Anda di halaman 1dari 8

PENDIDIKAN GURU DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA

Oleh: BAEHAQI, MA*

A. Dasar Pemikiran
Karakter sebagai nilai-nilai khas kepribadian sesungguhnya telah ada
sebelum manusia berinteraksi dalam lingkungannya, baik melalui proses
pendidikan dan pengajaran maupun melalui pola interaksi di keluarga. Karakter
seperti ini disebut sebagai potensi diri; ia tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik,
dan memiliki mudhgoh (segumpal daging) yang bersih. Istilah karakter itu sendiri
menandai (to mark) lahirnya gaya hidup, sifat dan perilaku seseorang. Simon
Philips (2008) mereduksi makna karakter sebagai kumpulan tata nilai yang
menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang
ditampilkan. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter berkaitan erat dengan
kekuatan moral atau personality, sehingga mampu melahirkan a person of
character.
Kekuatan moral atau character strength secara langsung bersentuhan
dengan unsur-unsur psikologis, yaitu keinginan untuk mengembangkan
kekuatan-kekuatan insaniyah (kemanusiaan) dan tercermin ke dalam kualitas
keimanan (afektif), kapasitas daya nalar (kognitif) dan kecakapan praktis
(psikomotorik). Hal senada diungkapkan oleh J. Lyle Story, professor Regent
University menyatakan; even if you dont know what faith you are, knows. Your
concept of God, the afterlife, human nature, and more, and Belief will tell you
what religion (if any) you practiceor ought to consider practicing. Menurutnya,
iman, Tuhan, akherat, alam manusia, dan lainnya, dapat diketahui melalui latihan

Mahasiswa Program Doktoral Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif


Hidayatullah Jakarta

dan kebiasaan, melalui ilmu pengetahuan dan praktik amaliyah. Satu konsepsi
pembentukan karakter dalam alam pikiran Kristen.
Sementara konsepsi Islam tentang karakter lebih dekat kepada konsep
etika. Raghib al-Isfahani (2000) melalui teorinya ethical individual social egoism,
menyatakan bahwa etika Islam adalah motivasi moral. Maksudnya, pengejaran
perilaku moral individu tidak mesti mengorbankan perilaku moral etis sosial.
Etika Islam tidak hendak memasung otoritas individu untuk sosial sebagaimana
paham komutarianisme atau pengorbanan sosial untuk individu sebagaimana
paham universalisme.
Sedangkan dalam Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter
Bangsa (2010-2025) disebutkan, karakter secara koheren memancar dari hasil
olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau
sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok
orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran
dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.
Proses transformasi pengetahuan dan proses pembiasaan dalam
keluarga, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan, secara alamiah
membentuk watak seseorang menjadi bentuk kepribadian yang sulit untuk
merubahnya. Karena watak merupakan sifat-sifat kejiwaan yang menjadi ciri
khas seseorang atau sekelompok orang berdasarkan pengalaman hidupnya.
Maka muncul pertanyaan berikut; dari model keluarga seperti apa seseorang
dibesarkan, interaksi dengan siapa seseorang dalam pergaulan kesehariannya
dan proses pendidikan yang bagaimana seseorang itu menerimanya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut melahirkan sebuah asumsi dan analisis,
bahwa Islam sebagai falsafah hidup masyarakat muslim harus mampu
mengembangkan model pendidikan karakter yang bersumber dari doktin agama.

B. Pendidikan dan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter merupakan karya manusia yang sangat kompleks serta


berdimensi luas, dibutuhkan tahapan dan waktu yang cukup lama untuk
membangun sebuah bentuk pendidikan yang menyentuh berbagai sasaran potensi
diri manusia. Pendidikan karakter secara esensial, dapat mengarahkan cita-cita
keadilan dan kebebasan bagi individu untuk melakukan kebaikan sosial. Karena
pendidikan dibutuhkan dan didirikan dalam kerangka mentransmisikan etika
hidup Islami, sebuah pandangan moralitas agama yang mengarahkan manusia
untuk berbuat baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan
teratur.
Maka, basis acuan dalam merumuskan konsep pendidikan karakter dalam
Islam ialah QS. Rum (30): 30. Menurut Maragustam (2010), ayat ini dapat ditarik
benang merah bahwa bawaan dasar (fitrah) manusia dan proses pembentukan
karakternya dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1) fatalis-pasif (2)
netral-pasif (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif. Lebih lanjut Maragustam
menyebutkan pilar karakter dalam Islam, antara lain; Kepemimpinan. Memimpin
diri sendiri dan orang lain untuk menata dunia dalam tatanan moral merupakan
suatu keharusan dalam Islam; Taawun (tolong menolong), adil (hidup seimbang)
dan ihsan (berbuat lebih baik dan terbaik) dan kerjasama dalam menciptakan
tatanan dunia yang bermoral; Keteladanan. Pemimpin menjadi teladan bagi
orang yang dipimpinnya; dan Toleransi (tasamuh), kedamaian, dan kesatuan.
M. Baqir Shadr (1993) berpendapat, QS. Al-Rum (30):30 ini merupakan
pernyataan fitrah manusia dalam beragama, dan bahwa ciptaan Illahi tidak bisa
diubah. Agama bukanlah materi budaya yang diperoleh manusia sepanjang
sejarah. Agama adalah bagian dari fitrah suci manusia, karenanya manusia tidak
bisa hidup tanpanya.
Maka dasar pendidikan karakter dalam Islam adalah doktrin agama.
Karena karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan

adat istiadat. Tobroni (2009) mensinyalir karakter dapat diartikan sama dengan
akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa
atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak
dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa
yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku
yang baik.
Begitu pula karakter individu, identik dengan budi pekerti individu.
Individu yang berkarakter adalah individu yang berakhlak dan berbudi pekerti
baik. Pendidikan karakter sama halnya dengan pendidikan budi pekerti,
pendidikan akhlak/budi

pekerti bertujuan

membentuk manusia mandiri,

berakhlak, toleran, cerdas, memiliki visi kebangsaan, kreatif, inovatif dan


memiliki kemampuan sosialisasi. Dalam Curriculum Corporation (2003)
disebutkan bahwa pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai menjadikan
upaya

eksplisit

mengajarkan

nilai-nilai,

untuk

mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak

membantu

seseorang

dengan cara-cara yang

pasti.
Dalam upaya memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter tersebut,
Puskur

Pengembangan

dan

Pendidikan

Budaya

&

Karakter

Bangsa

mengidentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan


tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4)
Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin
Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai
Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca,
(16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab.
Tentunya, implementasi awal pendidikan karakter dapat dimulai dari
pendidikan keluarga. Keluarga adalah unit pendidikan terkecil dalam konteks
pendidikan

global,

tetapi

kemudian

keluarga

menjadi

penentu

bagi

keberlangsungan peradaban bangsa. Jika dalam sebuah keluarga telah terbina


sikap hidup keseharian yang baik sesuai dengan nilai-nilai agama, tertanam pola
interaksi berdasarkan norma-norma budaya (budaya Indonesia yang tenggang

rasa dan saling menghormati antar sesama), serta telah tumbuh kesadaran
bersama antara ayah, ibu dan anak dalam membangun jalinan komunikasi, maka
kemudian proses menuju terbentuknya karakter masyarakat Islam yang
berwawasan kebangsaan sudah memasuki tahap pembentukan awal.
Mudiyaharjo (2000) memandang model pendidikan seperti ini sebagai
pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal dan non
formal, dan informal di sekolah, dan di luar sekolah, yang berlangsung seumur hidup
yang bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar di
kemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat.

Dalam lingkungan keluarga Islami, anak-anak sejak kecil seharusnya


dicontohkan tentang sikap jujur dan adil (sidiq), cerdas dan kreatif (fathonan),
disiplin dan bertanggung jawab (amanah), berjiwa sosial dan toleran (tabligh).
Pendidikan seperti ini membutuhkan pembiasaan dan latihan secara serius dan
proporsional, sehingga cita-cita Islam sebagai sebuah ajaran dan sistem nilai dapat
melahirkan generasi Islam yang rahmatan lil alamiin, yaitu suatu generasi yang
menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, toleran, demokratis, menghargai
perebedaan-perbedaan dan sebagainya.
Keluarga harus menjamin kesejahteraan fisik anak (sandang, pangan,
papan, kesehatan dan pendidikan) serta kesejahteraan psikososial anak (anggota
keluarga terjamin jiwanya), yaitu melalui teladan-teladan dari orang yang lebih
dewasa, melalui cara pemecahan masalah dari orang yang lebih dewasa, melalui
komunikasi dialogis (mudzakarah) antar komponen keluarga, dan melalui
pembiasaan untuk bertindak baik (amal maruf nahyi munkar).
Berangkat dari konsepsi ini, Lev Semenovich Vygotsky dalam Berk (2003)
dalam teorinya sosiocultural theory mengemukakan bahwa "how cultures-values,
beliefs, customs and skills of social group is transmitted to the next generation".
Budaya yang terdiri dari nilai, kepercayaan, adat kebiasaan dan keterampilan
yang dimiliki oleh kelompok masyarakat, harus ditransmisikan kepada generasi
selanjutnya, yakni berupa dialog interaktif terhadap anak-anak dalam
membangun pola berfikir dan berperilaku.

