PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini Indonesia telah memasuki era globalisasi dan pasar bebas, untuk itu
diperlukan adanya peningkatan mutu pelayanan. Salah satu cara peningkatan mut u
pelayanan adalah dengan diadakannya akreditasi rumah sakit untuk mengukur
kualitas pelayanan rumah sakit dibandingkan dengan kualitas pelayanan internasional.
Kementerian Kesehatan berupaya untuk menjaga mutu layanan melalui kegiatan
akreditasi rumah sakit baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Di Indonesia
akreditasi rumah sakit diadakan sejak tahun 1995 yang diselenggarakan oleh Komisi
Gabungan Akreditasi Rumah Sakit atau yang sekarang disebut dengan Komisi
Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
Akreditasi sendiri menurut ensiklopedi nasional adalah suatu bentuk
pengakuan yang diberikan oleh pemerintah untuk suatu lembaga atau institusi.
Akreditasi merupakan suatu pengakuan yang diberikan oleh pemerintah kepada
rumah sakit karena telah memenuhi standar yang ditentukan. Untuk sampai kepada
pengakuan, rumah sakit melalui suatu proses penilaian yang didasarkan pada standar
nasional perumahsakitan (Depkes. 1999).
Pemberian akreditasi memungkinkan rumah sakit berkompetisi secara sehat,
dalam meningkatkan pelayanan dan mutu rumah sakit itu sendiri. Sehingga
memudahkan masyarakat dalam mendapatkan akses rujukan dan mendapatkan
pelayanan kesehatan yang lebih bermutu sesuai dengan tujuannya yaitu menciptakan
masyarakat Indonesia yang sehat.
Standar akreditasi yang digunakan saat ini (versi 2012) menekankan pada
pelayanan berfokus pada pasien serta kesinambungan pelayanan dan menjadikan
keselamatan pasien sebagai standar utama. Perbedaan standar akreditasi versi 2007
dengan standar akreditasi versi 2012, antara lain adalah versi 2007 fokus pada
provider, kuat pada input dan dokumen, lemah dalam implementasi serta kurang
melibatkan petugas. Sementara versi 2012 fokus pada pasien, kuat pada proses, output
dan outcome, kuat pada implementasi serta melibatkan seluruh petugas dalam proses
akreditasi.
Diharapkan dengan perubahan sistem akreditasi KARS menjadi versi 2012
yang lebih fokus pada pelayanan pasien, akan meningkatkan mutu pelayanan rumah
sakit serta keselamatan pasien. Hingga Desember 2011, KARS telah mencatat ada
1.378 rumah sakit di Indonesia, tetapi baru 818 rumah sakit (59,4%) yang
terakreditasi. Ini membuktikan banyak rumah sakit di Indonesia yang belum
terakreditasi. Pemerintah menargetkan 90% rumah sakit telah terakreditasi pada tahun
2014.
B. Tujuan
BAB II
ISI
A. Definisi
Komisi Akreditasi Rumah Sakit atau yang biasa disingkat KARS adalah lembaga
independen pelaksana akreditasi rumah sakit yang bersifat fungsional, non struktural dan
bertanggungjawab kepada menteri kesehatan. KARS dibentuk pertama kali pada tahun
1995. Adapun Komisi Akreditasi Rumah Sakit telah diatur dalam permenkes no.
Visi, misi, tugas pokok dan fungsi Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS)
adalah:
Visi:
Menjadi badan akreditasi berkelas internasional.
Misi:
1. Menjadikan rumah sakit bermutu, pelayanan berfokus pada pasien serta memiliki
Organisasi
KARS
Berdasarkan
Permenkes
nomor
Dalam survei, KARS akan menurunkan satu tim surveior yang terdiri dari satu
surveior administrasi, 1 atau 2 surveior medis dan 1 surveior keperawatan. Tim bekerja
melakukan survei selama 3 4 hari dengan tugas pokok dan fungsi membimbing dan
memberikan asistensi pada manajemen rumah sakit agar dapat mencapai standar
pelayanan yang ditetapkan serta mengukur tingkat kepatuhan rumah sakit dalam
menerapkan standar dan parameter akreditasi dengan cara melihat dan mencatat keadaan
sebenarnya pada saat survei dilakukan.
