Anda di halaman 1dari 33

ABSES SEREBRI

I. PENDAHULUAN
Abses adalah suatu penumpukan material piogenik yang terlokalisir di dalam / di
antara parenkim otak. Abses ini dapat mengenai intraserebral dan intraserebelar, pada soliter
umumnya abses serebri adalah (monolokuler), tetapi adakalanya terdapat abses multilokuler
akibat emboli septic dari brokiektasis dan endokarditis. Kira-kira 10% abses serebri karena
infeksi primer oleh fraktur tulang tengkorak baik tertutup maupun terbuka, operasi
intrakranial, dan luka tembak. Kira-kira 75 % abses serebri karena penjalaran dari suatu
proses infeksi di tempat lain yaitu : otitis, mastoiditis dan sinusitis. Dan sangat jarang abses
serebri berasal dari osteomielitis tulang tengkorak dan infeksi gigi serta bagiaan lain di wajah.
Kebanyakan abses terletak di hemisfer serebri, kira-kira 20-30% berlokasi di serebelum,
pernah juga dilaporkan pada thalamus, tetapi belum pernah ditemukan pada batang otak.
Bakteri yang sering ditemukan dalam abses serebri adalah : streptokokus,
stafilokokus, pneumokokus, proteus dan E. coli. Kira-kira 75% abses serebri disebabkan oleh
bakteri tersebut diatas dan 25% sisanya disebabkan oleh mikroorganisme lainnya.
Kebanyakan abses mengandung salah satu bakteri, hanya 15% abses serebri yang
mengandung dua atau lebih kuman patogenik dan 20% dari abses tidak ditemukan kuman
penyebabnya atau disebut juga sebagai abses steril.
Abses serebri stafilokokus, biasanya berkembang dari penjalaran otitis media dan
fraktur kranii yang tidak tertangani dengan baik. Abses streptokokus dan pneumokokus
sering merupakan komplikasi dari paru-paru, otitis media dan trauma kapitis. Abses serebri
proteus dan E.koli sering berkembang dari otitis media dan mastoiditis. Pada pengamatan
secara perspektif, diperkirakan 5% dengan kelainan jantung kongenital terutama Tetralogi
Fallot dapat menyebabkan abses serebri, serta 60% terjadi pada anak-anak dengan bentuk
abses soliter.
Kebanyakan abses terletak di grisea alba, karena perdarahan di situ kurang intensif
dibandingkan dengan grisea nigra. Reaksi dini jaringan otak pertama kali kuman masuk,
berupa edema dan kongesti yang disusul dengan perlunakan dan pembentukan nanah, terjadi
proliferasi fribroblas disekitar pembuluh darah, astroglia juga ikut membentuk kapsul, jika
kapsul pecah, masuk ke ventrikel akan menimbulkan kematian.1.2

II. INSIDEN DAN FAKTOR PREDISPOSISI


A. INSIDEN
1

Abses serebri merupakan kasus yang relatif jarang. Angka kejadiannya dipengaruhi
oleh faktor predisposisi suatu populasi. Insidens abses otak saat ini mengalami penurunan
sejak kemajuan era antibiotika, hal tersebut memungkinkan pengobatan lebih dini secara
tepat terhadap infeksi primer dapat dilakukan.
Saat ini diperkirakan insiden abses serebri adalah 1:10.000 pada rumah sakit-rumah
sakit di negara industri seperti di Amerika, sedang di negara-negara sedang berkembang,
insiden abses serebri masih sering ditemukan, hal ini merupakan masalah yang serius yang
harus

dipikirkan,

mengingat

kondisi

sosial

ekonomi,

pendidikan,

budaya

yang

memungkinkan perbedaan pada tingkat populasi terhadap penyakit-penyakit yang menjadi


sumber primer serta pencegahan dan penanganan terhadap abses itu sendiri yang masih
sangat berkurang.
Dengan adanya perkembangan kasus acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
akan mendorong kenaikan jumlah pasien dengan infeksi fokal intrakranial.
Kebanyakan abses otak timbul pada empat dekade awal kehidupan. Hal ini dapat
dimengerti dengan seringnya penyakit otitis, sinusitis, luka terbuka kepala dan penyakit
jantung kongenital paling sering tejadi pada kelompok umur tersebut. Abses otak yang
disebabkan oleh penyakit jantung kongenital umumnya terjadi pada anak dengan usia lebih
dari tiga tahun. Abses otak pada anak dibawah usia dibawah dua tahun sangat jarang dan
kebanyakan terjadi pada infeksi citobacter diversus dan proteus pada neonatus.
Lokasi dari abses otak menunjukkan adanya hubungan dengan sumber infeksi
primernya, biasanya terdapat pada lobus frontalis dan temporalis, sedangkan pada lobus
parietalis, cerebellum, oksipital, thalamus lebih jarang ditemukan. Pada abses yang
disebabkan kelainan jantung, biasanya dapat ditemukan gambaran radiologis yang multipel
abses. 3,4,5,6

B. FAKTOR PREDISPOSISI
Pada populasi dengan status imunologik, higiene sanitasi yang jelek insiden abses
serebri akan meningkat. Pasien tersebut mempunyai resiko yang tinggi terhadap infeksi
oportunistik seperti jamur dan parasit. Kondisi lain seperti diabetes melitus, kemoterapi, obatobat imunosupresif, steroid, infeksi HIV, sirtikosis, juga merupakan faktor predisposisi untuk
dapat terjadinya abses serebri.
Pada penyakit jantung kongenital, atau adanya suatu kelainan malformasi
arteriovenosus paru juga dapat menyebabkan abses serebri. Hubungan dengan polisitemia,

mungkin oleh terbentuknya infark kecil multiple di otak, sehingga mendorong terjadinya
gumpalan debris dari aliran darah. 6,7

III. ETIOLOGI
Hasil isolasi dari jaringan otak yang terbanyak adalah streptokokus 60-70% kasus,
spesies bakteriodes 20-40% kasus, Enterobakter 20-35% kasus, Stafilokokus Aureus 10-15%
kasus, Stafilokokus pneumonia, Neiseria meningitides, Haemofilus influenza, kurang dari 1%
kasus. Sekitar 50% tidak ditemukan kuman penyebab.
Berdasarkan fokus infeksi primernya, pada infeksi telinga, abses paling sering pada
lobus temporal, pada infeksi sinus abses akan terjadi pada lobus frontal, pada kelainan paru,
jantung, infeksi abdominal, pelvis, osteomyelitis, abses biasanya multipel. Abses serebri juga
dapat disebabkan oleh infeksi cytomegalovirus (CMV) dan Human Immunodeficiency Virus
(HIV) sebagai infeksi oportunistik. 3,8
Abses otak dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru
sistemik (empyema, abses paru, bronkiektase, pneumonia), endokarditis bakterial akut dan
subakut dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada
substansi putih dan abu dari jaringan otak). Abses otak yang penyebarannya secara
hematogen, letak absesnya sesuai dengan peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri
media terutama lobus parietalis, atau cerebellum dan batang otak.
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS,
penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat menurunkan sistem
kekebalan tubuh. 20-37% penyebab abses otak tidak diketahui. Penyebab abses yang jarang
dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil, pustule kulit, luka
tembus pada tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septikemia. Berdasarkan
sumber infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus otak.
Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde thrombophlebitis melalui
klep vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal,
terletak superficial di otak, dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga
menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis
dapat menyebakan abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis maxillaris dapat
menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses
pada lobus frontalis. Infeksi pada telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus temporalis.
Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti

kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat
menyebar ke dalam serebelum.7,8
Penyebaran dari fokus infeksi ke otak dapat melalui:3
1. Infeksi penyebaran kontigious dari organ yang berdekatan
* Infeksi mastoid/telinga tengah
* Sinus paranasal (sinusitis frontal, etmoidalis, pansinusitis)
* Infeksi gigi (ekstraksi gigi, karies, penyakit periodontal)
* Osteomielitis/infeksi pada scalp
2. Penyebaran infeksi melalui hematogen
* Penyakit jantung sianotik kongenital penyebab tersering abses otak pada
anak (60%)
* Arteriovenous malformasi paru (sindroma Rendu-Osler-Weber)
* Infeksi paru (abses paru, bronkiektasis, pneumonia, empiema, fibrosis kistik)
* Endokarditis infeksi
* Sepsis intraabdomen
* Infeksi traktus urinarius
3. Infeksi yang berasal dari trauma kepala dan operasi prosedur bedah
* Adanya fragmen tulang yang tersisa atau benda asing resiko infeksi otak
* Luka yang terkontaminasi atau komplikasi luka di cranium pasca bedah