Mengacu pada dasar filosofis di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang


yang didominasi oleh lingkungan keluarga yang lemah pembinaan etika nya
(given), maka karakternya akan lemah. Sehingga dalam komunitas sosialnya,
seseorang tersebut tunduk pada sekumpulan kondisi atau realitas-realita yang
suram (kering akan nilai-nilai etika Islami) dan ia tidak dapat menguasainya.
Sebaliknya, karakter yang kuat ialah bila seseorang yang tidak mau dikuasai oleh
sekumpulan realitas yang suram tersebut (given). Orang yang berkarakter
kemudian dapat membangun dan merancang masa depannya sendiri. Ia tidak
mau dikuasai oleh kondisi kodratinya yang menghambat pertumbuhannnya.
Sebaliknya ia bebas mengembangkan kesempurnaan kemanusiaannya.
Belum lagi jika model pendidikan dan pendidikan karakter tersebut
disentuhkan kepada realitas yang lebih makro, tentunya berpengaruh secara
signifikan terhadap pembentukan peradaban bangsa.
Maka yang perlu dipertahankan adalah, menjaga identitas diri
masyarakat Indonesia yang terbiasa santun dalam berperilaku, musyawarah
mufakat dalam menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan lokal yang kaya
dengan pluralitas, serta bersikap toleran dan gotong royong, mengutamakan
fakta dan data dibandingkan issue dalam mengambil keputusan, dan profesional
dalam menentukan pilihan. Sehingga, kecenderung akan hegemoni kelompokkelompok yang saling mengalahkan dan berperilaku tidak jujur dapat dinetralisir
tanpa harus menodai niali ukhuwah Islamiyah.
Terkait dengan hal ini, Lickona (2002) menjelaskan empat tahapan dalam
pendidikan moral yaitu, knowing (mengetahui secara detail dan faktual setiap
persoalan), reasoning (mengedepankan azas dialogis dalam mengambil
tindakan), feeling (mampu mengembangkan empati terhadap sesama) dan
acting (keputusan/perilaku yang adil untuk sesama). Konsep Lictona di atas
merupakan dasar teoritis dalam merumuskan pendidikan dan pendidikan
karakter di keluarga, di lembaga pendidikan dan di masyarakat.

Terlebih dalam praktik dialogis kegiatan belajar mengajar di sekolah, yang


secara sistematis target pencapaiannya telah diukur secara cermat dan matang.
Siswa telah dipersiapkan menjadi manusia yang benar-benar mengenal akan
potensi dirinya, siswa diajak untuk memahami tujuan dari kegiatan belajar dan
siswa diarahkan untuk menjadi pemimpin masa depan.
Konsep pendidikan karakter di sekolah sangat jelas banyak melibatkan
aspek-aspek interpersonal antara pendidik dan pebelajar. Hal tersebut dapat
memacu progresifitas perkembangan kognitif, apektif dan psikomotorik siswa
menuju ke arah yang lebih sempurna.
Keterikatan jenjang dan model pendidikan dalam sistem pendidikan
Indonesia menandakan bahwa persentuhan kasih sayang (humanity) melalui
aspek interpersonal menjadi begitu penting bagi siswa. Guru sebagai pendidikan
(educabile/memiliki kemampuan untuk mendidik) perlu memancarkan aura
keteladan dan cahaya pencerahan bagi pembentukan karakter siswa
(educable/memiliki potensi-potensi untuk di didik ). Sejalan dengan hal tersebut,
Karl Jesper menyatakan; "To be a man is to become a man", bahwa manusia
harus menjadi manusia ideal (manusia yang diharapkan, dicita-citakan, atau
menjadi manusia yang seharusnya).
Guru secara terus menerus membantu mengembangkan watak positif
siswa melalui serangkaian sikap teladan, intensifitas bimbingan, pendalaman
wacana dan khazanah informasi ilmu serta komunikasi dialogis yang berimbang.
Sejauh praktik-praktik tersebut dinisbahkan bagi penciptaan generasi
siswa yang multi potensi, maka menjadi suatu hal yang "mengasikan" jika tujuan
pendidikan karakter tepat sasaran.

Semoga sumbangsih pemikiran ini dapat mengilhami lahirnya generasi


bangsa yang berkarakter dan berbudi pekerti dari lembaga-lembaga pendidikan.
Wallahu alamu bi al shawwam.
Komentar: follow twitter @berita^petakaKU

Penulis:
Mahasiswa Program Doktoral Pengkajian Islam
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai