Anda di halaman 1dari 46

Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa

Tutorial

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

GANGGUAN ANXIETAS

Oleh:
Setya Girindra Wardana

1310019003

Auliyaa Rahmah

1310019007

Andi Epri Rangga Aditya Lisma

1310019008

Pembimbing
dr. Denny Jeffry Rotinsulu , Sp.KJ
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2013

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................1
ANXIETAS................................................................................................................................2
GANGGUAN KECEMASAN OBSESIF-KOMPULSIF..........................................................6
GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA / POST TRAUMATIC STRESS DISORDER
( PTSD )...................................................................................................................................10
KECEMASAN AKIBAT KONDISI MEDIS UMUM.............................................................19
GANGGUAN KECEMASAN YANG DIINDUKSI OLEH ZAT...........................................23
GANGGUAN KECEMASAN YANG TIDAK TERGOLONGKAN.....................................27
FOBIA SPESIFIK DAN FOBIA SOSIAL...............................................................................30
FOBIA SPESIFIK....................................................................................................................31
FOBIA SOSIAL.......................................................................................................................34
GANGGUAN PANIK..............................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................46

ANXIETAS
GANGGUAN KECEMASAN UMUM/ MENYELURUH
EPIDEMIOLOGI
Gangguan kecemasan umum adalah suatu kondisi yang sering ditemukan tetapi,
dengan kriteria tetap dari DSM III-R dan DSM-IV , gangguan kecemasan umum sekarang
mungkin lebih jarang ditemukan debandingkan dengan mengguankan kriteria DSM-III.
Kriteria yang diterima untuk prevalensi gangguan kecemasan umum satu tahun terentang dari
3 sampai 8 persen. Rasio wanita dan laki-laki adalah kira-kira 2:1, tetapi rasio wanita
berbanding laki-laki yang mendapatkan perawatan rawat inap untuk gangguan tersebut, kirakira adalah 1:1 usia onset adalah sukar untuk ditentukan, karena sebagian besar pasien
melaporkan bahwa mereka mengalami kecemasan selama yang mendapat mereka ingat.
ETIOLOGI
Seperti pada sebagian besar gangguan mental, penyebab gangguan kecemasan umum
adalah tidak diketahui. Seperti yang sekarang di definisikan gangguan kecemasan umum
kemungkinan mempengaruhi kelompok pasien yang heterogen. Kemungkinan derajat
kecemasan tertentu adalah normal

dan adaptif, membedakan kecemasan normal dari

kecemasan patologis dan membedakan faktor penyebab biologis dari faktor psikososial
adalah sulit.
Faktor Biologis
Manfaat terapeutik benzodiazepine dan azapirone sebagai contoh, buspirone telah
memusatakan usaha penelitian biologis pada sistem neurotransmiter, gama aminovutiric
acid dan seretonin. Benzodiazepine diketahui menurunkan kecenasan sedangkan flumazenile
dan beta karboline menginduksi kecemasan , walaupun tidak ada data yang menyakinkan
uang menyatakan bahwa reseptor dizepine ada;ah abnormal pada pasin dengan gangguan
kecemsan umum. Beberapa penelitian telah memusatkan pada lobus oksipitalis yang
memiliki konsentrasi benzodiapine yang tinggi di otak. Daerah otak lain yang telah diduga
terlibat dalam proses gangguan kecemasan adalah gangglia basalis , sistem limbik dan
korteks frontalis.
Hanya sejumlah terbatas penelitian pencitraan otak pada pasien dengan gangguan kecemasan
umum telah dilakukan. Satu penelitian tomografi emisi positron. Melaporkan suatu
penurunan kecepatan metabolik di ganglia basalis dan subsatnsi putih pada pasien gangguan
kecemasan umum.

Penelitian lain menunjukan genetika mungkin terjadi antara gangguan kecemasan umum
dibandingkan kontrol normal.
Faktor Psikososial
Dua bidang pikiran utama tentang faktor psikososial yang menyebabkan
perkembangan gangguan kecemasan umum dan bidang psikoanalitik. Bidang kognitif prilaku
menhipotesiskan bahwa pasien dengan gangguan kecemasan umum adalah berespon secara
tidak tepat.
Suatu hirarki kecemasan adalah berhubungan dengan berbagai tingkat perkembangan.
Pada tingkat yang paling primitif, kecemasan mungkin berhubungan dengan dengan
ketakutan akan penghancuran atau difusi dengan orang lain. Pada tingkat perkembangan yang
lebih matur, kecemasan adalah berhubungan dengan perpisahan dari objek yang dic intai.
Pada tingkat yang masih lebih matur adalah berhubungan dengan hilangnya dengan objek
yang kita cintai.

Kecemasan kastarsi adalah berhubungan dengan fase oedipal dari

perkembangan dan dianggap merupakan satu tingkat tertinggi dari kecemasan.


DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik untuk gangguan kecemasan umum:
A. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan(harapan yang mengkhawatirkan) yang
lebih banyak dibandingkan tidak terjadi selama 6 bulan, tentang sejumlah kejadian
atau aktifitas ( seperti pekerjaan dan prestasi sekolah )
B. Orang yang merasa sulit mengemndalikan ketakutan
C. Kecemasan dan kekhawatiran adalah disertai oleh 3 ( atau lebih) dari gejala berikut
ini :
1. Kegelisah atau perasaan bersemgnat
2. Merasa mudah lelah
3. Sulit berkonsentrasi
4. Iritabilitas
5. Ketegangan otot
6. Gangguan tidur
D. Kecemasan, kekhatiran atau gejla fisik yang menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan pada fungsi sosial
E. Gangguan bukan karena efek psikoilogis langsung dari suatu zat

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding kecemasan umum adalah semua kondisi medis yang menyebabkan
kecemasan . Pemeriksaan medis yang dimaksud adalah tes kimia, darah standar,
elektrokardiogram , dan fungsi tiroid. Pemeriksaan status mental harus menggali
3

kemungkinan gangguan panik , fobia, dan gangguan obsesif kompulsif, membedakan


gangguan kecemasan umum dari ganggua depresif berat dan gangguan distimik pada
kenyataannya , ganggguan tersebut seringkali terdapat bersam a sama . kemunhkina
dignosis lain adalah gangguan penyesuaian dengan kecemasan , hipokondriasi, gangguan
hiperaktifitas dan ganggua kepribadian.
TERAPI
Farmakoterapi
Neurotransmiter utama terhadap gangguan kecemasan dengan melihat hasil
laboratorium dengan mencheck peningkatan norepinefrin, serotonin dan gamma aminobutryc
acid (GABA). Dengan positron emission tomography (PET) juga ditemukan kelainan
(disregulasi) pembuluh darah serebral.
Biasanya untuk kecemasan dokter menganjurkan penggunaan obat psikoleptik, yaitu
benzodiazepines dalam dosis rendah. Jenis obat-obat ini adalah Diazepam, Klordiazepoksid,
Lorazepam, Klobazam, Bromazepam, Oksazolam, Klorazepat, Alprazolam atau Prazepam.
Penggunaan obat anti kecemasan haruslah melalui kontrol dari dokter secara ketat,
penggunaan obat-obat antiansietas dapat mengakibatkan beberapa efek samping. Pasien
dengan riwayat penyakit hati kronik, ginjal dan paru haruslah diperhatikan pemakaian obatobatan ini. Pada anak dan orangtua dapat juga memberikan reaksi seperti yang tidak
diharapkan (paradoxes reaction) seperti meningkatkan kegelisahan, ketegangan otot,
disinhibisi atau gangguan tidur.
Beberapa efek samping penggunaan obat antiansietas adalah:

Sedative (rasa mengantuk, kewaspadaan menurun, kerja psikomotorik menurun, dan


kemampuan kognitif melemah)

Rasa lemas dan cepat lelah

Adiktif walaupun sifatnya lebih ringan dari narkotika. Ketergantungan obat biasanya
terjadi pada individu peminum alkohol, pengguna narkoba (maksimum pemberian
obat selama 3 bulan). Penghentian obat secara mendadak memberikan gejala putus
obat (rebound phenomenon) seperti kegelisahan, keringat dingin, bingung, tremor,
palpitasi atau insomnia.

Psikoterapi
Dalam psikoterapi, psikolog, konselor dan ahli terapis berusaha menyusun terapi
psikologis yang beragam untuk pengobatan yang disesuaikan dengan kepribadian klien.
Penerapan metode dapat secara personal maupun group (perkelompok). Psikiater berusaha
4

mengkombinasi pengobatan medis dan psikoterapi secara bersamaan. Perlu untuk diketahui
bahwa tidak ada pengobatan jenis gangguan kecemasan ini hanya menggunakan satu cara
saja, dibutuhkan lebih kombinasi untuk menyembuhkan gangguan kompleks ini.
Terapi yang paling sering digunakan dalam perawatan kecemasan adalah cognitivebehavioural therapy (CBT). Pada CBT diberikan teknik pelatihan pernafasan atau meditasi
ketika kecemasan muncul, teknik ini diberikan untuk penderita kecemasan yang disertai
dengan serangan panik.
Support group juga diberikan dalam CBT, individu ditempatkan dalam group support
yang mendukung proses treatment. Group support dapat berupa sekelompok orang yang
memang telah dipersiapkan oleh konselor/terapis untuk mendukung proses terapi atau
keluarga juga dapat diambil sebagai group support ini.
Mencegah Kemunculan Gangguan Kecemasan
1) Kontrol pernafasan yang baik
Rasa cemas membuat tingkat pernafasan semakin cepat, hal ini disebabkan otak "bekerja"
memutuskan fight or flight ketika respon stres diterima oleh otak. Akibatnya suplai
oksigen untuk jaringan tubuh semakin meningkat, ketidakseimbangan jumlah oksigen dan
karbondiosida di dalam otak membuat tubuh gemetar, kesulitan bernafas, tubuh menjadi
lemah dan gangguan visual. Ambil dalam-dalam sampai memenuhi paru-paru, lepaskan
dengan perlahan-lahan akan membuat tubuh jadi nyaman, mengontrol pernafasan juga
dapat menghindari srangan panik.
2) Melakukan Relaksasi
Kecemasan meningkatkan tension otot, tubuh menjadi pegal terutama pada leher, kepala
dan rasa nyeri pada dada. Cara yang dapat ditempuh dengan melakukan teknik relaksasi
dengan cara duduk atau berbaring, lakukan teknik pernafasan, usahakanlah menemukan
kenyamanan selama 30 menit.
3) Intervensi kognitif
Kecemasan timbul akibat ketidakberdayaan dalam menghadapi permasalahan, pikiranpikiran negatif secara terus-menerus berkembang dalam pikiran. caranya adalah dengan
melakukan intervensi pikiran negatif dengan pikiran positif, sugesti diri dengan hal yang
positif, singkirkan pikiran-pikiran yang tidak realistik. Bila tubuh dan pikiran dapat
merasakan kenyamanan maka pikiran-pikiran positif yang lebih konstruktif dapat
meuncul. Ide-ide kreatif dapat dikembangkan dalam menyelesaikan permasalahan.
4) Pendekatan agama