IV. PATOLOGI DAN PATOGENESIS


Pada stadium dini abses otak dapat terjadi serebritis fokal dengan infiltrat sel-sel
plasma dan sel polimorfonuklear serta di kelilingi limfosit dan petekiae. Bagian tengahnya
menjadi nekrosis dan terbentuklah abses. Pada stadium ini tepi abses berbatas jelas tanpa
kapsul. Bila lesi berlanjut, nekrosis makin hebat dan terbentuk pus. Terbentuk dinding yang
tipis dengan bertambahnya retikulin dan proliferasi kapiler dan selanjutnya terbentuk jaringan
granulasi. Pada proses kronis terjadi pengendapan kolagen dan terbentuklah kapsul yang
berbatas tegas.
Gambaran yang menonjol dari stadium pembentukan abses serebral adalah edema
disekelilingnya yang menyebabkan efek desak ruang. Edema berasal dari bocornya kapiler
yang berproliferasi pada jaringan granulasi.
Kecepatan dan kuantitas pembentukan kapsul dipengaruhi oleh virulensi dan macam
organisme, respon kekebalan penderita, pemberian antibiotik dan kortikosteroid.
Pembentukan kapsul dari fase serebritis memerlukan waktu lebih kurang 2-3 minggu.
4

Ada 4 fase pembentukan abses otak yaitu:


1. Fase serebritis dini, memerlukan waktu lebih kurang 3 hari terjadi pembentukan pusat
nekrosis, terisi sel-sel radang, batas edema masih sulit ditentukan.
2. Fase serebritis lanjut, memerlukan waktu 4 sampai 9 hari fibroblas (+), terjadi
peningkatan neurovaskuler di tepi daerah nekrotik.
3. Fase pembentukan kapsul dini, memerlukan waktu 10 sampai 14 hari terdapat resolusi
daerah serebritis dan penyusutan daerah nekrotik; makrofag dan fibroblas secara progresif
meningkat julahnya; mulai terbentuk kapsul yang mengelilingi lesi.
4. Fase pembentukan kapsul akhir, memerlukan waktu lebih dari 14 hari daerah pusat
nekrotik makin jelas terbentuk dikelilingi oleh daerah inflamasi, jaringan kolagen, dan
lapisan neurovaskular. 3,5
V. GAMBARAN KLINIS
Pada stadium awal gambaran klinik abses otak tidak khas, terdapat gejala-gejala
infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala peninggian tekanan intrakranial
berupa muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi
khas berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala infeksi, peninggian tekanan intrakranial
dan gejala neurologik fokal.
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala neurologik
seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai kesadaran yang menurun
menunjukkan prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke
dalam kavum ventrikel.
Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan mengecap
didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan hemianopsi komplit.
Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan
abses ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior
sehingga gejala fokal adalah gejala sensorimotorik.
Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan menyebabkan gangguan
koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang otak jarang sekali
terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal. 3,5,11
Gilroy membagi gejala gejala klinis abses serebri menjadi 4 macam: 11
1. Gejala yang timbul akibat pengaruh fokal mass yang meluas secara tiba-tiba
2. Gejala yang timbul hanya sebagai gejala neurologik fokal
3. Gejala yang timbul sebagai tanda kenaikan tekanan intrakranial yang cepat
5

4. Gejala yang timbul akibat destruksi otak yang menyeluruh

VI. DIAGNOSIS
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien dengan kasus abses otak,
yaitu:
1.

X-ray tengkorak, sinus, mastoid, paru-paru: terdapat proses suppurative.

2.

CT scan: adanya lokasi abses dan ventrikel terjadi perubahan ukuran.

3.

MRI: sama halnya dengan CT scan yaitu adanya lokasi abses dan ventrikel terjadi

perubahan ukuran.
4.

Biopsi otak: mengetahui jenis kuman patogen.

5.

Lumbal Pungsi: meningkatnya sel darah putih, glukosa normal, protein meningkat

(kontraindikasi pada kemungkinan terjadi herniasi karena peningkatan TIK).


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik, pemeriksaan
laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga untuk
melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh, mengingat keterlibatan infeksinya. Perlu
ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada,
riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga dapat dipastikan
diagnosisnya.
Pada anamnesis, keluhan utama dapat berupa mual, muntah dan sakit kepala yang
kadang disertai oleh demam dan pandangan kabur, yang berkembang dalam 2-3 minggu.
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental, derajat
kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga tanda rangsang
meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen. Pemeriksaan motorik sendiri
melibatkan penilaian dari integritas sistem musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya
gerakan abnormal dari anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau
tunggal.
Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu
pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peningkatan lekosit dan laju endap
darah. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan gambaran yang
normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa
dalam batas normal atau sedikit berkurang; kecuali bila terjadi perforasi dalam ruangan
ventrikel.
Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial, dapat pula
menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat
6

diidentifikasi adanya abses. Pada foto polos dapat ditemukan perkabutan daerah dorsum selae
yang menunjukkan adanya abses intraselae atau adanya kumpulan udara didalam kavitas, hal
ini diduga adanya produksi gas oleh kuman didalam abses. Pada bayi dan anak kecil
pelebaran sutura merupakan tanda non spesifik lain dari kenaikan tekanan intrakranial. Dapat
juga ditemukan perkabutan pada sinus para nasal atau mastoid, hal ini dapat dipikirkan
terhadap adanya sumber fokus primer yang dapat menyebabkan abses serebri.
Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam
hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta dengan
frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses.
Pnemoensefalografi penting terutama untuk diagnostik abses serebelum. Dengan
arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai
ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT scan. Dengan
scanning otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah abses
memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang normal dan biasanya
dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui lokasi abses juga dapat
membedakan suatu serebritis dengan abses.
Penggunaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dalam mendiagnosa abses serebral
mempunyai nilai lebih dimana dapat memberikan gambaran perbedaan yang tinggi antara
subtansia alba dan subtansia grisea. Pada binatang percobaan, MRI tanpa gadolinium
enhancement ternyata lebih sensitif untuk abses otak dengan signal yang lemah pada daerah
pusat yang dikelilingi dengan signal yang lebih tinggi. Sulit untuk membedakan daerah
jaringan reaktif dan formasi kapsul dari daerah edema, keduanya akan memperlihatkan signal
yang tinggi, sehingga untuk ini T2W lebih sensitif.
Dibandingkan dengan CT Scan, MRI dapat mendeteksi fase serebritis lebih awal,
walaupun keuntungan praktisnya sedikit, karena pasien jarang memperlihatkan gejala pada
stadium ini. Pada T1W, tampak daerah sentral yang hipointens yang berhubungan dengan
nekrosis sentral, dikelilingi oleh daerah tipis antara isointens hingga hiperintens yang
berhungan dengan kapsul, dengan daerah luar yang hipointens yang menunjukkan adanya
edema. Pada T2W, daeah sentral menjadi hiperintens, kapsul menjadi hipointens, dan daerah
edema menjadi hiperintens. Mekanisme hipointens kapsul pada T2W diduga karena relatif
sedikitnya cairan pada jaringan fibrous kapsuler atau efek paramagnetik akibat adanya
produk darah pada kapsul atau adanya radikal bebas yang dihasilkan fagosit pada daerah
tersebut. 5,8,10,12
Gambaran CT-scan pada abses :
7

Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.

Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis dari zona
central inflamasi.

Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis, hipervaskularisasi pada
batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini dapat terlihat gambaran ring
enhancement.

Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens (sentral abses)
yang dikelilingi dengan kontras ring enhancement (kapsul abses)
Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur diagnostik,

dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis abses serebri. Yang
perlu dipertimbangkan adalah walaupun gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak
menutup kemungkinan untuk didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma), infark,
metastasis, hematom yang diserap dan granuloma.8,9,10
Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma, metastasis) dari
CT scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk membedakan keduanya antara
lain : umur penderita, ketebalan ring (cincin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform,
diameter ring, rasio lesi dan ring. Pada kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul
subkortikal. Hal ini menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan
mengapa daughter abscess biasanya berkembang di medial.
Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang tersering
dari paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media di daerah perbatasan
massa putih dan abu-abu dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Sedangkan gambaran
glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed density tumor, ring enhancement yang
berlekuk-lekuk disertai perifokal edema yang luas. 9,12

Gambar 1. A. Early cerebritis pada CTScan; B. Gambaran abses serebri pada CTScan tanpa kontras; C. Gambaran abses
serebri pada CT-Scan dengan kontras

VII. DIAGNOSA BANDING 12


1. Tumor intrakranial
Abses orak dapat menyerupai tumor intrakranial (glioma, tumor metastase)
dimana keduanya memperlihatkan adanya defisit neurologi fokal dan progresif.
Tetapi adanya riwayat infeksi dan tampilan pada CT Scan biasanya dapat
membedakan keduanya.
2. Meningitis
Infeksi otak pada awalnya akan menimbulkan serebritis fokal yang menyerupai
meningitis dengan demam, sakit kepala, dan meningismus. Tetapi perkembangan
lengkap dari abses uumnya akan memperlihatkan adanya efek massa dengan tanda
fokal dan papiledema.
3. Subdural hematom kronik
Adanya riayat trauma tanpa adanya riwayat infeksi, serta gambaran yang khas
subdural hematom pada CT Scan atau MRI dapat membedakan keduanya.
4. Infark serebral
Infark serebral memiliki onset yang mendadak, dengan gambaran pada CT
Scanberupa triangular ataupun wedge shape, yang dapat dibedakan dengan ring
shaped pada suatu abses otak.
5. Tuberkuloma
Adanya riwayat infeksi tuberkulosis, disertai gambaran CT Scan dapat membantu
membedakan keduanya.
6. Perbaikan (Resolving) dari perdarahan serebral.

VIII. TERAPI DAN PENGELOLAAN


Secara umum penatalaksanaan abses otak terdiri atas terapi konservatif dan terapi
operatif, serta adanya pertimbangan khusus pada abses otak multipel.
A. Terapi Konservatif
Terutama dengan menggunakan antibiotika yang sesuai dengan organisme
penyebab berdasarkan kultur dan tes sensitifitas ataupun berdasarkan empiris.
Heinemann dan Braude, pada 1977, merupakan orang pertama yang sukses
menggunakan antibiotika selama 6 minggu tanpa pembedahan. Tingkat keberhasilan
terapi antibiotika pada abses otak adalah tinggi (74%), terutama bila terdapat lesi pada
fase serebritis dengan diameter kecil (kurang dari 3 cm) dan secara klinis stabil
dengan mortalitas 4%.
Pemilihan antibiotika tergantung pada sejumlah faktor, terutama adalah
organisme penyebab (Tabel 1). Maka, penting untuk mengambil sample langsung dari
abses sebelum antibiotika diberikan. Faktor lain adalah kemampuan menembus sawar
darah otak, kavitas abses, kapasitas antibiotika sebagai bakteridal atau bakteriostatik,
serta spektrum bakteriologinya. Adanya sawar darah otak membatasi masuknya zat
kedalam otak termasuk antibiotika. Inflamasi pada sawar darah otak akan
meningkatkan penetrasi berbagai zat termasuk antibiotika. Faktor lain yang
mempengaruhi pemberian antibiotika adalah pengaruh lingkungan abses pada
aktivitas antibiotika dan interaksi obat bila diberikan bersama dengan obat lain.
Sebagai contoh, aktifitas aminoglikosida akan menurun pada lingkungan abses yang
asam. 3,10

10

Tabel 1. Terapi antimikroba pada abses otak

(Tunkel, Brain abscess.Available from:URL. http://www.biomedcentral.com,2004)

Prinsip pemberian antibiotika : 12


1. Pilihan antibiotika awal (Bila kuman patogen belum diketahui, dan terutama bila
dicurigai

S.Aureus)

15mg/kg/8jam)

adalah

DITAMBAH

Vankomisin
sefalosporin

(dewasa

1gr/12jam

generasi

ketiga

IV,

anak

(ceftriaxone)

DITAMBAH metronidazol (dewasa 30mg/kg, anak 10mg/kg tiap 8 jam IV) atau
kloramfenikol (dewasa 1gr/6jam, anak 15-25mg/kg/6 jam).
2. Bila pada kultur tidak terdapat stapilokokus digunakan penisilin G dosis tinggi
(dewasa 5 M unit/6jam IV, anak 50.000-70.000 unit/kg/6jam IV)
3. Bila kultur menunjukkan hanya streptokokus dapat digunakan hanya penisilin G
dosis tinggi saja.
4. Bila kultur menunjukkan stapilokokus yang tidak Meticilin resistant staplicoccus
aureus (MRSA) dan pasien tidak alergi terhadap penisilin atau nafcillin, diganti
dengan nafcillin (dewasa 2gr/4jam IV, anak 25mg/kg/6jam IV.
5. Pada penderita AIDS organisme tersering adalah toksoplasma gondii, dan diterapi
dengan sulfadiazine + pyrimetamine.
Sebelum terdapat teknik isolasi dan kultur kuman, pemakaian antibiotika
adalah secara empiris berdasarkan kesadaran akan kondisi predisposisi dan dugaan
mekanisme patogenesis. Abses sinogenik yang disebabkan terutama oleh streptokokus
11

mikroaerofilik (terutama S.Milleri), sangat sensitif terhadap penisilin, tetapi resistan


terhadap metronidazol. Karena adanya organisme yang memproduksi beta laktamase
maka diperlukan suatu agen yang dapat melawan kuman anaerob obligat, seperti
metronidazol atau kloramfenikol. Abses otitik sering disebabkan campuran kuman
aerob dan anaerob, maka diperlukan antibiotika berspektrum luas sedini mungkin.
Kombinasi dari penisilin, metronidazol dan sefalosporin generasi ketiga dapat
memenuhi kebutuhan ini. Terapi tersebut dapat dimodifikasi setelah hasil kultur
tersedia, dan antibiotika yang tidak diperlukan dapat dihentikan. Rata-rata lesi dengan
ukuran 1.7cm memberikan respon yang baik terhadap antibiotika, sedangkan lesi
dengan ukuran lebih dari 2.5cm kurang berespon. Hal ini menjadi dasar anjuran untuk
melakukan drainase abses secara operatif pada abses dengan diameter lebih dari
3cm.3,10,12
Lama pemberian antibiotik sangat individual. Durasi minimal adalah 4 minggu
pada pasien yang akan menjalani eksisi, 4-6 minggu setelah aspirasi, dan 6-8 minggu
pada terapi konservatif. Antibiotika harus terus dilanjutkan bila enhancement kontras
tetap ada pada CT Scan serial. Apabila keadaan pasien memburuk atau tidak ada
perbaikan dalam 2 minggu terapi, terapi operatif harus dipertimbangkan. Terapi medis
akan berhasil bila : 3,12
1. Terapi dimulai pada fase serebritis (sebelum fase pembentukan kapsul lambat)
2. Lesi berdiameter kecil. Rata-rata diameter lesi yang dapat diterapi dengan
antibiotika adalah 0,8-2,5cm.
3. Gejala kurang dari 2 minggu.
4. Penderita menunjukkan perbaikan klinis pada minggu pertama.
Terapi konservatif dipertimbangkan bila :
1. Kandidat buruk untuk dilakukan operasi (dengan anestesi lokal, biopsi stereotaktik
dapat dilakukan pada hampir seluruh pasien dengan pembekuan darah yang
normal)
2. Multipel abses, terutama bila kecil.
3. Abses terletak pada lokasi eloquent, terutama pada hemisfer dominan.
4. Terjadi bersamaan dengan meningitis/ependymitis.
5. Adanya hidrosefalus memerlukan shunting yang diperkirakan akan terinfeksi pada
pembedahan.
Penggunaan

kortikosteroid

pada

abses

otak

masih

diperdebatkan.

