Anda di halaman 1dari 5

A.

Apa

sanksi

yang

diberikan

pada

produsen

yang

melanggar

berdasarkan UU pangan
Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi
hukum. Sanksi hukum ini juga berlaku pada setiap orang yang melanggar UU
tentang pangan. Berikut ini adalah sanksi hukum yang diberikan pada para pelaku
pelanggaran UU pangan
a. Sanksi hukum pidana
Menurut R. Soesilo hukum adalah suatu putusan yang dijatuhkan oleh
hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum
pidana sesuai dengan UU yang berlaku. Hukuman dalam hukum pidana diatur
dalam pasal 10 KUHP yang terdiri atas:
1. Pidana pokok
-

Pidana mati

Pidana penjara

Kurungan

Denda

2. Pidana Tambahan
-

Pencabutan hak hak tertentu

Perampasan barang barang tertentu

Pengumuman putusan hakim

Pelanggaran hukum tentang pangan yang dimaksud diantaranya :


menimbun barang secara berlebihan, melakukan Produksi Pangan yang dengan
sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan yang dapat menghambat
proses penurunan atau kehilangan kandungan Gizi bahan baku Pangan,
penambahan BTM yang berlebihan, dan lain lain. Semua pelanggaran ini
diberikan sanksi dan ditulis secara jelas dalam dalam UU Pangan No 18 tahun
2012 pada BAB XV pasal 133-148

b. Sanksi hukum perdata


Hukum perdata adalah hukum yang mengatur individu dengan individu
atau yang mengatur hubungan perorangan. Pelanggaran dalam perkara perdata
baru akan di ambil tindakan setelah adanya pengaduan terlebih dahulu dari pihak

yang merasa di rugikan. Dalam hukum perdata sanksinya biasanya berupa


pemenuhan kewajiban (prestasi) atau ganti rugi.

c.

Sanksi administrasi/administratif
Sanksi administratif adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran

administrasi

atau

ketentuan

UU

yang

bersifat

administratif.

sanksi

administrasi/administratif yang tertulis dalam UU No 18 tahun 2012, yaitu:


-

Denda

Penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;

Penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;

Ganti rugi; dan/atau

Pencabutan izin.

Semua sanksi di atas disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan.


Artinya tidak semua sanksi administrasi dijatuhkan pada pelaku pelanggaran.
Sanksi yang diberikan dilihat dari seberapa berat tingkat pelanggaran yang
dilakukan, kemudian pelaku dijatuhi hukuman sesuai dengan UU.

B.

Bagaimana penerapannya dalam lingkungan pangan


Di Indonesia saat ini banyak terjadi permasalahan konsumen pada bidang

pangan khususnya, diantaranya yang paling mengkhawatirkan masyarakat adalah


kasus kasus tentang masalah penyalahgunaan bahan berbahaya pada produk
pangan ataupun bahan yang diperbolehkan tetapi melebihi batas yang telah
ditentukan. Walaupun sudah terdapat UU pangan yang mengatur tentang pangan,
namun masih saja terdapat pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan
keresahan oleh konsumen.
Secara umum, di Indonesia terdapat empat masalah utama yang terkait
dengan keamanan konsumen terhadap makanan yang dikonsumsinya, yaitu :
1. Keracunan makanan

Dapat terjadi karena rusak dan terkontaminasi atau tercampur dengan


bahan berbahaya. Sebagian besar kasus keracunan makanan berasal dari jasa boga
(katering). Data nasional yang dirangkum Badan POM selama 4 tahun terakhir

juga menjelaskan, bahwa industri jasa boga dan produk makanan rumah tangga
memberikan kontribusi yang paling besar (31%) dibandingkan dengan pangan
olahan (20%); jajanan (13%) dan lain-lain (5%).
Data tersebut menggambarkan bahwa kesadaran konsumen jauh dari yang
diharapkan,

