digunakan tanpa efek samping serius pada kasus
tranplantasi ginjal dan semua kasus sindrom nefrotik.
Walaupun demikian pemakaian MZR ini masih
terbatas dalam sindrom nefrotik dan belum seluas
agen lainnya seperti siklosfosfamid maupun
siklosporin. Namun pemakaian terapi MZR oral pada
pasien SRNS dengan kombinasi prednison
memberikan efek anti proteinurik yang kurang
adekuat.

Mycophenolate Mofetil (MMF) bekerja


menghambat sintesis purin de novo sehingga
menekan proliferasi sel B dan T, demikian pula
dengan proliferasi sel otot polos dan fibroblas
sehingga dapat melindungi ginjal dari penyakit
yang progresif.7 Bersama FK 506, dosis 0,1-0,2
mg/kgBB/hari, MMF diberikan pada dosis
0,75-1 g dua kali sehari selama 3 bulan. 15

Penggunaan regimen Persantin dan Warfarin Plus


(R+W)
Semua penderita yang gagal dengan pengobatan
steroid dan sitotoksik lainnya sebaiknya diberikan
regimen P+W yang dapat membantu menghambat
progresifitas ke gagal ginjal terminal.
Persantin (dipiridamol) merupakan anti platelet
dan anti protein derived growth factor (PDGF) 75
sampai 100 mg tiga kali sehari dengan warfarin
dosis rendah (anti trombotik) 1-3 mg bila INR <
1,6.

Sindrom nefrotik adalah sindrom klinik dengan


gejala proteinuria masif > 3,5 g/ dL,
hipoalbuminemia < 2,5 g/ dL, hiperkolesterolemia
> 300 mg/ 100 ml, edema, dapat disertai
hipertensi, hematuria, dan penurunan fungsi
ginjal.
Patofisiologinya adalah peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus sehingga protein dan
albumin akan keluar. Sebab utama diperkirakan
disfungsi sel T menyebabkan perubahan sitokin
sehingga terjadi muatan negatif glikoprotain.
Edema terjadi karena transudasi cairan dari
kompartemen intervaskuler ke interstitial.

Penatalaksanaan sindrom nefrotik pada awalnya ditujukan


untuk memperbaiki kondisi pasien dengan terapi suportif.
Untuk segi kuratif biasanya penatalaksanaan ditujukan
pada penyebab yang mendasari terjadinya sindrom nefrotik.
Pemakaian kortikosteroid masih menjadi pilihan utama.
Beberapa agen sitotoksik seperti siklofosfamid, siklosporin,
klorambucil dapat diberikan pada kasus yang resisten
terhadap kortikosteroid. Disamping itu, medikametosa juga
ditujukan pada gejala yang timbul misalnya edema,
proteinuria dan hipertensi. Komplikasi sindrom nefrotik
juga perlu diwaspadai mengingat risiko yang cukup tinggi.
Dengan penatalaksanaan dini sindrom nefrotik yang akurat
diharapkan tingkat morbiditas dan mortalitas dapat ditekan
semaksimal mungkin.

Anda mungkin juga menyukai