Kortikosteroid memberikan keuntungan berupa berkurangnya edema otak, tetapi


12

memperlambat pembentukan kapsul yang berakibat meluasnya kerusakan jaringan


disekitar lesi yang mempengaruhi out come. Sehingga kortikosteroid hanya digunakan
untuk mengurangi efek massa atau edema yang dapat merupakan tanda adanya
ancaman herniasi yang akan menghasilkan defek neurologik.. Kortikosteroid
menurunkan enhancement dinding abses pada CT Scan. Sehingga adanya penurunan
ring enhancement pada penderita yang mendapat kortikosteroid jangan terlalu cepat
diinterpretasikan adanya resolusi dari abses yang mengindikasikan efektifitas terapi.
Perubahan pada volume abses lebih dapat dipercaya untuk mengevaluasi efektifitas
terapi.
Pemberian antikonvulsan dianjurkan selama 5 tahun pada seluruh pasien abses
serebral. Penghentian obat anti epileptik dapat dipertimbangkan bila pasien sudah
bebas dari kejang minimal 2 tahun setelah pembedahan atau pada EEG tidak didapati
adanya aktivitas epileptik. 4,5,12
B. Terapi Operatif
Manajemen operatif pada abses otak didasarkan atas 2 prosedur , yaitu aspirasi
dengan tuntunan stereotaktik (Gambar 4) dan komplit eksisi. Indikasi dilakukan
operasi adalah :
1. Adanya efek massa yang diakibatkan lesi yang tampak pada CT Scan
2. Sulit dalam mendiagnosis (Terutama pada dewasa)
3. Adanya kecenderungan terjadi ruptur intraventrikel.
4. Terbukti adanya peningkatan tekanan intra kranial.
5. Kondisi pasien memburuk (Hanya berespon terhadap nyeri, atau bahkan sama
sekali tidak berespon terhadap nyeri).
Intervensi operatif dilakukan pada pasien yang mendapat terapi konservatif
bila terdapat deteriorasi neurologis, perkembangan progresivitas abses ke arah
ventrikel, atau abses terus membesar setelah 2 minggu. Juga dipertimbangkan bila
tidak terdapat penurunan ukuran abses dalam 4 minggu. 4
Aspirasi (Gambar 2) memperlihatkan hasil yang baik pada sejumkah kasus.
Prosedur ini memungkinkan penetuan lokasi yang tepat dan dekompresi dari rongga
abses dengan kerusakan jaringan yang minimal. Manfaatnya tampak bila dilakukan
pada lesi yang dalam, pada daerah yang eloquent atau pada abses yang multipel.
Aspirasi juga dapat dilakukan dibawah anestesi lokal, sehingga dapat mengurangi
resiko operatif. Komplikasi akibat aspirasi adalah terjadinya perdarahan intrakranial,
yang sering terjadi pada abses dengan kapsul yang rapuh dan banyak mengandung
13

pembuluh darah. Sering terjadi pada pasien dengan penyakit jantung kongenital
sianotik. Pada fase serebritis, dimana suatu operasi terbuka dapat menimbulkan defisit
neurologik yang signifikan, biopsi jarum dapat menguntungkan untuk mendapatkan
jaringan sebagi sampel untuk biopsi.

Gambar 2. Aspirasi abses dipandu dengan


USG intra operasi.

Gambar 3. Drainase abses (A) Eksisi primer seluruh


abses termasuk kapsulnya. (B) Aspirasi pus burr hole.
(C) Evakuasi dari isi abses dengan visi langsung,,
menyisakan kapsulnya.

Gambar 4. Abses daerah ganglia basalis sebelum aspirasi. (A) Resolusi abses setelah 2 minggu.
(B) Setelah 3 minggu. (C) Setelah CT-guided aspiration dan antibiotik spektrum luas.

Eksisi abses (Gambar 3) juga memberikan hasil yang memuaskan pada


beberapa kasus. Abses paska trauma dengan adanya benda asing yang tertinggal,
hanya dapat dicapai dengan tehnik ini, karena penyembuhan hanya terjadi sesudah
benda asing tersebut dapat diambil secara lengkap. Kerugiannya adalah sulit
dilakukan pada abses yang letaknya pada daerah eloquent atau abses yang dalam, dan
sulit untuk dilakukan pada abses yang multipel. Pada kasus dimana terdapat abses
dengan adanya kebocoran LCS, diperlukan eksisi abses yang dikombinasi dengan
repair dari kebocoran tersebut. Young merekomendasikan setiap abses yang
mengandung udara harus dilakukan eksplorasi terbuka dengan perkiraan bahwa
keadaan ini merupakan akibat sekunder dari kebocoran LCS. Banyak ahli percaya
bahwa abses serebelar harus dieksplorasi melalui kraniotomi karena adanya kegagalan
14

pengobatan pada daerah ini dapat berakibat fatal. Pendapat lain menyatakan bahwa
metode eksisi ini mempersingkat waktu pengobatan dengan antibiotika setelah
operasi, dari 4-6 minggu menjadi 2-4 minggu.11,12
C. Manajemen pada Abses Otak Multipel
Abses otak multipel sering berasal dari infeksi sistemik yang merupakan
komplikasi penyebaran secara hematogen. Beberapa penulis menganjurkan untuk
menggunakan hanya antibiotika, beberapa menganjurkan agar dilakukan kombinasi
eksisi terbuka dengan aspirasi dan operatif. Mortalitas kasus abses multipel yang
diberikan terapi setelah adanya CT Scan adalah 8%, sehigga Mamelak dan Rosenblu,
memberikan 5 kesimpulan managemen abses otak multipel, yaitu :
1. Bila lesi > 2.5cm atau bila menyebabkan efek massa, harus dilakukan eksisi
atau lebih baik dengan aspirasi stereotaktis.
2. Bila seluruh lesi < 2.5cm dan tidak menimbulkan efek massa, maka dilakuka
aspirasi pada abses yang terbesar untuk identifikasi penyebab.
3. Antibiotik harus ditunda hingga diperoleh material patologis untuk kultur.
4. Antibiotik spektrum luas harus digunakan hanya hingga hasil kultur sudah ada
dan kemudian dapat digunakan antibiotika yang sesuai, dan harus diberikan
hingga minimal 6-8 minggu, bahkan hingga lebih dari setahun pada penderita
immunocompromised.
5. Paska operasi. Harus dilakukan observasi CT atau MRI mingguan atau kapan
saja bila terapat deteriorasi neurologik. Operasi harus diulang bila terdapat (a)
pembesaran abses 2 minggu setelah terapi, (b) terdapat kegagalan
pengurangan ukuran abses 4 minggu setelah antibiotika.

FOLLOW UP RADIOLOGI
Pada pasien dengan abses otak, penting untuk mengevaluasi resolusi abses secara
eadiologi. Umumnya follow up CT Scan mingguan diberikan selama penderita mendapat
terapi antibiotika dan 1 minggu setelah itu, diikuti dengan scan 1 bulan kemudian dan
kemudian tiap 2 bulan hingga dicapai proses resolusi lengkap. Resolusi ini umumnya
tampak pada CT Scan 2-3 bulan setelah terapi antibiotika. Resolusi lengkap rata-rata
tercapai pada 3-4 bulan. Enhancement kontras dapat tetap bertahan hingga 6-9 bulan.
Pada keadaan ini penting untuk disadari bahwa terapi tidak diperlukan lebih lanjut.3,10

IX. KOMPLIKASI4
15

1. Herniasi
2. Peningkatan tekanan intrakranial
3. Ruptur abses kedalam ventrikel
4. Meningitis purulenta

X. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari beberapa faktor yaitu virulensi kuman, status imunologi
seseorang, status kesadaran, jumlah lesi, lokasi lesi dan komplikasi yang terjadi, tingkat
kesadaran pasien abses serebri saat diagnosa ditegakkan serta kecepatan petugas kesehatan
dalam mendiagnosa dan penanganan.
Insiden gejala sisa abses serebri berkisar 30-55% paling sering berupa hilang fungsi
motorik, visual dan bahasa. Adanya gangguan kognitif, biasanya terjadi pada anak dibawah 5
tahun. Sedangkan gangguan perilaku lebih sering terjadi pada anak yang lebih besar. Abses
yang letaknya di daerah sensorimotor merupakan prediktor adanya gangguan neurologik dan
intelektual yang berat.
Insiden kejang kira-kira 35% yang berkembang menjadi epilepsi setengah sampai dua
pertiga akan terjadi pada tahun pertama setelah mengalami abses serebri (terutama yang
letaknya di daerah supratentorial).
Secara garis besar dapat disimpulkan hampir 50 % abses serebri mengalami gejala sisa,
25% dengan gejala sisa tapi dapat hidup normal, 10 % mengalami retardasi mental berat,
sisanya dengan defisit neurologist berat yang tidak mungkin dirawat di rumah. 4,7,11