Pendekatan agama akan memberikan rasa nyaman terhadap pikiran, kedekatan terhadap
Tuhan dan doa-doa yang disampaikan akan memberikan harapan-harapan positif. Dalam
Islam, sholat dan metode zikir ditengah malam akan memberikan rasa nyaman dan rasa
percaya diri lebih dalam menghadapi masalah. Rasa cemas akan turun. Tindakan bunuh
diri dilarang dalam Islam, bila iman semakin kuat maka dorongan bunuh diri (tentamina
Suicidum) pada simtom depresi akan hilang. Metode zikir (berupa Asmaul Husna) juga
efektif menyembuhkan insomnia.
5) Pendekatan keluarga
Dukungan (supportif) keluarga efektif mengurangi kecemasan. Jangan ragu untuk
menceritakan permasalahan yang dihadapi bersama-sama anggota keluarga. Ceritakan
masalah yang dihadapi secara tenang, katakan bahwa kondisi Anda saat ini sangat tidak
menguntungkan dan membutuhkan dukungan anggota keluarga lainnya. Mereka akan
berusaha bersama-sama Anda untuk memecahakan masalah Anda yang terbaik.
6) Olahraga
Olahraga tidak hanya baik untuk kesehatan. Olaharaga akan menyalurkan tumpukan stres
secara positif. Lakukan olahraga yang tidak memberatkan, dan memberikan rasa nyaman
kepada diri Anda.
GANGGUAN KECEMASAN OBSESIF-KOMPULSIF
DEFINISI
Obsesi: pikiran yang berkali-kali datang yang mengganggu - tampak tidak rasional - tidak
dapat dikontrol mengganggu hidup. dapat berbentuk keragu-raguan yang ekstrim,
penangguhan tidak dapat membuat keputusan.pasien tidak dapat mengambil kesimpulan.
Kompulsi: impuls yang tidak dapat ditolak mengulangi tingkah laku ritualistik berkali-kali.
Kompulsi sering berhubungan dengan kebersihan dan keteraturan. Penderita merasa apa yang
dilakukannya asing.
Gangguan Obsesif-kompulsif (Obsessive-Compulsive Disorder, OCD) adalah kondisi
dimana individu tidak mampu mengontrol dari pikiran-pikirannya yang menjadi obsesi yang
sebenarnya tidak diharapkannya dan mengulang beberapa kali perbuatan tertentu untuk dapat
mengontrol pikirannya tersebut untuk menurunkan tingkat kecemasannya. Gangguan obsesifkompulsif merupakan gangguan kecemasan dimana dalam kehidupan individu didominasi
oleh repetatif pikiran-pikiran (obsesi) yang ditindaklanjuti dengan perbuatan secara berulangulang (kompulsi) untuk menurunkan kecemasannya.
6

Penderita gangguan ini mungkin telah berusaha untuk melawan pikiran-pikiran


menganggu tersebut yang timbul secara berulang-ulang akan tetapi tidak mampu menahan
dorongan melakukan tindakan berulang untuk memastikan segala sesuatunya baik-baik saja.
MANIFESTASI KLINIS
Individu yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif kadang memilki pikiran
intrusif tanpa tindakan repetatif yang jelas akan tetapi sebagian besar penderita menunjukkan
perilaku kompulsif sebagai bentuk lanjutan dari pikiran-pikiran negatif sebelumnya yang
muncul secara berulang, seperti ketakutan terinfeksi kuman, penderita gangguan obsesifkompulsif sering mencuci tangan (washer) dan perilaku umum lainnya adalah memeriksa
(checker) seperti rasa cemas akan kemalingan, penderita gangguan obsesif-kompulsif sering
memeriksa pintu apakah sudah dikunci apa belum.
Beberapa bentuk perilaku gangguan obsesif-kompulsif lainnya adalah;

Mandi dan menggosok badannya secara berkali-kali dengan sabun disinfektan (cemas
akan bakteri atau kuman yang dapat membuatnya terinfeksi)

Memeriksa kompor berulang-ulang apakah sudah dimatikan (cemas akan kebakaran)

Memeriksa toilet apakah ada binatang atau serangga hidup di dalamnya atau terjatuh
kedalam toilet (cemas untuk membunuh makhluk hidup)

Mengulang pekerjaannya berkali-kali apakah sudah bagus (kecemasan perfeksionis)

Memeriksa mobilnya berkali-kali selama perjalanan (kecemasan unutuk tidak melukai


orang lain)

Menyisir berkali-kali di depan cermin (cemas akan penampilan tidak rapi)

Mengulang berhitung berkali-kali (cemas akan kesalahan pada urutan bilangan)


Gangguan obsesif-kompulsif tidak ada kaitan dengan bentuk karakteristik kepribadian

seseorang, pada individu yang memiliki kepribadian obsesif-kompulsif cenderung untuk


bangga dengan ketelitian, kerapian dan perhatian terhadap hal-hal kecil, sebaliknya pada
gangguan obsesif-kompulsif, individu merasa tertekan dengan kemunculan perilakunya yang
tidak dapat dikontrol. Mereka merasa malu bila perilaku-perilaku tersebut dipertanyakan oleh
orang yang melihatnya karena melakukan pekerjaan yang secara berulang-ulang. Mereka
berusaha mati-matian untuk menghilangkan kebiasaan tersebut.
Gangguan obsesif-kompulsif erat kaitan dengan depresi, atau riwayat kecemasan
sebelumnya. Beberapa gejala penderita obsesif-kompulsif seringkali juga menunjukkan
gejala yang mirip dengan depresi. Perilaku yang obsesif pada ibu depresi berusaha berkalikali atau berkeinginan untuk membunuh bayinya.
7

Temuan fisik (Gejala)


Gejala ditandai dengan pengulangan (repetatif) pikiran dan tindakan sedikitnya 4 kali
untuk satu kompulsi dalam sehari dan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu selanjutnya.
Gejala utam obsesi-kompulsif harus memenuhi kriteria;
1) Perilaku dan pikiran yang muncul tersebut disadari sepenuhnya oleh individu atau
didasarkan pada impuls dalam dirinya sendiri. Individu juga menyadari bahwa
perilakunya itu tidak rasional, namun tetap dilakukan untuk mengurangi kecemasan.
2) Beberapa perilaku yang muncul disadari oleh oleh individu dan berusaha melawan
kebiasaan dan pikiran-pikiran rasa cemas tersebut sekuat tenaga, namun tidak berhasil
3) Pikiran dan tindakan tersebut tidak memberikan perasaan lega, rasa puas atau
kesenangan, melainkan disebabkan oleh rasa khawatir secara berlebihan dan
mengurangi stres yang dirasakannya.
4) Obsesi (pikiran) dan kompulsi (perilaku) sifatnya berulang-ulang secara terus-menerus
dalam beberapa kali setiap harinya.
FAKTOR RISIKO
Individu yang beresiko mengalami gangguan obsesif-kompulsif adalah;

Individu yang mengalami permasalahan dalam keluarga dari broken home,


kesalahan atau kehilangan masa kanak-kanaknya. (teori ini masih dianggap lemah
namun masih dapat diperhitungkan)

Faktor neurobilogi dapat berupa kerusakan pada lobus frontalis, ganglia basalis dan
singulum

Individu yang memilki intensitas stress yang tinggi

Riwayat gangguan kecemasan

Depresi

Individu yang mengalami gangguan seksual

TATALAKSANA
Psikoterapi
Psikoterapi untuk gangguan obsesif-kompulsif umumnya diberikan hampir sama
dengan gangguan kecemasan lainnya. Ada beberapa faktor OCD sangat sulit untuk
disembuhkan, penderita OCD kesulitan mengidentifikasi kesalahan (penyimpangan perilaku)
dalam mempersepsi tindakannya sebagai bentuk penyimpangan perilaku yang tidak normal.
8

Individu beranggapan bahwa ia normal-normal saja walaupun perilakunya itu diketahui pasti
sangat menganggunya. Baginya, perilaku kompulsif tidak salah dengan perilakunya tapi
bertujuan untuk memastikan segala sesuatunya berjalan dengan baik-baik saja. Faktor lain
adalah kesalahan dalam penyampaian informasi mengenai kondisi yang dialami oleh individu
oleh praktisi secara tidak tepat dapat membuat individu merasa enggan untuk mengikuti
terapi.
Cognitive-behavioural therapy (CBT) adalah terapi yang sering digunakan dalam
pemberian treatment pelbagai gangguan kecemasan termasuk OCD. Dalam CBT penderita
OCD pada perilaku mencuci tangan diatur waktu kapan ia mesti mencuci tangannya secara
bertahap. Bila terjadi peningkatan kecemasan barulah terapis memberikan izin untuk individu
OCD mencuci tangannya. Terapi ini efektif menurunkan rasa cemas dan hilang secara
perlahan kebiasaan-kebiasaannya itu. Dalam CBT terapis juga melatih pernafasan, latihan
relaksasi dan manajemen stres pada individu ketika menghadapi situasi konflik yang
memberikan kecemasan, rasa takut atau stres muncul dalam diri individu. Pemberian terapi
selama 3 bulan atau lebih.
Farmakoterapi
Pemberian obat-obatan medis berserta psikoterapi sering dilakukan secara bersamaan
dalam masa perawatan penderita OCD. Pemberian obat medis hanya bisa dilakukan oleh
dokter atau psikiater atau social worker yang terjun dalam psikoterapi. Pemberian obatobatan haruslah melalui kontrol yang ketat karena beberapa dari obat tersebut mempunyai
efek samping yang merugikan.
Obat

medis

yang

digunakan

dalam

pengobatan

OCD

seperti;

Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) yang dapat mengubah level serotonin dalam
otak, jenis obat SSRIs ini adalah Fluoxetine (Prozac), sertraline (Zoloft), escitalopram
(Lexapro), paroxetine (Paxil), dan citalopram (Celexa).
Trisiklik (Tricyclics). Obat jenis trisiklik berupa clomipramine (Anafranil). Trisiklik
merupakan obat-obatan lama dibandingkan SSRIs dan bekerja sama baiknya dengan SSRIs.
Pemberian obat ini dimulai dengan dosis rendah. Beberapa efek pemberian jenis obat ini
adalah peningkatan berat badan, mulut kering, pusing dan perasaan mengantuk.
Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs). Jenis obat ini adalah phenelzine (Nardil),
tranylcypromine (Parnate) dan isocarboxazid (Marplan). Pemberian MAOIs harus diikuti
pantangan makanan yang berkeju atau anggur merah, penggunaan pil KB, obat penghilang
rasa sakit (seperti Advil, Motrin, Tylenol), obat alergi dan jenis suplemen. Kontradiksi dengan
MOAIs dapat mengakibatkan tekanan darah tinggi.
9

GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA / POST TRAUMATIC STRESS DISORDER


( PTSD )
DEFINISI
Gangguan stress pascatrauma (PTSD) dapat didefinisikan sebagai keadaan yang
melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat,
mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang
mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan murung, sedih,
kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan yang
menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat dapat
menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial.
PTSD merupakan kecemasan akibat peristiwa traumatik yang biasanya dialami oleh
veteran perang atau orang-orang yang mengalami bencana alam. PTSD biasnya muncul
beberapa tahun setelah kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan
maka orang tersebut dapat mengembangkan PTSD.
EPIDEMIOLOGI
Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress pascatrauma sebesar 8%
sementara 5-15% mengalami bentuk subklinis. Pada kelompok yang pernah mengalami
trauma sebelumnya, prevalensinya antara 5-75%. Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi
(10-12%) dibandingkan pria (5-6%) pada kelompok usia dewasa muda. Selain itu, wanita
memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan yang lebih berat. Beberapa faktor yang
dapat berperan dalam timbulnya depresi, antara lain: (1) jenis kelamin, (2) dukungan keluarga
yang kurang, dan (3) penggunaan alkohol dan zat addiktif lainnya. Seseorang yang memiliki
faktor-faktor tersebut lebih berisiko untuk mengalami gangguan stress pascatrauma dengan
gejala utamanya berupa depresi. Gangguan stress pascatrauma memiliki komorbiditas tinggi
dengan gangguan psikiatri lainnya. Dua pertiga kasus menunjukkan komorbiditas dengan
lebih dari dua gangguan psikiatri lain. Gangguan yang yang paling sering timbul bersamasama dengan gangguan stress pascatrauma ini adalah gangguan depresif, kecemasan,
gangguan yang berkaitan dengan pengguanan zat, dan gangguan bipolar. Komorbiditas ini
mengakibatkan seseorang lebih rentan terhadap gangguan stress pascatrauma
ETIOLOGI

10

Stresor adalah penyebab utama dalam perkembangan gangguan stress pasca trauma.
Tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stress pascatrauma setelah suatu
peristiwa traumatik. Walaupun stressor diperlukan, namun stressor tidak cukup untuk
menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor
biologis individual, faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma.
Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting
dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Adanya trauma masa anak-anak


Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti social
Sistem pendukung yang tidak adekuat
Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi
Persepsi lokus kontrol eksternal
Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai pada taraf ketergantungan

Jika trauma terjadi pada masa anak-anak maka akan terjadi penghentian
perkembangan emosional, sedangkan jika terjadi pada masa dewasa akan terjadi regresi
emosional.
Faktor Psikodinamika
Model kognitif dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa orang yang
terkena stress pascatraumatik tidak mampu memproses atau merasionalkan trauma yang
mencetuskan gangguan. Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak mengalami
kembali stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka untuk
mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa dan
menghambatnya secara berganti-ganti.
Model perilaku dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan
memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak
dibiasakan) adalah dipasangkan, melalui pembiasaan klasik dengan stimulus yang dibiasakan
(pengingat fisik atau mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien
mengambangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus
yang tidak dibiasakan.
Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah
mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan. Penghidupan
kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan penggunaan mekanisme
pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan
dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan
tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan
11

ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan


kognitif tentang gangguan stress pascatraumatik adalah bahwa otak mencoba untuk
memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima
dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti.
Faktor Biologis
Teori biologis tentang gangguan stress pascatraumatik telah dikembangkan dari
penelitian pra klinik dari model stress pada binatang dan dari pengukuran variabel biologis
dari populasi klinis dengan gangguan stress pascatraumatik. Banyak sistem neurotransmitter
telah dilibatkan dalam kumpulan data tersebut. Model praklinik pada binatang tentang
ketidakberdayaan, pembangkitan, dan sensitasi yang dipelajari telah menimbulkan teori
tentang norepinefrin, dopamine, opiat endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu
hipotalamus, hipofisis adrenal. Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa
system noradrenergik dan opiat endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis adrenal,
adalah hiperaktif pada sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stress pascatrauamtik.
Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan responsivitas sistem
saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peninggian kecepatan denyut jantung dan
pembacaan tekanan darah, dan arsitektur tidur yang abnormal (sebagai contohnya,
fragmentasi tidur dan peningkatan latensi tidur). Gejala penyerta yang sering dari gangguan
stress pascatraumatik adalah depresi, kecemasan dan gangguan kognitif. Di dalam DSM-IV,
lama gejala minimal untuk gangguan stress pasca traumatik adalah 1 bulan. DSM-IV
memperkenalkan diagnostik baru, gangguan stress akut, bagi pasien dengan gejala yang
terjadi dalam 4 minggu peristiwa traumatik dan pada mereka yang gejalanya berlangsung
selama 2 hari sampai 4 minggu.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis utama pada gangguan stress pascatrauma adalah kembalinya
pengalaman menyakitkan yang terus menerus dalam pikiran korban, pola penghindaran
terutama terhadap hal-hal yang mengingatkan korban pada pengalaman traumatisnya, dan
tumpulnya emosi. Keadaan-keadaan di atas mungkin segera setelah trauma, namun gejala
lengkapnya baru timbul setelah beberapa waktu. Perasaan bersalah, penghindaran, dan rasa
dipermalukan kadang-kadang dapat ditemukan dalam anamnesis psikiatri. Adanya
penghindaran dan tumpulnya emosi merupakan hal yang penting dalam diagnosis menurut
DSM-IV.

12

Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang berlebihan, ketakutan,
penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran konsentrasi dan berfikir, gejalagejala somatik seperti tremor, panas dingin, berkeringat, sesak napas, jantung berdebar, serta
dapat pula ditemui gejala gangguan persepsi seperti depersonalisasi, derealisasi dan mungkin
terdapat gejala yang lain.
DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik ditulis untuk
memperjelas beberapa kriteria dalam DSM-III-R. Pertama DSM-IV-R menggambarkan
stressor diluar rentang pengalaman manusia pada umumnya. Karena kriteria adalah tidak
jelas dan tidak dapat dipercaya, DSM-IV memperjelas artinya (Kriteria A). Dalam DSM-IV,
criteria B menyebutkan, seperti dalam DSM-III-R, bahwa pasien secara menetap mengalami
kembali peristiwa traumatik. Kriteria C dan D pada DSM IV tetap sama dengan DSM-III-R,
mereka menyebutkan penghindaran persisten terhadap situasi tertentu dan peningkatan
kesadaran pada pasien. DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman, menghindar dan
kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari 1 bulan.
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress pascatraumatik
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini
terdapat :
1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau
kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri
atau orang lain.
2) Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
Catatan : pada anak anak hal ini dapat diekspresikan dengan prilaku yang kacau
dan terintegrasi.
B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut :
1) Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian,
termasuk angan pikiran atau persepsi. Catatan : pada anak kecil, dapat
menunjukkan permainan berulang dengan tema aspek trauma.
2) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
3) Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali.
4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

13

5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena
responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh
tiga (atau lebih) berikut ini :
1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang berhubungan
2)
3)
4)
5)
6)
D. Gejala

dengan trauma.
Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma
Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.
Perasaan terlepas atau asing dari orang lain
Rentang afek yang terbatas
Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
menetap adanya peningkatan kesadaran yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih)

berikut :
1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur
2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan
3) Sulit berkonsentrasi
4) Kewaspadaan berlebihan
5) Respon kejut yang berlebihan
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.
Sebutkan jika :
Akut : jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan
Kronis : jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih
Sebutkan jika :
Dengan onset lambat : onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stressor
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Stress Akut
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini
ditemukan :
1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau
kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas diri
atau orang lain.
2) Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau
horor.
B. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan,
individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
1) perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi

14

2) penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam keadaan


tidak sadar)
3) derelisasi
4) depersonalisasi
5) amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting
dari trauma)
C. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara berikut:
bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau suatu perasaan
hidupnya kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengna pengingat
kejadian traumatic
D. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (misalnya,
pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
E. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur,
iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang berlebihan,
dan kegelisahan motorik).
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain, menganggu kemampuan
individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang
diperlukan atau menggerakan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada
anggota keluarga tentang pengalaman traumatic.
G. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi
dalam 4 minggu setelah traumatic
H. Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang
disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan
Aksis I atau Aksis II dan telah ada sebelumnya.
Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku
menghindar, kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau riwayat trauma yang
dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik. Sebagian karena publikasi yang luas
dan telah diterima, istilah gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus
juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan atau berpura-pura.
PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSA
Gangguan stress pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu waktu setelah
trauma, dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dengan
berjalannya waktu dan mungkin paling kuat selama periode stress. Kira-kira 40% terus
15

menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah
atau menjadi buruk. Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi
gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi premorbide yang baik, dukungan sosial
yang kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan
dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia pertengahan.
DIAGNOSIS BANDING
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik dengan
kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma. Pertimbangan
organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi,
gangguan penggunaan alkohol dan gangguan yang berhubungan dengan zat lainnya.
Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang
sulit dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik sampai efek zat hilang.
Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru didiagnosis sebagai
gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat. Klinisi harus
mempertimbangkan gangguan stress pasca traumatic pada pasien yang menderita gangguan
nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan lain, dan gangguan mood. Pada umumnya,
gangguan stress pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental organik dengan
mewawancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala
sekarang ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan atau
berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit
dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi
bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat. Kemungkinan, anak kecil masih
belum memiliki mekanisme untuk mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma.
Demikian juga orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda,
kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu
mengadakan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma, terutama terjadi penurunan
darah, penurunan penglihatan, palpitasi dan aritmia. Tersedianya dukungan sosial juga
mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stress pascatraumatik. Pada
umumnya, pasien yang mendapat dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak menderita
gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parah.
PENATALAKSANAAN
16

Penatalaksanaan Gangguan Kecemasan khususnya Gangguan Stres Pascatrauma.


Terdapat tiga pendekatan terapeutik untuk mengatasi gejala berhubungan dengan kecemasan
yaitu :
1. Manajemen krisis
2. Psikoterapi
3. Farmakoterapi
Tujuan utama dari Manajemen Krisis adalah :
1. Peredaan gejala
2. pencegahan konsekuensi yang merugikan dari krisis tersebut untuk jangka pendek
3. Suportif (dukungan)
Psikoterapi
Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien ketakutan akan
pengalaman ulang trauma. Intervensi psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik
adalah terapi perilaku, terapi kognitif dan hypnosis. Banyak klinisi menganjurkan psikoterapi
singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan pendekatan kognitif dan
juga memberikan dukungan dan jaminan. Sifat jangka pendek dari psikoterapi menekan
risiko ketergantungan dan kronisitas. Masalah kecurigaan, paranoia, dan kepercayaan
seringkali merugikan kepatuhan. Ahli terapi harus mengatasi penyangkalan pasien tentang
peristiwa traumatic, mendorong mereka untuk santai, dan mengeluarkan mereka dari sumber
stress. Pasien harus didorong untuk tidur, menggunakan medikasi jika dilakukan. Dukungan
dari lingkungan (seperti teman-teman dan sanak saudara) harus disediakan. Pasien harus
didorong untuk mengingat dan melepaskan perasaan emosional yang berhubungan dengan
peristiwa traumatic dan merencanakan pemulihan di masa depan. Psikoterapi setelah
peristiwa traumatic harus mengikuti suatu model intervensi krisis dengan dukungan,
pendidikan, dan perkembangan mekanisme mengatasi dan penerimaan peristiwa. Jika
gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan psikoterapetik utama
dapat diambil. Pertama adalah pemaparan dengan peristiwa traumatic melalui teknik
pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan in vivo. Pemaparan dapat kuat, seperti
pada terapi implosif, atau bertahap. Seperti pada desensitisasi sitematik. Pendekatan kedua
adalah mengajarkan pasien metoda penatalaksanaan kognitif untuk mengatasi stress.
Beberapa data awal menyatakan bahwa, walaupun teknik penatalaksanaan stress adalah
efektif lebih cepat dibandingkan teknik pemaparan, hasil dari teknik pemaparan adalah lebih
lama.
Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga telah
dilaporkan efektif pada kasus gangguan stress pascatraumatik. Keuntungan terapi kelompok
17

adalah berbagi berbagai pengalaman traumatik dan mendapatkan dukungan dari anggota
kelompok lain. Terapi kelompok telah berhasil pada veteran Vietnam. Terapi keluarga
seringkali membantu mempertahankan suatu perkawinan melalui periode gejl ayagn
mengalami eksaserbasi. Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan jika gejala adalah
cukup parah atau jika terdapat risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya.
Farmakoterapi
Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat karena ditakutkan
akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif untuk meredakan anxietas.
1. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam perawatan
gangguan stress pascatrauma.
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Perubahan terutama terlihat untuk reexperiencing dan gejala hyperarousal daripada
penolakan. Yang juga menarik adalah penurunan rasa bersalah dari yang selamat.
Fluvoxamine tampaknya lebih efektif. Digunakan pula paroxetine sampai 60 mg
untuk 12 minggu. Disamping itu dapat pula dicoba dengan Trazodone, dosis sampai
400 mg/hari.
3. Benzodiazepin
Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum. Pada
gangguan benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan, sehingga pasien
menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka merasakan kecemasan tertentu.
Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode
terbatas, selama mana pendekatan terapetik psikososial diterapkan. Beberapa masalah
adalah berhubungan dengan pemakaian benzodiazepin dalam gangguan kecemasan
umum. Kira-kira 25 sampai 30 persen dari semua pasien tidak berespon, dan dpat
terjadi toleransi dan ketergantungan. Beberapa pasien juga mengalami gangguan
kesadaran saat menggunakan obat dan dengan demikian, adalah berada dalam risiko
untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin.
4. Obat-obat lainnya
Propanolol dan Clonidin, keduanya secara efektif menekan aktivitas noradrenergik,
telah digambarkan berguna dalam beberapa serial kasus terbuka. Selain itu juga
terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan dari alfa-agonis Guanfacine
pada wanita muda. Serotonergik dibandingkan antidepresan lainnya juga berguna
untuk kasus gangguan stress pascatrauma, sebagai contoh Buspirone. Dosis 60
mg/hari atau lebih dapat efketif, trauma untuk gejala hyperarousal. Sebagai tambahan,
18

Cyproheptadine (sampai 12 minggu saat tidur) dilaporkan berguna untuk melepaskan


mimpi buruk pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma. Dopamine blocker
juga dilaporkan berguna untuk beberapa kasus gangguan stress pascatrauma. Ada pula
yang melaporkan kegunaan Risperidone gangguan stress pascatrauma ditunjukkan
melalui kilas balik yang jelas dan mimpi-mimpi buruk. Naltrexone (50 mg/hari)
dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik pada pasien dengan gangguan stress
pascatrauma. Tetapi tidak terdapat controlled studies dengan opiat agenda pada
gangguan

stress

pascatrauma.