termasuk

diantaranya

keharusan

membaca

label

sebelum

menjatuhkan pilihan untuk membeli. Dalam hal ini diperlukan sosialisasi kepada
masyarakat secara terus menerus. Salah satu media yang diperlukan adalah iklan
layanan masyarakat yang mengajak atau mendorong konsumen untuk lebih bijak
dalam menentukan pilihan, artinya konsumen harus memiliki kesadaran dan
pengetahuan tentang barang dan ketentuannya.
Kejadian keracunan yang terus terulang ini salah satunya diakibatkan oleh
tidak ada pemikiran atau kesadaran untuk melaporkannya ke instansi yang
berwenang setelah kejadian. Hal ini kadang dianggap sebagai kejadian yang biasa.
Jika dilaporkan, seharusnya produsen sebagai pelaku pelanggaran bisa dikenai
sanksi sesuai dengan UU pangan.

2. Penggunaan Bahan Tambahan Makanan

Mencakup Bahan pengawet, bahan pewarna, bahan pemanis dan bahanbahan

tambahan

lainnya.

Kasus

yang

pernah

ditemukan

mengenai

penyalahgunaan BTM ini adalah


a. Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet,

pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan (seperti rhodamin
B dan methanil yellow)
b. Penyalahgunaan bahan kimia berbahaya lainnya juga ditemui pada produk

pangan, terutama penggunaan formalin, dan boraks. Pemakaian formalin


terutama ditemui pada produk pangan berasam rendah seperti mie basah,
tahu, ikan asin dan ikan segar.
c. Penyalahgunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang melebihi dosis yang

diizinkan antara lain ditemui pada penggunaan pemanis buatan (sakarin


dan siklamat)
Kasus kasus seperti ini masih banyak terjadi karena hukuman bagi pelaku
usahapun masih terlalu ringan. Mungkin seharusnya hukuman yang dijatuhkan

harus lebih berat agar pelaku pelanggaran menjadi jera dan tidak mengulangi
kesalahan yang sama.
3. Ketentuan label bagi produk-produk industri makanan dan minuman yang

tidak sesuai dengan ketentuan label


Penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling banyak ditemui
adalah
a. Penggunaan

label

tidak

berbahasa

Indonesia

dan

tidak

menggunakan huruf latin, terutama produk impor.


b. Label yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan
c. Tidak mencantumkan waktu kadaluarsa
d. Tidak mencantumkan keterangan komposisi dan berat bersih
e. Tidak ada kode barang MD, ML atau P-IRT dan acuan kecukupan

gizi yang tidak konsisten.


f.

Tidak mencantumkan alamat produsen/importir (bagi produknya)

Hasil kajian menemukan bahwa masalah label kurang mendapat


perhatian dari konsumen dimana hanya 6,7% konsumen yang memperhatikan
kelengkapannya. Khusus menyangkut keterangan halal sebagai bagian dari label,
data lembaga pemeriksa halal (LP-POM MUI) menyebutkan saat ini baru sekitar
15% dari produk pangan di Indonesia yang telah memiliki sertifikat halal.

4. Produk-produk industri makanan dan minuman yang kadaluarsa.

Di pasaran masih ditemukan produk pangan segar dan olahan kemasan


yang telah kadaluarsa, tidak hanya di pasar tradisional tapi juga di supermarket.
Produk makanan olahan yang ditemukan antara lain makanan kaleng dan beku
(daging, bakso, ikan, nugget).
Pelaksanaan pengawasan di lapangan dirasakan masih sangat lemah,
padahal perangkat peraturan perundang-undangan dalam perlindungan konsumen
sudah cukup memadai. Karena itu, perlu dilakukan harmonisasi ketentuanketentuan yang ada agar terjalin koordinasi yang efektif antar instansi terkait.

Akibat belum adanya harmonisasi selama ini, pelaksanaan kontrol di lapangan


belum sepenuhnya berjalan efektif

Anda mungkin juga menyukai