16

TETRALOGY OF FALLOT
I. PENDAHULUAN
Tetralogy of Fallot (TOF) merupakan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik
tersering. Penyebab ToF tidak diketahui dengan pasti, namun kelainan yang terjadi
merupakan akibat dari kelainan embriogenesis. Kelainan embriogenesis ini, pertama kali
diuraikan oleh Niels Stenson tahun 1671 dan diberi nama Tetralogy of Fallot oleh Maude
Abbott pada tahun 1924, berupa malrotasi anterosefalad dari septum konotrunkal yang
mengakibatkan empat kelainan kardiovaskular yaitu RVOT yang sempit atau stenosis
pulmonal infundibular, aorta yang muncul tepat diatas septum ventrikel (overriding aorta),
defek septum ventrikel besar dan hipertrofi ventrikel kanan sebagai akibat dari beban tekanan
yang tinggi.13,14,15

Gambar 5. Malrotasi anterosefalad septum konotrunkal15

Tetralofy of Fallot (TOF) termasuk dalam penyakit jantung kongenital tipe sianotik
yang terdiri dari empat kelainan antara lain stenosis pulmonal infundibular, defek sekat
ventrikel, overriding aorta dan hipertrofi ventrikel kanan. Kompleks kelainan ini pertama kali
digambarkan oleh Fallot di tahun 1888.
Terdapat juga variasi lain dari TOF, yaitu TOF dengan atresia pulmonal dikenal dengan
trunkus arteriosus tipe IV atau pseudotrunkus, dengan insiden 20% dari seluruh pasien TOF.
Varian yang cukup jarang yaitu TOF tanpa katup pulmonal (3%) dan TOF dengan kanal
atrioventrikular (3%).16

17

Gambar 6. Tetralogy Of Fallot terdiri dari empat kelainan: (1)ventrikel septal defect perimembraneus
subaortic, (2) pulmonal stenosis, (3)overriding aorta, (4) hipertrofi ventrikel kanan. Terkadang sering
diikuti dengan defek septum atrium (5) dikenal sebagai pentalogy of fallot

II. PREVALENSI
TOF merupakan jenis penyakit jantung sianotik yang paling umum, dengan insiden
3,26 dalam 10.000 kelahiran hidup, atau sekitar 1300 kasus baru per tahun di USA. Proporsi
TOF dalam insiden penyakit jantung kongenital secara umum sekitar 3,5% sampai dengan
9,0%.16
Pasien TOF dengan pulmonal stenosis terdata 11,9 % mempunyai kelainan kromosom
(trisomi 21, trisomi 18, atau trisomi 13), 7,2 % merupakan sindrom (DiGeorge sindrom,
Allagille sindrom, Cat Eye sindrom, CHARGE, VATER/VACTERL), 2,1% mempunyai
kelainan multiple yang tidak bisa diklasifikasikan dalam satu sindrom tertentu, dan 11,4%
mempunyai kelainan tunggal defek organ yang lain. Sehingga hanya 67,8% dari seluruh
pasien TOF dengan PS yang tanpa disertai kelainan lainnya. TOF berhubungan dengan delesi
kromosom 22q11 yang diketahui sebagai penyebab sindroma velokardiofasial (sindroma
DiGeorge) yang mempunyai ciri ToF disertai anomali fasial dan aural, palatoschizis, dan
pertumbuhan yang lambat.14,16

III. PATOFISIOLOGI
Defek sekat ventrikel pada TOF umumnya berukuran besar, ukuran relatif konstan,
terletak subaorta pada sekat membranosa, dan ukuran defek dapat menjadi semakin besar
18

untuk menyeimbangkan tekanan ventrikel kanan dan kiri. Bedakan dengan defek sekat
ventrikel murni yang ukurannya dapat bertambah kecil dan dapat menutup secara spontan.16
Tingkat obstruksi aliran keluar sangat bervariasi, berkisar dari obstruksi amat ringan,
sampai stenosis pulmonal berat atau bahkan atresia pulmonalis. Sering juga disertai kelainan
pada katup pulmonal seperti hipoplastik annulus, kaku, lengket (fused) dan berkubah
(doming) yang memperberat stenosis pulmonalis. Spektrum hemodinamik pada ToF
tergantung oleh berat ringannya obstruksi RVOT, mulai dari yang ringan disebut pink tets
atau pink Fallot hingga yang paling berat adalah ToF dengan atresia pulmonal. Diantara
18% penderita TOF adalah tipe TOF dengan atresia pulmonal, pada jenis ini umumnya
timbul aliran kolateral dari aorta untuk memasok ke arteri pulmonalis maupun cabangcabangnya .14,17
Batang pembuluh pada overriding aorta umumnya besar sehingga pada beberapa
kasus sering disertai dengan aorta regurgutasi. Tingkatan aorta menumpangi (overriding)
sekat ventrikel sebanding dengan derajat keparahan obstruksi aliran keluar ventrikel kanan.
Pada bentuk yang ekstrem kedua arteri besar keluar dari ventrikel kanan memberikan
diagnosis yang berbeda yaitu double outlet right ventricel

(DORV) dengan stenosis

pulmonal.15
Sianosis adalah perubahan warna menjadi kebiruan pada kulit dan membran mukosa
karena adanya peningkatan konsentrasi penurunan hemoglobin. Sianosis menjadi nampak
dari klinis bila ada penurunan Hb di vena vena kulit mencapai level yang kritis yaitu 5 gr/100
ml.3 Sianosis tipe sentral terjadi karena adanya desaturasi dari darah arteri. Itulah sebabnya
pasien dengan TOF umumnya sianotik (biru) karena adanya pirau dari ventrikel kanan ke
ventrikel kiri sehingga terjadi desaturasi dari darah di ventrikel kiri yang akan diteruskan ke
sirkulasi sistemik. Pirau dari kanan ke kiri pada TOF terjadi karena adanya obstruksi secara
anatomik pada jalur keluar aliran darah dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis, sehingga
tahanan di ventrikel kanan melebihi tahanan di sirkulasi sistemik (ventrikel kiri) akibatnya
pirau mengalir dari ventrikel kanan ke kiri. Darah pada ventrikel kanan mempunyai kadar
saturasi O2 yang rendah yang berakibat darah di ventrikel kiri terkontaminasi oleh darah
miskin oksigen dari ventrikel kanan. 16,17
Derajat keparahan sianosis sangat dipengaruhi oleh volume aliran pirau dari kanan ke
kiri dan ini berbanding lurus dengan derajat obstruksi aliran keluar dari ventrikel kanan.
Pada beberapa kasus awal dimana obstruksi aliran keluar dari ventrikel kanan masih ringan,
sehingga sedikit pirau atau sama sekali tidak terdapat pirau dari kanan kekiri memberikan
19

gambaran Pink tetralogy of fallot pada neonatus, sebaliknya kadang justru timbul aliran dari
ventrikel kiri ke ventrikel kanan seperti pada kasus defek sekat ventrikel yang murni sehingga
terjadi oversirkulasi di sirkulasi pulmonal dan gagal jantung. Ini menjelaskan mengapa
seiring dengan bertambahnya usia juga disertai dengan penambahan derajat sianosis pada
penderita TOF ini. 17
Hipertrofi ventrikel kanan menjadi proposional dengan massa ventrikel kiri, untuk
menyeimbangkan tekanan antara kanan dan kiri.2 Aktivitas pada penderita seperti menangis
pada bayi akan menurunkan tahanan di sirkulasi sistemik yang akibatnya meningkatkan pirau
dari kanan ke kiri sehingga dapat memicu terjadinya hipersianotik secara tiba tiba.
Sebaliknya pada manuver manuver yang dapat meningkatkan tahanan sirkulasi sistemik akan
menurunkan aliran pirau tersebut sehinggga pada anak yang lebih dewasa posisi jongkok
(squatting) sangat membantu untuk mengurangi sianotik spell.
Salah satu mekanisme kompensasi pada pasien TOF adalah polisitemia. Kadar oksigen
yang rendah pada darah arteri merangsang sumsum tulang melalui pelepasan eritropoetin dari
ginjal untuk meningkatkan produksi sel darah merah. Dengan kondisi tersebut dapat
meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen.16,17

Gambar 7. Diagram alur penegakan diagnosis pada penyakit jantung bawaan sianosis. BVH,
biventricular hypertrophy; HLHS, hypoplastic left heart syndrome; L-R, left-to-right; LVH, left
ventricular hypertrophy; PA, pulmonary artery; PBF, pulmonary blood flow; PS, pulmonary stenosis;
PVOD, pulmonary vascular obstructive disease (or Eisenmenger's syndrome); RBBB, right bundle
branch block; RV, right ventricle; RVH, right ventricular hypertrophy; TAPVR, total anomalous
pulmonary venous return; TGA, transposition of the great arteries; TOF, tetralogy of Fallot; VSD,
ventricular septal defect 16
20

IV. MANIFESTASI KLINIS


Pada pasien TOF didapatkan adanya riwayat kebiruan, dimana kebiruan dapat dapat
timbul segera saat lahir apabila didapatkan adanya suatu atresia pulmonal, atau kebiruan
dapat timbul pada usia bulan pertama kelahiran.13,16 Pada pasien didapatkan adanya riwayat
kebiruan yang terlihat saat anak berusia 3 bulan, yang bertambah biru saat anak menangis,
didapatkan adanya riwayat sering jongkok bila anak kelelahan setelah beraktivitas.
Derajat sianosis menggambarkan derajat obstruksi aliran keluar dari ventrikel kanan
yang mungkin belum tampak pada neonatus. Terkadang pada infant dengan TOF masih
asimptomatik, derajat sianosis bertambah seiring dengan pertambahan usia. Tidak
mengherankan bila pada infant sering tidak disertai distress respirasi, gangguan makan, dan
kelemahan (letargi). Ini yang dikenal dengan pink tetralogy dengan sedikit atau sama sekali
tidak ada obstruksi aliran keluar ventrikel kanan, atau justru terjadi aliran pirau kiri ke kanan
yang menyebabkan oversirkulasi di sirkulasi pulmonal dan gagal jantung. Gagal jantung pada
infant dapat dikenali dari pernafasan bayi yang cepat, gangguan makan, berkeringat, terkesan
sangat capai dan berat badan tidak naik sesuai umur.14,15
Hipersianotik spell adalah gejala khas pada TOF. Anak ataupun bayi menjadi distress
tanpa alasan yang jelas, paling sering terjadi pada pagi hari. Dengan menangis anak menjadi
sulit didiamkan, hiperpneu dan semakin sianotik. Pemeriksaan auskultasi saat terjadi spell
sulit untuk terdengar bising karena adanya penurunan yang bermakna pada aliran keluar dari
ventrikel kanan. Posisi bayi dengan tumit ditekuk didekatkan dengan dadanya, seperti posisi
jongkok (squating), dapat mengurangi gejala. Bila spell tidak segera ditangani dapat
berakibat terjadinya penurunan kesadaran, dan terkadang kejang. Hipoksia yang ekstrem
dapat menyebabkan gangguan saraf permanen atau bahkan kematian.
Sianosis yang berlangsung kronik dapat memberikan tanda clubbing pada kuku jari
jari tangan dan kaki dan juga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan gangguan fungsi
kognitif pada anak. Clubbing terjadi karena adanya pertumbuhan jaringan lunak dibawah
kuku diduga karena adanya pirau dari kanan kekiri menyebabkan megakariosit dan
sitoplasmanya dapat masuk ke sirkulasi sistemik kemudian terjebak di kapiler kapiler jari
lalu juga melepaskan bermacam macam growth factor. Clubbing umumnya baru timbul
setelah anak berumur lebih dari 6 bulan dan awalnya terlihat di kuku ibu jari. Pada stadium
awal hanya muncul sebagai kemerahan dan mengkilat di kuku jari, namun kemudian menjadi
melebar dan mencembung.Gangguan fungsi kognitif terjadi akibat dari kronik sianosisnya.14
Infant dengan TOF dikenali secara dini karena terdengarnya bising pada auskultasi
baik dengan sianosis maupun tanpa sianosis. Bising ini terjadi karena adanya aliran turbulensi
21

pada jalur keluar dari ventrikel kanan. Khas bising pada TOF adalah bising yang kasar,
panjang, kresendodekresendo, ejeksi sistolik yang terbaik terdengar di upper left sternal
border. Bunyi jantung kedua umumnya tunggal, karena hanya melibatkan komponen
penutupan katup aorta. Bising khas tersebut dapat tidak terdengar bila dalam keadaan stenosis
pulmonal yang berat atau atresia pulmonal.17,18
Secara ringkas pemeriksaan fisik yang sering didapatkan pada pasien TOF adalah : 16

Sianosis pada mukosa mulut dan kuku jari tangan serta kaki.

Jari seperti tabuh (clubbing finger).

Aktivitas ventrikel kanan meningkat.

Auskultasi jantung :
a. Bunyi jantung dua umumnya tunggal.
b. Bising sistolik ejeksi PS terdengar di sela iga 2 parasternal kiri yang
menjalar ke bawah klavikula kiri.

PRESENTASI
SIANOSIS

KLINIS

MURMUR
GAGAL JANTUNG

SIANOSIS SPELL
PENYAKIT JANTUNG
BAWAAN

SHOCK

NYERI DADA
STRIDOR
GANGGUAN TUMBUH
KEMBANG

INFEKSI SALURAN NAFAS


BERULANG

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Elektrokardiografi
22

Elektrokardiogram menunjukkan deviasi sumbu kekanan (+120 sampai +150 derajat)


dan hipertrofi ventrikel kanan yang membesar seiring dengan pertambahan usia karena
pressure overload yang kronik. Bila terjadi pirau dari kiri ke kanan seperti pada pink
tetralogy atau pada patent ductus arteriosus yang besar atau bila terjadi aliran kolateral aortapulmonal yang banyak, dapat memberikan gambaran pembesaran atrium kiri dan hipertrofi
biventrikel.14,18
2. Foto Rontgen Thorax
Gambaran hasil foto rontgen dada pada bayi dengan TOF umumnya menunjukkan
ukuran jantung masih dalam batas normal disertai dengan pengurangan vaskularisasi paru
(oligemi). Tidak ada atau berkurangnya segmen batang arteri pulmonalis memberikan
gambaran jantung seperti bentuk sepatu (coeur en sabot), namun bisa juga tidak tampak pada
anak-anak dengan pembesaran timus. Pembesaran ventrikel kanan menyebabkan bayangan
jantung melebar kekiri dengan apex diatas diafragma (upward) pembesaran ini tidak seberapa
karena ventrikel kanan umunya hanya hipertrofi bukan dilatasi. Pengurangan vaskularisasi
paru memberikan gambaran foto yang lebih radiolusen dibanding paru normal. Aorta akan
tampak melebar, tetapi karena posisi aorta dibelakang sternum maka akan lebih jelas dengan
posisi LAO (left anterior oblique) atau RAO (right anterior oblique). Bila terjadi pirau dari
kiri ke kanan seperti pada pink tetralogy atau pada patent ductus arteriosus (PDA) yang besar
atau bila terjadi aliran kolateral aorta-pulmonal yang banyak, dapat memberikan vaskularisasi
paru yang justru meningkat (plethora).19
3. Ekokardiografi
Diagnosis prenatal TOF dapat ditegakkan melalui fetal ekokardiografi. Pada kelainan
defek conoventrikel yang besar, deviasi septum conal, dan overriding aorta dapat terlihat
sejak trisemester kedua dengan gambaran dua dimensi. Dari pemeriksaan doppler di duktus
arteriosus akan tampak aliran yang sebaliknya (aliran dari aorta ke pulmonal pada sirkulasi
fetal) jika ada obstruksi aliran keluar ventrikel kanan berat.18
Pada postnatal, pemeriksaan ekokardiografi dapat mengidentifikasi semua kelainan
anatomi pada TOF pada sebagian besar kasus. Kombinasi dengan color flow-doppler cukup
untuk menunjukkan struktur klinis dan fungsi guna merencanakan operasi perbaikan (repair)
maupun paliatif. Yang perlu dilihat dari pemeriksaan ini antara lain:19
a. Ukuran dan lokasi VSD termasuk defek restriktif walaupun kasus ini jarang
b. Lokasi dan ukuran jika ada VSD tipe muscular sehingga dibutuhkan operasi tutup
VSD

23

c. Level dari obstruksi aliran keluar ventrikel kanan, termasuk derajat stenosis
infundibular, dan derajat kelainan katup pulmonal.
d. Anatomi arteri pulmonal, termasuk kemungkinan hipoplasia dan stenosis pada batang
utama atau cabang proksimal arteri pulmonalis.
e. Ukuran dan kompetensi dari katup orta
f. Anatomi arteri koroner, terutama letak dari LAD (left anterior descending) koroner
atau cabang penting dari koroner kanan yang menyilang infundibulum.
g. Defek lain yang berhubungan seperti ASD dan PDA
h. Pemeriksaan Doppler dapat memperkirakan perbedaan tekanan yang melewati area
obstruksi.
4. Sadap Jantung
Pemeriksaan sadap jantung dilakukan untuk menilai konfluensi dan ukuran arteri
pulmonalis, ada tidaknya stenosis pada percabangan arteri pulmonalis atau di perifer, mencari
anomali arteri koroner, melihat ada tidaknya VSD tambahan, melihat ada tidaknya kolateral
dari aorta langsung ke paru.4 Pada pasien didapatkan pulmonary stenosis valvular &
infundibulum, LPA dan RPA konfluens dengan diameter RPA : 13 mm, LPA : 12 mm (HS :
10mm), arteri Coronaria normal dan MAPCAs (+).18

VII. KOMPLIKASI
a. Infeksi pulmonal
b. Gagal jantung
c. Emboli serebri
d. Endokarditis
e. Abses serebri
f. Polisitemia
Gagal Jantung17
Gagal jantung sering ditemukan pada penderita TOF yang tidak menjalani terapi
bedah. Umumnya terjadi pada penderita TOF usia dewasa, juga sering ditemukan pada usia
remaja. Penyebab gagal jantung multifaktorial, biasanya bergantung pada besarnya pirau
antara aorta dan arteri pulmonalis. Gagal jantung juga dapat disebabkan oleh terapi bedah
yang tidak tuntas atau kurang tepat. Beberapa hal yang sering menyebabkan gagal jantung
akibat terapi bedah adalah kerusakan septum ventrikal yang masih tersisa, kerusakan pirau
antara aorta dan arteri pulmonalis, tidak berfungsinya ventrikel kanan, gangguan otot septum
24

ventrikel, regurgitasi katup pulmonal dan trikuspid, hipertensi arteri pulmonalis, kerusakan
ventrikel kiri karena terganggunya aliran darah koroner, heart block, dan regurgitasi katup
aorta. Gagal jantung pada penderita TOF berkaitan erat dengan disfungsi miokard. Miokard
yang terkena tidak hanya di ventrikel kanan, namun dapat pula di ventrikel kiri akibat
hipoksia yang berlangsung lama. Selain itu gagal jantung bisa akibat polisitemia berat
menyebabkan trombo-emboli, oklusi koroner, berakibat iskemi atau infark miokard yang
dapat mencetuskan gagal jantung. Hipoksia berat menyebabkan disfungsi miokard berat.
Kondisi yang sering menyertai terjadinya gagal jantung adalah anemia dan endokarditis
bakterial. Pada kondisi anemia yang berat, gejala gagal jantung semakin terlihat.

Endokarditis
Kejadian endokarditis paling sering ditemukan pada TOF di antara semua penyakit
jantung bawaan sianotik. Penyebab tersering adalah streptokokus. Beberapa hal dapat
berkaitan dengan terjadinya endokarditis pada TOF. Faktor pertama yang penting adalah
struktur abnormal jantung atau pembuluh darah dengan perbedaan tekanan atau turbulensi
bermakna yang menyebabkan kerusakan endotel, yaitu mikrolesi pada endokardium, dan
pembentukan platelet, fibrin, trombus. Faktor kedua adalah bakteremia. Bakteremia dapat
terjadi karena mikroorganisme di dalam darah menempel pada mikrolesi sehingga
menimbulkan proses peradangan selaput endokardium. Gejala klinis endokarditis bervariasi.
Demam pada endokarditis biasanya tidak terlalu tinggi dan lebih dari satu minggu.
Anoreksia, malaise, artralgia, nyeri dada, gagal jantung, splenomegali, petekie, nodul Osler,
Roth spot, lesi Janeway, dan splinter hemorrhage dapat dijumpai. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan kultur darah yang positif atau terdapat vegetasi pada ekokardiografi.17,18

Abses serebri
TOF yang tidak dioperasi merupakan faktor predisposisi penting abses serebri.
Kejadian abses serebri berkisar antara 5-18,7% pada penderita TOF, sering pada anak di atas
usia 2 tahun. Beberapa patogen penyebabnya antara lain Streptococcus milleri,
Staphylococcus, dan Haemophilus. TOF bisa menyebabkan abses serebri karena hipoksia,
polisitemia, dan hiperviskositas. Dampaknya adalah terganggunya mikrosirkulasi dan
menyebabkan

terbentuk

mikrotrombus,

ensefalomalasia

fokal,

serta

terganggunya

permeabilitas sawar darah otak. Meningitis terjadi pada 20% anak TOF dan septikemia
terjadi pada 23% anak ToF. Umumnya abses hanya tunggal, bisa ditemukan abses multipel
walaupun jarang. Lokasi tersering di regio parietal (55%), lokasi lain yang sering adalah
25

regio frontal dan temporal. Abses multipel terutama ditemukan pada anak luluh imun
(immunocompromised) dan endokarditis.16
Pada abses serebri terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang tidak spesifik, seperti
nyeri kepala, letargi, dan perubahan tingkat kesadaran. Demam jarang ditemukan. Sering
muncul muntah dan kejang pada saat awal terjadinya abses serebri. Makin banyak terbentuk
abses, nyeri kepala dan letargi akan makin menonjol. Defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis, kejang fokal, dan gangguan penglihatan juga dapat muncul. Tanda lain defisit
neurologis adalah papiledema, kelumpuhan nervus III dan VI menyebabkan diplopia, ptosis,
hemiparesis. Perubahan tanda vital yang dapat terjadi adalah hipertensi, bradikardi, dan
kesulitan bernapas. Ruptur abses dapat terjadi, ditandai dengan perburukan semua gejala.
Pemeriksaan penunjang pemeriksaan darah tepi menemukan leukositosis dan LED
meningkat. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan CT-scan kepala atau MRI.16,18

Polisitemia dan Sindrom Hiperviskositas


Polisitemia pada TOF terjadi akibat hipoksemi kronik karena pirau kanan ke kiri. Hal
ini merupakan respons fisiologis tubuh untuk meningkatkan kemampuan membawa oksigen
dengan cara menstimulasi sumsum tulang melalui pelepasan eritropoetin ginjal guna
meningkatkan produksi jumlah sel darah merah (eritrositosis). Awalnya, polisitemia
menguntungkan penderita TOF, namun bila hematokrit makin tinggi, viskositas darah akan
meningkat yang dapat mengakibatkan perfusi oksigen berkurang sehingga pengangkutan total
oksigen pun berkurang, akibatnya dapat meningkatkan risiko venooklusi. Gejala
hiperviskositas akan muncul jika kadar hematokrit 65% berupa nyeri kepala, nyeri sendi,
nyeri dada, iritabel, anoreksia, dan dispnea.17

VIII. SIANOTIC SPELL

Definisi
Merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan serangan gelisah, menangis
berkepanjangan, hiperventilasi, bertambah biru, lemas atau tidak sadar dan kadang kadang
kejang, yang sering terdapat pada anak-anak dengan penyakit jantung kongenital sianotik.
Biasanya terjadi pada bayi usia 2-4 bulan.16,19

Patofisiologi

26

Sangatlah penting untuk memahami apa yang mengatur derajat sianosis dan aliran
darah ke paru pada pasien TOF, karena hal ini berhubungan dengan mekanisme dan
tatalaksana spell hipoksik pada pasien TOF. Karena VSD pada TOF cukup besar
menyebabkan tekanan sistolik yang hampir sama antara kedua ventrikel, RV dan LV dapat
dilihat sebagai satu ruangan yang mengalirkan darah ke paru dan sistemik.14

Gambar 8. Gambar konsep TOF14

Penurunan tahanan vaskular sistemik atau peningkatan tahanan pada jalur keluar
ventrikel kanan, akan meningkatkan pirau dari kanan ke kiri. Hipoksia yang terjadi akan
merangsang pusat pernafasan untuk hiperventilasi yang akan menyebabkan peningkatan
aliran balik vena sistemik. Dengan adanya stenosis pulmonal maka aliran pirau kanan ke kiri
melalui defek septum ventrikel akan semakin bertambah. Faktor-faktor pencetus terjadinya
sianotik spell ini antara lain kelelahan akibat menangis lama atau beraktifitas fisik berat,
demam, dehidrasi dan lain-lain.14,16,19

27

Gambar 9. Mekanisme spell hipoksik14

Gejala Klinis
Anak rewel dan gelisah, menangis lama, sianosis yang bertambah, sesak napas (cepat
dan dalam), bising jantung yang melemah. Pada serangan sianotik yang berat dapat terjadi
penurunan kesadaran, kejang, gangguan serebrovaskular, bahkan kematian.19

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ditujukan untuk memutuskan mata rantai patofisiologi terjadinya
serangan

sianotik.

Prinsip pengobatannya

adalah

mengurangi

konsumsi

oksigen,

meningkatkan pengikatan oksigen, dan mengurangi aliran pirau kanan kekiri dengan
mengurangi aliran balik vena sistemik.13,14,19
- Posisi lutut ke dada (knee-chest position).
Dengan posisi ini mengakibatkan terjadinya tertahannya darah dari vena bawah di kaki,
dengan demikian dapat menurunkan aliran darah balik. posisi ini juga dapat menyebabkan
meningkatnya tahanan vaskular sistemik.
- Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgbb IV untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnoe.
- Bikarbonat natrikus 1 mEq/kgBB IV untuk mengatasi asidosis metabolik
- Pemberian oksigen dapat meningkatkan saturasi oksigen
- Propanolol 0,01-0,25 mg/kgBB/dosis IV diberikan secara perlahan
28

- Vasokonstriktor seperti phenylephrine yang menyebabkan terjadinya SVR dan kenaikan


saturasi oksigen
- Ketamine mempunyai efek sedasi pasien dan juga meningkatkan SVR.

Gambar 10. Perubahan hemodinamik saat squatting (Jongkok)14

Langkah selanjutnya setelah spell teratasi:


1. Medikamentosa
Propanolol oral 0,5-1,5 mg/kgBB untuk mencegah serangan ulang sementara
menunggu terapi bedah. Deteksi dan terapi anemia relatif. Hindari dehidrasi.14,16
2. Bedah
2.1. Tindakan bedah paliatif
Dilakukan untuk meningkatkan aliran serta memperbesar diameter pulmonal. Setelah
pembuluh darah arteri pulmonal cukup setelah beberapa waktu maka dilakukan tindakan
bedah total koreksi. Indikasi untuk tindakan paliatif bervariasi antar institusi, beberapa
institusi melakukan tindakan bedah koreksi tanpa melalui bedah paliatif. Walaupun demikian
bila ditemukan beberapa keadaan seperti ini, tindakan paliatif (shunt) lebih dipilih
dibandingkan bedah koreksi: a)Neonatus dengan TOF dan atresia pulmonal, b) Infant dengan
hipoplastik annulus pulmonal, c) Anak dengan hipoplastik arteri pulmonal, d) Kelainan
anatomi koroner, e) Infant usia kurang dari 3-4 bulan dengan spell yang tidak terkontrol
dengan medikamentosa, f) Infant dengan berat badan kurang dari 2,5 kg.14,20

29

Gambar 11. Prosedur paliatif pada pasien dengan kelainan kantung sianotik dengan aliran darah paru
yang kurang14

2.2. Tindakan bedah total koreksi


Indikasi dan waktu operasi14
1. Saturasi oksigen kurang dari 75%-80% merupakan indikasi untuk dilakukannya operasi.
Adanya spell hipoksik merupakan indikasi untuk tindakan operasi.
2. Infant atau anak yang simptomatik yang mempunyai anatomi RVOT yang baik, serta
ukuran arteri pulmonalis kanan dan kiri cukup besar dan memenuhi kriteria yang diajukan
kirklin sesuai dengan berat badan, dapat dilakukan operasi pada usia 3-4 bulan, tetapi
sebagian besar menganjurkan tindakan elektif saat berusia 1-2 tahun.
3. Anak dengan sianotik yang ringan yang telah menjalani prosedur bedah paliatif (shunt
surgery) dapat dilakukan total koreksi 1 - 2 tahun setelah operasi paliatif.
4. Anak yang asimptomatik dengan kelainan koroner dapat dilakukan operasi setelah usia
satu tahun.

Gambar 12. Skema pendekatan pembedahan pada TOF14


30

Pada beberapa penelitian memperlihatkan indeks volume akhir diastolik ventrikel kiri
(LVEDVI) sebagai salah satu parameter yang digunakan untuk syarat dilakukannya operasi
total koreksi. Naito Y dkk mendapatkan bila LVEDVI > 30 ml/m2 dapat dilakukan tindakan
total koreksi, sedangkan Zhao dkk, dengan acuan yang lebih kecil yaitu LVEDVI >
20ml/m2.21,22

31

DAFTAR PUSTAKA
1. Adams RD,Victor M,Principle of Neurology.5th ed,Singapore,Mc Graw-hill
Inc,1993,Chap 32:612-6.
2. Mardjono,Sidharta,P.1978 Neurologi klinis Dasar,PT Dian Rakyat,Jakarta:320-1
3. Baxter J.D,DiNubile M.J.,Brain Abscess.In.William J.Weiner.Emegent and Urgent
Neurology.Philadelphia J.B Lippincott Company,1992,Chap 9:259-37.
4. Lindsay KW.,Neurology and Neurosurgry Illustrated, First Published, 1991:343-46
5. Ettinger MG.,Brain Abscess,in : Baker AB, Baker LH., Clinikcal Neurologi,Vol
2,Philadelphia,Harper and Row Publisher,Chap 25,1995 : 1-35.
6. Swaiman KF.,Pediatric Neurology Principle and Practice,Second Edition,ST Louis
Missouri.Mosby-Year Book Inc,1994 : 629-30.
7. Bell AB, Britton JA., Brain Abscess,in : Infection of the Central Nervous
System,Philadelphia,BC Decker Inc,1991 : 361-73
8. Youmans JR.,Neurological Surgery,Philadelphia,W.B Saunders Company,1996 :
3205-13.
9. Wispelwaey B,Daecey Jr,Sceld WM.,Brain Abscess

Infections of the Central

Nervous System,199 : 457-98.


10. Mann J.D.,Brain Abscess and Parameningeal Infection,Current Therapy in Neurology
Disseases,5 th Ed,1997 : 127-3.
11. Gilroy J.,Basic Neurology.Second Edition.Singapore.Mc Graw-Hill Inc,1992,Chap
16 : 217-37.
12. Setiawan.,Gangguan Gerak Karena Infeksi Susunan Saraf Pusat,Simposium
Gangguan Gerak,Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1990 : 43-62.
13. Apitz C, Anderson RH, Redington AN. Tetralogy of Fallot with Pulmonary Stenosis.
In: Anderson RH, editors. Paediatric cardiology, 3rd ed. Philadelphia: Elsevier; 2010.
p. 753-774.
14. Park MK. Cyanotic Congenital Heart Defects. In: Park MK. Pediatric Cardiology for
Practitioners, 5th ed. Philadelphia : Mosby elsevier, 2008.
15. Sadler TW. Cardiovascular System. In: Langman's Medical Embryology.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 223-274.

32

16. Siwik ES, Patel CR, Zahka KG . Tetralogy of Fallot. In: Allen HD, Gutgesell HP,
Clark EB, Driscoll DJ. Moss and Adams Heart disease in infants, children, and
adolescents. 6th Ed. Philadelphia, Wiliams & Wilkins, 2001: 880-901
17. Sharkey AM, Sharma A. Tetralogy of Fallot : Anatomic Variants and Their Impact
on Surgical Management. Semin Cardiothorac Vasc Anesth, 2012;16(2):88-96.
18. Keane JF, Flyer DC. Tetralogy of Fallot. Nadas Pediatric Cardiology. 2nd Ed.
Philadelphia: Henley & Belfus, 2006: 559-77
19. Bailliard F, Anderson RH. Tetralogy of Fallot Orphanet Journal of Rare Diseases
2009, 4:2
20. Jonas RA. Early Primary Repair of Tetralogy of Fallot, Journal of Pediatric Cardiac
Surgery Annual .2009.01-021
21. Naito Y, et al. Usefulness of left ventricular volume in assessing tetralogy of fallot
for total correction. Am J. cardiol, 1985 Aug 1;56 (4):356-9
22. Zhao K, et al. Staged procedurs versus primary repair for tetralogy of fallot and small
left ventricle. Heart Surg Forum. 2012 Feb;15(1):E37-9

33

Anda mungkin juga menyukai