Thymoleptics-lithium

Ada

Carbamazepine

beberapa
dan

laporan

Valproat

mengenai

dalam

kegunaan

gangguan

stress

pascatrauma.
KECEMASAN AKIBAT KONDISI MEDIS UMUM
Kecemasan dapat berkaitan dengan banyak kelainan medis pasien. Gejala kecemasan
yang timbul pada pasien dapat berupa serangan panik, kecemasan menyeluruh, obsesifkompulsif, dan kondisi distress lain. Pada semua kasus yang terjadi, gejala-gejala yang timbul
berkaitan dengan efek langsung fisiologis dari kondisi medis pasien.
EPIDEMIOLOGI
Gejala kecemasan akibat kondisi medis umum merupakan kondisi yang umum terjadi
pada pasien, namun insidensi gangguan kecemasan tersebut bervariasi sesuai dengan kondisi
medis spesifik pasien.
ETIOLOGI
Terdapat banyak kondisi medis yang dapat mengakibatkan gejala yang menyerupai
gangguan kecemasan pada pasien. Kondisi tersering yang berkaitan dengan gangguan
kecemasan adalah hipertiroid, hipotiroid, dan defisiensi vitamin B12. Selain itu,
pheochromocytoma juga dapat menimbulkan episode paroksismal dari gejala kecemasan
karena produksi epinephrine. Beberapa lesi pada otak serta peradangan pada enchefalon juga
dikaitkan dengan timbulnya gejala yang identik dengan gangguan obsesif-kompulsif. Kondisi
medis lain seperti aritmia dapat menyebabkan gejala panik. Kondisi hipoglikemi juga dapat
menyerupai gejala gangguan kecemasan pada pasien. Gejala kecemasan yang ditimbulkan
berbagai kondisi medis tersebut diduga terjadi melalui mekanisme yang mempengaruhi
sistem noradrenergik, selain itu diduga pula adanya peran sistem serotonergik meskipun hal
tersebut masih dalam penelitian.
19

DIAGNOSIS
Diagnosis gangguan kecemasan akibat kondisi medis umum memerlukan adanya
gejala-gejala gangguan kecemasan. DSM-IV memudahkan klinisi untuk menspesifikasikan
apakah ganguan kecemasan tersebut ditandai oleh gejala kecemasan menyeluruh, serangan
panik, atau gejala obsesif-kompulsif.
Klinisi harus mencurigai diagnosis ini jika menemui adanya kecemasan kronik atau
paroksismal yang berhubungan dengan penyakit fisik yang diketahui dapat menyebabkan
gejala-gejala tersebut pada beberapa pasien. Adanya hipertensi paroksismal pada pasien yang
cemas dapat memberikan indikasi untuk pemeriksaan kondisi pheochromocytoma.
Pemeriksaan medis umum dapat menunjukkan adanya diabetes, tumor adrenal, penyakit
tiroid, atau kondisi neurologis.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala pada gangguan kecemasan akibat kondisi medis umum dapat identik
dengan gejala-gejala pada gangguan kecemasan primer. Sindrom yang menyerupai gangguan
panik merupakan gambaran klinis yang terbanyak, selain itu sindrom yang menyerupai fobia
juga merupakan gambaran klinis yang sering ditemukan pada pasien.

20

Serangan Panik. Pasien yang menderita kardiomiopati kemungkinan memiliki insidensi


tertinggi dari gangguan panik sekunder akibat kondisi medis umum. sebuah studi
menunjukkan bahwa 83% pasien dengan kardiomiopati yang menanti transplantasi jantung
memiliki gejala-gejala serangan gangguan panik. Hal tersebut diduga terjadi akibat
meningkatnya tonus noradrenergic pada pasien tersebut. Pada beberapa penelitian, sekita
25% pasien penyakit Parkinson dan PPOK memiliki gejala gangguan panik. Kondisi medis
lain yang berkaitan dengan gangguan panic adalah nyeri kronik, sirosis bilier primer, dan
epilepsi (terutama jika fokus epilepsy terletak di girus parahipokampus kanan).
Kecemasan Menyeluruh. Pasien-pasien dengan sindrom Sjorgen dilaporkan memiliki
prevalensi tinggi mengalami gejala-gejala gangguan kecemasan menyeluruh. Hal tersebut
kemungkinan terjadi akibat efek syndrome Sjorgen pada fungsi kortikal dan subkortikal serta
fungsi tiroid. Namun, prevalensi tertinggi terdapat pada pasien hipertiroid (Graves disease),
yaitu sekitar duapertiga dari semua pasien memiliki gejala-gejala gangguan kecemasan
menyeluruh.
Gejala Obsesif-kompulsif. Beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan antara gejala
gangguan obsesif-kompulsif dengan Syndenhams chorea dan multiple sclerosis.
Fobia. Gejala-gejala fobia jarang terjadi meskipun sebuah studi menunjukkan prevalensi
sebesar 17% gejala fobia social pada pasien penyakit Parkinson.
DIAGNOSA BANDING
Kecemasan sebagai suatu gejala dapat terjadi akibat berbagai gangguan psikiatri
selain akibat gangguan kecemasan itu sendiri. Pemeriksaan status mental diperlukan untuk
mengetahui adanya gejala gangguan mood atau gejala-gejala psikotik yang dapat
mengarahkan ke diagnosis lain. Untuk menyimpulkan bahwa pasien mengalami gangguan
kecemasan akibat kondisi medis umum diperlukan adanya ketelitian dan kecermatan klinisi
terhadap kondisi pasien. Pada kondisi tersebut, pasien harus memiliki gejala kecemasan yang
jelas sebagai gejala predominan dan harus memiliki penyebab gangguan medis nonpsikiatri
yang jelas pula. Untuk lebih memastikan kondisi medis tersebut sebagai penyebab
kecemasan, klinisi harus mengetahui apakah kondisi medis tersebut memiliki keterkaitan
yang erat dengan gangguan kecemasan di literature yang ada. Selain itu, onset usia (gangguan
kecemasan primer biasa terjadi sebelum usia 35 tahun) dan riwayat keluarga pasien dengan
gangguan kecemasan dan kondisi medis umum yang relevan (contoh: hipertiroid) harus
diperhatikan. Selain itu, diagnosis gangguan penyesuaian dengan gejala kecemasan juga
harus dipertimbangkan sebagai diagnosa banding.
21

PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS


Gejala gangguan kecemasan yang tidak pernah mengalami

remisi

dapat

mempengaruhi dan mengganggu setiap aspek kehidupan pasien termasuk aspek sosial,
pekerjaan serta fungsi psikologis. Peningkatan kadar kecemasan pasien secara tiba-tiba akan
mendorong penderita untuk meminta bantuan medis atau psikiatrik lebih cepat dibandingkan
jika onsetnya terjadi secara perlahan.
Pengobatan dengan menghilangkan penyebab medis primer dari kecemasan biasanya
dapat memulai perbaikan gejala kecemasan pasien secara jelas. Namun, pada beberapa kasus,
gejala gangguan kecemasan dapat berlanjut meskipun kondisi medis primer diobati (contoh:
pasien pasca ensefalitis). Beberapa gejala, terutama gejala gangguan obsesif-kompulsif, dapat
berlangsung lebih lama dari gejala-gejala kecemasan lain. Jika gejala kecemasan tetap terjadi
meskipun pengobatan kondisi medis umum telah maksimal pada periode tertentu, maka
gejala sisa tersebut harus ditangani sebagai kodisi primer, yaitu dengan psikoterapi,
farmakoterapi atau keduanya.
TATALAKSANA
Pengobatan primer untuk gangguan kecemasan akibat kondisi medis umum adalah
dengan mengobati kondisi medis yang melatarbelakangi kondisi kecemasan tersebut. Jika
pasien juga memiliki riwayat ketergantungan alkohol atau zat tertentu, maka hal tersebut juga
harus ditangani untuk mengontrol gejala gengguan kecemasan pada pasien tersebut. Jika
dengan menghilangkan kondisi medis primer tidak memperbaiki gejala gangguan kecemasan
pasien, tatalaksana gejala-gejala tersebut harus mengikuti pedoman tatalaksana untuk
kelainan mental spesifik yang mungkin terjadi pada pasien tersebut. Secara umum modalitas
tatalaksana yang paling efektif adalah dengan pemberian agen anxiolitik, modifikasi tingkah
laku, dan antidepresan serotonergik.
GANGGUAN KECEMASAN YANG DIINDUKSI OLEH ZAT
Gangguan ini merupakan akibat langsung dari suatu bahan toksik, berupa
penyalahgunaan obat, pengobatan, keracunan, alcohol, dll.
EPIDEMIOLOGI

22

Gangguan kecemasan yang diinduksi oleh suatu zat merupakan kondisi yang biasa
terjadi akibat konsumsi obat rekreasional ataupun akibat obat yang diresepkan oleh dokter.
ETIOLOGI
Terdapat beberapa zat yang dapat menimbulkan gejala kecemasan yang menyerupai
beberapa gangguan kecemasan pada DSM-IV-TR. Zat tersering yang dapat menimbulkan
gejala tersebut adalah zat-zat simpatomimetik seperti amfetamin, kokain, dan kafein. Selain
itu, berbagai obat serotonergik (contoh: LSD dan MDMA) juga dapat menimbulkan sindrom
kecemasan akut ataupun kronik pada penggunanya.
DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk gangguan kecemasan yang diinduksi oleh zat
memerlukan adanya kecemasan yang menonjol, serangan panik, obsesi, atau kompulsi.
Pedoman DSM-IV-TR memberikan gambaran bahwa gejala-gejala kecemasan tersebut harus
terjadi selama pengunaan zat atau dalam sebulan setelah berhenti mengkonsumsi suatu zat.
Namun, hal tersebut harus ditunjukkan dengan pemeriksaan yang menunjukkan adanya
hubungan antara pemakaian suatu zat dengan gejala kecemasan yang terjadi. Pemeriksaan
untuk menunjang diagnosis tersebut harus mencakup spesifikasi zat (misalnya, kokain),
spesifikasi kondisi pasien yang sesuai saat onset terjadi (misalnya: intoksikasi), dan
menunjukkan pola gejala yang spesifik dari penderita tersebut (misalnya serangan panik).