Dalam pelaksanaannya, surveior administasi memberikan bimbingan dan
penilaian dalam kegiatan pelayanan administasi dan manjemen, rekam medis, farmasi
dan K3. Surveior medis dalam pelayanan medis, gawat darurat, laboratorium, radiologi
dan kamar operasi. Sedangkan surveior keperawatan bertanggungjawab dalam pelayanan
keperawatan, perinatal resiko tinggi dan pengendalian infeksi.
Untuk menjaga konsistensi penilaian maka ada program jaga mutu surveior
dengan membentuk tim etik dan kredensial yang melakukan evaluasi sikap, perilaku dan
kemampuan surveior setiap tahun sehingga yang tidak memenuhi syarat maka SK
pengangkatan tidak diperpanjang. Disamping itu dilakukan pertemuan surveior setahun
dua kali sebagai cara untuk menjaga mutu dalam mengikuti perkembangan yang terjadi
dalam perumahsakitan.
KARS dapat bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi, Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia dan Komite Akreditasi Nasional dalam melakukan
monitoring dan evaluasi kinerja rumah sakit pasca akreditasi dan untuk membina rumah
sakit dalam upaya meningkatkan mutu layanannya. Dalam pelaksanaan monitoring dan
evaluasi kinerja rumah sakit pasca akreditasi, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia mengikut sertakan asosiasi perumah sakitan lainnya.
Akreditasi rumah sakit dengan metode KARS berfokus pada pasien, secara garis
besar akreditasi dibagi menjadi empat kelompok kerja:
I.
II.
III.
IV.
sistem dan proses yang digunakan rumah sakit sakit dalam memberikan farmakoterapi
kepada pasien.
Pendidikan pasien dan keluarga (PPK) dapat membantu pasien berpartisipasi
lebih baik dalam asuhan yang diberikan dan mendapat informasi dalam mengambil
keputusan tentang asuhannya. Pendidikan diberikan ketika pasien berinteraksi dengan
dokter atau perawatnya. Petugas kesehatan lainnya juga memberikan pendidikan ketika
memberikan pelayanan yang spesifik, diantaranya terapi diet, rehabilitasi atau persiapan
pemulangan pasien dan asuhan pasien berkelanjutan. Mengingat banyak staf terlibat
dalam pendidikan pasien dan keluarganya, maka perlu diperhatikan agar staf yang
terlibat dikoordinasikan kegiatannya dan fokus pada kebutuhan pembelajaran pasien.
Pendidikan dapat efektif dengan mengedepankan agama, nilai budaya, kemampuan
membaca serta bahasa yang digunakan pasien dan keluarga.
Peningkatan mutu dan keselamatan pasien (MPKP) dapat memperkecil
(reduction) risiko pada pasien dan staf secara berkesinambungan. Risiko ini dapat
diketemukan baik diproses klinik maupun di lingkungan fisik. Pencagahan dan
pengendalian infeksi (PPI). Tujuan PPI adalah mengidentifikasi dan menurunkan risiko
infeksi yang didapat dan ditularkan diantara pasien, staf, tenaga profesional kesehatan,
tenaga kontrak, tenaga sukarela, mahasiswa dan pengunjung.
Tata kelola, kepemimpinan dan pengarahan (TKP) yang efektif dimulai dengan
pemahaman tentang berbagai tanggung jawab dan kewenangan/otoritas dari orang-orang
dalam organisasi dan bagaimana orang-orang ini bekerja sama. Mereka yang
mengendalikan, mengelola dan memimpin rumah sakit mempunyai kewenangan dan
tanggung jawab.
Tujuan dari manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) adalah tersediannya
fasilitas yang aman dan suportif bagi pasien, keluarga, staf dan pengunjung, meliputi
keselamatan seperti keamanan kebakaran maupun resiko keamanan. Untuk menjamin
keamanan, semua staf, pengunjung, pedagang diidentifiasi dan diberi tanda pengenal.