23

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis yang terjadi pada pasien kecemasan yang diinduksi oleh zat dapat
bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan oleh penderita. Bahkan penggunaan
psikostimulan dapat menimbulkan gejala gangguan kecemasan pada beberapa orang.
24

Gangguan kognitif dalam memahami, menghitung, dan memori dapat berkaitan erat dengan
gejala gangguan kecemasan. Namun, deficit kognitif tersebut biasanya bersifat reversible jika
penggunaan zat tersebut dihentikan.
Hampir semua orang yang alkoholik mengkonsumsi alkohol untuk mengurangi
kecemasan yang mereka alami (terutama kecemasan sosial). Namun sebaliknya, berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan bahwa efek alkohol pada
kecemasan dapat bervariasi dan dapat dipengaruhi secara signifikan oleh jenis kelamin,
jumlah alkohol yang dikonsumsi, serta budaya. Meskipun demikian, konsumsi alkohol dan
zat lain berhubungan dengan gangguan kecemasan. Pasien gangguan panik dengan konsumsi
alkohol berkisar sekitar 4 kali lebih besar dibandingkan populasi umum, 3,5 kali lebih umum
pada gangguan obsesif-kompulsif, dan sekitar 2,5 kali lebih umum pada gangguan fobia.
DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding kondisi ini adalah ganguan kecemasan primer, gangguan
kecemasan akibat kondisi medis umum, dan gangguan mood yang biasa disertai dengan
gejala kecemasan. Gangguan kepribadian dan kepura-puraan pasien (malingering) harus
dipertimbangkan sebagai diagnose banding.
PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS
Perjalanan penyakit dan prognosis pasien umumnya bergantung pada zat yang terlibat
dan kemampuan jangka panjang penderita untuk membatasi konsumsi zat tersebut. Efek
anxiogenik kebanyakan zat umumnya bersifat reversible. Jika gejala kecemasan tidak
menghilang dengan penghentian penggunaan obat tersebut, klinisi harus mempertimbangkan
kembali

diagnosis

gangguan

kecemasan

yang

diinduksi

oleh

suatu

zat

atau

mempertimbangkan kemungkinan bahwa zat tersebut mengakibatkan kerusakan otak yang


irrevesibel.
TATALAKSANA
Tatalaksana primer untuk gangguan kecemasan ini adalah dengan menghentikan
penggunaan zat penyebab. Tatalaksana selanjutnya adalah menemukan pengobatan alternatif
jika zat tersebut adalah obat yang digunakan untuk indikasi medis, membatasi paparan pasien
terhadap zat jika pasien terpapar melalui lingkungannya, atau mengobati gangguan lain yang
timbul akibat penggunaan zat tersebut. Jika gangguan kecemasan tetap berlanjut meskipun

25

penggunaan zat tersebut telah dihentikan, maka tatalaksana selanjutnya dari gejala gangguan
kecemasan tersebut adalah dengan psikoterapi atau farmakoterapi yang sesuai.
GANGGUAN KECEMASAN YANG TIDAK TERGOLONGKAN
Beberapa pasien dapat memiliki gejala-gejala gangguan kecemasan yang tidak dapat
memenuhi kriteria diagnostik gangguan kecemasan DSM-IV-TR, gangguan penyesuaian
dengan kecemasan ataupun campuran kecemasan dan depresi. Pasien-pasien dengan kondisi
tersebut lebih tepat diklasifikasikan sebagai penderita kecemasan yang tidak spesifik. DSMIV-TR memasukkan empat contoh kondisi yang sesuai untuk diagnosis tersebut. Salah satu
contohnya adalah gangguan campuran cemas dan depresi (anxiety-depressive disorder).

Gangguan Campuran Cemas dan Depresi (Anxiety-Depressive Disorder)


Ganguan ini mendeskripsikan pasien dengan gejala kecemasan dan depresi yang tidak
dapat memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan kecemasan ataupun gangguan mood.
Kombinasi gejala-gejala kecemasan dan depresi ini mengakibatkan timbulnya gangguan
fungsional pada pasien. Pada umumnya, terdapat kesulitan bagi klinisi di layanan kesehatan
primer ataupun klinik kesehatan mental untuk menentukan dan memperoleh riwayat
psikiatrik yang lengkap dari pasien ini. Padahal, hal tersebut sangat penting untuk
membedakan apakah gejala tersebut merupakan gejala depresi murni atau juga gejala
26

kecemasan murni atau bahkan campuran keduanya. Di Eropa dan Cina, kebanyakan pasien
dengan gangguan campuran cemas dan depresi didiagnosa sebagai neurasthenia.
Epidemiologi. Kejadian gabungan antara gangguan depresi mayor dan gangguan panik biasa
terjadi pada seorang pasien. Sekitar duapertiga dari seluruh pasien dengan gejala depresi
memiliki gejala kecemasan yang menonjol juga, sedangkan sepertiganya memenuhi kriteria
diagnostik gangguan panik. Peneliti melaporkan bahwa 20-90% dari semua pasien dengan
gangguan panik memiliki episode gangguan depresi mayor. Data ini menunjukkan bahwa
kejadian gabungan antara gejala-gejala depresi dan cemas (yang tidak memenuhi kriteria
diagnostik gangguan depresi ataupun cemas) cukup banyak terjadi pada pasien. Saat ini,
belum ada data epidemiologis formal untuk kelainan cemas dan depresi. Meskipun demikian,
beberapa klinisi dan peneliti memperkirakan bahwa prevalensi gangguan tersebut pada
populasi umum dapat mencapai 1-10% dan pada klinik kesehatan primer sekitar 50%.
Etiologi. Ada 4 hal prinsip yang mengarahkan adanya keterkaitan penyebab gejala-gejala
cemas dan depresi pada beberapa pasien.
1. Beberapa peneliti melaporkan bahwa terdapat kesamaan temuan neuroendokrin pada
pasien gangguan depresi dan gangguan kecemasan (terutama pasien episode panik).
Kesamaan

tersebut

berupa

buruknya

respon

kortisol

terhadap

ACTH

(adenocorticotopic hormone), respon hormon pertumbuhan terhadap klonidine


(catapres), serta respon TSH (thyroid-stimulating hormone) dan prolaktin terhadap
TRH (tirotropin-releasing hormone).
2. Beberapa peneliti juga menunjukkan
hiperreaktivitas

sistem

noradrenergik

data

yang

merupakan

mengindikasikan
penyebab

yang

bahwa

dikaitkan

berhubungan dengan pasien gangguan depresi dan gangguan panik. Secara spesifik,
penelitian

tersebut

menunjukkan

adanya

peningkatan

konsentrasi

metabolit

norepineprin berupa 3-methoxy-4-hydroxyphenyglycol (MHPG) pada urin, plasma


ataupun cairan serebrospinal (CSF) pasien-pasien gangguan depresi dan gangguan
panik. Seperti halnya gangguan kecemasan dan depresi lainnya, serotonin dan GABA
juga berkaitan erat sebagai penyebab gangguan campuran kecemasan dan depresi.
3. Penelitian menunjukka bahwa obat-obat serotonergik seperti fluoxetine (Prozac) dan
clomipramine (Anafranil) dapat memperbaiki keadaan pasien dengan gangguan
depresi ataupun cemas.
4. Beberapa penelitian familial melaporkan bahwa data yang diperoleh menunjukkan
adanya keterkaitan genetik pada pasien dengan gejala-gejala depresi dan cemas.
Diagnosis. Kriteria DSM-IV-TR memerlukan adanya gejala-gejala subsindromal dari cemas
dan depresi, adanya gejala-gejala autonom (tremor, palpitasi, mulut kering, dan sensasi tidak
27

menyenangkan di perut). Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa sensitivitas dari


praktisi kesehatan terhadap sindrom gabungan ini masih rendah sehingga hal tersebut dapat
juga merefleksikan bahwa label diagnostik untuk pasien juga dapat tidak tepat.

Gambaran Klinis. Gambaran klinis dari gangguan campuran cemas dan depresi merupakan
gabungan gejala-gejala gangguan kecemasan dan beberapa gejala gangguan depresi. Selain
itu, gejala-gejala hiperreaktivitas sistem saraf autonom (keluhan gastrointestinal, dll)
merupakan temuan umum yang sering pada pasien.
Diagnosa Banding. Diagnosis banding gangguan kecemasan ini adalah gangguan kecemasan
dan depresi lainnya serta gangguan kepribadian. Pada gangguan kecemasan, gangguan
kecemasan menyeluruh merupakan temuan yang sering menyerupai gangguan campuran ini.
Sedangkan pada gangguan mood, gangguan distimik dan gangguan depresi minor merupakan
kondisi tersering yang menyerupai gambaran gangguan campuran cemas dan depresi ini.
Selain itu, berbagai gangguan kepribadian seperti gangguan obsesif-kompulsif, dependent,
dan avoidan juga memiliki gejala-gejala yang mirip. Gangguan somatoform juga harus
dipertimbangkan sebagai diagnosa banding. Oleh karena itu, untuk menyingkirkan berbagai
28

diagnosa banding pasien tersebut diperlukan adanya riwayat psikiatrik, pemeriksaan status
mental, dan pemeriksaan terhadap gejala gangguan spesifik pada kriteria diagnostik DSM-IVTR.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis. Berdasarkan data klinis yang ada, pasien dapat
memperlihatkan gejala-gejala kecemasan yang menonjol atau gejala depresi yang menonjol
atau bahkan gabungan dari keduanya dengan onset yang seimbang. Prognosis untuk
gangguan ini tidak diketahui secara pasti.
Tatalaksana. Tatalaksana yang mungkin diberikan oleh klinisi tidak spesifik, sehingga hanya
berdasarkan gejala-gejala yang timbul, keparahan, dan pengalaman klinisi terhadap berbagai
modaitas terapi. Hal tersebut akibat tidak adanya penelitian yang pasti tentang tatalaksana
pasien dengan gangguan kecemasan campuran ini. Pendekatan psikoterapi yang diberikan
dapat berupa terapi kognitif, modifikasi tingkah laku, dll. Sedangkan farmakoterapi yang
dapat diberikan adalah obat-obat antianxietas, antidepressan, atau gabungan keduanya. Obat
antianxietas yang biasa diindikasikan adalah triazolobenzodiazepine (misalnya alprazolam
[Xanac]). Selain itu, obat-obat yang mempengaruhi reseptor serotonin 5-HT 1A seperti
buspirone (BuSpar) juga dapat diberikan. Sedangkan obat antidepresan yang biasa diberikan
adalah antidepresan serotonergik seperti Venlafaxin (Effexor). Obat tersebut, Venlafaxin,
merupakan antidepresan yang efektif dan telah disetujui badan pengawas obat dan makanan
(FDA) Amerika Serikat sebagai terapi depresi, gangguan kecemasan menyeluruh serta
menjadi drug of choice gangguan gabungan.
FOBIA SPESIFIK DAN FOBIA SOSIAL
Penelitian mengatakan bahwa fobia merupakan suatu gejala yang sering ditemukan .
Diperkirakan 5 sampai 10 % populasi menderita gangguan yang menggangu dan
menimbulkan ketidakerdayaan. Pendeita yang berhubungan dengan fobia bahwa jika
gangguan itu tidak dikenali maka itu dianggap sebaganggaun mental, dapat menyebabkan
gangguan psikiatri lain, termasuk, gangguan depresif, gangguan yang berhubbngan dengan
zat atau gangguan yang berhubungan dengan alcohol.
Suatu fobia adalah suatu ketakutan yang abnormal sehingga menyebabkan
penghindaran yang disadari terhadap objek, aktivitas atau situasi yang ditakuti. Sehingga
menimbulkan suatu ketakutan , ketegangan parah pada pasien yang terkena, yang mengetahui
adalah ini termasuk reaksi yang berlebihan.

29

Disamping agorofobia .Diagnostic and statistical manual pf mental disorder ( DSMIV) sehingga menyebutkan dua yaitu : fobia spesifik dan fobia social. Fobia spesifik
dikatakan fobia sederhana di dalam DSM edisi tiga ( DSM-III-R). Fobia social juga disebut
gangguan kecemasan social , ditandai dengan ketakutan yang berlebihan terhadap penghinaan
dan rasa ang memealukan, di dalam lingkungan. Tipe umum fobia sering kali merupakan
keadaan yang kronis yang menimbulkan keadaan yang ketidakberdayaan terhadap sebagian
besar situasi soial .
EPIDEMIOLOGI
Seperti yang dikatakan di atas , fobia adalah gangguan mental yang sering
ditemukan , walaupun sebagian besar orang fobik tidak mengunjungi klinisi karena fobianya
jika mereka dating intuk mendapatkan perhatian psikiatri atau medis.
FOBIA SPESIFIK
DEFINISI
Fobia spesifik merupakan penyakit kecemasan yang paling sering terjadi. Beberapa
fobia spesifik (misalnya takut binatang, kegelapan atau orang asing) mulai timbul pada masa
kanak-kanak. banyak fobia yang menghilang setelah penderita beranjak dewasa. fobia lainnya
(misalnya takut hewan pengerat, serangga, badai, air, ketinggian, terbang atau tempat
tertutup) baru timbul di kemudian hari. 5% penduduk menderita fobia tingkat tertentu pada
darah, suntikan atau cedera; dan penderita bisa mengalami pingsan, yang tidak terjadi pada
fobia maupun penyakit kecemasan lainnya.
Sebaliknya, banyak pendeita penyakit kecemasan yang mengalami hiperventilasi,
yang menimbulkan perasaan akan pingsan, tetapi mereka tidak pernah benar-benar pingsan.
Penderita seringkali dapat mengatasi fobia spesifik dengan cara menghindari benda atau
keadaan yang ditakutinya.
ETIOLOGI
Fobia spesifik dapat disebabkan dari pemasangan (pairing) objek atau situasi tertentu
dengan emosi ketakutan dan panik. Pada umunya, suatu kecendrungan tidak spesifik untuk
mengalami kecemasan dan ketakutan membentuk kelompok latar (backgroup); jika suatu
peristiwa spesifik (sebagai contoh, mengemudi) dipasangkan dengan pengalaman emosional
(sebagai contoh, kecelakaan), karena rentan terhadap asosiasi emosional permanen antara
mengemudikan kendaraan dan ketakutan atau kecemasan. Pengalaman emosional sendiri
dapat renponsif terhadap kejadian eksternal, seperti kecelakaan lalu lintas, atau kejadian
30

internal, paling sering adalah serangan panik. Mekanisme asosiasi lain antara objek fobik dan
emosi fobik adalah modeling, di mana seseorang mengamati reaksi pada orang lain (sebagai,
contoh, orang tua), dan pengalihan informasi, di mana seseorang diajarkan atau diperingatkan
tentang bahaya objek tertentu (contoh: ular berbisa).
o Faktor genetika. Fobia spesifik cenderung berada di dalam keluarga. Tipe darah, injeksi,
cedera cenderung memiliki kecendrungan keluarga yang tinggi. Penelitian melaporakn bahwa
duapertiga sampai tigaperempat penderita yang terkena memiliki sekurangnya satu sanak
saudara derajat pertama dengan fobia spesifik dari tipe yang sama.
GAMBARAN KLINIS
Fobia ditandai oleh kesadaran dan kecemasan berat jika pasien terpapar dengan situasi
atau objek spesifik. DSM-IV menekankan kemungkinan bahwa serangan panik dapat dan
sering kali terjadi pada pasien dengan fobia spesifik dan sosial, tetapi serangan panik, kecuali
kemungkinan

bagi

beberapa

serangan

pertama.

Pemaparan

stimulus

fobik

atau

memperkirakan hampir selalu meyebabkan serangan panik pada orang yang rentan terhadap
serangan panik (panic attack-prone person).
Temuan utama pada pemeriksaan status mental adalah adanya ketakutan yang
irasional dan egodistonik terhadap situasi, aktivitas, atau objek tertentu; pasien mampu untuk
menggambarkan bagaimana mereka menghindari kontak dengan situasi fobik. Depresi sering
kali ditemukan pada pemeriksaan status mental dn mungkin ditemukan pada sebanyak
sepertiga dari semua pasien fobik
DIAGNOSIS

31

PENATALAKSANAAN
Terapi yang paling sering digunakan untuk fobia spesifik adalah terapi pemaparan
(exposure therapy), suatu tipe terapi perilaku yang asanya didahului oleh Joseph Wolpe. Ahli
terapi mendesensitasi pasien, dengan menggunakan pemaparan stimulus fobik yang serial,
bertahap, dan dipacu diri sendiri. Ahli terapi mengajari pasien tentang berbagai teknik untuk
menghadapi kecemasan, termasuk relaksasi, kontrol pernapasan, dan pendekatan kognitif
terhadap gangguan. Pendekatan kognitif adalah termasuk mendorong kenyataan bahwa
situasi tersebut pada dasarnya adalah aman. Aspek kunci dari terapi perilaku yang berhasil
adalah (1) komitmen pasien terhadap pengobatan, (2) masalah dan tujuan yang diidentifikasi
dengan jelas, dan (3) strategi alternatif yang tersedia untuk mengatasi perasaan pasien. Pada
situasi spesifik fobia darah, injeksi, dan cedera, beberapa ahli terapi menganjurkan bahwa
pasien mengencangkan tubuhnya selama pemaparan untuk membantu menghindari
kemungkinan pingsan akibat reaksi vasovagal terhadap stimulasi fobik. Antagonis
adrenergik-beta dapat berguna dalam pengobatan fobia spesifik.
32

FOBIA SOSIAL
Fobia sosial merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya kecemasan
ketika berhadapan dengan situasi sosial atau melakukan performa di depan umum. Misalnya,
kecemasan muncul ketika menjadi pusat perhatian orang lain atau ada rasa takut akan dinilai
atau bertingkah laku memalukan. Kecemasan dapat pula menimbulkan gejala-gejala otonom
atau kognitif yang mirip dengan serangan panik. Individu selalu berusaha menghindari situasi
sosial yang membangkitkan kecemasan tersebut atau bila ia bertahan pada situasi tersebut
dapat terjadi ketegangan yang hebat atau serangan panik.
Fobia sosial cukup sering ditemukan dalam masyarakat. Prevalensi satu tahun
berkisar antara 1,7%-7,4% sedangkan prevalensi selama hidup sekitar 13,3%. Awitan mulai
biasanya pada awal remaja dan biasanya kronik. Dalam perjalanan penyakitnya, fobia sosial
sering berkomorbiditas dengan gangguan anksietas atau mud (mood) lain . Episode pertama
depresi sering didahului oleh fobia sosial. Selain itu, risiko menderita gangguan jiwa lain tiga
kali lebih sering pada penderita fobia sosial bila dibandingkan dengan kontrol . Ada dua
subtipe fobia sosial yaitu spesifik dan umum (generalized social phobia). Fobia sosial umum
dikaitkan dengan gangguan fungsi (pekerjaan dan sosial) dan kualitas hidup seperti
rendahnya pendidikan, penghasilan serta kurangnya dukungan sosial dan buruknya hubungan
perkawinan.
Meskipun dampak psikososialnya cukup besar, jumlah penderita fobia sosial yang
mencari pengobatan sangat sedikit bila dibandingkan dengan gangguan mud atau anksietas
lain (<20%). Cukup banyak penderita fobia sosial yang tidak dikenali dan tidak mendapat
pengobatan. Usaha mendapatkan kasus dalam masyarakat sering terhambat oleh wawancara
psikiatri yang sering hanya mencakup situasi sosial yang kisarannya sangat sempit atau hanya
pada kasus-kasus berat yang derajat hendayanya juga sangat berat. Kedua hal di atas
menyebabkan rendahnya prevalensi fobia sosial dalam masyarakat.
Gejala fobia sosial dapat berupa takut berbicara di depan umum atau di kelompok
kecil meskipun orang-orangnya sudah dikenal, takut makan di restoran, menulis di depan
umum, berbicara dengan orang asing atau baru, bergabung dengan kelompok sosial, atau
berhadapan dengan orang yang memiliki otoritas. Fobia sosial biasanya disertai dengan harga
diri yang rendah dan takut akan dikritik. Keluhan dapat berupa rasa malu (wajah merah),
tangan gemetar, mual, atau ingin buang air kecil, bila berhadapan dengan kelompok sosial.
Pasien cenderung menghindar dan pada keadaan ekstrim dapat terjadi isolasi sosial total.

33

KRITERIA DIAGNOSTIK

Aspek Biokimia
Pada subyek normal, biasanya konsentrasi norepinefrin

dan denyut jantung

meningkat beberapa menit pertama berbicara di depan umum dan setelah itu kembali normal
(paling lama 15 menit). Sedangkan pada penderita fobia sosial, peningkatan denyut jantung
jauh lebih tinggi dan kembalinya ke keadaan normal juga lebih lama.Peningkatan thyrotropi
releasing hormone (TRH) juga ditemukan pada
yohimbin (stimulansia)

pasien dengan fobia sosial. Pemberian

dapat meningkatkan anksietas dan juga dikaitkan dengan

peningkatan konsentrasi plasma MHPG - suatu hasil metabolit norepinefrin. Serangan panik
pada pemberian infus laktat atau inhalasi CO kepada pasien fobia sosial lebih jarang jika
dibandingkan dengan pasien dengan gangguan panik. Kafein tidak memprovokasi terjadinya
kecemasan pada pasien dengan fobia sosial. Pentagastrin dapat menginduksi serangan panik
pada fobia sosial dan kejadiannya hampir sama dengan yang ditemukan pada pasien dengan
gangguan panik. Dari data penelitian terlihat adanya persamaan dasar neurobiologi antara
fobia sosial dengan gangguan panik. Tidak ada perbedaan antara fobia sosial dengan kontrol
normal mengenai kadar kortisol urin dan dexamethasone suppression tes.
34

.
Sistem Dopaminergik
Kadar dopamin prefrontal diduga sebagai penyebab utama ekspresi anksietas. Enzim
catechol-o-methyltranferase

(COMT)

berfungsi

mengkatalisir

degradasi

dopamin.

Polimorfisme gen COMT menyebabkan substitusi metionin ke valine. Peningkatan aktivitas


allele valine dapat meningkatkan metabolisme dopamin dan meningkatkan risiko anksietas
fobik. Oleh karena itu, polimorfisme COMT dikaitkan dengan terjadinya anksietas fobik.
Perbaikan klinis setelah pemberian obat golongan monoamine oxidase inhibitor
(MAOI) menunjukkan bahwa terjadi defisiensi dopamin pada

fobia sosial. Selain itu,

pemberian MAOI juga lebih efektif bila dibandingkan dengan trisiklik. Hal ini menimbulkan
dugaan bahwa dopamin berperan pada fobia sosial. Dengan
computed tomography (SPECT)

single photon emission

terlihat penurunan densitas dopamin di striatum.

Pemeriksaan dengan magnetic resonance spectroscopy menunjukkan adanya penurunan


aktivitas energi seluler, neuronal, dan fungsi membran di daerah ganglia basalis. Terdapat
pula pengurangan ukuran putamen pada penderita fobia sosial (dilihat dengan magnetic
resonance imaging). Kedua regio ini kaya dengan dopamin.