Kualifikasi dan pendidikan staf (KPS) perlu diperhatikan mengingat rumah sakit
membutuhkan cukup banyak orang dengan berbagai tingkat pendidikan, ketrampilan,
pengetahuan dan orang yang kompeten untuk melaksanakan misi rumah sakit dalam
memenuhi kebutuhan pasien. Manajemen komunikasi dan informasi (MKI) sangat
diperukan karena dalam memberikan asuhan kepada pasien sangat tergantung pada
komunikasi dari informasi.
Sasaran keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman. Penyusunan sasaran mengacu pada nine life saving patient
safety solutions dari WHO patient safety (2007). Maksut dan tujuan sasaran keselamatan
pasien adalah mendorong peningkatan spesifik dalam keselamatan pasien. Enam sasaran
keselamatan pasien adalah ketepatan identifikasi pasien, peningkatan kkomunikasi yang
efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert medications),
kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi, pengurangan resiko
infeksi terkait pelayanan kesehatan, pengurangan resiko pasien jatuh.
Millenium Development Goals (MDGs), rumah sakit melaksanakan program
PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Komprehensif) sebagai upaya untuk
menurunkan angka kematian bayi dan kesehatan ibu. Mengingat kematian ibu
mempunyai hubungan erat dengan mutu penanganan ibu maka proses persalinan dan
perawatan bayi harus dilakukan dalam sistem terpadu di tingkat nasional maupun
regional.
Rumah sakit berpatisipasi dalam penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan
pedoman rujukan ODHA. Saat ini, kementrian kesehatan telah mengeluarkan kebijakan
dengan melakukan peningkatan fungsi pelayanan kesehatan bagi orang hidup dengan
HIV/AIDS melalui penetapan rumah sakit rujukan ODHA. Kebijakan ini semakin
memberikan kemudahan akses bagi ODHA untuk mendapat layanan pencegahan,
pengobatan, dukungan dan perawatan sehingga diharapkan akan lebih banyak ODHA
yang memperoleh pelayanan yang berkualitas. Adapun rumah sakit dalam melaksanakan
penanggulangan HIV/AIDS sesuai standar dengan meningkatkan fungsi pelayanan VCT
(Voluntary Counseling and Testing), meningkatkan fungsi pelayanan ART (Antiretroviral
Therpy), meningkatkan fungsi pelayanan PMTCT (Prevention Mother to Child
Transmission), meningkatkan fungsi pelayanan infeksi oportunistik, meningkatkan
fungsi pelayanan pada ODHA dengan faktor resiko IDU dan meningkatkan fungsi
pelayanan penunjang, yang meliputi: pelayanan gizi, laboratorium, dan radiologi,
pencatatan dan pelaporan.
Rumah sakit melaksanakan penanggulangan TB sesuai dengan pedoman strategi
DOTS. DOTS atau Directly Observe Therapy of Shortcourse merupakan pengamatan
jangka pendek pelayanan secara langsung pada penderita TB.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akreditasi rumah sakit merupakan suatu proses dimana suatu lembaga, yang
independen, melakukan asesmen terhadap rumah sakit. Tujuannya adalah menentukan
apakah rumah sakit tersebut memenuhi standar yang dirancang untuk memperbaiki
keselamatan dan mutu pelayanan. Standar akreditasi sifatnya berupa suatu persyaratan
yang optimal dan dapat dicapai. Akreditasi menunjukkan komitmen nyata sebuah
rumah sakit untuk meningkatkan keselamatan dan kualitas asuhan pasien, memastikan
bahwa lingkungan pelayanannya aman dan rumah sakit senantiasa berupaya
mengurangi risiko bagi para pasien dan staf rumah sakit. Dengan demikian akreditasi
diperlukan sebagai cara efektif untuk mengevaluasi mutu suatu rumah sakit, yang
sekaligus berperan sebagai sarana manajemen.
REFERENSI
Lumenta, Nico A. 2007. Manajemen Hidup Sehat. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Tim Penyusun. 2011. Standar Akreditasi Rumah Sakit edisi I. Jakarta: Kemenkes RI.
Tim Penyusun. 2006. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient
Safety). Jakarta: Depkes RI
http: //kars.co.id