Sistem Serotonin
Pelepasan serotonin dapat berefek anksiogenik atau

anksiolitik. Hal ini sangat

bergantung dari regio dan subtipe reseptor yang diaktivasi. Sebagian besar efek anksiogenik
dimediasi oleh serotonin 2A (5-HT 2A ) sedangkan anksiolitik oleh stimulasi 5HT 1A. Tikus
percobaan yang dirusak reseptor 5HT 1A nya memperlihatkan perilaku mirip anksietas
(anxiety- like behaviors). Tidak terlihat adanya perbedaan respons prolaktin terhadap
fenfluramin antara pasien dengan fobia sosial dengan kontrol
.
PENATALAKSANAAN
Gabungan psikofarmaka dengan psikoterapi lebih baik bila dibandingkan dengan
obat atau psikoterapi saja. Saat ini ada tiga jenis psikofarmaka yang dapat digunakan pada
fobia sosial yaitu: Monoamine Oxidase Inhibitors, Antidepresan SSRI dan Benzodiazepine
Monoamine Oxidase Inhibitors
Obat yang paling efektif untuk mengobati fobia sosial adalah MAOI. Beberapa obat
yang termasuk golongan MAOI antara lain iproniazide. Obat ini ditarik dari peredaran
karena toksik terhadap hepar. Tranylcypromine dan phenelzine juga ditarik dari peredaran
35

karena berinteraksi dengan tyramine (the cheese reaction) dan dapat menyebabkan krisis
hipertensi. Karena harus membatasi diet dan efek samping yang berbahaya, MAOI tidak lagi
menjadi pilihan. Enzim MAO memiliki dua bentuk isoenzim (A dan B) yang memetabolisme
neurotransmiter berbeda. MAO tipe A memetabolisme serotonin dan norepinefrin sedangkan
dopamin di metabolisme MAO tipe A dan B. Saat ini tersedia RIMA (reversible inhibitor of
monoamine oxidase A) yaitu obat yang juga memblok MAO tetapi bersifat reversibel.
Moclobemide (Aurorix) merupakan contoh golongan RIMA atau antidepresan yang
efektif untuk fobia sosial. Moclobemide merupakan suatu

substrat CYP 2 C 19 dan

menghambat CYP2C19, CYP2D6 dan CYP1A2 dan CYP 2D.Aktivitas enzim MAO kembali
baik dengan sempurna dalam 24-48 jam setelah dihambat oleh RIMA. Moclobemide
ditoleransi dengan baik dan pada pemakaiannya tidak perlu diet pembatasan tiramin. Obat ini
menjadi pilihan pertama (first-line treatment choice) untuk pengobatan fobia sosial.
Komorbiditas gangguan panik dengan fobia sosial juga dapat efektif diatasi dengan
moclobemide. Dosis moclobemide 450 mg/hari. Ia efektif dan aman. Efek samping yang
kadang-kadang (20% pasien) ditemui yaitu nyeri kepala, pusing, mual, insomnia dan mulut
kering. Moclobemide tidak menimbulkan ketergantungan. Mengganti moclobemide dengan
obat lain mudah atau dapat langsung tanpa menunggu jeda waktu. Dosis moclobemide mesti
dikurangi setengahnya jika digunakan dengan obat yang menghambat CYP2D6, misalnya
cimetidine. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hambatan metabolisme tiramin,
dianjurkan menggunakan moclobemide setelah makan. Insiden insomnia, disfungsi seksual
dan penambahan berat badan sangat jarang terjadi pada pemakaian moclobemide.
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)
Golongan SSRI seperti citalopram, fluvoxamine,

paroxetine, sertraline, menjadi

pilihan alternatif untuk fobia sosial; sebagian klinikus menyatakan bahwa SSRI merupakan
obat pilihan pertama. Karena pasien fobia sosial tidak memperlihatkan supersensitivitas
terhadap obat, seperti yang terlihat pada gangguan panik, dosis SSRI dapat dimulai seperti
dosis untuk antidepresan dan dititrasi berdasarkan respons klinik. Berikut beberapa SSRI
yang dapat digunakan untuk fobia sosial
Citalopram
Sekitar 86 % penderita fobia sosial berespons terhadap citalopram. Efeknya terlihat
setelah 12 minggu pengobatan. Citalopram (Cipram) merupakan salah satu SSRIs; dapat
diberikan oral dan intravena (iv). Absorbsinya tidak dipengaruhi oleh makanan. Konsentrasi
plasma puncak dicapai empat jam setelah pemakaian oral. Sekitar 80% citalopram dan dua
hasil metabolitnya yaitu demethylcitalopram (DCT) dan di demethylcitalopram (DDCT)
36

terikat pada protein serum. Ekskresi, sekitar 20%, dikeluarkan melalui ginjal.Citalopram
dimetabolisme menjadi

DCT,DDCT, citalopram-N-oxidase. Selain itu, ada juga asam

propionat inaktif yang berasal dari deaminasi citalopram. Citalopram ditemukan terutama di
dalam darah. Dibandingkan

metabolitnya, citalopram menghambat ambilan serotonin

delapan kali lebih kuat. Metabolisme terutama terjadi di hati. Waktu paruhnya 35 jam.
Klirensnya berkurang pada orang

tua.

Gangguan fungsi hati dapat mempengaruhi

metabolisme citalopram sehingga klirens turun menjadi 37% dan waktu paruh meningkat
dua kali lipat. Dosis 20mg/hari merupakan Dosis maksimum untuk pasien tua dan pasien
dengan

gangguan hati. Citalopram paling selektif dan paling kuat memblok serotonin.

Afinitasnya terhadap kolinergik muskarinik, histamin tipe 1(H 1 ), 1 2 , -adrenergik,


dopamin tipe 1(D 1 ) dan D 2 , serotonin subtipe 1a (5-HT 1A ), 5-HT 2A , dan GABA,
sangat kecil.
Pengaruh Terhadap Organ Atau Sistem
Sistem Pernafasan
Tidak ada efek buruk terhadap sistem pernafasan.
Sistem Kardiovaskuler
Tidak ada perubahan EKG dan tidak ada perubahan tekanan darah baik dalam keadaan
berbaring maupun berdiri. Pada uji klinik prapemasaran terdapat penurunan denyut jantung
1,7 kali per menit. Perubahan hantaran EKG terlihat pada dosis tunggal lebih dari 600 mg.
Darah
Tidak menimbulkan perdarahan. Ada dugaan bahwa obat- obat yang menghambat ambilan
serotonin juga menghambat agregasi trombosit yang dapat menimbulkan perdarahan pada
orang-orang yang cenderung menderita perdarahan.
Sistem Pencernaan
Citolapram cenderung menimbulkan mual. Keluhan mual juga ditemukan saat penghentian
obat (sekitar 4% penderita). Mual bersifat sementara dan sangat berhubungan dengan dosis;
dapat dikurangi risikonya jika meminum obat bersama makanan dan memulai pengobatan
dengan dosis rendah (10 mg). Dari sebuah uji klinik jangka pendek (6-8 minggu) dilaporkan
adanya penurunan berat badan sekitar 1,1 pon.

Mulut kering dan diare juga pernah

dilaporkan.
Kulit
Gatal-gatal dan kemerahan pada kulit pernah dilaporkan pada uji klinik prapemasaran.
Sistem Saraf Pusat

37

Pada uji klinik dilaporkan bahwa sekitar 8 % penderita mengalami tremor dan sekitar 2 %
merasakan pusing

sehingga mereka berhenti dari penelitian. Selain itu, juga pernah

dilaporkan adanya mengantuk dan berkeringat. Pada uji klinik prapemasaran juga ditemukan
adanya pengaruh disfungsi seksual yang sama dengan SSRI lainnya.
Interaksi obat
Interaksi dengan obat-obat lain sangat kurang. Hal ini karena pengaruhnya yang
minimal terhadap sistem isoenzim sitokhrom 450. Kemampuan menghambat isoenzim CYP
1A dan 2C19, 2D6, CYP 3A4 kecil. Walaupun demikian, interaksi dengan cimetidine dan
metoprolol dapat terjadi.

Cimetidine meningkatkan konsentrasi citalopram. Kombinasi

dengan MAOI berpotensi menimbulkan sindrom serotonin. Bila ingin mengganti citalopram
dengan MAOI atau sebaliknya, diperlukan waktu bebas obat selama 14 hari.
Dosis dan pemberian
Citalopram tersedia dalam bentuk tablet 20 dan 40 mg. Dosis anjuran untuk fobia
sosial adalah 40 mg per hari. Untuk pasien yang sensitif dengan citalopram atau SSRIs lain
hendaklah dimulai dengan dosis rendah yaitu 10 mg dan dinaikkan setelah 4 atau 6 hari.
Fluoxetine
Pada uji klinik terbuka didapatkan bahwa fluoxetine efektif untuk fobia sosial. Tidak
ada penelitian dengan kontrol saat ini. Fluoxetine diabsorbsi secara oral. Metabolisme utama
di hepatosit hati. Konsentrasi plasma maksimum dicapai setelah 6-8 jam pemberian (dosis 40
mg). Makanan tidak mengganggu penyerapannya. Sekitar 95% fluoxetine terikat dengan
protein serum (albumin dan 1 -asam glikoprotein). Distribusi fluoxetine sangat luas dan
terdapat dalam ASI. Fluoxetine didemetilasi dalam hati menjadi norfluoxetine dan beberapa
metabolit lain yang belum teridentifikasi.

Metabolit inaktif melalui metabolisme hati

dikeluarkan melalui ginjal. Waktu paruh eliminasi fluoxetine, setelah pemberian jangka
pendek, 1-3 hari dan setelah pemberian jangka panjang adalah 4-6 hari. Sedangkan waktu
paruh norfluoxetine lebih panjang yaitu 4-6 hari. Waktu paruh yang panjang, baik fluoxetine
maupun norfluoxetine, dapat menyebabkan interaksi farmakokinetik obat sampai beberapa
saat setelah obat dihentikan. Gangguan fungsi hati dikaitkan dengan gangguan metabolisme.
Waktu paruh pada pasien dengan gangguan fungsi hati meningkat menjadi rata-rata
7,6 hari dan norfluoxetine menjadi rata-rata 12 hari. Oleh karena itu, perlu penurunan dosis
pada pasien dengan gangguan hati. Metabolisme fluoxetine atau norfluoxetine dosis tunggal
tidak terganggu pada pasien dengan gangguan ginjal. Untuk pemakaian dosis berulang,
penelitiannya belum ada. Oleh sebab itu, diperlukan penurunan dosis pada pasien gangguan
ginjal
38

Kemampuan fluoxetine menghambat ambilan serotonin


dibandingkan dengan kemampuannya

23 kali lebih kuat bila

menghambat ambilan norepinefrin (NE). Afinitas

terhadap muskarinik kolinergik, histamine (H 1 ), adrenergik, 5-HT 1 atau 5-HT 2 kurang.


Afinitasnya juga kurang terhadap saluran ion sodium jantung sehingga pasien aman dari
toksisitas jantung. Tidak ada pengaruhnya terhadap aktivitas monoamine oxidase (MAO).
Fluvoxamine
Suatu uji klinik buta ganda yang membandingkan

fluvoxamine dengan plasebo

melaporkan bahwa setelah 12 minggu terapi dengan fluvoxamine (150 mg), 7 dari 15 pasien
fobia sosial mendapat perbaikan sedangkan dengan plasebo hanya 1 dari 15 pasien yang
mengalami perbaikan.

Absorbsinya tidak dipengaruhi oleh makanan dan konsentrasi

maksimal dicapai 3-8 jam setelah pemberian. Terikat dengan


albumin. Keberadaannya dalam ASI

protein serum terutama

tidak diketahui. Metabolisme terutama melalui

demetilasi oksidasi dan deaminasi di hepar. Metabolit utamanya asam fluvoxamine, kurang
kuat menghambat ambilan serotonin. Waktu paruh pada orang tua lebih panjang yaitu ratarata 17,4 hari (dosis 50 mg) dan rata-rata 25,9 hari untuk dosis 100 mg. Disfungsi hepar
menurunkan klirens 30%, tetapi gangguan

fungsi ginjal tidak menyebabkan penurunan

klirens.
Paroxetine
Uji klinik terbuka dengan dosis rata-rata 36,6 mg per hari,
penderita fobia sosial, menunjukkan

dilakukan terhadap

bahwa 15 dari 18 pasien mendapat perbaikan.

Paroxetine diabsorbsi secara oral dan tidak dipengaruhi oleh makanan. Konsentrasi sistemik
maksimum dicapai 5,2 jam setelah

pemberian; terikat kuat dengan protein serum.

Metabolisme paroxetine melalui oksidasi dan metilasi, tidak mengganggu metabolisme


phenytoin. Beberapa metabolit sudah diketahui. Kekuatannya hanya 1/50 obat aktifnya. Baik
penderita gangguan ginjal maupun gangguan hati hendaklah menggunakan dosis kecil (10
mg per hari). Paroxetine dapat

menghambat ambilan norepinefrin ke dalam membran

sinaptosal hipotalamus, tetapi dosis yang dibutuhkan 320 kali lebih tinggi bila dibandingkan
dosis untuk menghambat ambilan serotonin. Walaupun demikian, paroxetine adalah SSRIs
yang paling kuat menghambat NE bahkan lebih kuat daripada venlafaxine (suatu serotoninnoradrenergic reuptake inhibitor). Afinitas terhadap antikolinergik cukup bermakna dan
menimbulkan gejala mulut kering, konstipasi, mata kabur, dan gangguan buang air kecil.
Walaupun demikian, bila dibandingkan dengan amitriptilin, efek samping paroxetine jauh
lebih kecil. Ia tidak bekerja pada saluran sodium cepat jantung sehingga tidak menimbulkan
gangguan konduksi jantung. Paroxetine tidak menghambat aktivitas MAO. Pada orang tua,
39

dosis 20, 30, dan 40 mg dapat meningkatkan konsentrasi plasma sekitar 70-80 % lebih
tinggi. Gangguan ginjal dan hati dapat meningkatkan konsentrasi plasma. Oleh karena itu,
dosis awal mesti lebih kecil yaitu 10 mg per hari. Afinitas paroxetine terhadap 1 , 2 ,
adrenergik, D 2 , H 1 , 5- HT dan 5-HT 2 hampir tidak ada. Paroxetine mempunyai afinitas
kolinergik yang cukup signifikan, yang menyebabkan keluhan mulut kering, konstipasi, dan
mata kabur. Walaupun

demikian, bila dibandingkan dengan trisiklik, efek samping

paroxetine jauh lebih rendah. Paroxetine tidak aktif pada saluran ion sodium cepat jantung
sehingga tidak mengganggu efek konduksi jantung. Aktivitas MAO tidak dihambat oleh
paroxetine
Benzodiazepine
Benzodiazepine, seperti alprazolam dan clonazepam juga efektif untuk fobia sosial. Efek
samping benzodiazepin lebih ringan, mula kerjanya cepat tetapi responsnya kurang dan jika
obat dihentikan kekambuhan cepat terjadi. Pada gangguan panik, pada dosis terapeutik
toleransi jarang terjadi. Dosis awal dan terapeutik benzodiazepin untuk fobia sosial sama
dengan untuk gangguan panik.
Benzodiazepin pada Fobia Sosial
Alprazolam dapat digunakan rata-rata dosis per hari 1 mg. maksimum sekitar 3 mg
per hari untuk orang dewasa,. Rata-rata waktu paruh 6-20 jam. Obat
menimbulkan ketergantungan sehingga

ini berpotensi

penghentiannya dapat membangkitkan kembali

gejala awal penyakit. Selain itu, obat ini juga menimbulkan rasa kantuk di siang hari.
Meskipun relatif kurang menimbulkan toksisitas pada keadaan kelebihan dosis, penggunaan
bersama dengan
alkohol dapat fatal. Benzodiazepin lebih dianjurkan untuk menghilangkan anksietas berat
dalam penggunaan jangka pendek.
Terapi menghilangkan penyebab fobia sosial jauh lebih penting. Menurut penelitian,
hasil terapi lebih baik bila terapi obat dengan psikoterapi digabung. Terapi gabungan ini
dapat mempercepat kerja obat dan efek terapi dapat bertahan lama walaupun obat telah
dihentikan. Dengan kata lain, kekambuhan jarang terjadi bila farmakoterapi disertai dengan
psikoterapi. Salah satu psikoterapi yang efektif untuk fobia

sosial adalah Cognitive-

Behavioral Therapy (CBT)

40

GANGGUAN PANIK
Karakteristik dari panic disorder ini adalah serangan panik yang tiba-tiba dan diluar
dugaan.
KRITERIA DIAGNOSIS DSM-IV-TR
Adanya kekhawatiran yang persisten selama 1 bulan akan :
1. Akan mengalami serangan lagi
2. Konsekuensi dari tiap serangan
3. Perubahan perilaku yang signifikan yang berhubungan dengan serangan tersebut
Gejala dari serangan panik :
1. Palpitasi, jantung berdebar-debar, heart rate meningkat
2. Berkeringat
3. Gemetaran
4. Pasien merasa napasnya pendek
5. Rasa tercekik
6. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman pada dada
7. Mual atau tidak nyaman pada perut
8. Rasa pusing, kepala terasa ringan, kehilangan keseimbangan, atau bahkan pingsan
9. Derealisasi dan depersonalisasi
10. Ketakutan akan kehilangan kendali atau menjadi gila
11. Takut mati
12. Rasa kaku pada sekujur tubuh
13. Rasa kedinginan atau kepanasan yang tidak wajar
Biasanya panic disorder disertai dengan agoraphobia, atau juga bisa tanpa adanya
agoraphobia. Agoraphobia merupakan kelainan dimana seseorang merasa takut ketika berada
di tempat umum atau tempat terbuka, atau tempat

yang asing baginya. Dimana orang

tersebut memiliki ruang yang sedikit untuk bersembunyi ketika ada ancaman baginya.
Tempat yang aman baginya adalah dalam rumah, sehingga orang dengan kelainan seperti ini
takut untuk bepergian keluar rumah dan tetap berada dalam rumahnya.
Panic disorder lebih banyak diderita oleh wanita daripada laki-laki, mengingat bahwa
wanita lebih mudah mengkhawatirkan sesuatu daripada laki-laki. Dengan usia puncak pada
usia 30 tahun.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini tidak didapatkan adanya kelainan, hanya seperti
yang dijelaskan pada kriteria diagnosis, seperti jantung berdebar-debar dan napas yang lebih
cepat.
PATOFISIOLOGI
Ada banyak teori mengenai terjadinya panic disorder, diantaranya yaitu :
1. Dicurigai disebabkan oleh reseptor serotonin post sinaptik yang menurun
sensitivitasnya, sehingga efek serotonin yang seharusnya tidak dihasilkan.
41

2. Hipersensitivitas reseptor presinaptik alfa-2.


3. Adanya aktivitas dari locus ceruleus yang berakibat mengubah aksis hipotalamiopituitari-adrenal.
4. Adanya kelainan metabolisme laktat.
5. Menurunnya sensitivitas reseptor inhibitor, sehingga efek amin inhibitorik menurun.
6. Serangan dimediasi oleh pusat takut yang berada di amigdala, hipotalamus dan batang
otak. Lebih spesifik lagi, sistem corticostriatalthalamocortical (CSTC) yang
merupakan pusat kekhawatiran, berinteraksi dengan pusat takut di amigdala dan
menyebabkan panic disorder. Amigdala berproyeksi pada hipotalamus dan kemudian
menyebabkan gangguan pada fisik.
TATALAKSANA
Farmakoterapi
Digunakan SSRI sebagai first-line untuk pengobatan, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian trisiklik.
Fluoxetine (Prozac) dapat digunakan terutama apabila pasien juga mengalami depresi.
Mulailah dari pemberian dosis yang sangat rendah agar pasien tidak malah mengalami
anxietas.
Mirtazapine (Remeron) juga dapat digunakan namun memiliki efek sedatif yang dapat
dimanfaatkan untuk mengurangi gejala anxietas. Remeron bekerja sebagai antagonis alfa-2,
dengan demikian meningkatkan kadar norepinefrin dan serotonin sinaptik, juga memblok
beberapa reseptor serotonergik postsinaptik yang bisa memicu terjadinya anxietas saat
berikatan dengan serotonin.
Antidepresan sedatif seperti Paxil dan TCAs bisa diberikan saat malam sebelum tidur
untuk memperbaiki kualitas tidur pasien.
Bila simptom akut masih terus terjadi meskipun telah diberikan SSRI dan trisiklik,
pemberian benzodiazepine harus dipertimbangkan. Juga apabila ada kemungkinan terjadinya
serangan yang akan datang. Namun benzodiazepin tidak dianjurkan untuk pemberian jangka
panjang karena kemungkinan terjadinya ketergantungan.
Alprazolam (Xanax) dahulu banyak digunakan namun sudah ditinggalkan sekarang
karena efek jangka panjangnya. Alprazolam membutuhkan kenaikan dosis terus menerus bila
digunakan jangka panjang dan menyebabkan ketergantungan, selain itu waktu paruhnya juga
sangat singkat. Sekarang lebih banyak digunakan clonazepam karena efeknya yang lebih
menguntungkan dan efek ketergantungan yang lebih rendah.
SSRIs:
Fluoxetine (Prozac)
42

Dosis :
dewasa :
-

20-60 mg PO qd, dimulai dari dosis 10 mg (bila tanpa benzodiazepine) atau 20 mg


(bila dengan benzodiazepin).

Kontraindikasi :
-

Hipersensitivitas
Penggunaan MAOIs

Paroxetine (Paxil)
Dosis :
Dewasa :
-

10-40 mg PO qhs

Kontraindikasi :
-

Hipersensitivitas
Penggunaan MAOIs

Intermediate-acting benzodiazepines
Lorazepam (Ativan)
Bersifat sedatif hipnotik dengan onset efek pendek dan waktu paruh yang sedang.
Meningkatkan efek GABA.
Dosis :
Dewasa :
-

0,5-1 mg IV/IM atau 1-2 mg PO bid/tid


Untuk pasien lansia berikan setengah dari dosis diatas

Kontraindikasi :
-

Hipersensitivitas
COPD tingkat akhir
Gangguan hepar
Riwayat adiksi zat sedatif-hipnotik atau alkohol
Glaukoma sudut tertutup akut

Clonazepam (Klonopin)
Memiliki waktu paruh yang relatif lebih lama
Dosis :
Dewasa :
-

0,5-2 mg PO bid/tid

Kontraindikasi :
-

Hipersensitivitas
Penyakit hepar yang parah
43

Glaukoma sudut tertutup akut

Psikoterapi (Cognitive dan behavioral)


Dapat dilakukan bersamaan dengan farmakoterapi atau tanpa farmakoterapi (hanya
psikoterapi saja). Terapi kognitif akan membantu pasien untuk menyedari bahwa
ketakutannya selama ini tidak beralasan. Juga agar pasien mengubah cara pikir atau
pemahamannya yang salah sehingga menyebabkan dirinya panik. Terapi behavioral mungkin
cukup sulit bagi pasien, yaitu dengan memaparkan pasien pada hal yang membuatnya takut.
Dengan tujuan untuk desensitisasi pasien terhadap hal yang membuatnya takut (prinsipnya
sama seperti terapi alergi). Selama dilakukan kedua terapi ini juga diberikan terapi
pernapasan, dimana pasien diajarkan cara menenangkan diri saat mengalami serangan panik.
-

Perawatan sebelum MRS :


o Pasien diperiksa ulang dan ditenangkan lebih dulu.
o Segera bawa pasien ke pusat kesehatan untuk mengetahui apakah pasien
memang mengalami gangguan panik atau gangguan kesehatan yang memiliki

gejala mirip.
Perawatan di IGD :
o Segera tangani serangan akut dengan benzodiazepine.
o Benzodiazepine akan sangat membantu dalam menenangkan pasien dan
memberikan efek anti anxietas sehingga memberikan kepercayadirian bagi
pasien bahwa pengobatan selanjutnya memang bermanfaat dan mampu
menghilangkan kemungkinan adanya serangan selanjutnya.
o Konsultasikan dengan bagian psikiatri, kemudian lanjutkan dengan pemberian
SSRIs dan psikoterapi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo. (2009) Pedoman
Diagnosis dan Terapi, Edisi III, Surabaya: Airlangga University Press.
Kaplan, Sadock. (2010). Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis Edisi 10. Alih
bahasa: Widjaja Kusuma. Jawa Barat: Binarupa Aksara.
Maramis, Willy F, and Albert A. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press
Maslim, R. (2001). Buku Saku Rujukan Ringkas Pedoman Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III (PPDGJ III), cetakan pertama,.Jakarta: Nuh Jaya.
Maslim, R. (2007). Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik edisi ketiga.
Bagian ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya..
44

World Health Organization. (1992). The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural
Disorders, Clinical Descriptions and Diagnostic Guidelines. Geneva.

45

Anda mungkin juga menyukai